Mario menyimpan long dress satin berwarna merah maroon di tepian ranjang ketika Alma hanya duduk dengan ekspresi datar.
“Pake bajunya. Ada tamu yang mau ketemu sama kamu.” “Gak mau." “Sayang, jangan pancing emosi aku." Alma melirik Mario sekilas sebelum lelaki itu keluar dari kamar. “Aku pesenin dress itu khusus dari Tiara. Kalo kamu pake malem ini pasti cantik banget. Aku juga udah beliin satu set make up buat kamu. Aku udah taro di meja rias.” Alma melihat keberadaan koper kecil di meja rias. “Bersiap, sebentar lagi tamunya dateng.” Alma mengkerutkan keningnya, tamu siapa? Apakah kejutan Mario kali ini ia sukai atau tidak? Ia bergerak mengambil dress itu dan menyentuhnya dengan lembut. “Ini dari Tiara? Tiara tahu aku dikurung disini sama Rio? Kenapa dia gak bantuin aku sama sekali? Apa Rio bener, kalo Tiara lagi mamanfaatkan kesempatan buat bisa rebut mas Adam?” Alma membuang nafasAlma dan Arden duduk berhadapan dengan suguhan yang sudah ibu Ratih siapkan. Mario sengaja meninggalkan mereka agar bisa memberikan ruang dan waktu bagi adik dan kakak ipar yang selama ini hanya bertemu sebentar-sebentar.“Apa kabar?” tanya Arden lagi. Pertanyaannya yang pertama tak mendapat jawaban.“Buruk.” jawab Alma singkat.Jawaban itu sama dengan jawaban Adam ketika Arden bertabrakan dengan Adam dipintu utama rumah sakit Sehat Keluarga.Alma tak bicara apa-apa, ia juga tak bertanya apapun yang bisa ia tanyakan karena sibuk berpikir apa yang akan dilakukan Arden dan Mario padanya. Ia hanya menunggu dan akan bicara setelah tahu masalahnya.“Adam kabarnya juga sama, buruk.”“Aku tahu.”Arden menautkan kedua alisnya, “Tahu dari mana?”“Aku tahu mas Adam bakal hancur perlahan kalau aku jauh dari dia.”Arden sedikit kaget mendengar jawaban Alma. Kehancuran adalah satu-satunya yang Adam tampilka
“Ayo masuk!” Mario menarik lengan Alma. Ia melirik Arden, “Pulang lo! Dasar bajingan!”Arden berdiri mendorong kursi, “Apa? Lo panggil gue bajingan? Hahaha, terus lo apa?”Mario mendorong Arden dan menyeret Alma untuk masuk ke dalam rumah. Arden berusaha mengejar mereka tapi tak sempat karena Mario langsung mengunci pintunya dari dalam.“Bu Ratih kunci semua pintu sekarang!” teriaknya membuat Alma dan bu Ratih sama-sama takut.“I-iya, den.”Mario menyeret Alma lebih cepat ke kamarnya. Ia mendorong Alma ke kasur dan membuka kemejanya.“Rio, kamu mau apa?”“Kenapa? Sekarang lo udah tahu ‘kan fakta sebenarnya soal si Adam gimana? Lo juga udah tahu gue aslinya gimana?”Alma menggeleng, “Itu gak akan bikin aku gak jadi nikah sama kamu nanti, Rio.”“Halah, bulshit. Si Arden aja yang udah gue bayar satu milyar buat cuci otak lo agar benci sama si Adam dan balik mencintai gue bisa berhianat, apalagi l
Mario kalut sekali begitu sadar Alma pingsan. DOR-DOR-DOR“Mario! Jangan gila lo ya! Buka pintunya!” Arden masih berusaha menggedor semua pintu dan jendela berharap Mario mau membuka pintunya meski kemungkinannya sangat kecil.Mario membawa ponselnya dan membuka internet. Ia mencari keyword cara membangunkan orang pingsan. Disana ada perintah untuk mencoba membangunkannya dengan cara menggoyangkan tubuh, memanggil dengan suara keras, memberi rangsangan di kulit dengan menepuk pipi dan mencubit dan sebagainya.“Oke, kita lakuin.” Mario mulai membangunkan Alma dengan menggoyangkan tubuhnya, tak berhasil. Ia juga mencoba memanggilnya dengan suara keras, tak berhasil, ia juga menepuk pipi dan mencubitnya juga tak berhasil.“Argh, kenapa gak berhasil.”Bu Ratih yang merasa sakit di kepalanya yang berdarah agak baikkan keluar dari kamar untuk menghampiri Alma, “Non?”Mario tak menyadari kehadiran bu Ratih, ia t
