Sampai detik ini Alma masih marah pada mama. Ia tidak mau bertemu mama. Saat papa sudah di nyatakan keluar dari masa kritisnya, ia buru-buru masuk ke ruangan papa, tapi tak bertegur dengan mama. Sekarang, ia lebih memilih duduk di lobi sendirian.
“Gue cari lo kemana-mana. Ternyata lo disini.” Audy duduk disebelah Alma. Alma tak menjawab. “Lo kenapa?” “Tadi Sezan kesini.” Audy melirik Alma, “Ngapain?” “Dia bawa buah.” “Harusnya lo buang buahnya depan mata dia. Lo bilang buah doang mah lo bisa beli sendiri.” Alma tertawa, “Gue gak ada waktu buat ngadepin dia. Kasian anak gue harus liat pertempuran gak penting.” Audy melirik Alma lagi, “Sekarang dia masih disini?” Alma mengangkat bahunya tidak peduli. “Alma?” Alma mengangkat wajahnya. Ia melihat suster Ruth bersama Virza, “Sus?” ia bangkit untuk berpelukkan dengan suster Ruth. “Aku turut sedih ya. Papa kamuPOV Audy“Alma! Ma, lo gak papa ‘kan?” pekik Audy sambil berlari menghampiri Alma.Alma menatap Audy bingung, “Lo kenapa?”Audy memegangi kedua lengan Alma dan membolak-balikkan badannya, “Beneran lo gak papa?”“Dy, apaan sih.” Alma menepis kedua tangan Audy.“Gue barusan liat si Sezan di toilet. Dia manggil-manggil nama lo. Jadi gue pikir dia dorong lo lagi.”Alma menggeleng, “Enggak kok.”Audy melirik Arden yang hanya diam saja memperhatikan obrolan mereka.“Ini... bukan si tua.”Audy melirik Alma, “Hah?”Arden tertawa.“Ini kakaknya si tua, namanya Arden.”Audy menatap Arden tak berkedip. Di lihat secara rinci wajahnya. Ia bahkan sampai mengelilingi badannya.“Dy, segitunya.”“Mirip banget loh, Ma. Lo gak ketuker?”Alma menggeleng, “Enggak dong.”“Kamu tahu, Tiara aja gak bisa bedain antara saya sama Adam.”“Itu Tiara, bukan aku.”Arden mengangguk, “Saya permisi, masih banyak kerjaan.”Alma mengangguk, “Makasih ya udah selametin aku tadi.”“Gak masalah. Permisi.
Mama melirik Alma yang sedang memainkan ponselnya di sofa ruangan papa, “Kamu beneran gak mau ikut liat Sezan?"Alma menggeleng, “Mama aja."Papa yang sedang menonton berita di televisi sambil makan buah potong melirik mama, “Ma, sebaiknya mama juga gak liat. Kita cukup kasih bela sengkawa nanti kalau ketemu.”Mama melirik Alma dan papa silih berganti, “Mama tetep mau kesana.”Papa dan Alma mengangkat bahu bersama. Mama memang tidak bisa dilarang.Mama keluar dari kamar papa. Untuk bisa sampai ke ruang rawat inap Sezan, mama harus turun satu lantai. Mama bertemu Audy yang sedang duduk sendiri memasang wajah super sendu di luar ruangan papa.“Dy, kamu kenapa?”Audy menatap mama, “Tante mau kemana?”“Liat Sezan. Kamu ikut ‘kan?”Audy menggeleng, “Aku nanti aja.”“Kenapa gak sekarang aja?”“Eum... aku...”“Iya-iya, kamu males ‘kan liat tante berantem sama dia?”Audy nyengir. Ia pura-pura setuju dengan ucapan mama Alma. Karena jujur otaknya blank sekali setelah melakukan kej
Alma duduk bersebelahan dengan Adam di ruang tunggu depan ruangan papa. Audy yang berdiri di ujung ruangan terus melirik mereka berdua yang sama-sama bergeming sedari tadi.“Kalo cuma mau diem-dieman, mending gak usah duduk bareng."Alma melirik Audy. Ia sebenarnya ingin sekali pergi dari sini, menghindari Adam yang membuat jantungnya berdegup kencang.Adam melirik Alma, “Kamu udah makan?”Alma mengangguk.“Vitaminnya udah?”Alma mengangguk lagi.“Anaknya aktif di dalem?”Alma melirik Adam, “Semuanya baik, mas. Bukan karena aku di rumah sakit, aku bakal lupa makan dan minum vitamin, apalagi anaknya jadi gak aktif. Kamu gak perlu khawatir.”Adam mengangguk, “Aku harap kamu mau pulang. Senyaman apapun ruang VIP, yang namanya istirahat di rumah sakit itu gak nyaman.”“Besok lusa papa juga pulang. Selama disini aku nyaman kok.”Adam bergerak duduk menghadap Alma, “Kamu pulang ke rumah ya? Aku minta maaf atas semua kesalahan aku.”Alma tak menjawab.“Sezan udah keguguran. Dia
