Alma menunggu dokter Andini selesai visit dari ruangan papa. Setelah mengatakan Arden dan Adam bertemu di lobi rumah sakit, Tiara pergi untuk mengangkat telpon dari orang butik.
“Dokter Andini.” Alma menahan dokter Andini yang baru keluar dari ruangan papa. “Mbak? Ada yang bisa saya bantu?” “Dokter ada visit ke ruangan lain?” Dokter Andini menggeleng pelan. Tepat! Alma meyakini dokter Andini hanya mewakili melakukan visit pada papa saja karena Arden enggan bertemu dengan keluarganya. “Aku boleh minta waktu dokter sebentar?” “Tentu, mbak.” Suster yang menemani dokter Andini mengangguk sopan, “Kalau begitu saya permisi.” “Iya, sus.” Selepas suster pergi, Alma berjalan ke arah yang jauh dari letak kamar papa. Ia takut mama mendengar obrolannya dengan dokter Andini. “Ada yang mau mbak tanyakan pada saya?” Alma membalikkan badan, “Dokter Arden ada dimana, dok?” “Eum...Alma terus mencari Arden kemana-mana. Ketika ia dapat info kakak iparnya ada dimana, ia kejar. Tapi sepertinya Arden sudah tahu bahwa ia dicari, sehingga ia sembunyi dan itu berhasil membuat Alma kesal karena tak menemukannya.Malam ini ia diminta mama untuk pulang, tapi Alma menolak. Ia tidak mau jauh dari papa karena takut terjadi serangan jantung lagi pada papa.“Ma!”Alma yang sedang berjalan tak tentu arah berhenti melangkah. Ia menatap kedatangan Audy yang ceria membawa banyak makanan, “Dy?”“Gue dimintain tolong sama Mario buat nemenin lo disini. Katanya lo disuruh pulang tapi gak mau.”“Gue mana bisa pulang, Dy. Kondisi bokap baik, tapi gue takut terjadi apa-apa sama papa.”“Gue ngerti kok. Gue ikut sedih ya. Padahal selama ini bokap lo yang paling sehat di antara bokap gue sama si... Sezan.”Alma mengangguk. Ia menunjuk beberapa paper bag yang Audy bawa, “Itu apa?”Audy tertawa, “Ini suplai maka
Hari ini Mario tidak bisa datang kesini karena harus pergi ke Surabaya, melakukan survei tanah yang akan dibangun properti keluarga mereka. Alma mengerti. Ia tak masalah sama sekali. Audy pamit pulang dulu untuk mandi dan berganti baju. Alma tak masalah. Ia senang ada Audy yang menemaninya disini. Tapi sahabat satu-satunya itu terus membicarakan Adam, membuatnya muak dan sakit hati.Virza yang baru datang menyerahkan kotak lunch box dan botol air minum lucu milik Belle pada Alma yang sedang duduk sendiri diruang tunggu, “Ada kiriman dari Ruth.”Alma mengangkat wajahnya, “Dok?”Virza duduk disebelah Alma, “Kamu harusnya pulang.”“Papa di rawat diruang VIP. Ada tempat istirahat buat yang tunggu.”“Meskipun gitu yang namanya dirumah sakit istirahatnya gak nyaman.”Alma menggeleng, “Aku gak mau jauh-jauh dari papa.”Virza mengangguk, “Aku ngerti. Nih, makan dulu.”“Aku gak laper.”“Buat anak kamu.”Alma menoleh menatap Virza. Mau tak mau ia menerima lunch box itu, “Suster Ruth
Sampai detik ini Alma masih marah pada mama. Ia tidak mau bertemu mama. Saat papa sudah di nyatakan keluar dari masa kritisnya, ia buru-buru masuk ke ruangan papa, tapi tak bertegur dengan mama. Sekarang, ia lebih memilih duduk di lobi sendirian.“Gue cari lo kemana-mana. Ternyata lo disini.” Audy duduk disebelah Alma.Alma tak menjawab.“Lo kenapa?”“Tadi Sezan kesini.”Audy melirik Alma, “Ngapain?”“Dia bawa buah.”“Harusnya lo buang buahnya depan mata dia. Lo bilang buah doang mah lo bisa beli sendiri.”Alma tertawa, “Gue gak ada waktu buat ngadepin dia. Kasian anak gue harus liat pertempuran gak penting.”Audy melirik Alma lagi, “Sekarang dia masih disini?”Alma mengangkat bahunya tidak peduli.“Alma?”Alma mengangkat wajahnya. Ia melihat suster Ruth bersama Virza, “Sus?” ia bangkit untuk berpelukkan dengan suster Ruth.“Aku turut sedih ya. Papa kamu