“Pasien harus segera memasuki ruang operasi, dok.” suster yang baru saja bicara dengan Adam meminta bantuan beberapa dokter untuk membawa Alam segera ke ruang operasi.Kepala Adam tiba-tiba pusing. Ia tiba-tiba mengingat Dara yang mengalami kasus yang sama. Bedanya dulu Dara di diagnosa Preeklampsia. Untuk Alma, semoga ia baik-baik saja dan tidak mengalami komplikasi kehamilan. Dengan cepat ia berlari mengejar dan membantu mendorong ranjang Alma.Suster tadi menerima telpon sambil terus mendorong ranjang, “Halo, dok? Pasien perdarahan dalam perjalanan menuju ruang operasi. Apa? Dokter Steffany harus melakukan operasi ekstra satu jam?” ia melirik Alma dan Adam silih berganti, “Tapi dok, tidak ada dokter obgyn lain yang tersedia. Baik.”Arden yang baru akan kembali ke UGD mengikuti kemana Alma pergi. Ia berhenti di depan ruang operasi bersama Adam dan bu Ratih. Ia melirik Adam, “Dokter obgyn gak ada yang ready?”Adam menatap pintu ruang operasi yang tertutup dengan nanar, “Pasti ad
Pov Adam Adam mengecek labu infusan dan labu transfusi yang tergantung di ruang ICU. Ia mengusap kepala Alma lembut. Matanya merah menahan tangis. Ia harus kuat agar Alma mau segera bangun dan berkumpul lagi bersama orang terkasihnya. “Permisi, dok.” seorang suster menunggu Adam di luar ruang ICU. Adam menghampiri suster itu, “Kenapa, sus?” Suster itu menyerahkan amplop putih pada Adam, “Tadi sebelum mendapat suntikan bius Spinal, mbak Alma minta tolong pada saya untuk mengambilkan hasil tes DNA bayi yang semula di kandungnya.” Adam menerima amplop itu. “Mbak Alma melakukan tes DNA janin sebelum kontrol terakhir. Ketika teman laki-lakinya ikut masuk. Mbak Alma bilang pada dokter Dini untuk menyimpan hasilnya sampai waktu melahirkan tiba. Saya sudah memberi kabar pada dokter Dini. Katanya suratnya bisa langsung diberikan pada dokter.” Adam menatap logo rumah sakit yang ada di depan amplop. “Kalau begitu s
Virza menangis haru setelah mendengar hasil tes DNA. Adam yang melihat itu tertawa meledeknya.“Za, anak itu anak gue, bukan anak lo. Kenapa lo yang nangis sih?”Virza menyeka air matanya cepat-cepat dibantu suster Ruth, “Gue pikir lo bakal ngebesarin anak si Mario Bross, Dam. Ternyata itu anak lo sendiri. Gue terharu.”Adam tersenyum, “Sebenernya meskipun itu anak Mario gak masalah sama sekali sih.”Arden tertawa.“Kenapa lo ketawa? Dasar penjahat ulung.” sindir Virza.“Kalo anak itu ternyata anak Mario, lo jatuhnya buka panti sosial, Dam. Sampe kapan lo mau ngurusin anak orang terus?”Semua orang mengernyit kebingungan kecuali Adam yang malah tersenyum.“Maksud kamu apa, kak?” tanya ibu penasaran.“Bu, semuanya, sebenernya... Belle itu bukan anak Adam.”“HAH?” semua kompak menganga dan melotot tak percaya.“Jangan bercanda lo!” hardik Virza.“Lo tanya aja sama sa
