Alma duduk bersebelahan dengan Adam di ruang tunggu depan ruangan papa. Audy yang berdiri di ujung ruangan terus melirik mereka berdua yang sama-sama bergeming sedari tadi.“Kalo cuma mau diem-dieman, mending gak usah duduk bareng."Alma melirik Audy. Ia sebenarnya ingin sekali pergi dari sini, menghindari Adam yang membuat jantungnya berdegup kencang.Adam melirik Alma, “Kamu udah makan?”Alma mengangguk.“Vitaminnya udah?”Alma mengangguk lagi.“Anaknya aktif di dalem?”Alma melirik Adam, “Semuanya baik, mas. Bukan karena aku di rumah sakit, aku bakal lupa makan dan minum vitamin, apalagi anaknya jadi gak aktif. Kamu gak perlu khawatir.”Adam mengangguk, “Aku harap kamu mau pulang. Senyaman apapun ruang VIP, yang namanya istirahat di rumah sakit itu gak nyaman.”“Besok lusa papa juga pulang. Selama disini aku nyaman kok.”Adam bergerak duduk menghadap Alma, “Kamu pulang ke rumah ya? Aku minta maaf atas semua kesalahan aku.”Alma tak menjawab.“Sezan udah keguguran. Dia
Alma terpaksa tersenyum saat Mario mengelus perut besarnya di kantin rumah sakit. Mario juga menciumi perut itu.“Aku gak sabar ketemu dia nanti.”Alma mengangguk, “Kamu sayang sama dia?”Mario mengangguk, “Tentu.”“Meskipun ini anak mas Adam?”Mario diam sejenak, lalu mengangguk, “Karena ada darah kamu mengalir di anak ini.”Alma tersenyum pura-pura lagi. Mario duduk tegap menatap sop susu pesanan Alma yang masih banyak, “Abisin dong makannya, sayang.”“Kenyang.”“Demi anak kita.”“Aku agak mual.”“Mau aku pesenin yang lain? Kamu mau apa? Coba bilang.”Alma menggeleng.“Sayang, kamu harus makan cukup.”“Ya itu, udah cukup.”Mario menarik hidung Alma gemas, “Sayangnya aku bisa aja.”Audy datang ke meja mereka membawa satu piring Nasi Goreng Rendang dan jus Nanas, “Rio, mobil gue aman ‘kan di bengkel temen lo?”“Ama
Mama sudah memberi tahu papa mengenai apa yang di dengarnya semalam mengenai ucapan Mario yang membuktikan kalau ia adalah dalang dibalik hamilnya Sezan. Papa terkejut tentu saja. Tapi papa tak banyak bicara. Mungkin papa bingung karena semua pengobatan dirumah sakit ini lengkap dengan ruangan VIPnya berasal dari uang Mario.“Mama mau bicara sama Alma, tapi dia ogah-ogahan dengernya. Baru mama bilang kalo Mario itu jahat, dia malah bikin alesan buat pergi jauhin mama.”“Alma mungkin butuh bukti, ma.”“Bukti apa sih, pa? Pendengaran mama gak akurat apa sampe dia butuh bukti segala?”“Ya mana papa tahu. Udah, ma, jangan terlalu banyak bicara macem-macem sama Alma, kasian kandungannya. Sebentar lagi dia melahirkan. Papa denger menjelang melahirkan, perasaannya jadi gak karuan.”“Dia tuh perasaannya gak karuan karena mau cerai dari Adam gara-gara kemarin Sezan hamil. Dia pasti bingung harus lahiran ditemenin Adam atau Mario.”