POV Audy“Alma! Ma, lo gak papa ‘kan?” pekik Audy sambil berlari menghampiri Alma.Alma menatap Audy bingung, “Lo kenapa?”Audy memegangi kedua lengan Alma dan membolak-balikkan badannya, “Beneran lo gak papa?”“Dy, apaan sih.” Alma menepis kedua tangan Audy.“Gue barusan liat si Sezan di toilet. Dia manggil-manggil nama lo. Jadi gue pikir dia dorong lo lagi.”Alma menggeleng, “Enggak kok.”Audy melirik Arden yang hanya diam saja memperhatikan obrolan mereka.“Ini... bukan si tua.”Audy melirik Alma, “Hah?”Arden tertawa.“Ini kakaknya si tua, namanya Arden.”Audy menatap Arden tak berkedip. Di lihat secara rinci wajahnya. Ia bahkan sampai mengelilingi badannya.“Dy, segitunya.”“Mirip banget loh, Ma. Lo gak ketuker?”Alma menggeleng, “Enggak dong.”“Kamu tahu, Tiara aja gak bisa bedain antara saya sama Adam.”“Itu Tiara, bukan aku.”Arden mengangguk, “Saya permisi, masih banyak kerjaan.”Alma mengangguk, “Makasih ya udah selametin aku tadi.”“Gak masalah. Permisi.
Mama melirik Alma yang sedang memainkan ponselnya di sofa ruangan papa, “Kamu beneran gak mau ikut liat Sezan?"Alma menggeleng, “Mama aja."Papa yang sedang menonton berita di televisi sambil makan buah potong melirik mama, “Ma, sebaiknya mama juga gak liat. Kita cukup kasih bela sengkawa nanti kalau ketemu.”Mama melirik Alma dan papa silih berganti, “Mama tetep mau kesana.”Papa dan Alma mengangkat bahu bersama. Mama memang tidak bisa dilarang.Mama keluar dari kamar papa. Untuk bisa sampai ke ruang rawat inap Sezan, mama harus turun satu lantai. Mama bertemu Audy yang sedang duduk sendiri memasang wajah super sendu di luar ruangan papa.“Dy, kamu kenapa?”Audy menatap mama, “Tante mau kemana?”“Liat Sezan. Kamu ikut ‘kan?”Audy menggeleng, “Aku nanti aja.”“Kenapa gak sekarang aja?”“Eum... aku...”“Iya-iya, kamu males ‘kan liat tante berantem sama dia?”Audy nyengir. Ia pura-pura setuju dengan ucapan mama Alma. Karena jujur otaknya blank sekali setelah melakukan kej
Alma duduk bersebelahan dengan Adam di ruang tunggu depan ruangan papa. Audy yang berdiri di ujung ruangan terus melirik mereka berdua yang sama-sama bergeming sedari tadi.“Kalo cuma mau diem-dieman, mending gak usah duduk bareng."Alma melirik Audy. Ia sebenarnya ingin sekali pergi dari sini, menghindari Adam yang membuat jantungnya berdegup kencang.Adam melirik Alma, “Kamu udah makan?”Alma mengangguk.“Vitaminnya udah?”Alma mengangguk lagi.“Anaknya aktif di dalem?”Alma melirik Adam, “Semuanya baik, mas. Bukan karena aku di rumah sakit, aku bakal lupa makan dan minum vitamin, apalagi anaknya jadi gak aktif. Kamu gak perlu khawatir.”Adam mengangguk, “Aku harap kamu mau pulang. Senyaman apapun ruang VIP, yang namanya istirahat di rumah sakit itu gak nyaman.”“Besok lusa papa juga pulang. Selama disini aku nyaman kok.”Adam bergerak duduk menghadap Alma, “Kamu pulang ke rumah ya? Aku minta maaf atas semua kesalahan aku.”Alma tak menjawab.“Sezan udah keguguran. Dia