Alma melendot manja di lengan kekar Adam yang sedang menggendong anak tunggal mereka, “Mas, aku kangen.”Adam tersenyum, “Ini kangen yang mana nih maksudnya?”Alma tertawa, “Aku emang lahiran caesar, tapi... kamu tetep jangan nakal.”“Aku pikir kamu mau nambah adeknya Adam junior cepet-cepet.”“Adam junior?”Adam mengangguk, “Anak ini ‘kan anak aku.”Alma duduk tegap dan menatap Adam serius, “Kamu... udah buka hasil DNA nya?”Adam menaruh Adam junior di box bayi. Ia mengubah posisi duduknya menatap Alma. Dengan lembut ia membelai lembut pipi istrinya. Ia juga sempat mengusap pelan ujung bibir Alma yang semalam berdarah.“Udah. Dan anak ini anak aku.”“Kamu... serius, mas?”Adam mengangguk.Alma menangis. Ia memeluk Adam sangat erat, “Aku tahu ini anak kamu.”“Terus kenapa kamu tetep kaget?”“Aku cuma.... takut selama ini denial kalo ini anak Mario.”Adam tertawa, “Kenapa kamu gak bilang udah lakuin tes DNA sebelum kita kontrol terakhir? Hm?”“Aku cuma takut sama hasilny
Alma ditinggalkan berdua bersama Arden di taman rumah sakit. Audy dan suster Ruth beralasan pergi untuk menemani Adam junior. Padahal anak tampan itu sedang jadi rebutan antara mama dan ibu.“Cuacanya lagi bagus banget ya.” tutur Arden sebagai pembuka pembicaraan mereka.Alma mengangguk, “Iya, kak.”Arden melirik Alma, “Alma, saya minta maaf untuk semuanya.”Alma menoleh. Ia hanya mengangguk.“Seandainya dari awal saya gak pergi begitu Belle dilahirkan, semuanya gak akan terjadi seperti ini.”“Takdir. Semuanya harus terjadi gini, kak.”Arden tersenyum, “Saya janji akan membereskan semua masalah yang saya buat dalam rumah tangga kalian.”“Misalnya?”“Belle. Saya akan ambil Belle biar kalian fokus membesarkan anak kalian sendiri. Saya tahu Adam berencana untuk punya banyak anak.”Alma membuang nafas pelan.“Kenapa?”Alma tertawa kecil, “Aku rasa mas Adam gak berniat
Satu bulan kemudian...Alma merapikan kemeja Adam yang diberikan Virza sebagai bagian dari groomsmen. Adam terlihat sangat tampan karena aura wajah bahagianya keluar. Akhirnya, sahabat dunia akhiratnya, Virza mengakhiri masa lajangnya hari ini dengan satu perempuan yang amat ia sayangi.“Udah rapi, mas.”Adam mengangguk, “Sayang, nanti kita join honey moon sama Virza dan kakak, ya?”Alma menggebung dada bidang Adam, “Mas, aku belum pasang kb loh. Kalo kebablasan gimana? Ngurus Arick aja aku masih bingung.”Adam tertawa, “Sayang, ‘kan aku udah bilang biar aku aja yang pasang kb. Ada banyak pilihan ‘kan buat laki-laki?"“Mas, emang gak papa?”“Ya gak papa lah, yang apa-apa itu kalo kamu pasang tapi malah gak cocok. Perempuan itu udah banyak mengorbankan diri. Menstruasi, hamil, melahirkan, semuanya mengendalikan hormon ‘kan? Masa masalah kb yang bisa aku gantiin harus kamu yang ngerasain juga?”Alma mengangguk, “Ya udah, terserah kamu.”“Aku udah konsul kok seminggu kemarin sam
Alma menggedor pintu rumah Arden dengan kencang. Adam yang berdiri dibelakangnya hanya diam saja karena tidak tahu sesakit apa perasaan istrinya begitu mendengar ucapan pak Bowo tadi dirumahnya mengenai Arden yang akan menikah tanpa memberi tahunya.Ceklek.“Alma, Adam?” Arden menatap Alma dan Adam datar.Alma mendorong tubuh Arden agar bisa masuk ke dalam rumahnya. Ia berjalan cepat mencari seseorang yang mungkin sengaja sembunyi begitu tahu ia datang.“Audy! Audy!”Audy yang sedang bermain salon-salonan dengan Belle di ruang tivi terperanjat kaget melihat kedatangan dan suara menggelegar Alma, “Alma?”“Apa?’Audy beringsut berdiri sejajar dengan Belle yang seolah sama kagetnya melihat Alma.“Mami?”Alma melirik ke arah Belle yang belepotan dengan lipstik mainannya. Rambutnya yang sudah keriting tertempel roll rambut seperti ibu kost yang membuatnya tidak kuat untuk pura-pura marah.“Hahahaha.”Audy dan Belle, serta Adam dan Arden yang baru sampai dengan suster Tiwi yang m
