Pov Virza
Virza baru selesai membereskan berkas-berkas pasien di meja. Ia melirik suster dan dokter residen yang sedang mengikuti praktek rawat jalan bersamanya disini, “Panggil pasien pertama, sus.” “Baik, dok.” Suster membawa papan catatan membuka pintu, “Ibu Sezan Safira, dipersilakan masuk." Amih membantu Sezan berdiri. Dengan langkah pelan, mereka memasuki ruangan praktik Virza. Sezan malu tentu saja. Ia ingin sekali lari dan menghindari Virza yang mungkin menertawakannya karena ia menjadi pasiennya. Virza akan tahu isi jiwanya yang rusak karena efek keguguran anak Adam. “Silakan,” Virza mempersilakan Sezan dan Amih duduk. Amih terus menggenggam tangan Sezan. “Gimana harinya? Cerah ya diluar?” Virza berbasa-basi dulu sebelum memulai konseling sesi pertama hari ini. Tidak ada jawaban dari Sezan. Virza tahu Sezan mendengarkan suaranya, tapi memang sulit menjawab karena keadaan mentalnya sedang buruk. ““Ma, sampe kapan kamu menghindar dari mama?” Alma berhenti melangkah. Ia membalikkan badannya dan menatap mama tanpa bicara. Mama menarik lengan Alma mengajaknya duduk di kursi depan kolam renang, “Dengerin omongan mama baik-baik, dan jangan pergi sebelum kamu kasih jawaban masuk akal dari pertanyaan mama." Alma mengangguk. “Ma, Adam tadi telpon mama. Dia bilang nanti siang dia mau kesini buat liat papa dan ketemu kamu. Dia mau beresin masalah soal niatan gugatan cerai kamu ke dia." Alma hanya membuang nafas pelan. “Ibunya juga mau dateng besok lusa karena pengen nemenin kamu lahiran. Adam bilang ibunya gak tahu sama sekali sama masalah yang menimpa kalian selama ini. Jadi be nice.” “Maksud mama apa?” “Kamu pulang ke rumah Adam.” Alma tertawa meledek, “Mama mau numbalin aku sama Belle?” “Ma, kamu tuh punya masalah apa sih?” “Mama yang punya masalah apa. Kenapa mama seolah m
Mario duduk di ruang tamu memainkan ponselnya dengan serius. Ia sudah yakin sekali untuk membawa kabur Alma hari ini. Semakin cepat akan semakin baik. Ia tidak mau Alma berubah pikiran dan meninggalkannya. Ia sudah melakukan banyak hal untuk bisa mendapatkannya. Dan kali ini bukan waktunya untuk kembali kehilangan Alma. “Maaf lama ya nak Rio, tadi tante habis siapin obat dulu buat si om.” Mario tersenyum, “Gak papa, tante.” Mama duduk dihadapan Mario, “Alma sebentar lagi siap. Dia tadi bangun kesiangan, mungkin karena malem tidurnya agak malem.” Mario mengangguk, “Alma kenapa begadang, tante?” “Itu Audy dateng kesini sama ibunya. Karena anteng Audy ngajakin Alma ngobrol sampe tengah malem.” Mario mengangguk-angguk. “Nak Mario, tante, boleh tanya sesuatu?” “Tentu, tante. Tante mau tanya apa?” Mama memainkan jari-jemarinya dengan tegang. Semakin sini mama merasa Mario semakin memegang kendali at
Mama terus menelpon orang-orang yang mungkin tahu Alma ada dimana. Sudah sehari semalam Alma tak ada kabar sejak pamit pergi membeli baju dan kado untuk suster Ruth. “Gimana, bu? Ada jawaban?” mbok Nah ikut khawatir.“Gak ada, mbok. Katanya gak ada yang liat Alma. Aduh gimana dong ini.”Audy berlari dari arah ruang tamu.“Dy, gimana? Alma ketemu?”Audy menggeleng, “Gak ada, tante. Aku udah datengin tempat-tempat yang biasa Alma dan Mario datengin, tapi tetep gak ada.”“Ya ampun, Alma kamu kemana sih.”Audy membuang nafas pelan. Ia jadi menyesal meminta Alma kembali pada Mario. Ternyata Mario bisa setega ini membawa Alma pergi entah kemana, menjauhkan Alma dari keluarganya. Ia yakin, ketika Alma bersama Adam, dokter tua itu tidak akan pernah melakukan hal seperti ini.“Ma, gimana? Ada kabar soal Alma?” papa berjalan santai menghampiri mama sekembalinya dari belakang rumah.Mama menatap mbok Nah dan Audy. Untungnya mereka sempat berunding tadi pagi meminta semua bekerja sama u
