Butiran air hangat turun dari mata suster Ruth, “Dari awal Alma gak bisa terima Belle, karena dia ngerasa tanpa kasih sayangnya, Belle gak akan pernah kekurangan cinta dan kasih sayang dari bapak. Tapi dia berusaha nerima Belle karena dia tahu, Belle segalanya buat bapak. Dia gak mau bapak kecewa sama dia karena cuma mau terima papanya tanpa peduli anaknya. Alma belajar siang malem dari internet buat bisa jadi ibu yang baik. Alma berhasil. Dia cuma ngelakuin kesalahan kecil. Itu pun karena gak sengaja. Tapi bapak ngeliat itu sebagai kesalahan sangat besar dan fatal. Padahal bapak tahu dengan jelas kejadian kemarin waktu Belle tenggelam, Belle baik-baik aja. Saya ngerti bapak khawatir, tapi buat saya amarah bapak keterlaluan kemarin.” lanjutnya.Adam bergeming mendengar penjelasan suster Ruth yang belum selesai. Ia tahu masih ada yang harus dijelaskan padanya yang kadung marah dan sudah sangat keterlaluan pada Alma.“Dua hari lalu masa tersulit buat Alma
“Bu, teh nya.” Mbok Nah membawa nampan berisi tiga gelas teh. “Ayo nak Adam kita duduk. Ayo, pa.” Adam membuntut dibelakang papa dan mama. “Silakan di minum, nak Adam.” Adam membawa gelas dan menyeruput sedikit teh buatan mbok Nah. “Nak Adam sama Alma berantem lagi?” tanya papa mengulang pertanyaannya tadi. “Saya...” Ponsel mama berdering kencang, “Papa ngobrol aja sama nak Adam, ada telpon dari Alma. Mama angkat dulu.” Papa mengangguk. Mama bangkit dari sofa, “Halo, Ma? Kamu dimana? Ini ada Adam ke rumah.” Mama berjalan ke arah belakang rumah. Adam diam. Ia tak punya kekuatan untuk mengatakan semua yang terjadi antara ia dan Alma. Ia hanya menunduk memainkan tangannya. Papa pun seperti menunggu mama selesai bicara dengan Alma, sehingga tidak ada pertanyaan apapun lagi yang meluncur. Mama kembali duduk disamping papa, “Alma lagi dirumah Mario katanya. Dia bilang dia sama na
Adam kembali ke UGD. Ia menghampiri Tiara dan Mario yang menunggu Alma keluar. Ia melirik Mario yang tampak panik. “Alma, gimana keadaan papa?” Mario menghampiri Alma untuk membantunya berjalan menghampiri mereka yang menunggu di luar UGD.“Papa sadar, tapi badannya lemes banget. Dokter bilang papa harus secepatnya di operasi.”“Kapan operasinya?” tanya Tiara.“Papa akan pindah ke ruang rawat inap dulu, terus kasusnya di kaji ulang sama dokter spesialis Jantung. Sekarang dokternya masih ada operasi.”Mario mengangguk, “Kita harus lakuin operasi segera, demi keselamatan papa.”Alma mengangguk.Adam terus memperhatikan Mario. Ia melihat caranya berbicara dengan Alma, caranya memperlakukan Alma dan menenangkannya.Alma menatap Adam dengan wajah sendu, “Mas, makasih udah bantu kasih pertolongan pertama buat papa. Tadi dokternya bilang kalo papa terlambat dapat pertolongan, papa bisa...” ia tak sanggup melan
Alma menyelimuti papa sampai dada. Keadaan papa semakin membaik, tapi harus tetap dipantau dua puluh empat jam karena dadanya selalu tiba-tiba terasa sakit seperti di tekan, katanya. Mama yang sedari tadi menemani baru bisa mandi setelah menerima baju ganti dari mbok Nah.“Udah, kamu pulang aja. Perut kamu pasti gak nyaman, ‘kan?”Alma tersenyum, “Gak papa, pa. Aku bisa nginep disini.”“Kamu pulang aja. Buat anak kamu, cucu papa.”Alma tak menjawab.“Mario masih disini ‘kan?”Alma mengangguk, “Dia tunggu diluar karena bukan jam besuk.”“Perempuan yang tinggi itu... siapa?”“Itu Tiara, sepupu Rio. Dia juga... mantannya mas Adam.”Papa terkejut. Papa juga jadi ingat soal pengakuan Adam tadi siang.Alma menggenggam tangan kanan papa, “Pa, tadi mas Adam lama dirumah?”“Lumayan.”“Kenapa papa bisa kena serangan jantung? Mas Adam bilang apa?”Papa memalingkan
Alma menunggu dokter Andini selesai visit dari ruangan papa. Setelah mengatakan Arden dan Adam bertemu di lobi rumah sakit, Tiara pergi untuk mengangkat telpon dari orang butik.“Dokter Andini.” Alma menahan dokter Andini yang baru keluar dari ruangan papa. “Mbak? Ada yang bisa saya bantu?”“Dokter ada visit ke ruangan lain?”Dokter Andini menggeleng pelan. Tepat! Alma meyakini dokter Andini hanya mewakili melakukan visit pada papa saja karena Arden enggan bertemu dengan keluarganya.“Aku boleh minta waktu dokter sebentar?”“Tentu, mbak.”Suster yang menemani dokter Andini mengangguk sopan, “Kalau begitu saya permisi.”“Iya, sus.”Selepas suster pergi, Alma berjalan ke arah yang jauh dari letak kamar papa. Ia takut mama mendengar obrolannya dengan dokter Andini.“Ada yang mau mbak tanyakan pada saya?”Alma membalikkan badan, “Dokter Arden ada dimana, dok?”“Eum...