“Kamu habis besuk Mario?”Alma mengangguk.“Ayo duduk sebentar, ada yang mau om sampaikan sama kamu dan suami. Mari Adam.”Adam memberikan Arick pada suster Tiwi, “Sus, tunggu di mobil aja, kasian Arick kepanasan. Ini kunci mobilnya.”“Baik, pak, permisi, kak, pak.”Semua mengangguk.Adam menggandeng Alma untuk duduk diruang tunggu yang sedang kosong di lobi ruangan polres.“Gimana kabar kamu?” tanya om Indra setelah mereka bertiga duduk.“Baik, om. Aku... dibantu pemulihan dengan obat dari psikiater sih.”Om Indra membetulkan kaca matanya, “Kamu hebat karena sudah bertahan di situasi sulit itu.”“Iya, om.”“Oyah, persidangan Mario akan digelar minggu depan. Kamu gak perlu ikut kalo gak sanggup memberikan kesaksian. Ibu Ratih aja cukup.”Alma melirik Adam.Adam menggenggam tangan Alma, “Om Indra bener, kalo kamu gak sanggup, kamu gak perlu maksain diri.
Adam membukakan pintu mobil untuk Alma yang tengah menggendong Arick. Begitu sampai di depan polres yang memenjarakan Mario sementara karena ulahnya, Arick terus menangis. “Mas, apa aku gak perlu ikut masuk ya?” Adam diam sejenak lalu menatap suster Tiwi yang berdiri dekat mereka, “Arick biar sama suster Tiwi aja. Nanti kalo Arick udah tenang boleh dibawa ke dalem, takutnya Mario pengen liat.” Alma mengangguk. Ia memberikan Arick pada suster Tiwi, “Sus, kita masuk dulu ya.” “Iya, kak Alma, silakan.” Alma menggandeng lengan Adam dan berjalan pelan ke dalam pelataran polres. Alma merasa bulu kuduknya berdiri ketika masuk. Ini pertama kalinya ia datang kesini, dan semoga untuk terakhir kalinya. Karena tidak terbayang bagaimana mentalnya yang belum stabil jika harus kembali datang kesini. “Selamat siang, pak, ada yang bisa kami bantu?” tanya seorang personil polisi yang menjaga di meja depan. “Pagi. Saya ingin bertemu dengan pelaku penculikkan dan penganiaya istri saya, namanya Mar
Pov AudyAudy berjalan pelan ketika tangannya sibuk membawa banyak paper bag pesanan Alma. Temannya yang satu itu memang senang membuatnya kewalahan. Alma memintanya membelikan banyak makanan dan pernah-pernik untuk dipakainya diruang rawat inap karena belum bisa pulang hari ini, karena kondisinya yang harus dalam bawah pengawasan dokter.“Emang bener-bener si Alma. Awas aja kalo gue nanti lahiran, gue bakal lebih ngerepotin elo!”Seseorang tertawa dibelakangnya, membuat Audy membalikkan badan. Ia berhenti dan menatap orang itu, “Ini mas Adam atau dokter Arden?”“Menurut kamu?”Audy membuang nafas pelan, “Dokter Arden.”Arden memegang dua bahu Audy dan menyeretnya ke pinggir agar tidak menghalangi mobilitas lorong menuju ruang perawatan, “Mau kemana?”“Mau kasih pesenan tuan puteri.”Arden menatap banyak paper bag yang Audy bawa, “Jangan sekarang.”“Kenapa?”“Adam lagi dinas.”“Aku perlunya sama Alma, bukan sama mas Adam.”“Kan saya bilang Adam lagi dinas.” tutur Arden pen
