Adam pov
Adam duduk dengan tidak tenang di sebuah kafe yang ia sepakati bersama untuk bertemu Arden. Setelah sekian lama akhirnya ia bisa berkomunikasi dengan kakaknya melalui nomor baru Arden yang ia dapatkan dari rekan kerjanya, dokter Sena. “Dam?” Adam menoleh, “Kak?” Arden duduk di hadapan Adam, “Maaf telat. Tadi ada operasi dadakan.” Adam mengangguk, “Gak papa. Mau pesen apa?” Arden mengangkat tangannya memanggil pramusaji, “Saya pesan kopi hitam dan kue... Anything. Black forest, red velvet, atau miles crepes.” Pramusaji mencatat pesanan Arden menggunakan tablet, “Ada pesanan lain, pak?” “Cukup.” “Baik, ditunggu.” pramusaji itu mengangguk sopan lalu pergi. Arden menatap Adam, “Lo... agak berantakan.” Adam menatap Arden lalu tersenyum kecil. “Gimana kerjaan? Aman?” Adam mengangguk. “Gue denger pasien VIP lo banyak. Cepet kayak dong.”Arden berdiri dan mendorong kursinya ke belakang, “Masih ada waktu buat gue mikir untuk bantuin lo. Gue pergi.”“Kak, lo mau kemana?”Arden tak menjawab, ia berjalan cepat sambil mengangkat telpon itu.Adam memegangi kepalanya yang terasa mau pecah. Ia tidak tahu lagi harus meminta bantuan pada siapa untuk bisa menyelamatkan Alma.Ditempat lain Alma menahan sakit yang menjalari perutnya. Ia terus mengecek apakah keluar flek atau bahkan pendarahan sangking sakit yang ia rasakan. Sedari pagi ia belum makan karena boro-boro bernafsu, rasanya ia ingin mati saja daripada menahan semua ini.“Non, ibu harus ngapain biar gak sakit lagi?” bu Ratih menatap Alma tak tega di ranjang.“Dokter Putri belum dateng juga, bu?”“Belum, non. Duh, den Mario juga malah pergi, padahal ‘kan den Mario bisa bawa non ke klinik deket sini.”“Bu aku udah gak kuat, kita ke klinik aja. Aku gak mau terjadi apa-apa sama anak aku untuk k
Mario menyimpan long dress satin berwarna merah maroon di tepian ranjang ketika Alma hanya duduk dengan ekspresi datar.“Pake bajunya. Ada tamu yang mau ketemu sama kamu.”“Gak mau."“Sayang, jangan pancing emosi aku."Alma melirik Mario sekilas sebelum lelaki itu keluar dari kamar.“Aku pesenin dress itu khusus dari Tiara. Kalo kamu pake malem ini pasti cantik banget. Aku juga udah beliin satu set make up buat kamu. Aku udah taro di meja rias.”Alma melihat keberadaan koper kecil di meja rias.“Bersiap, sebentar lagi tamunya dateng.”Alma mengkerutkan keningnya, tamu siapa? Apakah kejutan Mario kali ini ia sukai atau tidak? Ia bergerak mengambil dress itu dan menyentuhnya dengan lembut.“Ini dari Tiara? Tiara tahu aku dikurung disini sama Rio? Kenapa dia gak bantuin aku sama sekali? Apa Rio bener, kalo Tiara lagi mamanfaatkan kesempatan buat bisa rebut mas Adam?”Alma membuang nafas
Alma dan Arden duduk berhadapan dengan suguhan yang sudah ibu Ratih siapkan. Mario sengaja meninggalkan mereka agar bisa memberikan ruang dan waktu bagi adik dan kakak ipar yang selama ini hanya bertemu sebentar-sebentar.“Apa kabar?” tanya Arden lagi. Pertanyaannya yang pertama tak mendapat jawaban.“Buruk.” jawab Alma singkat.Jawaban itu sama dengan jawaban Adam ketika Arden bertabrakan dengan Adam dipintu utama rumah sakit Sehat Keluarga.Alma tak bicara apa-apa, ia juga tak bertanya apapun yang bisa ia tanyakan karena sibuk berpikir apa yang akan dilakukan Arden dan Mario padanya. Ia hanya menunggu dan akan bicara setelah tahu masalahnya.“Adam kabarnya juga sama, buruk.”“Aku tahu.”Arden menautkan kedua alisnya, “Tahu dari mana?”“Aku tahu mas Adam bakal hancur perlahan kalau aku jauh dari dia.”Arden sedikit kaget mendengar jawaban Alma. Kehancuran adalah satu-satunya yang Adam tampilka
“Ayo masuk!” Mario menarik lengan Alma. Ia melirik Arden, “Pulang lo! Dasar bajingan!”Arden berdiri mendorong kursi, “Apa? Lo panggil gue bajingan? Hahaha, terus lo apa?”Mario mendorong Arden dan menyeret Alma untuk masuk ke dalam rumah. Arden berusaha mengejar mereka tapi tak sempat karena Mario langsung mengunci pintunya dari dalam.“Bu Ratih kunci semua pintu sekarang!” teriaknya membuat Alma dan bu Ratih sama-sama takut.“I-iya, den.”Mario menyeret Alma lebih cepat ke kamarnya. Ia mendorong Alma ke kasur dan membuka kemejanya.“Rio, kamu mau apa?”“Kenapa? Sekarang lo udah tahu ‘kan fakta sebenarnya soal si Adam gimana? Lo juga udah tahu gue aslinya gimana?”Alma menggeleng, “Itu gak akan bikin aku gak jadi nikah sama kamu nanti, Rio.”“Halah, bulshit. Si Arden aja yang udah gue bayar satu milyar buat cuci otak lo agar benci sama si Adam dan balik mencintai gue bisa berhianat, apalagi l