Alma terus mencari Arden kemana-mana. Ketika ia dapat info kakak iparnya ada dimana, ia kejar. Tapi sepertinya Arden sudah tahu bahwa ia dicari, sehingga ia sembunyi dan itu berhasil membuat Alma kesal karena tak menemukannya.Malam ini ia diminta mama untuk pulang, tapi Alma menolak. Ia tidak mau jauh dari papa karena takut terjadi serangan jantung lagi pada papa.“Ma!”Alma yang sedang berjalan tak tentu arah berhenti melangkah. Ia menatap kedatangan Audy yang ceria membawa banyak makanan, “Dy?”“Gue dimintain tolong sama Mario buat nemenin lo disini. Katanya lo disuruh pulang tapi gak mau.”“Gue mana bisa pulang, Dy. Kondisi bokap baik, tapi gue takut terjadi apa-apa sama papa.”“Gue ngerti kok. Gue ikut sedih ya. Padahal selama ini bokap lo yang paling sehat di antara bokap gue sama si... Sezan.”Alma mengangguk. Ia menunjuk beberapa paper bag yang Audy bawa, “Itu apa?”Audy tertawa, “Ini suplai maka
Hari ini Mario tidak bisa datang kesini karena harus pergi ke Surabaya, melakukan survei tanah yang akan dibangun properti keluarga mereka. Alma mengerti. Ia tak masalah sama sekali. Audy pamit pulang dulu untuk mandi dan berganti baju. Alma tak masalah. Ia senang ada Audy yang menemaninya disini. Tapi sahabat satu-satunya itu terus membicarakan Adam, membuatnya muak dan sakit hati.Virza yang baru datang menyerahkan kotak lunch box dan botol air minum lucu milik Belle pada Alma yang sedang duduk sendiri diruang tunggu, “Ada kiriman dari Ruth.”Alma mengangkat wajahnya, “Dok?”Virza duduk disebelah Alma, “Kamu harusnya pulang.”“Papa di rawat diruang VIP. Ada tempat istirahat buat yang tunggu.”“Meskipun gitu yang namanya dirumah sakit istirahatnya gak nyaman.”Alma menggeleng, “Aku gak mau jauh-jauh dari papa.”Virza mengangguk, “Aku ngerti. Nih, makan dulu.”“Aku gak laper.”“Buat anak kamu.”Alma menoleh menatap Virza. Mau tak mau ia menerima lunch box itu, “Suster Ruth
Sampai detik ini Alma masih marah pada mama. Ia tidak mau bertemu mama. Saat papa sudah di nyatakan keluar dari masa kritisnya, ia buru-buru masuk ke ruangan papa, tapi tak bertegur dengan mama. Sekarang, ia lebih memilih duduk di lobi sendirian.“Gue cari lo kemana-mana. Ternyata lo disini.” Audy duduk disebelah Alma.Alma tak menjawab.“Lo kenapa?”“Tadi Sezan kesini.”Audy melirik Alma, “Ngapain?”“Dia bawa buah.”“Harusnya lo buang buahnya depan mata dia. Lo bilang buah doang mah lo bisa beli sendiri.”Alma tertawa, “Gue gak ada waktu buat ngadepin dia. Kasian anak gue harus liat pertempuran gak penting.”Audy melirik Alma lagi, “Sekarang dia masih disini?”Alma mengangkat bahunya tidak peduli.“Alma?”Alma mengangkat wajahnya. Ia melihat suster Ruth bersama Virza, “Sus?” ia bangkit untuk berpelukkan dengan suster Ruth.“Aku turut sedih ya. Papa kamu