Alma terpaksa tersenyum saat Mario mengelus perut besarnya di kantin rumah sakit. Mario juga menciumi perut itu.“Aku gak sabar ketemu dia nanti.”Alma mengangguk, “Kamu sayang sama dia?”Mario mengangguk, “Tentu.”“Meskipun ini anak mas Adam?”Mario diam sejenak, lalu mengangguk, “Karena ada darah kamu mengalir di anak ini.”Alma tersenyum pura-pura lagi. Mario duduk tegap menatap sop susu pesanan Alma yang masih banyak, “Abisin dong makannya, sayang.”“Kenyang.”“Demi anak kita.”“Aku agak mual.”“Mau aku pesenin yang lain? Kamu mau apa? Coba bilang.”Alma menggeleng.“Sayang, kamu harus makan cukup.”“Ya itu, udah cukup.”Mario menarik hidung Alma gemas, “Sayangnya aku bisa aja.”Audy datang ke meja mereka membawa satu piring Nasi Goreng Rendang dan jus Nanas, “Rio, mobil gue aman ‘kan di bengkel temen lo?”“Ama
Mama sudah memberi tahu papa mengenai apa yang di dengarnya semalam mengenai ucapan Mario yang membuktikan kalau ia adalah dalang dibalik hamilnya Sezan. Papa terkejut tentu saja. Tapi papa tak banyak bicara. Mungkin papa bingung karena semua pengobatan dirumah sakit ini lengkap dengan ruangan VIPnya berasal dari uang Mario.“Mama mau bicara sama Alma, tapi dia ogah-ogahan dengernya. Baru mama bilang kalo Mario itu jahat, dia malah bikin alesan buat pergi jauhin mama.”“Alma mungkin butuh bukti, ma.”“Bukti apa sih, pa? Pendengaran mama gak akurat apa sampe dia butuh bukti segala?”“Ya mana papa tahu. Udah, ma, jangan terlalu banyak bicara macem-macem sama Alma, kasian kandungannya. Sebentar lagi dia melahirkan. Papa denger menjelang melahirkan, perasaannya jadi gak karuan.”“Dia tuh perasaannya gak karuan karena mau cerai dari Adam gara-gara kemarin Sezan hamil. Dia pasti bingung harus lahiran ditemenin Adam atau Mario.”
Satu bulan kemudian...Alma merapikan kemeja Adam yang diberikan Virza sebagai bagian dari groomsmen. Adam terlihat sangat tampan karena aura wajah bahagianya keluar. Akhirnya, sahabat dunia akhiratnya, Virza mengakhiri masa lajangnya hari ini dengan satu perempuan yang amat ia sayangi.“Udah rapi, mas.”Adam mengangguk, “Sayang, nanti kita join honey moon sama Virza dan kakak, ya?”Alma menggebung dada bidang Adam, “Mas, aku belum pasang kb loh. Kalo kebablasan gimana? Ngurus Arick aja aku masih bingung.”Adam tertawa, “Sayang, ‘kan aku udah bilang biar aku aja yang pasang kb. Ada banyak pilihan ‘kan buat laki-laki?"“Mas, emang gak papa?”“Ya gak papa lah, yang apa-apa itu kalo kamu pasang tapi malah gak cocok. Perempuan itu udah banyak mengorbankan diri. Menstruasi, hamil, melahirkan, semuanya mengendalikan hormon ‘kan? Masa masalah kb yang bisa aku gantiin harus kamu yang ngerasain juga?”Alma mengangguk, “Ya udah, terserah kamu.”“Aku udah konsul kok seminggu kemarin sam
Alma menggedor pintu rumah Arden dengan kencang. Adam yang berdiri dibelakangnya hanya diam saja karena tidak tahu sesakit apa perasaan istrinya begitu mendengar ucapan pak Bowo tadi dirumahnya mengenai Arden yang akan menikah tanpa memberi tahunya.Ceklek.“Alma, Adam?” Arden menatap Alma dan Adam datar.Alma mendorong tubuh Arden agar bisa masuk ke dalam rumahnya. Ia berjalan cepat mencari seseorang yang mungkin sengaja sembunyi begitu tahu ia datang.“Audy! Audy!”Audy yang sedang bermain salon-salonan dengan Belle di ruang tivi terperanjat kaget melihat kedatangan dan suara menggelegar Alma, “Alma?”“Apa?’Audy beringsut berdiri sejajar dengan Belle yang seolah sama kagetnya melihat Alma.“Mami?”Alma melirik ke arah Belle yang belepotan dengan lipstik mainannya. Rambutnya yang sudah keriting tertempel roll rambut seperti ibu kost yang membuatnya tidak kuat untuk pura-pura marah.“Hahahaha.”Audy dan Belle, serta Adam dan Arden yang baru sampai dengan suster Tiwi yang m
