Alma belum tidur. Matanya tak bisa terpejam karena memikirkan dari mana ia bisa mendapatkan nomor Tiara untuk mencari tahu mengenai foto itu dan syukur-syukur bisa sekalian mencari informasi senakal apa suaminya itu di masa lalu. Badannya yang memunggungi Adam dikasur bergerak perlahan. Ia membalikkan badan untuk mengecek suaminya. Ternyata suaminya sudah tidur lelap.“Dasar om-om tua. Jam segini udah tidur. Baru jam sembilan juga.”Alma bangkit dan duduk memainkan ponselnya. Ada pesan masuk dari Mario. Ia tak membalasnya. Ia sedang tidak mood untuk meladeni romansanya dengan mantan pacarnya itu. Ia juga merasa seharusnya hubungan mereka seharusnya tidak pernah ada.Saat kembali memainkan ponselnya, ia melihat story Virza yang tengah memotret dirinya yang sibuk depan laptopnya. Alma memiliki sebuah ide untuk memanfaatkan keberadaannya. Meski belum tentu sahabat Adam itu mau membantunya, tapi coba saja dulu. Alma menyentuh menu telpon. Setelah beberapa detik Virza mengangkatnya.“H
“Oaaaaak. Oaaaak.”Alma menutup kedua telinganya dengan lipatan bantal. Ia benar-benar terganggu dengan tangisan menggelegar Belle.“Oaaaaak. Oaaaak."“Belle! Berisik banget sih.” Alma terpaksa bangun dan melempar bantal. Ia yang masih ngantuk tidak berniat melanjutkan tidur. Ia hanya mengacak-acak rambutnya dengan frustasi.“Cup, cup, tenang ya, sayang.” suara bariton Adam terdengar menenangkan Belle di kamarnya.Alma menggulingkan badannya dan bergumul dengan selimut tebal. Ini masih jam enam, dan jam tidur normalnya minimal satu jam lagi baru bangun. Tapi suara Belle terdengar makin kencang sehingga boro-boro lanjut tidur, untuk tutup mata saja rasanya susah.“Dasar tuyul keriting!” umpatnya pelan.“Sayang, sayang, mau apa, hm? Kan suster Ruthnya pulang dulu. Sekarang sama papa dulu ya.”Alma membuka mata dan terduduk sekaligus. Ia nyaris saja lupa bahwa suster Ruth sedang izin pulang kampung untuk tiga hari ke depan. Dan ia dengan jumawa mengatakan akan menggantikan peran
Ting-NongTing-NongTidak ada yang membuka pintu atau menjawab telpon suster Tiwi, Suster Infal yang akan menggantikan suster Ruth tiga hari kedepan.“Kok gak ada yang buka pintu sih.”“Oaaaaak. Oaaaaaak.” “Itu Belle dari tadi nangis terus. Emang majikan Ruth kemana? Katanya ada istri pak Adam di dalem."Suster Tiwi terus menelpon Alma untuk memintanya membuka pintu. Tapi tetap tidak ada jawaban. Ia mau menelpon Adam tapi segan karena takut mengganggu. Ia tahu majikan temannya adalah seorang dokter.“Tapi kasian anaknya, gak papa deh aku telpon aja.”Tak terlihat ada hilal telponnya akan di angkat. Tapi telponnya tersambung. Berarti Adam sedang mengaktifkan telponnya ‘kan?Di tempat lain, suster Anna, suster yang bertugas menjadi asisten ketika jadwal praktek melihat ponsel Adam berdering kencang. Ada nomor baru yang menelponnya beberapa kali. Tapi ia tak berani mengangkat karena takut di nilai tidak sopan. Meski sebenarnya mungkin tidak papa karena Adam sedang tidak bisa men
Mendengar ucapan Virza pada Adam di depan ruangannya, membuat Alma yang sebenarnya tidak tidur menguping pembicaraan itu. Ia tidak menyangka bahwa Virza akan membelanya habis-habisan di depan Adam. Ya memang bukan membelanya karena ia istri temannya, tapi karena ia adalah pasiennya. Virza ternyata memperlakukan pasiennya dengan sangat baik.Dengan buru-buru setelah mendengar Virza pamitan, Alma kembali ranjang dan pura-pura tidur. Benar saja, Adam langsung masuk. Adam berjalan lunglai dan duduk di tepian kasur menggenggam lengan Alma yang terpasang selang infus.“Sayang, maafin aku ya. Aku belum bisa jadi suami yang baik buat kamu. Belum sebulan kita nikah, kamu udah masuk rumah sakit dua kali karena aku paksa kamu buat asuh Belle.”Karena tidak bisa berpura-pura lebih lama, Alma menggumam seolah-olah baru bangun tidur.“Mas.”“Sayang, kamu udah bangun?”Alma membuka matanya dan mengangguk. Ia menikmati tangannya yang di genggam Adam.“Kamu laper?”“Lumayan.”“Aku pesenin mak
