“Badan aku rusak karena hamil. Banyak perubahan yang gak bisa aku terima.” Alma kembali terisak setelah menyentuh kulit bawah perutnya yang menampilkan banyak strecth mark.
Adam memeluk Alma tanpa bicara. Ia menangkap poin Alma. Ia tahu tidak mudah untuk Alma merelakan tubuh sempurnanya berubah karena kehamilan. Selain karena pengaruh hormon, Alma memang sensitif jika sudah menyinggung soal tubuhnya. Adam melepas pelukkannya, ia menatap Alma penuh pengertian, “Awalnya emang aku yang maksa kamu untuk punya anak. Selanjutnya gimana?” Alma menghindari manik Adam, “Aku yang mau hamil sendiri.” “Kamu hebat, semua para ibu di seluruh dunia ini juga. Makasih ya udah mau mengorbankan tubuh sempurna kamu untuk berubah demi mengandung anak aku.” Adam mengelus pelan perut Alma. Alma salah tingkah. Ia berusaha menyeka lengan Adam. “Bentar aku baca panduan dulu biar asinya gak rembes.” Alma tak menjawab. Ia hanya diam menahaAlma dan Mario duduk berhadapan di kantin rumah sakit. Mario memintanya untuk ikut kesini. Terserah Adam masih mau disini atau pulang. Sedangkan Audy memilih untuk pergi memakai mobil Mercy yang Mario janjikan untuk di pinjamkan untuknya.“Aku gak suka kamu ketemu Adam.”“Rio, kita cuma duduk sebelahan.”“Sambil pegang tangannya?”Alma membuang mukanya.“Aku udah lunasin semua tagihan rumah sakit dan obat-obatnya. Aku juga udah bayar di muka pembayaran kontrol rawat jalan tiga hari lagi.”Alma menatap Mario. Ia sadar, mantan kekasihnya yang mungkin kedepannya akan berubah menjadi suaminya itu sedang menggertaknya, dengan mengatakan bahwa ia dan keluarga berhutang budi untuk menikmati layanan fasilitas kesehatan dirumah sakit ini sampai tuntas, dan ia diminta untuk tahu diri.“Makasih.”“Aku udah ngobrol sama dokter utamanya, katanya layanan rumah sakit ini bagus, tapi aku minta yang terbaik buat calon mertua aku. Jadinya untuk ke depannya, kit
Pov SezanSudah dua hari dari waktu kepulangan dari rumah sakit, Sezan tidak mau makan dan melakukan kegiatan apapun seperti biasanya. Ia bahkan tidak bisa tidur dengan benar sehingga amih dan Armand selalu bergantian untuk menemaninya di kamar. Kalau tidak ditemani takutnya Sezan melakukan hal-hal diluar kendali.“Zan, kamu gak perlu kayak gini. Kita cari cara baru ya buat menjerat Adam?” Armand bersender di dinding kamar meminta Sezan agar tidak berlarut-larut dalam kesedihan.Tak ada gelengan atau anggukan dari Sezan. Ia setia duduk diatas kasur dengan posisi memeluk kedua lututnya lengkap dengan tatapan menyedihkan.“Abang kamu bener. Kamu gak perlu kayak gini terus. Amih sama apih pasti bakal bantu kamu buat dapetin Adam lagi. Sekarang makan dulu ya, biar kamu bisa minum obat. Ya?” tawar amih.Sezan menggeleng.Amih menatap Armand.“Mau kamu apa sih, Zan? Coba bilang sama abang.”“Mati.”A
Pov VirzaVirza baru selesai membereskan berkas-berkas pasien di meja. Ia melirik suster dan dokter residen yang sedang mengikuti praktek rawat jalan bersamanya disini, “Panggil pasien pertama, sus.”“Baik, dok.” Suster membawa papan catatan membuka pintu, “Ibu Sezan Safira, dipersilakan masuk."Amih membantu Sezan berdiri. Dengan langkah pelan, mereka memasuki ruangan praktik Virza. Sezan malu tentu saja. Ia ingin sekali lari dan menghindari Virza yang mungkin menertawakannya karena ia menjadi pasiennya. Virza akan tahu isi jiwanya yang rusak karena efek keguguran anak Adam.“Silakan,” Virza mempersilakan Sezan dan Amih duduk.Amih terus menggenggam tangan Sezan.“Gimana harinya? Cerah ya diluar?” Virza berbasa-basi dulu sebelum memulai konseling sesi pertama hari ini.Tidak ada jawaban dari Sezan. Virza tahu Sezan mendengarkan suaranya, tapi memang sulit menjawab karena keadaan mentalnya sedang buruk.“