“Badan aku rusak karena hamil. Banyak perubahan yang gak bisa aku terima.” Alma kembali terisak setelah menyentuh kulit bawah perutnya yang menampilkan banyak strecth mark.Adam memeluk Alma tanpa bicara. Ia menangkap poin Alma. Ia tahu tidak mudah untuk Alma merelakan tubuh sempurnanya berubah karena kehamilan. Selain karena pengaruh hormon, Alma memang sensitif jika sudah menyinggung soal tubuhnya.Adam melepas pelukkannya, ia menatap Alma penuh pengertian, “Awalnya emang aku yang maksa kamu untuk punya anak. Selanjutnya gimana?”Alma menghindari manik Adam, “Aku yang mau hamil sendiri.”“Kamu hebat, semua para ibu di seluruh dunia ini juga. Makasih ya udah mau mengorbankan tubuh sempurna kamu untuk berubah demi mengandung anak aku.” Adam mengelus pelan perut Alma.Alma salah tingkah. Ia berusaha menyeka lengan Adam. “Bentar aku baca panduan dulu biar asinya gak rembes.”Alma tak menjawab. Ia hanya diam menaha
Alma dan Mario duduk berhadapan di kantin rumah sakit. Mario memintanya untuk ikut kesini. Terserah Adam masih mau disini atau pulang. Sedangkan Audy memilih untuk pergi memakai mobil Mercy yang Mario janjikan untuk di pinjamkan untuknya.“Aku gak suka kamu ketemu Adam.”“Rio, kita cuma duduk sebelahan.”“Sambil pegang tangannya?”Alma membuang mukanya.“Aku udah lunasin semua tagihan rumah sakit dan obat-obatnya. Aku juga udah bayar di muka pembayaran kontrol rawat jalan tiga hari lagi.”Alma menatap Mario. Ia sadar, mantan kekasihnya yang mungkin kedepannya akan berubah menjadi suaminya itu sedang menggertaknya, dengan mengatakan bahwa ia dan keluarga berhutang budi untuk menikmati layanan fasilitas kesehatan dirumah sakit ini sampai tuntas, dan ia diminta untuk tahu diri.“Makasih.”“Aku udah ngobrol sama dokter utamanya, katanya layanan rumah sakit ini bagus, tapi aku minta yang terbaik buat calon mertua aku. Jadinya untuk ke depannya, kit
Pov SezanSudah dua hari dari waktu kepulangan dari rumah sakit, Sezan tidak mau makan dan melakukan kegiatan apapun seperti biasanya. Ia bahkan tidak bisa tidur dengan benar sehingga amih dan Armand selalu bergantian untuk menemaninya di kamar. Kalau tidak ditemani takutnya Sezan melakukan hal-hal diluar kendali.“Zan, kamu gak perlu kayak gini. Kita cari cara baru ya buat menjerat Adam?” Armand bersender di dinding kamar meminta Sezan agar tidak berlarut-larut dalam kesedihan.Tak ada gelengan atau anggukan dari Sezan. Ia setia duduk diatas kasur dengan posisi memeluk kedua lututnya lengkap dengan tatapan menyedihkan.“Abang kamu bener. Kamu gak perlu kayak gini terus. Amih sama apih pasti bakal bantu kamu buat dapetin Adam lagi. Sekarang makan dulu ya, biar kamu bisa minum obat. Ya?” tawar amih.Sezan menggeleng.Amih menatap Armand.“Mau kamu apa sih, Zan? Coba bilang sama abang.”“Mati.”A
Pov VirzaVirza baru selesai membereskan berkas-berkas pasien di meja. Ia melirik suster dan dokter residen yang sedang mengikuti praktek rawat jalan bersamanya disini, “Panggil pasien pertama, sus.”“Baik, dok.” Suster membawa papan catatan membuka pintu, “Ibu Sezan Safira, dipersilakan masuk."Amih membantu Sezan berdiri. Dengan langkah pelan, mereka memasuki ruangan praktik Virza. Sezan malu tentu saja. Ia ingin sekali lari dan menghindari Virza yang mungkin menertawakannya karena ia menjadi pasiennya. Virza akan tahu isi jiwanya yang rusak karena efek keguguran anak Adam.“Silakan,” Virza mempersilakan Sezan dan Amih duduk.Amih terus menggenggam tangan Sezan.“Gimana harinya? Cerah ya diluar?” Virza berbasa-basi dulu sebelum memulai konseling sesi pertama hari ini.Tidak ada jawaban dari Sezan. Virza tahu Sezan mendengarkan suaranya, tapi memang sulit menjawab karena keadaan mentalnya sedang buruk.“