“Kamu habis besuk Mario?”Alma mengangguk.“Ayo duduk sebentar, ada yang mau om sampaikan sama kamu dan suami. Mari Adam.”Adam memberikan Arick pada suster Tiwi, “Sus, tunggu di mobil aja, kasian Arick kepanasan. Ini kunci mobilnya.”“Baik, pak, permisi, kak, pak.”Semua mengangguk.Adam menggandeng Alma untuk duduk diruang tunggu yang sedang kosong di lobi ruangan polres.“Gimana kabar kamu?” tanya om Indra setelah mereka bertiga duduk.“Baik, om. Aku... dibantu pemulihan dengan obat dari psikiater sih.”Om Indra membetulkan kaca matanya, “Kamu hebat karena sudah bertahan di situasi sulit itu.”“Iya, om.”“Oyah, persidangan Mario akan digelar minggu depan. Kamu gak perlu ikut kalo gak sanggup memberikan kesaksian. Ibu Ratih aja cukup.”Alma melirik Adam.Adam menggenggam tangan Alma, “Om Indra bener, kalo kamu gak sanggup, kamu gak perlu maksain diri.
Adam membukakan pintu mobil untuk Alma yang tengah menggendong Arick. Begitu sampai di depan polres yang memenjarakan Mario sementara karena ulahnya, Arick terus menangis. “Mas, apa aku gak perlu ikut masuk ya?” Adam diam sejenak lalu menatap suster Tiwi yang berdiri dekat mereka, “Arick biar sama suster Tiwi aja. Nanti kalo Arick udah tenang boleh dibawa ke dalem, takutnya Mario pengen liat.” Alma mengangguk. Ia memberikan Arick pada suster Tiwi, “Sus, kita masuk dulu ya.” “Iya, kak Alma, silakan.” Alma menggandeng lengan Adam dan berjalan pelan ke dalam pelataran polres. Alma merasa bulu kuduknya berdiri ketika masuk. Ini pertama kalinya ia datang kesini, dan semoga untuk terakhir kalinya. Karena tidak terbayang bagaimana mentalnya yang belum stabil jika harus kembali datang kesini. “Selamat siang, pak, ada yang bisa kami bantu?” tanya seorang personil polisi yang menjaga di meja depan. “Pagi. Saya ingin bertemu dengan pelaku penculikkan dan penganiaya istri saya, namanya Mar
Pov AudyAudy berjalan pelan ketika tangannya sibuk membawa banyak paper bag pesanan Alma. Temannya yang satu itu memang senang membuatnya kewalahan. Alma memintanya membelikan banyak makanan dan pernah-pernik untuk dipakainya diruang rawat inap karena belum bisa pulang hari ini, karena kondisinya yang harus dalam bawah pengawasan dokter.“Emang bener-bener si Alma. Awas aja kalo gue nanti lahiran, gue bakal lebih ngerepotin elo!”Seseorang tertawa dibelakangnya, membuat Audy membalikkan badan. Ia berhenti dan menatap orang itu, “Ini mas Adam atau dokter Arden?”“Menurut kamu?”Audy membuang nafas pelan, “Dokter Arden.”Arden memegang dua bahu Audy dan menyeretnya ke pinggir agar tidak menghalangi mobilitas lorong menuju ruang perawatan, “Mau kemana?”“Mau kasih pesenan tuan puteri.”Arden menatap banyak paper bag yang Audy bawa, “Jangan sekarang.”“Kenapa?”“Adam lagi dinas.”“Aku perlunya sama Alma, bukan sama mas Adam.”“Kan saya bilang Adam lagi dinas.” tutur Arden pen