Adam pov Adam memasuki mobil sambil berpikir kemana ia harus pergi. Setelah membohongi papa mengatakan Belle akan pergi ke rumah sakit untuk vaksinasi, lanjut pergi jalan-jalan bersama suster barunya, Adam merasa harus segera mencari Alma sebelum Mario membawanya pergi lebih jauh. “Tiara. Gue harus tanya dia. Suster Ruth bilang Tiara adalah kakak sepupu Mario dan dia jadi deket sama Alma. Oke, tujuan pertama rumah Tiara.” Mobil langsung melaju dengan kecepatan tinggi. Adam sudah tidak sabar bertemu Tiara hanya berdua untuk pertama kalinya setelah mereka putus. Tiara bagai oasis di tengah panasnya padang pasir, dan ia berharap dengan kebaikan hatinya mantan pacarnya itu mau membantunya. “Kalo Tiara gak mau kasih tahu gue gimana ya?” Adam menggeleng, “Gimanapun caranya gue harus bisa luluhin hati Tiara dan bikin dia mau bantuin gue temuin Alma.” Mobil berhenti di depan rumah Tiara yang bergaya kontemporer. Ia berlari begitu membuka pag
Pov Adam“Selamat siang, Ra.”Tiara menatap Dwi dan memintanya pergi, “Ayo masuk.Adam masuk ke dalam ruangan Tiara. Ia melihat sekeliling ruangan yang tak banyak berubah dari empat tahun lalu.“Duduk, Dam.” Tiara mempersilakan Adam duduk setelah ia duduk di sofa.Adam duduk, ia menatap Tiara, “Aku kesini mau tanya sesuatu sama kamu.”“Soal?”“Alma.”“Kenapa sama Alma?”Adam menelisik wajah Tiara. Tidak ada ekspresi terkejut atau kebingungan. Apakah Tiara tidak tahu kalau sepupunya, Mario, membawa istrinya pergi? “Kamu gak tahu?”“Tahu apa?”Sepertinya Tiara tidak tahu. Mantan pacarnya ini tidak pandai menyembunyikan perasaannya, sehingga Adam pasti tahu kalau Tiara berbohong.“Udah sehari semalem Alma gak pulang.”“Loh, dia ‘kan tinggal dirumah orang tuanya.”“Iya. Dia gak ada disana.”“Hah?”“Kamu gak tahu?”
Pov AdamAdam masih menutup matanya ketika tiba-tiba saja ia menginginkan lebih. Setelah Tiara memasukkan pusaka miliknya ke dalam inti diri Tiara, ia berjanji akan mengambil alih permainan. Ia tidak suka dikungkung dibawah menuruti irama yang dibuat lawan mainnya.“Kamu siap, sayang?” tanya Tiara dengan suara yang sengaja dibuat se-sexy mungkin.Adam tak menjawab. Tiara hanya mendengar suara hembusan nafasnya yang terasa wangi dan semakin membangkitkan gairahnya. Tiara yang merasakan nafsunya sudah sampai ubun-ubun, tetap mencengkram pusaka Adam dan memajukkan badannya untuk bisa mencium bibir mantan kekasihnya itu. Mumpung Adam menutup matanya, ia tahu semua akan berjalan lancar. Tapi ternyata Adam menghindari ciumannya.Tiara bergeming. Tiba-tiba nafsunya yang sudah memuncak turun drastis. Ia melepaskan pusaka Adam dari dalam genggamannya. Ia juga turun dari atas tubuh Adam.“Ra?” Adam membuka mata ketika sadar Tiara me
Adam povMobil Adam sudah menyusuri setengah jalan menuju Cibodas. Langit sudah pekat menunjukkan bintang yang malu-malu menunjukkan dirinya. Ia melirik Tiara yang sedang sibuk mengurus pekerjaannya.“Padahal kamu gak perlu ikut kalo sibuk, Ra.”“Emang kamu tahu alamat vila keluarga kita?”“Kamu ‘kan bisa kasih alamatnya.”Tiara melirik Adam, “Aku bakal temenin kamu sampe Alma ketemu.”Adam tersenyum, “Makasih ya, Ra.”“Iya.” Tiara menutup tabletnya lalu menatap Adam, “Sekali lagi maaf ya, Dam, soal tadi. Aku malu banget minta itu sama kamu.”Adam tertawa, “Santai aja.”“Jujur, kalo tadi aku lanjutin, kamu bakal seneng gak?”Adam lanjut tertawa.“Dam?”“Sebenernya tadi aku berniat mimpin permainan.”Kini Tiara yang tertawa, “Dasar ya duda genit. Pantes Alma bilang wajar kamu ngelakuin itu sama Sezan. Dia bilang kalo Naga kamu udah bangun, udah kelar semuanya."