“Ma, sampe kapan kamu menghindar dari mama?” Alma berhenti melangkah. Ia membalikkan badannya dan menatap mama tanpa bicara. Mama menarik lengan Alma mengajaknya duduk di kursi depan kolam renang, “Dengerin omongan mama baik-baik, dan jangan pergi sebelum kamu kasih jawaban masuk akal dari pertanyaan mama." Alma mengangguk. “Ma, Adam tadi telpon mama. Dia bilang nanti siang dia mau kesini buat liat papa dan ketemu kamu. Dia mau beresin masalah soal niatan gugatan cerai kamu ke dia." Alma hanya membuang nafas pelan. “Ibunya juga mau dateng besok lusa karena pengen nemenin kamu lahiran. Adam bilang ibunya gak tahu sama sekali sama masalah yang menimpa kalian selama ini. Jadi be nice.” “Maksud mama apa?” “Kamu pulang ke rumah Adam.” Alma tertawa meledek, “Mama mau numbalin aku sama Belle?” “Ma, kamu tuh punya masalah apa sih?” “Mama yang punya masalah apa. Kenapa mama seolah m
Satu bulan kemudian...Alma merapikan kemeja Adam yang diberikan Virza sebagai bagian dari groomsmen. Adam terlihat sangat tampan karena aura wajah bahagianya keluar. Akhirnya, sahabat dunia akhiratnya, Virza mengakhiri masa lajangnya hari ini dengan satu perempuan yang amat ia sayangi.“Udah rapi, mas.”Adam mengangguk, “Sayang, nanti kita join honey moon sama Virza dan kakak, ya?”Alma menggebung dada bidang Adam, “Mas, aku belum pasang kb loh. Kalo kebablasan gimana? Ngurus Arick aja aku masih bingung.”Adam tertawa, “Sayang, ‘kan aku udah bilang biar aku aja yang pasang kb. Ada banyak pilihan ‘kan buat laki-laki?"“Mas, emang gak papa?”“Ya gak papa lah, yang apa-apa itu kalo kamu pasang tapi malah gak cocok. Perempuan itu udah banyak mengorbankan diri. Menstruasi, hamil, melahirkan, semuanya mengendalikan hormon ‘kan? Masa masalah kb yang bisa aku gantiin harus kamu yang ngerasain juga?”Alma mengangguk, “Ya udah, terserah kamu.”“Aku udah konsul kok seminggu kemarin sam
Alma menggedor pintu rumah Arden dengan kencang. Adam yang berdiri dibelakangnya hanya diam saja karena tidak tahu sesakit apa perasaan istrinya begitu mendengar ucapan pak Bowo tadi dirumahnya mengenai Arden yang akan menikah tanpa memberi tahunya.Ceklek.“Alma, Adam?” Arden menatap Alma dan Adam datar.Alma mendorong tubuh Arden agar bisa masuk ke dalam rumahnya. Ia berjalan cepat mencari seseorang yang mungkin sengaja sembunyi begitu tahu ia datang.“Audy! Audy!”Audy yang sedang bermain salon-salonan dengan Belle di ruang tivi terperanjat kaget melihat kedatangan dan suara menggelegar Alma, “Alma?”“Apa?’Audy beringsut berdiri sejajar dengan Belle yang seolah sama kagetnya melihat Alma.“Mami?”Alma melirik ke arah Belle yang belepotan dengan lipstik mainannya. Rambutnya yang sudah keriting tertempel roll rambut seperti ibu kost yang membuatnya tidak kuat untuk pura-pura marah.“Hahahaha.”Audy dan Belle, serta Adam dan Arden yang baru sampai dengan suster Tiwi yang m
“Kamu habis besuk Mario?”Alma mengangguk.“Ayo duduk sebentar, ada yang mau om sampaikan sama kamu dan suami. Mari Adam.”Adam memberikan Arick pada suster Tiwi, “Sus, tunggu di mobil aja, kasian Arick kepanasan. Ini kunci mobilnya.”“Baik, pak, permisi, kak, pak.”Semua mengangguk.Adam menggandeng Alma untuk duduk diruang tunggu yang sedang kosong di lobi ruangan polres.“Gimana kabar kamu?” tanya om Indra setelah mereka bertiga duduk.“Baik, om. Aku... dibantu pemulihan dengan obat dari psikiater sih.”Om Indra membetulkan kaca matanya, “Kamu hebat karena sudah bertahan di situasi sulit itu.”“Iya, om.”“Oyah, persidangan Mario akan digelar minggu depan. Kamu gak perlu ikut kalo gak sanggup memberikan kesaksian. Ibu Ratih aja cukup.”Alma melirik Adam.Adam menggenggam tangan Alma, “Om Indra bener, kalo kamu gak sanggup, kamu gak perlu maksain diri.