Alma dan Adam saling lirik. Mereka menatap Sezan yang tersenyum manis seperti biasa seolah tidak terjadi apa-apa belakangan ini. “Sezan?” mama yang sedang memangku Arick melirik Sezan tidak suka. Mama takut kehadiran Sezan membuat Alma yang belum sembuh benar bisa stress. “Tante, aku boleh masuk?” Mama melirik Alma, Alma malah melirik Adam. Ia tidak tahu harus bagaimana. Tampak Virza melongokkan kepalanya dibelakang tubuh Sezan, ia mengangguk meminta Alma dan Adam mengizinkan Sezan masuk. “Boleh, sini masuk, Zan.” pinta Alma. Sezan masuk, ia melewati papa yang masih berdiri kaget di dekat pintu. Ia langsung menghampiri Alma yang tengah duduk diranjang, “Aku turut seneng sama kelahiran bayi kamu. Selamat ya, Ma.” Alma mengangguk. Kedatangan Sezan kesini baik-baik, maka ia harus tetap bersikap baik padanya. Kecuali kalau Sezan mulai membuat kegaduhan, ia tak segan mengusirnya dengan kasar. Virza yang seda
Alma kembali ke kamar setelah selesai berbincang dengan Arden. Begitu kembali ia tidak menemukan mama-papa, ibu, Audy dan suster Ruth. Mungkin mereka pergi untuk makan siang. Ia hanya melihat Adam yang sedang menciumi wajah Adam junior dan menyanyikan lagu improvisasi buatannya sendiri.“Anak papa oh anak papa, kamu kuat dan begitu tampan.”Alma tertawa.Adam melirik ke arah pintu, dimana Alma berdiri memegangi besi infusan, “Kamu kapan dateng?”Alma berjalan mengampiri Adam, “Ternyata bener, cowok kalo lagi fokus istrinya dateng aja dia gak sadar.”Adam tersenyum. Ia mencium kening Alma, “Kamu udah ketemu kakak?”Alma mengangguk, “Aku seneng mas, akhirnya sekarang aku punya kakak ipar.”“Dia juga pasti seneng bisa punya adik ipar, masih muda begini lagi. Dia bisa jailin kamu sepuasnya.”Alma duduk di ranjang, “Mas, soal Belle—"“Sayang...”“Kembaliin Belle sama kak Arden bukan karena
Alma ditinggalkan berdua bersama Arden di taman rumah sakit. Audy dan suster Ruth beralasan pergi untuk menemani Adam junior. Padahal anak tampan itu sedang jadi rebutan antara mama dan ibu.“Cuacanya lagi bagus banget ya.” tutur Arden sebagai pembuka pembicaraan mereka.Alma mengangguk, “Iya, kak.”Arden melirik Alma, “Alma, saya minta maaf untuk semuanya.”Alma menoleh. Ia hanya mengangguk.“Seandainya dari awal saya gak pergi begitu Belle dilahirkan, semuanya gak akan terjadi seperti ini.”“Takdir. Semuanya harus terjadi gini, kak.”Arden tersenyum, “Saya janji akan membereskan semua masalah yang saya buat dalam rumah tangga kalian.”“Misalnya?”“Belle. Saya akan ambil Belle biar kalian fokus membesarkan anak kalian sendiri. Saya tahu Adam berencana untuk punya banyak anak.”Alma membuang nafas pelan.“Kenapa?”Alma tertawa kecil, “Aku rasa mas Adam gak berniat
Alma melendot manja di lengan kekar Adam yang sedang menggendong anak tunggal mereka, “Mas, aku kangen.”Adam tersenyum, “Ini kangen yang mana nih maksudnya?”Alma tertawa, “Aku emang lahiran caesar, tapi... kamu tetep jangan nakal.”“Aku pikir kamu mau nambah adeknya Adam junior cepet-cepet.”“Adam junior?”Adam mengangguk, “Anak ini ‘kan anak aku.”Alma duduk tegap dan menatap Adam serius, “Kamu... udah buka hasil DNA nya?”Adam menaruh Adam junior di box bayi. Ia mengubah posisi duduknya menatap Alma. Dengan lembut ia membelai lembut pipi istrinya. Ia juga sempat mengusap pelan ujung bibir Alma yang semalam berdarah.“Udah. Dan anak ini anak aku.”“Kamu... serius, mas?”Adam mengangguk.Alma menangis. Ia memeluk Adam sangat erat, “Aku tahu ini anak kamu.”“Terus kenapa kamu tetep kaget?”“Aku cuma.... takut selama ini denial kalo ini anak Mario.”Adam tertawa, “Kenapa kamu gak bilang udah lakuin tes DNA sebelum kita kontrol terakhir? Hm?”“Aku cuma takut sama hasilny