Alma menyelimuti papa sampai dada. Keadaan papa semakin membaik, tapi harus tetap dipantau dua puluh empat jam karena dadanya selalu tiba-tiba terasa sakit seperti di tekan, katanya. Mama yang sedari tadi menemani baru bisa mandi setelah menerima baju ganti dari mbok Nah.
“Udah, kamu pulang aja. Perut kamu pasti gak nyaman, ‘kan?” Alma tersenyum, “Gak papa, pa. Aku bisa nginep disini.” “Kamu pulang aja. Buat anak kamu, cucu papa.” Alma tak menjawab. “Mario masih disini ‘kan?” Alma mengangguk, “Dia tunggu diluar karena bukan jam besuk.” “Perempuan yang tinggi itu... siapa?” “Itu Tiara, sepupu Rio. Dia juga... mantannya mas Adam.” Papa terkejut. Papa juga jadi ingat soal pengakuan Adam tadi siang. Alma menggenggam tangan kanan papa, “Pa, tadi mas Adam lama dirumah?” “Lumayan.” “Kenapa papa bisa kena serangan jantung? Mas Adam bilang apa?” Papa memalingkanAlma menunggu dokter Andini selesai visit dari ruangan papa. Setelah mengatakan Arden dan Adam bertemu di lobi rumah sakit, Tiara pergi untuk mengangkat telpon dari orang butik.“Dokter Andini.” Alma menahan dokter Andini yang baru keluar dari ruangan papa. “Mbak? Ada yang bisa saya bantu?”“Dokter ada visit ke ruangan lain?”Dokter Andini menggeleng pelan. Tepat! Alma meyakini dokter Andini hanya mewakili melakukan visit pada papa saja karena Arden enggan bertemu dengan keluarganya.“Aku boleh minta waktu dokter sebentar?”“Tentu, mbak.”Suster yang menemani dokter Andini mengangguk sopan, “Kalau begitu saya permisi.”“Iya, sus.”Selepas suster pergi, Alma berjalan ke arah yang jauh dari letak kamar papa. Ia takut mama mendengar obrolannya dengan dokter Andini.“Ada yang mau mbak tanyakan pada saya?”Alma membalikkan badan, “Dokter Arden ada dimana, dok?”“Eum...
Alma terus mencari Arden kemana-mana. Ketika ia dapat info kakak iparnya ada dimana, ia kejar. Tapi sepertinya Arden sudah tahu bahwa ia dicari, sehingga ia sembunyi dan itu berhasil membuat Alma kesal karena tak menemukannya.Malam ini ia diminta mama untuk pulang, tapi Alma menolak. Ia tidak mau jauh dari papa karena takut terjadi serangan jantung lagi pada papa.“Ma!”Alma yang sedang berjalan tak tentu arah berhenti melangkah. Ia menatap kedatangan Audy yang ceria membawa banyak makanan, “Dy?”“Gue dimintain tolong sama Mario buat nemenin lo disini. Katanya lo disuruh pulang tapi gak mau.”“Gue mana bisa pulang, Dy. Kondisi bokap baik, tapi gue takut terjadi apa-apa sama papa.”“Gue ngerti kok. Gue ikut sedih ya. Padahal selama ini bokap lo yang paling sehat di antara bokap gue sama si... Sezan.”Alma mengangguk. Ia menunjuk beberapa paper bag yang Audy bawa, “Itu apa?”Audy tertawa, “Ini suplai maka
Hari ini Mario tidak bisa datang kesini karena harus pergi ke Surabaya, melakukan survei tanah yang akan dibangun properti keluarga mereka. Alma mengerti. Ia tak masalah sama sekali. Audy pamit pulang dulu untuk mandi dan berganti baju. Alma tak masalah. Ia senang ada Audy yang menemaninya disini. Tapi sahabat satu-satunya itu terus membicarakan Adam, membuatnya muak dan sakit hati.Virza yang baru datang menyerahkan kotak lunch box dan botol air minum lucu milik Belle pada Alma yang sedang duduk sendiri diruang tunggu, “Ada kiriman dari Ruth.”Alma mengangkat wajahnya, “Dok?”Virza duduk disebelah Alma, “Kamu harusnya pulang.”“Papa di rawat diruang VIP. Ada tempat istirahat buat yang tunggu.”“Meskipun gitu yang namanya dirumah sakit istirahatnya gak nyaman.”Alma menggeleng, “Aku gak mau jauh-jauh dari papa.”Virza mengangguk, “Aku ngerti. Nih, makan dulu.”“Aku gak laper.”“Buat anak kamu.”Alma menoleh menatap Virza. Mau tak mau ia menerima lunch box itu, “Suster Ruth
Sampai detik ini Alma masih marah pada mama. Ia tidak mau bertemu mama. Saat papa sudah di nyatakan keluar dari masa kritisnya, ia buru-buru masuk ke ruangan papa, tapi tak bertegur dengan mama. Sekarang, ia lebih memilih duduk di lobi sendirian.“Gue cari lo kemana-mana. Ternyata lo disini.” Audy duduk disebelah Alma.Alma tak menjawab.“Lo kenapa?”“Tadi Sezan kesini.”Audy melirik Alma, “Ngapain?”“Dia bawa buah.”“Harusnya lo buang buahnya depan mata dia. Lo bilang buah doang mah lo bisa beli sendiri.”Alma tertawa, “Gue gak ada waktu buat ngadepin dia. Kasian anak gue harus liat pertempuran gak penting.”Audy melirik Alma lagi, “Sekarang dia masih disini?”Alma mengangkat bahunya tidak peduli.“Alma?”Alma mengangkat wajahnya. Ia melihat suster Ruth bersama Virza, “Sus?” ia bangkit untuk berpelukkan dengan suster Ruth.“Aku turut sedih ya. Papa kamu