Adam membukakan pintu mobil untuk Alma yang tengah menggendong Arick. Begitu sampai di depan polres yang memenjarakan Mario sementara karena ulahnya, Arick terus menangis. “Mas, apa aku gak perlu ikut masuk ya?” Adam diam sejenak lalu menatap suster Tiwi yang berdiri dekat mereka, “Arick biar sama suster Tiwi aja. Nanti kalo Arick udah tenang boleh dibawa ke dalem, takutnya Mario pengen liat.” Alma mengangguk. Ia memberikan Arick pada suster Tiwi, “Sus, kita masuk dulu ya.” “Iya, kak Alma, silakan.” Alma menggandeng lengan Adam dan berjalan pelan ke dalam pelataran polres. Alma merasa bulu kuduknya berdiri ketika masuk. Ini pertama kalinya ia datang kesini, dan semoga untuk terakhir kalinya. Karena tidak terbayang bagaimana mentalnya yang belum stabil jika harus kembali datang kesini. “Selamat siang, pak, ada yang bisa kami bantu?” tanya seorang personil polisi yang menjaga di meja depan. “Pagi. Saya ingin bertemu dengan pelaku penculikkan dan penganiaya istri saya, namanya Mar
Pov AudyAudy berjalan pelan ketika tangannya sibuk membawa banyak paper bag pesanan Alma. Temannya yang satu itu memang senang membuatnya kewalahan. Alma memintanya membelikan banyak makanan dan pernah-pernik untuk dipakainya diruang rawat inap karena belum bisa pulang hari ini, karena kondisinya yang harus dalam bawah pengawasan dokter.“Emang bener-bener si Alma. Awas aja kalo gue nanti lahiran, gue bakal lebih ngerepotin elo!”Seseorang tertawa dibelakangnya, membuat Audy membalikkan badan. Ia berhenti dan menatap orang itu, “Ini mas Adam atau dokter Arden?”“Menurut kamu?”Audy membuang nafas pelan, “Dokter Arden.”Arden memegang dua bahu Audy dan menyeretnya ke pinggir agar tidak menghalangi mobilitas lorong menuju ruang perawatan, “Mau kemana?”“Mau kasih pesenan tuan puteri.”Arden menatap banyak paper bag yang Audy bawa, “Jangan sekarang.”“Kenapa?”“Adam lagi dinas.”“Aku perlunya sama Alma, bukan sama mas Adam.”“Kan saya bilang Adam lagi dinas.” tutur Arden pen
Alma dan Adam saling lirik. Mereka menatap Sezan yang tersenyum manis seperti biasa seolah tidak terjadi apa-apa belakangan ini. “Sezan?” mama yang sedang memangku Arick melirik Sezan tidak suka. Mama takut kehadiran Sezan membuat Alma yang belum sembuh benar bisa stress. “Tante, aku boleh masuk?” Mama melirik Alma, Alma malah melirik Adam. Ia tidak tahu harus bagaimana. Tampak Virza melongokkan kepalanya dibelakang tubuh Sezan, ia mengangguk meminta Alma dan Adam mengizinkan Sezan masuk. “Boleh, sini masuk, Zan.” pinta Alma. Sezan masuk, ia melewati papa yang masih berdiri kaget di dekat pintu. Ia langsung menghampiri Alma yang tengah duduk diranjang, “Aku turut seneng sama kelahiran bayi kamu. Selamat ya, Ma.” Alma mengangguk. Kedatangan Sezan kesini baik-baik, maka ia harus tetap bersikap baik padanya. Kecuali kalau Sezan mulai membuat kegaduhan, ia tak segan mengusirnya dengan kasar. Virza yang seda