Mario kalut sekali begitu sadar Alma pingsan. DOR-DOR-DOR“Mario! Jangan gila lo ya! Buka pintunya!” Arden masih berusaha menggedor semua pintu dan jendela berharap Mario mau membuka pintunya meski kemungkinannya sangat kecil.Mario membawa ponselnya dan membuka internet. Ia mencari keyword cara membangunkan orang pingsan. Disana ada perintah untuk mencoba membangunkannya dengan cara menggoyangkan tubuh, memanggil dengan suara keras, memberi rangsangan di kulit dengan menepuk pipi dan mencubit dan sebagainya.“Oke, kita lakuin.” Mario mulai membangunkan Alma dengan menggoyangkan tubuhnya, tak berhasil. Ia juga mencoba memanggilnya dengan suara keras, tak berhasil, ia juga menepuk pipi dan mencubitnya juga tak berhasil.“Argh, kenapa gak berhasil.”Bu Ratih yang merasa sakit di kepalanya yang berdarah agak baikkan keluar dari kamar untuk menghampiri Alma, “Non?”Mario tak menyadari kehadiran bu Ratih, ia t
“Pasien harus segera memasuki ruang operasi, dok.” suster yang baru saja bicara dengan Adam meminta bantuan beberapa dokter untuk membawa Alam segera ke ruang operasi.Kepala Adam tiba-tiba pusing. Ia tiba-tiba mengingat Dara yang mengalami kasus yang sama. Bedanya dulu Dara di diagnosa Preeklampsia. Untuk Alma, semoga ia baik-baik saja dan tidak mengalami komplikasi kehamilan. Dengan cepat ia berlari mengejar dan membantu mendorong ranjang Alma.Suster tadi menerima telpon sambil terus mendorong ranjang, “Halo, dok? Pasien perdarahan dalam perjalanan menuju ruang operasi. Apa? Dokter Steffany harus melakukan operasi ekstra satu jam?” ia melirik Alma dan Adam silih berganti, “Tapi dok, tidak ada dokter obgyn lain yang tersedia. Baik.”Arden yang baru akan kembali ke UGD mengikuti kemana Alma pergi. Ia berhenti di depan ruang operasi bersama Adam dan bu Ratih. Ia melirik Adam, “Dokter obgyn gak ada yang ready?”Adam menatap pintu ruang operasi yang tertutup dengan nanar, “Pasti ad
Pov Adam Adam mengecek labu infusan dan labu transfusi yang tergantung di ruang ICU. Ia mengusap kepala Alma lembut. Matanya merah menahan tangis. Ia harus kuat agar Alma mau segera bangun dan berkumpul lagi bersama orang terkasihnya. “Permisi, dok.” seorang suster menunggu Adam di luar ruang ICU. Adam menghampiri suster itu, “Kenapa, sus?” Suster itu menyerahkan amplop putih pada Adam, “Tadi sebelum mendapat suntikan bius Spinal, mbak Alma minta tolong pada saya untuk mengambilkan hasil tes DNA bayi yang semula di kandungnya.” Adam menerima amplop itu. “Mbak Alma melakukan tes DNA janin sebelum kontrol terakhir. Ketika teman laki-lakinya ikut masuk. Mbak Alma bilang pada dokter Dini untuk menyimpan hasilnya sampai waktu melahirkan tiba. Saya sudah memberi kabar pada dokter Dini. Katanya suratnya bisa langsung diberikan pada dokter.” Adam menatap logo rumah sakit yang ada di depan amplop. “Kalau begitu s
Virza menangis haru setelah mendengar hasil tes DNA. Adam yang melihat itu tertawa meledeknya.“Za, anak itu anak gue, bukan anak lo. Kenapa lo yang nangis sih?”Virza menyeka air matanya cepat-cepat dibantu suster Ruth, “Gue pikir lo bakal ngebesarin anak si Mario Bross, Dam. Ternyata itu anak lo sendiri. Gue terharu.”Adam tersenyum, “Sebenernya meskipun itu anak Mario gak masalah sama sekali sih.”Arden tertawa.“Kenapa lo ketawa? Dasar penjahat ulung.” sindir Virza.“Kalo anak itu ternyata anak Mario, lo jatuhnya buka panti sosial, Dam. Sampe kapan lo mau ngurusin anak orang terus?”Semua orang mengernyit kebingungan kecuali Adam yang malah tersenyum.“Maksud kamu apa, kak?” tanya ibu penasaran.“Bu, semuanya, sebenernya... Belle itu bukan anak Adam.”“HAH?” semua kompak menganga dan melotot tak percaya.“Jangan bercanda lo!” hardik Virza.“Lo tanya aja sama sa