Alma terus menangis dalam mobil disamping Mario. Ia tidak tahu kemana mantan pacar laknatnya ini akan membawanya pergi.“Sayang, kamu bisa berhenti nangis?” tanya Mario tanpa menoleh. Ia sibuk menyetir dan melihat jalanan tanpa lampu.Alma memalingkan wajahnya ke arah jendela mobil. Tangannya terus mengelus perut besarnya. Ia selalu berdoa setiap detik untuk meminta kekuatan pada anaknya untuk bertahan di dalam rahimnya sampai waktunya melahirkan tiba.Setelah makan di resto Jepang kemarin lusa, saat kepalanya tiba-tiba pusing, tahu-tahu ia bangun berada di tempat asing. Ia tidur di sebuah kasur empuk ukuran King size dengan panorama indah di pagi hari. Terakhir ia tahu ia berada di Cibodas, Bogor.“Sekarang kita mau kemana, Rio?” Alma melirik Mario berharap ia bisa memberitahunya kemana ia pergi.“Kamu gak perlu tahu.”“Rio, aku gak akan bilang siapa-siapa. Hape aku ‘kan udah kamu hancurin.”Mario melirik Alma, ia membelai rambut panjangnya, “Ke tempat dimana Adam dan Tiara ga
Satu bulan kemudian...Alma merapikan kemeja Adam yang diberikan Virza sebagai bagian dari groomsmen. Adam terlihat sangat tampan karena aura wajah bahagianya keluar. Akhirnya, sahabat dunia akhiratnya, Virza mengakhiri masa lajangnya hari ini dengan satu perempuan yang amat ia sayangi.“Udah rapi, mas.”Adam mengangguk, “Sayang, nanti kita join honey moon sama Virza dan kakak, ya?”Alma menggebung dada bidang Adam, “Mas, aku belum pasang kb loh. Kalo kebablasan gimana? Ngurus Arick aja aku masih bingung.”Adam tertawa, “Sayang, ‘kan aku udah bilang biar aku aja yang pasang kb. Ada banyak pilihan ‘kan buat laki-laki?"“Mas, emang gak papa?”“Ya gak papa lah, yang apa-apa itu kalo kamu pasang tapi malah gak cocok. Perempuan itu udah banyak mengorbankan diri. Menstruasi, hamil, melahirkan, semuanya mengendalikan hormon ‘kan? Masa masalah kb yang bisa aku gantiin harus kamu yang ngerasain juga?”Alma mengangguk, “Ya udah, terserah kamu.”“Aku udah konsul kok seminggu kemarin sam
Alma menggedor pintu rumah Arden dengan kencang. Adam yang berdiri dibelakangnya hanya diam saja karena tidak tahu sesakit apa perasaan istrinya begitu mendengar ucapan pak Bowo tadi dirumahnya mengenai Arden yang akan menikah tanpa memberi tahunya.Ceklek.“Alma, Adam?” Arden menatap Alma dan Adam datar.Alma mendorong tubuh Arden agar bisa masuk ke dalam rumahnya. Ia berjalan cepat mencari seseorang yang mungkin sengaja sembunyi begitu tahu ia datang.“Audy! Audy!”Audy yang sedang bermain salon-salonan dengan Belle di ruang tivi terperanjat kaget melihat kedatangan dan suara menggelegar Alma, “Alma?”“Apa?’Audy beringsut berdiri sejajar dengan Belle yang seolah sama kagetnya melihat Alma.“Mami?”Alma melirik ke arah Belle yang belepotan dengan lipstik mainannya. Rambutnya yang sudah keriting tertempel roll rambut seperti ibu kost yang membuatnya tidak kuat untuk pura-pura marah.“Hahahaha.”Audy dan Belle, serta Adam dan Arden yang baru sampai dengan suster Tiwi yang m