Alma dan Adam saling lirik. Mereka menatap Sezan yang tersenyum manis seperti biasa seolah tidak terjadi apa-apa belakangan ini. “Sezan?” mama yang sedang memangku Arick melirik Sezan tidak suka. Mama takut kehadiran Sezan membuat Alma yang belum sembuh benar bisa stress. “Tante, aku boleh masuk?” Mama melirik Alma, Alma malah melirik Adam. Ia tidak tahu harus bagaimana. Tampak Virza melongokkan kepalanya dibelakang tubuh Sezan, ia mengangguk meminta Alma dan Adam mengizinkan Sezan masuk. “Boleh, sini masuk, Zan.” pinta Alma. Sezan masuk, ia melewati papa yang masih berdiri kaget di dekat pintu. Ia langsung menghampiri Alma yang tengah duduk diranjang, “Aku turut seneng sama kelahiran bayi kamu. Selamat ya, Ma.” Alma mengangguk. Kedatangan Sezan kesini baik-baik, maka ia harus tetap bersikap baik padanya. Kecuali kalau Sezan mulai membuat kegaduhan, ia tak segan mengusirnya dengan kasar. Virza yang seda
Alma kembali ke kamar setelah selesai berbincang dengan Arden. Begitu kembali ia tidak menemukan mama-papa, ibu, Audy dan suster Ruth. Mungkin mereka pergi untuk makan siang. Ia hanya melihat Adam yang sedang menciumi wajah Adam junior dan menyanyikan lagu improvisasi buatannya sendiri.“Anak papa oh anak papa, kamu kuat dan begitu tampan.”Alma tertawa.Adam melirik ke arah pintu, dimana Alma berdiri memegangi besi infusan, “Kamu kapan dateng?”Alma berjalan mengampiri Adam, “Ternyata bener, cowok kalo lagi fokus istrinya dateng aja dia gak sadar.”Adam tersenyum. Ia mencium kening Alma, “Kamu udah ketemu kakak?”Alma mengangguk, “Aku seneng mas, akhirnya sekarang aku punya kakak ipar.”“Dia juga pasti seneng bisa punya adik ipar, masih muda begini lagi. Dia bisa jailin kamu sepuasnya.”Alma duduk di ranjang, “Mas, soal Belle—"“Sayang...”“Kembaliin Belle sama kak Arden bukan karena
Alma ditinggalkan berdua bersama Arden di taman rumah sakit. Audy dan suster Ruth beralasan pergi untuk menemani Adam junior. Padahal anak tampan itu sedang jadi rebutan antara mama dan ibu.“Cuacanya lagi bagus banget ya.” tutur Arden sebagai pembuka pembicaraan mereka.Alma mengangguk, “Iya, kak.”Arden melirik Alma, “Alma, saya minta maaf untuk semuanya.”Alma menoleh. Ia hanya mengangguk.“Seandainya dari awal saya gak pergi begitu Belle dilahirkan, semuanya gak akan terjadi seperti ini.”“Takdir. Semuanya harus terjadi gini, kak.”Arden tersenyum, “Saya janji akan membereskan semua masalah yang saya buat dalam rumah tangga kalian.”“Misalnya?”“Belle. Saya akan ambil Belle biar kalian fokus membesarkan anak kalian sendiri. Saya tahu Adam berencana untuk punya banyak anak.”Alma membuang nafas pelan.“Kenapa?”Alma tertawa kecil, “Aku rasa mas Adam gak berniat
Alma melendot manja di lengan kekar Adam yang sedang menggendong anak tunggal mereka, “Mas, aku kangen.”Adam tersenyum, “Ini kangen yang mana nih maksudnya?”Alma tertawa, “Aku emang lahiran caesar, tapi... kamu tetep jangan nakal.”“Aku pikir kamu mau nambah adeknya Adam junior cepet-cepet.”“Adam junior?”Adam mengangguk, “Anak ini ‘kan anak aku.”Alma duduk tegap dan menatap Adam serius, “Kamu... udah buka hasil DNA nya?”Adam menaruh Adam junior di box bayi. Ia mengubah posisi duduknya menatap Alma. Dengan lembut ia membelai lembut pipi istrinya. Ia juga sempat mengusap pelan ujung bibir Alma yang semalam berdarah.“Udah. Dan anak ini anak aku.”“Kamu... serius, mas?”Adam mengangguk.Alma menangis. Ia memeluk Adam sangat erat, “Aku tahu ini anak kamu.”“Terus kenapa kamu tetep kaget?”“Aku cuma.... takut selama ini denial kalo ini anak Mario.”Adam tertawa, “Kenapa kamu gak bilang udah lakuin tes DNA sebelum kita kontrol terakhir? Hm?”“Aku cuma takut sama hasilny