Pov Adam
Adam masih menutup matanya ketika tiba-tiba saja ia menginginkan lebih. Setelah Tiara memasukkan pusaka miliknya ke dalam inti diri Tiara, ia berjanji akan mengambil alih permainan. Ia tidak suka dikungkung dibawah menuruti irama yang dibuat lawan mainnya. “Kamu siap, sayang?” tanya Tiara dengan suara yang sengaja dibuat se-sexy mungkin. Adam tak menjawab. Tiara hanya mendengar suara hembusan nafasnya yang terasa wangi dan semakin membangkitkan gairahnya. Tiara yang merasakan nafsunya sudah sampai ubun-ubun, tetap mencengkram pusaka Adam dan memajukkan badannya untuk bisa mencium bibir mantan kekasihnya itu. Mumpung Adam menutup matanya, ia tahu semua akan berjalan lancar. Tapi ternyata Adam menghindari ciumannya. Tiara bergeming. Tiba-tiba nafsunya yang sudah memuncak turun drastis. Ia melepaskan pusaka Adam dari dalam genggamannya. Ia juga turun dari atas tubuh Adam. “Ra?” Adam membuka mata ketika sadar Tiara meAdam povMobil Adam sudah menyusuri setengah jalan menuju Cibodas. Langit sudah pekat menunjukkan bintang yang malu-malu menunjukkan dirinya. Ia melirik Tiara yang sedang sibuk mengurus pekerjaannya.“Padahal kamu gak perlu ikut kalo sibuk, Ra.”“Emang kamu tahu alamat vila keluarga kita?”“Kamu ‘kan bisa kasih alamatnya.”Tiara melirik Adam, “Aku bakal temenin kamu sampe Alma ketemu.”Adam tersenyum, “Makasih ya, Ra.”“Iya.” Tiara menutup tabletnya lalu menatap Adam, “Sekali lagi maaf ya, Dam, soal tadi. Aku malu banget minta itu sama kamu.”Adam tertawa, “Santai aja.”“Jujur, kalo tadi aku lanjutin, kamu bakal seneng gak?”Adam lanjut tertawa.“Dam?”“Sebenernya tadi aku berniat mimpin permainan.”Kini Tiara yang tertawa, “Dasar ya duda genit. Pantes Alma bilang wajar kamu ngelakuin itu sama Sezan. Dia bilang kalo Naga kamu udah bangun, udah kelar semuanya."
Alma terus menangis dalam mobil disamping Mario. Ia tidak tahu kemana mantan pacar laknatnya ini akan membawanya pergi.“Sayang, kamu bisa berhenti nangis?” tanya Mario tanpa menoleh. Ia sibuk menyetir dan melihat jalanan tanpa lampu.Alma memalingkan wajahnya ke arah jendela mobil. Tangannya terus mengelus perut besarnya. Ia selalu berdoa setiap detik untuk meminta kekuatan pada anaknya untuk bertahan di dalam rahimnya sampai waktunya melahirkan tiba.Setelah makan di resto Jepang kemarin lusa, saat kepalanya tiba-tiba pusing, tahu-tahu ia bangun berada di tempat asing. Ia tidur di sebuah kasur empuk ukuran King size dengan panorama indah di pagi hari. Terakhir ia tahu ia berada di Cibodas, Bogor.“Sekarang kita mau kemana, Rio?” Alma melirik Mario berharap ia bisa memberitahunya kemana ia pergi.“Kamu gak perlu tahu.”“Rio, aku gak akan bilang siapa-siapa. Hape aku ‘kan udah kamu hancurin.”Mario melirik Alma, ia membelai rambut panjangnya, “Ke tempat dimana Adam dan Tiara ga
Alma pikir Mario akan mengantarkannya pulang. Ternyata ia masih bersikeras mengurungnya disini. Alma tentu suka rumah ini. Rumah modern dengan gaya Scandinavian yang hangat. Tapi tidak dengan kondisi seperti ini. Terkurung bersama Mario dan jauh dari orang-orang yang ia sayangi.“Permisi, non, ini makan siangnya.” asisten rumah tangga yang disewa Mario benar-benar baik pada Alma. Sedari pagi ia dimanjakan dengan berbagai macam masakan yang enak. “Makasih, bu.”“Sama-sama. Ibu tinggal dulu ya?” asisten rumah tangga itu mundur lalu berlalu pergi.“Bu,” Alma menahannya.“Iya? Ada yang bisa saya bantu?”“Ibu temenin aku makan ya.”Asisten rumah tangga itu diam sejenak, “Baik, non.”Alma membuka kursi tertutup disebelahnya, “Duduk, bu.”“Makasih, non.”Alma melirik ibu setengah baya seusia mama itu, “Panggil Alma aja.”“Hehehe, gak berani saya.”Alma mengambil sendok u