“Kamu habis besuk Mario?”Alma mengangguk.“Ayo duduk sebentar, ada yang mau om sampaikan sama kamu dan suami. Mari Adam.”Adam memberikan Arick pada suster Tiwi, “Sus, tunggu di mobil aja, kasian Arick kepanasan. Ini kunci mobilnya.”“Baik, pak, permisi, kak, pak.”Semua mengangguk.Adam menggandeng Alma untuk duduk diruang tunggu yang sedang kosong di lobi ruangan polres.“Gimana kabar kamu?” tanya om Indra setelah mereka bertiga duduk.“Baik, om. Aku... dibantu pemulihan dengan obat dari psikiater sih.”Om Indra membetulkan kaca matanya, “Kamu hebat karena sudah bertahan di situasi sulit itu.”“Iya, om.”“Oyah, persidangan Mario akan digelar minggu depan. Kamu gak perlu ikut kalo gak sanggup memberikan kesaksian. Ibu Ratih aja cukup.”Alma melirik Adam.Adam menggenggam tangan Alma, “Om Indra bener, kalo kamu gak sanggup, kamu gak perlu maksain diri.
Adam membukakan pintu mobil untuk Alma yang tengah menggendong Arick. Begitu sampai di depan polres yang memenjarakan Mario sementara karena ulahnya, Arick terus menangis. “Mas, apa aku gak perlu ikut masuk ya?” Adam diam sejenak lalu menatap suster Tiwi yang berdiri dekat mereka, “Arick biar sama suster Tiwi aja. Nanti kalo Arick udah tenang boleh dibawa ke dalem, takutnya Mario pengen liat.” Alma mengangguk. Ia memberikan Arick pada suster Tiwi, “Sus, kita masuk dulu ya.” “Iya, kak Alma, silakan.” Alma menggandeng lengan Adam dan berjalan pelan ke dalam pelataran polres. Alma merasa bulu kuduknya berdiri ketika masuk. Ini pertama kalinya ia datang kesini, dan semoga untuk terakhir kalinya. Karena tidak terbayang bagaimana mentalnya yang belum stabil jika harus kembali datang kesini. “Selamat siang, pak, ada yang bisa kami bantu?” tanya seorang personil polisi yang menjaga di meja depan. “Pagi. Saya ingin bertemu dengan pelaku penculikkan dan penganiaya istri saya, namanya Mar
Pov AudyAudy berjalan pelan ketika tangannya sibuk membawa banyak paper bag pesanan Alma. Temannya yang satu itu memang senang membuatnya kewalahan. Alma memintanya membelikan banyak makanan dan pernah-pernik untuk dipakainya diruang rawat inap karena belum bisa pulang hari ini, karena kondisinya yang harus dalam bawah pengawasan dokter.“Emang bener-bener si Alma. Awas aja kalo gue nanti lahiran, gue bakal lebih ngerepotin elo!”Seseorang tertawa dibelakangnya, membuat Audy membalikkan badan. Ia berhenti dan menatap orang itu, “Ini mas Adam atau dokter Arden?”“Menurut kamu?”Audy membuang nafas pelan, “Dokter Arden.”Arden memegang dua bahu Audy dan menyeretnya ke pinggir agar tidak menghalangi mobilitas lorong menuju ruang perawatan, “Mau kemana?”“Mau kasih pesenan tuan puteri.”Arden menatap banyak paper bag yang Audy bawa, “Jangan sekarang.”“Kenapa?”“Adam lagi dinas.”“Aku perlunya sama Alma, bukan sama mas Adam.”“Kan saya bilang Adam lagi dinas.” tutur Arden pen
Alma dan Adam saling lirik. Mereka menatap Sezan yang tersenyum manis seperti biasa seolah tidak terjadi apa-apa belakangan ini. “Sezan?” mama yang sedang memangku Arick melirik Sezan tidak suka. Mama takut kehadiran Sezan membuat Alma yang belum sembuh benar bisa stress. “Tante, aku boleh masuk?” Mama melirik Alma, Alma malah melirik Adam. Ia tidak tahu harus bagaimana. Tampak Virza melongokkan kepalanya dibelakang tubuh Sezan, ia mengangguk meminta Alma dan Adam mengizinkan Sezan masuk. “Boleh, sini masuk, Zan.” pinta Alma. Sezan masuk, ia melewati papa yang masih berdiri kaget di dekat pintu. Ia langsung menghampiri Alma yang tengah duduk diranjang, “Aku turut seneng sama kelahiran bayi kamu. Selamat ya, Ma.” Alma mengangguk. Kedatangan Sezan kesini baik-baik, maka ia harus tetap bersikap baik padanya. Kecuali kalau Sezan mulai membuat kegaduhan, ia tak segan mengusirnya dengan kasar. Virza yang seda