“Ma, sampe kapan kamu menghindar dari mama?” Alma berhenti melangkah. Ia membalikkan badannya dan menatap mama tanpa bicara. Mama menarik lengan Alma mengajaknya duduk di kursi depan kolam renang, “Dengerin omongan mama baik-baik, dan jangan pergi sebelum kamu kasih jawaban masuk akal dari pertanyaan mama." Alma mengangguk. “Ma, Adam tadi telpon mama. Dia bilang nanti siang dia mau kesini buat liat papa dan ketemu kamu. Dia mau beresin masalah soal niatan gugatan cerai kamu ke dia." Alma hanya membuang nafas pelan. “Ibunya juga mau dateng besok lusa karena pengen nemenin kamu lahiran. Adam bilang ibunya gak tahu sama sekali sama masalah yang menimpa kalian selama ini. Jadi be nice.” “Maksud mama apa?” “Kamu pulang ke rumah Adam.” Alma tertawa meledek, “Mama mau numbalin aku sama Belle?” “Ma, kamu tuh punya masalah apa sih?” “Mama yang punya masalah apa. Kenapa mama seolah m
Mario duduk di ruang tamu memainkan ponselnya dengan serius. Ia sudah yakin sekali untuk membawa kabur Alma hari ini. Semakin cepat akan semakin baik. Ia tidak mau Alma berubah pikiran dan meninggalkannya. Ia sudah melakukan banyak hal untuk bisa mendapatkannya. Dan kali ini bukan waktunya untuk kembali kehilangan Alma. “Maaf lama ya nak Rio, tadi tante habis siapin obat dulu buat si om.” Mario tersenyum, “Gak papa, tante.” Mama duduk dihadapan Mario, “Alma sebentar lagi siap. Dia tadi bangun kesiangan, mungkin karena malem tidurnya agak malem.” Mario mengangguk, “Alma kenapa begadang, tante?” “Itu Audy dateng kesini sama ibunya. Karena anteng Audy ngajakin Alma ngobrol sampe tengah malem.” Mario mengangguk-angguk. “Nak Mario, tante, boleh tanya sesuatu?” “Tentu, tante. Tante mau tanya apa?” Mama memainkan jari-jemarinya dengan tegang. Semakin sini mama merasa Mario semakin memegang kendali at
Mama terus menelpon orang-orang yang mungkin tahu Alma ada dimana. Sudah sehari semalam Alma tak ada kabar sejak pamit pergi membeli baju dan kado untuk suster Ruth. “Gimana, bu? Ada jawaban?” mbok Nah ikut khawatir.“Gak ada, mbok. Katanya gak ada yang liat Alma. Aduh gimana dong ini.”Audy berlari dari arah ruang tamu.“Dy, gimana? Alma ketemu?”Audy menggeleng, “Gak ada, tante. Aku udah datengin tempat-tempat yang biasa Alma dan Mario datengin, tapi tetep gak ada.”“Ya ampun, Alma kamu kemana sih.”Audy membuang nafas pelan. Ia jadi menyesal meminta Alma kembali pada Mario. Ternyata Mario bisa setega ini membawa Alma pergi entah kemana, menjauhkan Alma dari keluarganya. Ia yakin, ketika Alma bersama Adam, dokter tua itu tidak akan pernah melakukan hal seperti ini.“Ma, gimana? Ada kabar soal Alma?” papa berjalan santai menghampiri mama sekembalinya dari belakang rumah.Mama menatap mbok Nah dan Audy. Untungnya mereka sempat berunding tadi pagi meminta semua bekerja sama u
Adam pov Adam memasuki mobil sambil berpikir kemana ia harus pergi. Setelah membohongi papa mengatakan Belle akan pergi ke rumah sakit untuk vaksinasi, lanjut pergi jalan-jalan bersama suster barunya, Adam merasa harus segera mencari Alma sebelum Mario membawanya pergi lebih jauh. “Tiara. Gue harus tanya dia. Suster Ruth bilang Tiara adalah kakak sepupu Mario dan dia jadi deket sama Alma. Oke, tujuan pertama rumah Tiara.” Mobil langsung melaju dengan kecepatan tinggi. Adam sudah tidak sabar bertemu Tiara hanya berdua untuk pertama kalinya setelah mereka putus. Tiara bagai oasis di tengah panasnya padang pasir, dan ia berharap dengan kebaikan hatinya mantan pacarnya itu mau membantunya. “Kalo Tiara gak mau kasih tahu gue gimana ya?” Adam menggeleng, “Gimanapun caranya gue harus bisa luluhin hati Tiara dan bikin dia mau bantuin gue temuin Alma.” Mobil berhenti di depan rumah Tiara yang bergaya kontemporer. Ia berlari begitu membuka pag
Pov Adam“Selamat siang, Ra.”Tiara menatap Dwi dan memintanya pergi, “Ayo masuk.Adam masuk ke dalam ruangan Tiara. Ia melihat sekeliling ruangan yang tak banyak berubah dari empat tahun lalu.“Duduk, Dam.” Tiara mempersilakan Adam duduk setelah ia duduk di sofa.Adam duduk, ia menatap Tiara, “Aku kesini mau tanya sesuatu sama kamu.”“Soal?”“Alma.”“Kenapa sama Alma?”Adam menelisik wajah Tiara. Tidak ada ekspresi terkejut atau kebingungan. Apakah Tiara tidak tahu kalau sepupunya, Mario, membawa istrinya pergi? “Kamu gak tahu?”“Tahu apa?”Sepertinya Tiara tidak tahu. Mantan pacarnya ini tidak pandai menyembunyikan perasaannya, sehingga Adam pasti tahu kalau Tiara berbohong.“Udah sehari semalem Alma gak pulang.”“Loh, dia ‘kan tinggal dirumah orang tuanya.”“Iya. Dia gak ada disana.”“Hah?”“Kamu gak tahu?”