Alma dan Arden duduk berhadapan dengan suguhan yang sudah ibu Ratih siapkan. Mario sengaja meninggalkan mereka agar bisa memberikan ruang dan waktu bagi adik dan kakak ipar yang selama ini hanya bertemu sebentar-sebentar.
“Apa kabar?” tanya Arden lagi. Pertanyaannya yang pertama tak mendapat jawaban. “Buruk.” jawab Alma singkat. Jawaban itu sama dengan jawaban Adam ketika Arden bertabrakan dengan Adam dipintu utama rumah sakit Sehat Keluarga. Alma tak bicara apa-apa, ia juga tak bertanya apapun yang bisa ia tanyakan karena sibuk berpikir apa yang akan dilakukan Arden dan Mario padanya. Ia hanya menunggu dan akan bicara setelah tahu masalahnya. “Adam kabarnya juga sama, buruk.” “Aku tahu.” Arden menautkan kedua alisnya, “Tahu dari mana?” “Aku tahu mas Adam bakal hancur perlahan kalau aku jauh dari dia.” Arden sedikit kaget mendengar jawaban Alma. Kehancuran adalah satu-satunya yang Adam tampilka“Ayo masuk!” Mario menarik lengan Alma. Ia melirik Arden, “Pulang lo! Dasar bajingan!”Arden berdiri mendorong kursi, “Apa? Lo panggil gue bajingan? Hahaha, terus lo apa?”Mario mendorong Arden dan menyeret Alma untuk masuk ke dalam rumah. Arden berusaha mengejar mereka tapi tak sempat karena Mario langsung mengunci pintunya dari dalam.“Bu Ratih kunci semua pintu sekarang!” teriaknya membuat Alma dan bu Ratih sama-sama takut.“I-iya, den.”Mario menyeret Alma lebih cepat ke kamarnya. Ia mendorong Alma ke kasur dan membuka kemejanya.“Rio, kamu mau apa?”“Kenapa? Sekarang lo udah tahu ‘kan fakta sebenarnya soal si Adam gimana? Lo juga udah tahu gue aslinya gimana?”Alma menggeleng, “Itu gak akan bikin aku gak jadi nikah sama kamu nanti, Rio.”“Halah, bulshit. Si Arden aja yang udah gue bayar satu milyar buat cuci otak lo agar benci sama si Adam dan balik mencintai gue bisa berhianat, apalagi l
Mario kalut sekali begitu sadar Alma pingsan. DOR-DOR-DOR“Mario! Jangan gila lo ya! Buka pintunya!” Arden masih berusaha menggedor semua pintu dan jendela berharap Mario mau membuka pintunya meski kemungkinannya sangat kecil.Mario membawa ponselnya dan membuka internet. Ia mencari keyword cara membangunkan orang pingsan. Disana ada perintah untuk mencoba membangunkannya dengan cara menggoyangkan tubuh, memanggil dengan suara keras, memberi rangsangan di kulit dengan menepuk pipi dan mencubit dan sebagainya.“Oke, kita lakuin.” Mario mulai membangunkan Alma dengan menggoyangkan tubuhnya, tak berhasil. Ia juga mencoba memanggilnya dengan suara keras, tak berhasil, ia juga menepuk pipi dan mencubitnya juga tak berhasil.“Argh, kenapa gak berhasil.”Bu Ratih yang merasa sakit di kepalanya yang berdarah agak baikkan keluar dari kamar untuk menghampiri Alma, “Non?”Mario tak menyadari kehadiran bu Ratih, ia t
“Pasien harus segera memasuki ruang operasi, dok.” suster yang baru saja bicara dengan Adam meminta bantuan beberapa dokter untuk membawa Alam segera ke ruang operasi.Kepala Adam tiba-tiba pusing. Ia tiba-tiba mengingat Dara yang mengalami kasus yang sama. Bedanya dulu Dara di diagnosa Preeklampsia. Untuk Alma, semoga ia baik-baik saja dan tidak mengalami komplikasi kehamilan. Dengan cepat ia berlari mengejar dan membantu mendorong ranjang Alma.Suster tadi menerima telpon sambil terus mendorong ranjang, “Halo, dok? Pasien perdarahan dalam perjalanan menuju ruang operasi. Apa? Dokter Steffany harus melakukan operasi ekstra satu jam?” ia melirik Alma dan Adam silih berganti, “Tapi dok, tidak ada dokter obgyn lain yang tersedia. Baik.”Arden yang baru akan kembali ke UGD mengikuti kemana Alma pergi. Ia berhenti di depan ruang operasi bersama Adam dan bu Ratih. Ia melirik Adam, “Dokter obgyn gak ada yang ready?”Adam menatap pintu ruang operasi yang tertutup dengan nanar, “Pasti ad