POV Audy“Alma! Ma, lo gak papa ‘kan?” pekik Audy sambil berlari menghampiri Alma.Alma menatap Audy bingung, “Lo kenapa?”Audy memegangi kedua lengan Alma dan membolak-balikkan badannya, “Beneran lo gak papa?”“Dy, apaan sih.” Alma menepis kedua tangan Audy.“Gue barusan liat si Sezan di toilet. Dia manggil-manggil nama lo. Jadi gue pikir dia dorong lo lagi.”Alma menggeleng, “Enggak kok.”Audy melirik Arden yang hanya diam saja memperhatikan obrolan mereka.“Ini... bukan si tua.”Audy melirik Alma, “Hah?”Arden tertawa.“Ini kakaknya si tua, namanya Arden.”Audy menatap Arden tak berkedip. Di lihat secara rinci wajahnya. Ia bahkan sampai mengelilingi badannya.“Dy, segitunya.”“Mirip banget loh, Ma. Lo gak ketuker?”Alma menggeleng, “Enggak dong.”“Kamu tahu, Tiara aja gak bisa bedain antara saya sama Adam.”“Itu Tiara, bukan aku.”Arden mengangguk, “Saya permisi, masih banyak kerjaan.”Alma mengangguk, “Makasih ya udah selametin aku tadi.”“Gak masalah. Permisi.
Mama melirik Alma yang sedang memainkan ponselnya di sofa ruangan papa, “Kamu beneran gak mau ikut liat Sezan?"Alma menggeleng, “Mama aja."Papa yang sedang menonton berita di televisi sambil makan buah potong melirik mama, “Ma, sebaiknya mama juga gak liat. Kita cukup kasih bela sengkawa nanti kalau ketemu.”Mama melirik Alma dan papa silih berganti, “Mama tetep mau kesana.”Papa dan Alma mengangkat bahu bersama. Mama memang tidak bisa dilarang.Mama keluar dari kamar papa. Untuk bisa sampai ke ruang rawat inap Sezan, mama harus turun satu lantai. Mama bertemu Audy yang sedang duduk sendiri memasang wajah super sendu di luar ruangan papa.“Dy, kamu kenapa?”Audy menatap mama, “Tante mau kemana?”“Liat Sezan. Kamu ikut ‘kan?”Audy menggeleng, “Aku nanti aja.”“Kenapa gak sekarang aja?”“Eum... aku...”“Iya-iya, kamu males ‘kan liat tante berantem sama dia?”Audy nyengir. Ia pura-pura setuju dengan ucapan mama Alma. Karena jujur otaknya blank sekali setelah melakukan kej
Alma duduk bersebelahan dengan Adam di ruang tunggu depan ruangan papa. Audy yang berdiri di ujung ruangan terus melirik mereka berdua yang sama-sama bergeming sedari tadi.“Kalo cuma mau diem-dieman, mending gak usah duduk bareng."Alma melirik Audy. Ia sebenarnya ingin sekali pergi dari sini, menghindari Adam yang membuat jantungnya berdegup kencang.Adam melirik Alma, “Kamu udah makan?”Alma mengangguk.“Vitaminnya udah?”Alma mengangguk lagi.“Anaknya aktif di dalem?”Alma melirik Adam, “Semuanya baik, mas. Bukan karena aku di rumah sakit, aku bakal lupa makan dan minum vitamin, apalagi anaknya jadi gak aktif. Kamu gak perlu khawatir.”Adam mengangguk, “Aku harap kamu mau pulang. Senyaman apapun ruang VIP, yang namanya istirahat di rumah sakit itu gak nyaman.”“Besok lusa papa juga pulang. Selama disini aku nyaman kok.”Adam bergerak duduk menghadap Alma, “Kamu pulang ke rumah ya? Aku minta maaf atas semua kesalahan aku.”Alma tak menjawab.“Sezan udah keguguran. Dia
Alma terpaksa tersenyum saat Mario mengelus perut besarnya di kantin rumah sakit. Mario juga menciumi perut itu.“Aku gak sabar ketemu dia nanti.”Alma mengangguk, “Kamu sayang sama dia?”Mario mengangguk, “Tentu.”“Meskipun ini anak mas Adam?”Mario diam sejenak, lalu mengangguk, “Karena ada darah kamu mengalir di anak ini.”Alma tersenyum pura-pura lagi. Mario duduk tegap menatap sop susu pesanan Alma yang masih banyak, “Abisin dong makannya, sayang.”“Kenyang.”“Demi anak kita.”“Aku agak mual.”“Mau aku pesenin yang lain? Kamu mau apa? Coba bilang.”Alma menggeleng.“Sayang, kamu harus makan cukup.”“Ya itu, udah cukup.”Mario menarik hidung Alma gemas, “Sayangnya aku bisa aja.”Audy datang ke meja mereka membawa satu piring Nasi Goreng Rendang dan jus Nanas, “Rio, mobil gue aman ‘kan di bengkel temen lo?”“Ama