Alma kembali ke kamar setelah selesai berbincang dengan Arden. Begitu kembali ia tidak menemukan mama-papa, ibu, Audy dan suster Ruth. Mungkin mereka pergi untuk makan siang. Ia hanya melihat Adam yang sedang menciumi wajah Adam junior dan menyanyikan lagu improvisasi buatannya sendiri.“Anak papa oh anak papa, kamu kuat dan begitu tampan.”Alma tertawa.Adam melirik ke arah pintu, dimana Alma berdiri memegangi besi infusan, “Kamu kapan dateng?”Alma berjalan mengampiri Adam, “Ternyata bener, cowok kalo lagi fokus istrinya dateng aja dia gak sadar.”Adam tersenyum. Ia mencium kening Alma, “Kamu udah ketemu kakak?”Alma mengangguk, “Aku seneng mas, akhirnya sekarang aku punya kakak ipar.”“Dia juga pasti seneng bisa punya adik ipar, masih muda begini lagi. Dia bisa jailin kamu sepuasnya.”Alma duduk di ranjang, “Mas, soal Belle—"“Sayang...”“Kembaliin Belle sama kak Arden bukan karena
Alma ditinggalkan berdua bersama Arden di taman rumah sakit. Audy dan suster Ruth beralasan pergi untuk menemani Adam junior. Padahal anak tampan itu sedang jadi rebutan antara mama dan ibu.“Cuacanya lagi bagus banget ya.” tutur Arden sebagai pembuka pembicaraan mereka.Alma mengangguk, “Iya, kak.”Arden melirik Alma, “Alma, saya minta maaf untuk semuanya.”Alma menoleh. Ia hanya mengangguk.“Seandainya dari awal saya gak pergi begitu Belle dilahirkan, semuanya gak akan terjadi seperti ini.”“Takdir. Semuanya harus terjadi gini, kak.”Arden tersenyum, “Saya janji akan membereskan semua masalah yang saya buat dalam rumah tangga kalian.”“Misalnya?”“Belle. Saya akan ambil Belle biar kalian fokus membesarkan anak kalian sendiri. Saya tahu Adam berencana untuk punya banyak anak.”Alma membuang nafas pelan.“Kenapa?”Alma tertawa kecil, “Aku rasa mas Adam gak berniat
Alma melendot manja di lengan kekar Adam yang sedang menggendong anak tunggal mereka, “Mas, aku kangen.”Adam tersenyum, “Ini kangen yang mana nih maksudnya?”Alma tertawa, “Aku emang lahiran caesar, tapi... kamu tetep jangan nakal.”“Aku pikir kamu mau nambah adeknya Adam junior cepet-cepet.”“Adam junior?”Adam mengangguk, “Anak ini ‘kan anak aku.”Alma duduk tegap dan menatap Adam serius, “Kamu... udah buka hasil DNA nya?”Adam menaruh Adam junior di box bayi. Ia mengubah posisi duduknya menatap Alma. Dengan lembut ia membelai lembut pipi istrinya. Ia juga sempat mengusap pelan ujung bibir Alma yang semalam berdarah.“Udah. Dan anak ini anak aku.”“Kamu... serius, mas?”Adam mengangguk.Alma menangis. Ia memeluk Adam sangat erat, “Aku tahu ini anak kamu.”“Terus kenapa kamu tetep kaget?”“Aku cuma.... takut selama ini denial kalo ini anak Mario.”Adam tertawa, “Kenapa kamu gak bilang udah lakuin tes DNA sebelum kita kontrol terakhir? Hm?”“Aku cuma takut sama hasilny