Pov Adam Adam mengecek labu infusan dan labu transfusi yang tergantung di ruang ICU. Ia mengusap kepala Alma lembut. Matanya merah menahan tangis. Ia harus kuat agar Alma mau segera bangun dan berkumpul lagi bersama orang terkasihnya. “Permisi, dok.” seorang suster menunggu Adam di luar ruang ICU. Adam menghampiri suster itu, “Kenapa, sus?” Suster itu menyerahkan amplop putih pada Adam, “Tadi sebelum mendapat suntikan bius Spinal, mbak Alma minta tolong pada saya untuk mengambilkan hasil tes DNA bayi yang semula di kandungnya.” Adam menerima amplop itu. “Mbak Alma melakukan tes DNA janin sebelum kontrol terakhir. Ketika teman laki-lakinya ikut masuk. Mbak Alma bilang pada dokter Dini untuk menyimpan hasilnya sampai waktu melahirkan tiba. Saya sudah memberi kabar pada dokter Dini. Katanya suratnya bisa langsung diberikan pada dokter.” Adam menatap logo rumah sakit yang ada di depan amplop. “Kalau begitu s
Virza menangis haru setelah mendengar hasil tes DNA. Adam yang melihat itu tertawa meledeknya.“Za, anak itu anak gue, bukan anak lo. Kenapa lo yang nangis sih?”Virza menyeka air matanya cepat-cepat dibantu suster Ruth, “Gue pikir lo bakal ngebesarin anak si Mario Bross, Dam. Ternyata itu anak lo sendiri. Gue terharu.”Adam tersenyum, “Sebenernya meskipun itu anak Mario gak masalah sama sekali sih.”Arden tertawa.“Kenapa lo ketawa? Dasar penjahat ulung.” sindir Virza.“Kalo anak itu ternyata anak Mario, lo jatuhnya buka panti sosial, Dam. Sampe kapan lo mau ngurusin anak orang terus?”Semua orang mengernyit kebingungan kecuali Adam yang malah tersenyum.“Maksud kamu apa, kak?” tanya ibu penasaran.“Bu, semuanya, sebenernya... Belle itu bukan anak Adam.”“HAH?” semua kompak menganga dan melotot tak percaya.“Jangan bercanda lo!” hardik Virza.“Lo tanya aja sama sa
Alma melendot manja di lengan kekar Adam yang sedang menggendong anak tunggal mereka, “Mas, aku kangen.”Adam tersenyum, “Ini kangen yang mana nih maksudnya?”Alma tertawa, “Aku emang lahiran caesar, tapi... kamu tetep jangan nakal.”“Aku pikir kamu mau nambah adeknya Adam junior cepet-cepet.”“Adam junior?”Adam mengangguk, “Anak ini ‘kan anak aku.”Alma duduk tegap dan menatap Adam serius, “Kamu... udah buka hasil DNA nya?”Adam menaruh Adam junior di box bayi. Ia mengubah posisi duduknya menatap Alma. Dengan lembut ia membelai lembut pipi istrinya. Ia juga sempat mengusap pelan ujung bibir Alma yang semalam berdarah.“Udah. Dan anak ini anak aku.”“Kamu... serius, mas?”Adam mengangguk.Alma menangis. Ia memeluk Adam sangat erat, “Aku tahu ini anak kamu.”“Terus kenapa kamu tetep kaget?”“Aku cuma.... takut selama ini denial kalo ini anak Mario.”Adam tertawa, “Kenapa kamu gak bilang udah lakuin tes DNA sebelum kita kontrol terakhir? Hm?”“Aku cuma takut sama hasilny
Alma ditinggalkan berdua bersama Arden di taman rumah sakit. Audy dan suster Ruth beralasan pergi untuk menemani Adam junior. Padahal anak tampan itu sedang jadi rebutan antara mama dan ibu.“Cuacanya lagi bagus banget ya.” tutur Arden sebagai pembuka pembicaraan mereka.Alma mengangguk, “Iya, kak.”Arden melirik Alma, “Alma, saya minta maaf untuk semuanya.”Alma menoleh. Ia hanya mengangguk.“Seandainya dari awal saya gak pergi begitu Belle dilahirkan, semuanya gak akan terjadi seperti ini.”“Takdir. Semuanya harus terjadi gini, kak.”Arden tersenyum, “Saya janji akan membereskan semua masalah yang saya buat dalam rumah tangga kalian.”“Misalnya?”“Belle. Saya akan ambil Belle biar kalian fokus membesarkan anak kalian sendiri. Saya tahu Adam berencana untuk punya banyak anak.”Alma membuang nafas pelan.“Kenapa?”Alma tertawa kecil, “Aku rasa mas Adam gak berniat
Alma kembali ke kamar setelah selesai berbincang dengan Arden. Begitu kembali ia tidak menemukan mama-papa, ibu, Audy dan suster Ruth. Mungkin mereka pergi untuk makan siang. Ia hanya melihat Adam yang sedang menciumi wajah Adam junior dan menyanyikan lagu improvisasi buatannya sendiri.“Anak papa oh anak papa, kamu kuat dan begitu tampan.”Alma tertawa.Adam melirik ke arah pintu, dimana Alma berdiri memegangi besi infusan, “Kamu kapan dateng?”Alma berjalan mengampiri Adam, “Ternyata bener, cowok kalo lagi fokus istrinya dateng aja dia gak sadar.”Adam tersenyum. Ia mencium kening Alma, “Kamu udah ketemu kakak?”Alma mengangguk, “Aku seneng mas, akhirnya sekarang aku punya kakak ipar.”“Dia juga pasti seneng bisa punya adik ipar, masih muda begini lagi. Dia bisa jailin kamu sepuasnya.”Alma duduk di ranjang, “Mas, soal Belle—"“Sayang...”“Kembaliin Belle sama kak Arden bukan karena