Alma terpaksa tersenyum saat Mario mengelus perut besarnya di kantin rumah sakit. Mario juga menciumi perut itu.“Aku gak sabar ketemu dia nanti.”Alma mengangguk, “Kamu sayang sama dia?”Mario mengangguk, “Tentu.”“Meskipun ini anak mas Adam?”Mario diam sejenak, lalu mengangguk, “Karena ada darah kamu mengalir di anak ini.”Alma tersenyum pura-pura lagi. Mario duduk tegap menatap sop susu pesanan Alma yang masih banyak, “Abisin dong makannya, sayang.”“Kenyang.”“Demi anak kita.”“Aku agak mual.”“Mau aku pesenin yang lain? Kamu mau apa? Coba bilang.”Alma menggeleng.“Sayang, kamu harus makan cukup.”“Ya itu, udah cukup.”Mario menarik hidung Alma gemas, “Sayangnya aku bisa aja.”Audy datang ke meja mereka membawa satu piring Nasi Goreng Rendang dan jus Nanas, “Rio, mobil gue aman ‘kan di bengkel temen lo?”“Ama
Mama sudah memberi tahu papa mengenai apa yang di dengarnya semalam mengenai ucapan Mario yang membuktikan kalau ia adalah dalang dibalik hamilnya Sezan. Papa terkejut tentu saja. Tapi papa tak banyak bicara. Mungkin papa bingung karena semua pengobatan dirumah sakit ini lengkap dengan ruangan VIPnya berasal dari uang Mario.“Mama mau bicara sama Alma, tapi dia ogah-ogahan dengernya. Baru mama bilang kalo Mario itu jahat, dia malah bikin alesan buat pergi jauhin mama.”“Alma mungkin butuh bukti, ma.”“Bukti apa sih, pa? Pendengaran mama gak akurat apa sampe dia butuh bukti segala?”“Ya mana papa tahu. Udah, ma, jangan terlalu banyak bicara macem-macem sama Alma, kasian kandungannya. Sebentar lagi dia melahirkan. Papa denger menjelang melahirkan, perasaannya jadi gak karuan.”“Dia tuh perasaannya gak karuan karena mau cerai dari Adam gara-gara kemarin Sezan hamil. Dia pasti bingung harus lahiran ditemenin Adam atau Mario.”
“Badan aku rusak karena hamil. Banyak perubahan yang gak bisa aku terima.” Alma kembali terisak setelah menyentuh kulit bawah perutnya yang menampilkan banyak strecth mark.Adam memeluk Alma tanpa bicara. Ia menangkap poin Alma. Ia tahu tidak mudah untuk Alma merelakan tubuh sempurnanya berubah karena kehamilan. Selain karena pengaruh hormon, Alma memang sensitif jika sudah menyinggung soal tubuhnya.Adam melepas pelukkannya, ia menatap Alma penuh pengertian, “Awalnya emang aku yang maksa kamu untuk punya anak. Selanjutnya gimana?”Alma menghindari manik Adam, “Aku yang mau hamil sendiri.”“Kamu hebat, semua para ibu di seluruh dunia ini juga. Makasih ya udah mau mengorbankan tubuh sempurna kamu untuk berubah demi mengandung anak aku.” Adam mengelus pelan perut Alma.Alma salah tingkah. Ia berusaha menyeka lengan Adam. “Bentar aku baca panduan dulu biar asinya gak rembes.”Alma tak menjawab. Ia hanya diam menaha
Alma dan Mario duduk berhadapan di kantin rumah sakit. Mario memintanya untuk ikut kesini. Terserah Adam masih mau disini atau pulang. Sedangkan Audy memilih untuk pergi memakai mobil Mercy yang Mario janjikan untuk di pinjamkan untuknya.“Aku gak suka kamu ketemu Adam.”“Rio, kita cuma duduk sebelahan.”“Sambil pegang tangannya?”Alma membuang mukanya.“Aku udah lunasin semua tagihan rumah sakit dan obat-obatnya. Aku juga udah bayar di muka pembayaran kontrol rawat jalan tiga hari lagi.”Alma menatap Mario. Ia sadar, mantan kekasihnya yang mungkin kedepannya akan berubah menjadi suaminya itu sedang menggertaknya, dengan mengatakan bahwa ia dan keluarga berhutang budi untuk menikmati layanan fasilitas kesehatan dirumah sakit ini sampai tuntas, dan ia diminta untuk tahu diri.“Makasih.”“Aku udah ngobrol sama dokter utamanya, katanya layanan rumah sakit ini bagus, tapi aku minta yang terbaik buat calon mertua aku. Jadinya untuk ke depannya, kit
Pov SezanSudah dua hari dari waktu kepulangan dari rumah sakit, Sezan tidak mau makan dan melakukan kegiatan apapun seperti biasanya. Ia bahkan tidak bisa tidur dengan benar sehingga amih dan Armand selalu bergantian untuk menemaninya di kamar. Kalau tidak ditemani takutnya Sezan melakukan hal-hal diluar kendali.“Zan, kamu gak perlu kayak gini. Kita cari cara baru ya buat menjerat Adam?” Armand bersender di dinding kamar meminta Sezan agar tidak berlarut-larut dalam kesedihan.Tak ada gelengan atau anggukan dari Sezan. Ia setia duduk diatas kasur dengan posisi memeluk kedua lututnya lengkap dengan tatapan menyedihkan.“Abang kamu bener. Kamu gak perlu kayak gini terus. Amih sama apih pasti bakal bantu kamu buat dapetin Adam lagi. Sekarang makan dulu ya, biar kamu bisa minum obat. Ya?” tawar amih.Sezan menggeleng.Amih menatap Armand.“Mau kamu apa sih, Zan? Coba bilang sama abang.”“Mati.”A