Alma terpaksa tersenyum saat Mario mengelus perut besarnya di kantin rumah sakit. Mario juga menciumi perut itu.“Aku gak sabar ketemu dia nanti.”Alma mengangguk, “Kamu sayang sama dia?”Mario mengangguk, “Tentu.”“Meskipun ini anak mas Adam?”Mario diam sejenak, lalu mengangguk, “Karena ada darah kamu mengalir di anak ini.”Alma tersenyum pura-pura lagi. Mario duduk tegap menatap sop susu pesanan Alma yang masih banyak, “Abisin dong makannya, sayang.”“Kenyang.”“Demi anak kita.”“Aku agak mual.”“Mau aku pesenin yang lain? Kamu mau apa? Coba bilang.”Alma menggeleng.“Sayang, kamu harus makan cukup.”“Ya itu, udah cukup.”Mario menarik hidung Alma gemas, “Sayangnya aku bisa aja.”Audy datang ke meja mereka membawa satu piring Nasi Goreng Rendang dan jus Nanas, “Rio, mobil gue aman ‘kan di bengkel temen lo?”“Ama
Mama sudah memberi tahu papa mengenai apa yang di dengarnya semalam mengenai ucapan Mario yang membuktikan kalau ia adalah dalang dibalik hamilnya Sezan. Papa terkejut tentu saja. Tapi papa tak banyak bicara. Mungkin papa bingung karena semua pengobatan dirumah sakit ini lengkap dengan ruangan VIPnya berasal dari uang Mario.“Mama mau bicara sama Alma, tapi dia ogah-ogahan dengernya. Baru mama bilang kalo Mario itu jahat, dia malah bikin alesan buat pergi jauhin mama.”“Alma mungkin butuh bukti, ma.”“Bukti apa sih, pa? Pendengaran mama gak akurat apa sampe dia butuh bukti segala?”“Ya mana papa tahu. Udah, ma, jangan terlalu banyak bicara macem-macem sama Alma, kasian kandungannya. Sebentar lagi dia melahirkan. Papa denger menjelang melahirkan, perasaannya jadi gak karuan.”“Dia tuh perasaannya gak karuan karena mau cerai dari Adam gara-gara kemarin Sezan hamil. Dia pasti bingung harus lahiran ditemenin Adam atau Mario.”
“Badan aku rusak karena hamil. Banyak perubahan yang gak bisa aku terima.” Alma kembali terisak setelah menyentuh kulit bawah perutnya yang menampilkan banyak strecth mark.Adam memeluk Alma tanpa bicara. Ia menangkap poin Alma. Ia tahu tidak mudah untuk Alma merelakan tubuh sempurnanya berubah karena kehamilan. Selain karena pengaruh hormon, Alma memang sensitif jika sudah menyinggung soal tubuhnya.Adam melepas pelukkannya, ia menatap Alma penuh pengertian, “Awalnya emang aku yang maksa kamu untuk punya anak. Selanjutnya gimana?”Alma menghindari manik Adam, “Aku yang mau hamil sendiri.”“Kamu hebat, semua para ibu di seluruh dunia ini juga. Makasih ya udah mau mengorbankan tubuh sempurna kamu untuk berubah demi mengandung anak aku.” Adam mengelus pelan perut Alma.Alma salah tingkah. Ia berusaha menyeka lengan Adam. “Bentar aku baca panduan dulu biar asinya gak rembes.”Alma tak menjawab. Ia hanya diam menaha
Alma dan Mario duduk berhadapan di kantin rumah sakit. Mario memintanya untuk ikut kesini. Terserah Adam masih mau disini atau pulang. Sedangkan Audy memilih untuk pergi memakai mobil Mercy yang Mario janjikan untuk di pinjamkan untuknya.“Aku gak suka kamu ketemu Adam.”“Rio, kita cuma duduk sebelahan.”“Sambil pegang tangannya?”Alma membuang mukanya.“Aku udah lunasin semua tagihan rumah sakit dan obat-obatnya. Aku juga udah bayar di muka pembayaran kontrol rawat jalan tiga hari lagi.”Alma menatap Mario. Ia sadar, mantan kekasihnya yang mungkin kedepannya akan berubah menjadi suaminya itu sedang menggertaknya, dengan mengatakan bahwa ia dan keluarga berhutang budi untuk menikmati layanan fasilitas kesehatan dirumah sakit ini sampai tuntas, dan ia diminta untuk tahu diri.“Makasih.”“Aku udah ngobrol sama dokter utamanya, katanya layanan rumah sakit ini bagus, tapi aku minta yang terbaik buat calon mertua aku. Jadinya untuk ke depannya, kit