“Non masuk. Ada den Mario.” pinta bu Ratih pada Alma yang sudah siap-siap bersembunyi di kamar mandi dapur.“Alma, aku pulang.”Bu Ratih pura-pura sibuk di dapur, membersihkan meja yang sebenarnya sudah rapi, “Sudah pulang, den?"Mario menghampiri bu Ratih, “Bu, Alma mana?”“Anu, den, non Alma ada di kamar mandi.”“Di atas?”“Disini.” bu Ratih menunjuk letak kamar mandi dapur.Mario berjalan menghampiri pintu, “Sayang?”“Den,” bu Ratih menghampiri Mario, “Non Alma...”“Kenapa?”“Non Alma tadi keluar flek katanya.” “Flek?”Bu Ratih mengangguk.“Kok bisa?”“Semenjak aden pergi non Alma nangis terus, den. Tadi ada dokter Putri yang periksa, non Alma tetep nangis.”Mario mengusap wajahnya, “Terus dokter Putri bilang apa?”“Katanya non Alma jangan sampe stress, kalo terus stress bisa keluar flek bahkan pendarahan..”“Emang Alma stress kenapa?”“Ibu gak tahu, den, non Alma gak cerita.”Mario mengetuk pintu kamar mandi, “Kamu istirahat aja, sayang, jangan lupa minum vita
Pov AdamPenampilan Adam sudah sangat berantakan. Ia tetap bekerja dalam keadaan tidak tahu kabar Alma. Ia makan, mandi seperti biasa, tapi terasa hampa. Virza berkali-kali mengatakan padanya untuk mengambil cuti, tapi tidak bisa karena banyak sekali pasien yang membutuhkannya untuk di operasi.Ibu sudah datang dari Bali. Ibu yang tahu Alma tidak ada sangat khawatir. Ibu tidak bisa melakukan banyak hal, apalagi mengatakan itu pada mama dan papa, karena takut kondisi jantung besanannya memburuk.“Dam, apa gak sebaiknya kamu lapor polisi?” tanya ibu saat mereka sama-sama duduk di meja makan.Adam melirik ibu, “Apa gak terlalu beresiko buat Alma, bu?”Ibu membuang nafasnya, “Kamu bener juga. Kita gak pernah tahu Mario itu senekat apa. Dengan dia bawa istri orang lagi hamil besar aja udah menakutkan.”Adam menunduk.“Kamu kenapa sih gak cerita ke ibu kalo masalah Alma sama Mario serumit ini?”“Aku cuma gak mau ibu
Adam povAdam duduk dengan tidak tenang di sebuah kafe yang ia sepakati bersama untuk bertemu Arden. Setelah sekian lama akhirnya ia bisa berkomunikasi dengan kakaknya melalui nomor baru Arden yang ia dapatkan dari rekan kerjanya, dokter Sena.“Dam?”Adam menoleh, “Kak?”Arden duduk di hadapan Adam, “Maaf telat. Tadi ada operasi dadakan.”Adam mengangguk, “Gak papa. Mau pesen apa?”Arden mengangkat tangannya memanggil pramusaji, “Saya pesan kopi hitam dan kue... Anything. Black forest, red velvet, atau miles crepes.”Pramusaji mencatat pesanan Arden menggunakan tablet, “Ada pesanan lain, pak?”“Cukup.”“Baik, ditunggu.” pramusaji itu mengangguk sopan lalu pergi.Arden menatap Adam, “Lo... agak berantakan.”Adam menatap Arden lalu tersenyum kecil.“Gimana kerjaan? Aman?”Adam mengangguk.“Gue denger pasien VIP lo banyak. Cepet kayak dong.”
Arden berdiri dan mendorong kursinya ke belakang, “Masih ada waktu buat gue mikir untuk bantuin lo. Gue pergi.”“Kak, lo mau kemana?”Arden tak menjawab, ia berjalan cepat sambil mengangkat telpon itu.Adam memegangi kepalanya yang terasa mau pecah. Ia tidak tahu lagi harus meminta bantuan pada siapa untuk bisa menyelamatkan Alma.Ditempat lain Alma menahan sakit yang menjalari perutnya. Ia terus mengecek apakah keluar flek atau bahkan pendarahan sangking sakit yang ia rasakan. Sedari pagi ia belum makan karena boro-boro bernafsu, rasanya ia ingin mati saja daripada menahan semua ini.“Non, ibu harus ngapain biar gak sakit lagi?” bu Ratih menatap Alma tak tega di ranjang.“Dokter Putri belum dateng juga, bu?”“Belum, non. Duh, den Mario juga malah pergi, padahal ‘kan den Mario bisa bawa non ke klinik deket sini.”“Bu aku udah gak kuat, kita ke klinik aja. Aku gak mau terjadi apa-apa sama anak aku untuk k
Mario menyimpan long dress satin berwarna merah maroon di tepian ranjang ketika Alma hanya duduk dengan ekspresi datar.“Pake bajunya. Ada tamu yang mau ketemu sama kamu.”“Gak mau."“Sayang, jangan pancing emosi aku."Alma melirik Mario sekilas sebelum lelaki itu keluar dari kamar.“Aku pesenin dress itu khusus dari Tiara. Kalo kamu pake malem ini pasti cantik banget. Aku juga udah beliin satu set make up buat kamu. Aku udah taro di meja rias.”Alma melihat keberadaan koper kecil di meja rias.“Bersiap, sebentar lagi tamunya dateng.”Alma mengkerutkan keningnya, tamu siapa? Apakah kejutan Mario kali ini ia sukai atau tidak? Ia bergerak mengambil dress itu dan menyentuhnya dengan lembut.“Ini dari Tiara? Tiara tahu aku dikurung disini sama Rio? Kenapa dia gak bantuin aku sama sekali? Apa Rio bener, kalo Tiara lagi mamanfaatkan kesempatan buat bisa rebut mas Adam?”Alma membuang nafas