Danu keluar dari kamar dengan segera. Teriakan dari wanita cantik itu tidak dihiraukan. Walau kepalanya masih berdenyut ngilu ia berusaha tegar untuk keluar dari apartemen mewah milik wanita cantik itu. Ketika Danu Mencapai pintu depan, ia teringat dengan dompetnya yg berisi beberapa beberapa lembar uang dan kartu identitas penting miliknya. 'Di mana dompetku berada?' Danu mengedarkan pandangannya. Ia mengacak-acak ruang tamu, namun hasilnya nihil. Wanita cantik itu sudah keluar dari kamar dengan hanya melilitkan handuk di tubuhnya. "Jangan pergi!" Danu menoleh, matanya membulat. Tanpa pikir panjang Danu berlari membuka pintu utama yang untungnya cuma dikunci secara biasa yang dengan mudah Danu buka. Ia tidak lagi menoleh ke belakang. Danu berlari kencang menuju tangga darurat lalu turun. Sampai di bawah, napas Danu mulai tersengal. Ia sudah tidak lagi mendengar teriakan wanita cantik itu. Beberapa pasang mata memperhatikan penampilan Danu yang kelihatan aneh dan rambut yang acak-a
Hati Danu bagai dihantam gelombang tsunami, porak poranda tak berbentuk. Maju kena, mundur juga kena. Di sebelah kanan ada Risa bersama Al dan di sebelah kiri ada Karin bersama kekasih barunya. Wajah Danu mulai memucat, pernapasan terasa sesak, keringat dingin mulai mengalir di tubuhnya. Pikirannya kosong, ia hanya pasrah karena terjebak di situasi yang sulit seperti ini. Tidak ada tempat baginya untuk untuk bersembunyi. "Mas Danu …! Pak Jajang memanggil Danu dengan lantang. 'Oh Tuhan … apalagi ini.' Danu semakin gelisah karena suara Pak Jajang membuat Risa dan Al menoleh padanya. Waktu seakan berhenti pada satu titik pusaran. Tepat di depan konter check in sebuah maskapai penerbangan internasional, tiga orang manusia yang mempunyai hubungan di masa lalu bertemu dengan keadaan status yang berbeda. Risa dan suami barunya, Karin bersama kekasih baru, hanya Danu dengan statusnya yang masih sendiri. Tiga pasang mata itu kini bertemu. Risa syok karena bertemu Danu dan Karin dalam wakt
"Al," Risa mencengkram lengan Al dengan kuat. Ia takut karena ada lima laki-laki berkebangsaan Turki mengelilingi mereka. "Shhh… jangan takut. Suamimu ini nggak jelek-jelek amat kalau soal bela diri." Al menenangkan Risa yang ketakutan. Terdengar adu mulut antara mereka dengan Al. Risa tidak paham karena mereka berbicara menggunakan bahasa Turki. Salah satu dari mereka menatap Risa dengan tajam. Al langsung menghardik laki-laki itu karena tidak suka, Risa dipandang dengan tatapan penuh nàfsu. Tidak terima dengan teriakkan Al, laki-laki itu langsung menyerang Al dengan bertubi-tubi. Risa mundur ke belakang, tubuhnya gemetar melihat Al dikeroyok oleh lima orang. Ia mulai menangis, menyesal mengajak Al untuk jalan-jalan di luar. Al yang sejak kecil mengikuti bela diri taekwondo cukup bisa mengimbangi karena kelima orang tersebut dalam keadaan mabuk. Apalagi postur tubuh Al yang menyerupai mereka menjadikan Al tidak terlalu sulit untuk mengimbangi serangan. Satu pukulan bisa Al daratk
Danu menekan tombol apartemen Shela. Ia menghela napas ketika untuk yang ketiga kalinya, pintu apartemen tidak terbuka. "Mungkin dia tidak ada di rumah." Danu menebak. Ketika Danu ingin beranjak pergi, terdengar suara berisik dari dalam apartemen. Langkah Danu terhenti, untuk sesaat ia bingung harus berbuat apa. Namun setelah mendengar suara tangis perempuan dan bentakan dari seorang laki-laki, Danu berinisiatif ingin melihat keadaan di dalam apartemen. Danu terkesiap ketika pintu apartemen ternyata tidak terkunci. Ia segera masuk mencari sumber suara keributan. "Tidak… jangan pùkul aku, aku mohon." Shela menangis dengan posisi bersimpuh di kaki seorang laki-laki yang membawa sebuah cambuk di tangannya. "Kau harus membuatku senang, dulu. Baru aku pikirkan, akan menghukummu atau tidak!" Laki-laki itu masih mengayun-ayunkan cambuk yang ada di tangannya. "Kalau permintaanmu seperti itu, aku tidak sanggup." "Wanita nakal sepertimu tidak berhak protes dengan tuntutanku!" Laki-laki it