Pov SezanSudah dua hari dari waktu kepulangan dari rumah sakit, Sezan tidak mau makan dan melakukan kegiatan apapun seperti biasanya. Ia bahkan tidak bisa tidur dengan benar sehingga amih dan Armand selalu bergantian untuk menemaninya di kamar. Kalau tidak ditemani takutnya Sezan melakukan hal-hal diluar kendali.“Zan, kamu gak perlu kayak gini. Kita cari cara baru ya buat menjerat Adam?” Armand bersender di dinding kamar meminta Sezan agar tidak berlarut-larut dalam kesedihan.Tak ada gelengan atau anggukan dari Sezan. Ia setia duduk diatas kasur dengan posisi memeluk kedua lututnya lengkap dengan tatapan menyedihkan.“Abang kamu bener. Kamu gak perlu kayak gini terus. Amih sama apih pasti bakal bantu kamu buat dapetin Adam lagi. Sekarang makan dulu ya, biar kamu bisa minum obat. Ya?” tawar amih.Sezan menggeleng.Amih menatap Armand.“Mau kamu apa sih, Zan? Coba bilang sama abang.”“Mati.”A
Pov VirzaVirza baru selesai membereskan berkas-berkas pasien di meja. Ia melirik suster dan dokter residen yang sedang mengikuti praktek rawat jalan bersamanya disini, “Panggil pasien pertama, sus.”“Baik, dok.” Suster membawa papan catatan membuka pintu, “Ibu Sezan Safira, dipersilakan masuk."Amih membantu Sezan berdiri. Dengan langkah pelan, mereka memasuki ruangan praktik Virza. Sezan malu tentu saja. Ia ingin sekali lari dan menghindari Virza yang mungkin menertawakannya karena ia menjadi pasiennya. Virza akan tahu isi jiwanya yang rusak karena efek keguguran anak Adam.“Silakan,” Virza mempersilakan Sezan dan Amih duduk.Amih terus menggenggam tangan Sezan.“Gimana harinya? Cerah ya diluar?” Virza berbasa-basi dulu sebelum memulai konseling sesi pertama hari ini.Tidak ada jawaban dari Sezan. Virza tahu Sezan mendengarkan suaranya, tapi memang sulit menjawab karena keadaan mentalnya sedang buruk.“
“Ma, sampe kapan kamu menghindar dari mama?” Alma berhenti melangkah. Ia membalikkan badannya dan menatap mama tanpa bicara. Mama menarik lengan Alma mengajaknya duduk di kursi depan kolam renang, “Dengerin omongan mama baik-baik, dan jangan pergi sebelum kamu kasih jawaban masuk akal dari pertanyaan mama." Alma mengangguk. “Ma, Adam tadi telpon mama. Dia bilang nanti siang dia mau kesini buat liat papa dan ketemu kamu. Dia mau beresin masalah soal niatan gugatan cerai kamu ke dia." Alma hanya membuang nafas pelan. “Ibunya juga mau dateng besok lusa karena pengen nemenin kamu lahiran. Adam bilang ibunya gak tahu sama sekali sama masalah yang menimpa kalian selama ini. Jadi be nice.” “Maksud mama apa?” “Kamu pulang ke rumah Adam.” Alma tertawa meledek, “Mama mau numbalin aku sama Belle?” “Ma, kamu tuh punya masalah apa sih?” “Mama yang punya masalah apa. Kenapa mama seolah m
Mario duduk di ruang tamu memainkan ponselnya dengan serius. Ia sudah yakin sekali untuk membawa kabur Alma hari ini. Semakin cepat akan semakin baik. Ia tidak mau Alma berubah pikiran dan meninggalkannya. Ia sudah melakukan banyak hal untuk bisa mendapatkannya. Dan kali ini bukan waktunya untuk kembali kehilangan Alma. “Maaf lama ya nak Rio, tadi tante habis siapin obat dulu buat si om.” Mario tersenyum, “Gak papa, tante.” Mama duduk dihadapan Mario, “Alma sebentar lagi siap. Dia tadi bangun kesiangan, mungkin karena malem tidurnya agak malem.” Mario mengangguk, “Alma kenapa begadang, tante?” “Itu Audy dateng kesini sama ibunya. Karena anteng Audy ngajakin Alma ngobrol sampe tengah malem.” Mario mengangguk-angguk. “Nak Mario, tante, boleh tanya sesuatu?” “Tentu, tante. Tante mau tanya apa?” Mama memainkan jari-jemarinya dengan tegang. Semakin sini mama merasa Mario semakin memegang kendali at