Adam tidak bisa pergi kemana-mana. Ia berdiri dan menyalami mantan papa mertuanya, “Papa apa kabar?” “Ya begini, sehat." Adam melirik suster Anna yang berdiri tegang di dekat pintu. Adam memberinya kode untuk pergi dan menutup pintu ruangan. “Silakan duduk, pa.” Lelaki paruh baya itu menurut. Beliau duduk di sofa dan merapikan jasnya. Matanya berkeliling mencari sesuatu. “Papa kapan pulang dari Belanda?” Adam berusaha tenang dan duduk disamping mantan mertuanya. “Udah sebulan.” “Sebulan?” Adam mengulang jawaban papa. “Ya.” “Saya waktu itu ke rumah buat anter undangan, papa gak dateng.” “Ya, papa cuma... tiba-tiba inget Dara dan gak bisa dateng.” Adam mengangguk, “Saya ngerti.” Mantan papa mertua Adam kembali mengedarkan matanya mengelilingi ruangan, “Mana foto istri kamu?” Adam terperangah, “Oh itu. Saya... belum sempet pasang disini.” “Hm. Sesibuk itu?” “Iya, pa.” “Saya denger kamu juga ada rencana kuliah lagi untuk ambil sub spesialis." “Iya, saya akan kuliah lagi,
Papa mengernyit, “Apa maksudnya pingsan karena Belle? Dia cuma seorang bayi yang gak mungkin bisa jahatin kamu.”“Pa, aku—"Belum sempat Alma buka mulut, Adam memegangi lengan istrinya. Ketika ada suster yang melewati mereka, Adam menahannya, “Sus, tolong bawa pasien ke ruangannya.”“Mas, aku gak mau balik ke ruangan.” protes Alma.“Kamu harus banyak istirahat. Kamu tunggu disana, aku janji setelah jadwal praktek aku selesai, kita pulang.”Alma tak menjawab lagi, ia yang masih bingung dengan apa yang terjadi di depannya hanya menurut, “Pa, aku ke kamar dulu.”Papa mengangguk, “Iya, istirahat yang banyak.”“Permisi.” Suster mewakili untuk berpamitan meninggalkan Adam dan papa di depan ruangannya.Setelah Alma jauh meninggalkan mereka, papa membuka kancing kemejanya dan melonggarkan kerah bajunya, “Adam, apa maksud ucapan istri kamu? Ada apa sama Belle?”“Pa, masalahnya rumit. Saya juga ada jadwal praktek sekarang.”“Persingkat masalahnya.”Adam diam. Bagaimana caranya ia men
Setelah makan dan minum obat, Alma kembali tidur lelap. Mama dan papa yang baru kembali setelah menjenguk teman mereka juga berpamitan pulang karena Adam meminta mereka untuk istirahat karena ia akan menjaga Alma disini. Bukannya pulang, mama dan papa malah meminta izin padanya untuk mengasuh Belle. Adam senang, ia mengizinkan kedua mertuanya untuk bertemu Belle. “Lo ke RSJ jam berapa?” Virza yang tengah memainkan ponselnya, melirik Adam sekilas, “Bentar lagi. Gue ada satu jadwal konsultasi lagi. Tapi dia belum dateng.” Adam mengangguk, “Dosis obatnya berapa, Za?” Virza berhenti memainkan ponselnya. Ia menatap Adam serius lalu tertawa, “Hahaha, cuma nol koma lima kok, lo tenang aja.” “Campuran obat apa aja?” Virza menghampiri Adam yang duduk di sofa. Ia menepuk pundak sahabatnya, “Dam, santai aja kenapa sih.” “Za, kan lo sendiri yang bilang kalo terus begini Alma bisa—” “Depresi berat atau Anxiety?” Adam membuang nafasnya kesal. “Udah sana, lo kan ada jadwal visit. Jangan sa
“Mario?” Mario membalikkan badannya. Ia membawa satu buket bunga mawar yang pasti akan diberikan pada Alma. “Siang, dokter." Adam melirik suster Anna, “Sus, masuk duluan aja, saya ada urusan sebentar.” “Baik, dok, permisi." Suster Anna masuk ke ruangan sebelah dan menutup pintunya, membuat Adam jadi leluasa bicara dengan Mario. “Ada apa?” “Aku denger Alma sakit, jadi aku dateng kesini sama Audy sama Sezan. Tapi mereka larang aku masuk. Katanya aku harus izin dulu sama dokter kalo mau ketemu Alma.” Adam mengangguk, “Jam besuknya udah mau habis, sekitar lima menit lagi. Jadi kalo masuk, silakan.” “Ah, aku gak bisa kalo cuma lima menit.” rajuk Mario. Adam menatap Mario datar. Ia tersenyum, “Tujuan kamu kesini buat besuk, ‘kan? Kamu tinggal masuk, kasih bunganya, dan bilang cepet sembuh ya, Alma. Selesai. Bahkan dua menit aja cukup.” Mario tertawa, “Dokter, dokter. Dokter Adam