Alma kembali ke kamar setelah selesai berbincang dengan Arden. Begitu kembali ia tidak menemukan mama-papa, ibu, Audy dan suster Ruth. Mungkin mereka pergi untuk makan siang. Ia hanya melihat Adam yang sedang menciumi wajah Adam junior dan menyanyikan lagu improvisasi buatannya sendiri.“Anak papa oh anak papa, kamu kuat dan begitu tampan.”Alma tertawa.Adam melirik ke arah pintu, dimana Alma berdiri memegangi besi infusan, “Kamu kapan dateng?”Alma berjalan mengampiri Adam, “Ternyata bener, cowok kalo lagi fokus istrinya dateng aja dia gak sadar.”Adam tersenyum. Ia mencium kening Alma, “Kamu udah ketemu kakak?”Alma mengangguk, “Aku seneng mas, akhirnya sekarang aku punya kakak ipar.”“Dia juga pasti seneng bisa punya adik ipar, masih muda begini lagi. Dia bisa jailin kamu sepuasnya.”Alma duduk di ranjang, “Mas, soal Belle—"“Sayang...”“Kembaliin Belle sama kak Arden bukan karena
Alma ditinggalkan berdua bersama Arden di taman rumah sakit. Audy dan suster Ruth beralasan pergi untuk menemani Adam junior. Padahal anak tampan itu sedang jadi rebutan antara mama dan ibu.“Cuacanya lagi bagus banget ya.” tutur Arden sebagai pembuka pembicaraan mereka.Alma mengangguk, “Iya, kak.”Arden melirik Alma, “Alma, saya minta maaf untuk semuanya.”Alma menoleh. Ia hanya mengangguk.“Seandainya dari awal saya gak pergi begitu Belle dilahirkan, semuanya gak akan terjadi seperti ini.”“Takdir. Semuanya harus terjadi gini, kak.”Arden tersenyum, “Saya janji akan membereskan semua masalah yang saya buat dalam rumah tangga kalian.”“Misalnya?”“Belle. Saya akan ambil Belle biar kalian fokus membesarkan anak kalian sendiri. Saya tahu Adam berencana untuk punya banyak anak.”Alma membuang nafas pelan.“Kenapa?”Alma tertawa kecil, “Aku rasa mas Adam gak berniat
Alma melendot manja di lengan kekar Adam yang sedang menggendong anak tunggal mereka, “Mas, aku kangen.”Adam tersenyum, “Ini kangen yang mana nih maksudnya?”Alma tertawa, “Aku emang lahiran caesar, tapi... kamu tetep jangan nakal.”“Aku pikir kamu mau nambah adeknya Adam junior cepet-cepet.”“Adam junior?”Adam mengangguk, “Anak ini ‘kan anak aku.”Alma duduk tegap dan menatap Adam serius, “Kamu... udah buka hasil DNA nya?”Adam menaruh Adam junior di box bayi. Ia mengubah posisi duduknya menatap Alma. Dengan lembut ia membelai lembut pipi istrinya. Ia juga sempat mengusap pelan ujung bibir Alma yang semalam berdarah.“Udah. Dan anak ini anak aku.”“Kamu... serius, mas?”Adam mengangguk.Alma menangis. Ia memeluk Adam sangat erat, “Aku tahu ini anak kamu.”“Terus kenapa kamu tetep kaget?”“Aku cuma.... takut selama ini denial kalo ini anak Mario.”Adam tertawa, “Kenapa kamu gak bilang udah lakuin tes DNA sebelum kita kontrol terakhir? Hm?”“Aku cuma takut sama hasilny