"With my pleasure." Al segera bangun dari tidurnya. Ia menuntun Risa lalu mendudukkannya di atas ranjang. Api unggun di dalam tungku pembakaran cukup bisa menghangatkan suhu ruangan di tengah malam yang dingin karena salju mulai turun. Untuk sesaat mereka hanya saling berpandangan dalam diam, hanya bahasa mata yang berbicara mengungkapkan rahasia hati masing-masing sebelum mereka melebur rasa haus akan kasih sayang sebagai pasangan suami istri. Malam ini, dua jiwa yang berbeda akan bersatu dalam satu ikatan cinta atas nama Tuhan yang telah menakdirkan dua raga untuk bersatu. Al mengecup puncak kepala Risa. "Terima kasih, Aayang." Bibir Al beralih ke telinga kanan Risa, embusan napas Al yang terasa hangat mendadak berhenti, berganti dengan lafaz sebaris do'a. Risa memejamkan matanya. Ia mulai rileks, menanti Al untuk memulai pergùmulan mereka. "Buka matamu!" bisik Al lirih.Risa membuka matanya yang langsung dihadapkan pemandangan yang sudah lama tidak pernah ia lihat. "Indah." Pipi
Jakarta. Sudah 24 jam Danu berada dalam sel tahanan di sebuah Kantor polisi di Jakarta Selatan. Ia sudah pasrah dengan nasibnya. Semuanya telah ia serahkan kepada Tuhan Sang Pencipta. Danu menyandarkan tubuhnya di dinding sel tahanan yang terasa dingin. Matanya tertutup, hanya telinganya yang mendengar aktivitas penghuni sel lainya dan petugas kepolisian yang sedang menjalankan tugas. "Buka pintu!" Suara seorang laki-laki menggelegar, mengagetkan Danu. "Selamat siang, Pak." Pintu sel tahanan dibuka. "Hei, kamu!" Danu membuka matanya lalu menatap orang yang sedang bertolak pinggang, menunjuk satu jari kepada Danu. 'Oh, orang itu lagi.' Danu menghela napasnya. "Berdiri!" Danu dengan malas berdiri, menuruti perintah laki-laki itu. "Di rumah Shela, kamu berani memukulku. Sekarang saatnya aku akan memberimu pelajaran karena telah mengganggu waktuku bersenang-senang." Laki-laki yang ternyata seorang oknum polisi itu menarik kerah baju Danu lalu melayangkan sebuah pukulan di wajahn
Risa melempar test pack ke dalam tempat sampah. Helaan napas panjang keluar dari mulutnya. Ia memandang langit-langit kamar sambil mengelus perutnya. Setitik cairan bening mengalir di sudut mata cantiknya. "Kenapa, hem?" Al sudah berada di samping Risa lalu memeluknya. "Al," Risa menoleh. "Ada apa, Aayang?" Al balik menatap. "Sampai sekarang …." Risa meremas ujung kemejanya. "Sttt … sabar aja." "Tapi apa yang salah, sedangkan kita udah Chek-up dan hasilnya kita berdua tidak ada masalah. Program kesuburan dan kehamilan juga sudah. Diet gizi apalagi, sampai bosan makan makanan itu-itu saja." Risa mulai menumpahkan kekecewaanya dengan menangis di dada, Al. "Tidak ada yang salah, kita sudah melakukan segala usaha dengan maksimal. Kita hanya bisa menunggu izin dari Tuhan untuk mempunyai keturunan." "Sampai kapan, kita sudah setengah tahun lebih menikah, Al." "Sampai Tuhan memberikan izin karena hanya Dia yang tahu waktu dan keadaan yang tepat, rahimmu terisi oleh kehidupan baru." A
"Ha-hamil, s-selamat, Pak, Bu." Danu terlihat salah tingkah. "Terima kasih, Dan." Al berusaha terlihat biasa saja demi menjaga moodnya Risa. "Kamu ke sini …?" "Halo apa kabar?" Dari ujung koridor, Shela datang menyapa. Risa memicingkan matanya melihat wanita cantik nan sèksi seumuran dengan Danu datang menyapa dan langsung mengalungkan tangannya di lengan Danu. Wanita itu terlihat terawat dari segi kulit, wajah, rambut hingga kuku-kuku jarinya. "Ehm … ini?" Al bertanya. "Perkenalkan, saya calon istrinya Mas Danu, kami ke sini buat cek kesehatan. Bulan depan kami akan menikah." Danu mengernyit, melirik Shela yang tersenyum padanya. "Oh jadi kamu mau nikah, Dan?" "Ehm … itu …." "Kami memang mendadak karena tidak merencanakan sebelumnya. Mas, kamu sudah ngomong kalau mau resign?" "Resign?" Danu terlihat bingung. "Kamu dapat kerjaan di sini, bukan? Setelah menikah, aku nggak mau LDR. Berat, Mas, banyak godaannya." "Itu … aku belum ngomong, sih." Shela melakukan kontak mata de