"With my pleasure." Al segera bangun dari tidurnya. Ia menuntun Risa lalu mendudukkannya di atas ranjang. Api unggun di dalam tungku pembakaran cukup bisa menghangatkan suhu ruangan di tengah malam yang dingin karena salju mulai turun. Untuk sesaat mereka hanya saling berpandangan dalam diam, hanya bahasa mata yang berbicara mengungkapkan rahasia hati masing-masing sebelum mereka melebur rasa haus akan kasih sayang sebagai pasangan suami istri. Malam ini, dua jiwa yang berbeda akan bersatu dalam satu ikatan cinta atas nama Tuhan yang telah menakdirkan dua raga untuk bersatu. Al mengecup puncak kepala Risa. "Terima kasih, Aayang." Bibir Al beralih ke telinga kanan Risa, embusan napas Al yang terasa hangat mendadak berhenti, berganti dengan lafaz sebaris do'a. Risa memejamkan matanya. Ia mulai rileks, menanti Al untuk memulai pergùmulan mereka. "Buka matamu!" bisik Al lirih.Risa membuka matanya yang langsung dihadapkan pemandangan yang sudah lama tidak pernah ia lihat. "Indah." Pipi
Jakarta. Sudah 24 jam Danu berada dalam sel tahanan di sebuah Kantor polisi di Jakarta Selatan. Ia sudah pasrah dengan nasibnya. Semuanya telah ia serahkan kepada Tuhan Sang Pencipta. Danu menyandarkan tubuhnya di dinding sel tahanan yang terasa dingin. Matanya tertutup, hanya telinganya yang mendengar aktivitas penghuni sel lainya dan petugas kepolisian yang sedang menjalankan tugas. "Buka pintu!" Suara seorang laki-laki menggelegar, mengagetkan Danu. "Selamat siang, Pak." Pintu sel tahanan dibuka. "Hei, kamu!" Danu membuka matanya lalu menatap orang yang sedang bertolak pinggang, menunjuk satu jari kepada Danu. 'Oh, orang itu lagi.' Danu menghela napasnya. "Berdiri!" Danu dengan malas berdiri, menuruti perintah laki-laki itu. "Di rumah Shela, kamu berani memukulku. Sekarang saatnya aku akan memberimu pelajaran karena telah mengganggu waktuku bersenang-senang." Laki-laki yang ternyata seorang oknum polisi itu menarik kerah baju Danu lalu melayangkan sebuah pukulan di wajahn
Risa melempar test pack ke dalam tempat sampah. Helaan napas panjang keluar dari mulutnya. Ia memandang langit-langit kamar sambil mengelus perutnya. Setitik cairan bening mengalir di sudut mata cantiknya. "Kenapa, hem?" Al sudah berada di samping Risa lalu memeluknya. "Al," Risa menoleh. "Ada apa, Aayang?" Al balik menatap. "Sampai sekarang …." Risa meremas ujung kemejanya. "Sttt … sabar aja." "Tapi apa yang salah, sedangkan kita udah Chek-up dan hasilnya kita berdua tidak ada masalah. Program kesuburan dan kehamilan juga sudah. Diet gizi apalagi, sampai bosan makan makanan itu-itu saja." Risa mulai menumpahkan kekecewaanya dengan menangis di dada, Al. "Tidak ada yang salah, kita sudah melakukan segala usaha dengan maksimal. Kita hanya bisa menunggu izin dari Tuhan untuk mempunyai keturunan." "Sampai kapan, kita sudah setengah tahun lebih menikah, Al." "Sampai Tuhan memberikan izin karena hanya Dia yang tahu waktu dan keadaan yang tepat, rahimmu terisi oleh kehidupan baru." A
"Ha-hamil, s-selamat, Pak, Bu." Danu terlihat salah tingkah. "Terima kasih, Dan." Al berusaha terlihat biasa saja demi menjaga moodnya Risa. "Kamu ke sini …?" "Halo apa kabar?" Dari ujung koridor, Shela datang menyapa. Risa memicingkan matanya melihat wanita cantik nan sèksi seumuran dengan Danu datang menyapa dan langsung mengalungkan tangannya di lengan Danu. Wanita itu terlihat terawat dari segi kulit, wajah, rambut hingga kuku-kuku jarinya. "Ehm … ini?" Al bertanya. "Perkenalkan, saya calon istrinya Mas Danu, kami ke sini buat cek kesehatan. Bulan depan kami akan menikah." Danu mengernyit, melirik Shela yang tersenyum padanya. "Oh jadi kamu mau nikah, Dan?" "Ehm … itu …." "Kami memang mendadak karena tidak merencanakan sebelumnya. Mas, kamu sudah ngomong kalau mau resign?" "Resign?" Danu terlihat bingung. "Kamu dapat kerjaan di sini, bukan? Setelah menikah, aku nggak mau LDR. Berat, Mas, banyak godaannya." "Itu … aku belum ngomong, sih." Shela melakukan kontak mata de
"Jangan ditekuk mulu dong mukanya. Yang lalu biarlah berlalu, ikhlaskan semua yang terjadi." Al menenangkan Risa yang sedari tadi terlihat murung setelah pertemuannya dengan Danu.Helaan napas keluar dari mulut Risa. Ia memeluk tubuh suaminya, menyalurkan keresahan yang mulai muncul."Ngomong dong, hem …, ada apa sayang. Jangan dipendam, aku siap mendengarkan keluh kesahmu." Al masih berusaha membujuk Risa. Ia ingat kata dokter, kalau wanita sedang hamil sangat gampang mengalami mood swing atau perubahan perasaan secara drastis. Al memijat punggung Risa dengan lembut."Entahlah, Al, aku sudah mengikhlaskan ujian di masa laluku. Namun kenapa, setiap melihatnya, aku teringat Satria dan itu membuatku sakit." Risa terisak, "di sini, sakit sekali." Risa melepaskan pelukannya lalu menunjuk dada kirinya.
Jakarta. Tujuh bulan kemudian. Al menemani Risa jalan-jalan di mall untuk mencari keperluan perlengkapan bayi. Sebenarnya sudah banyak pernak-pernik bayi menumpuk di rumah. Namun Al bersikeras mengajak Risa keluar untuk melihat-lihat di toko. "Ayo, Sayang, kita lihat boks bayi yang terbuat dari kayu." Al terlihat sangat sumringah memperhatikan aneka macam boks bayi. "Al kita sudah punya satu di rumah, cukup, jangan beli lagi!" "Satu lagi, tidak apa, Sayang. Kalau yang satunya rusak langsung ada gantinya." "Ih bener-bener nih, orang. Nggak mau dengerin." "Yang warna cokelat tua ini kayaknya bagus." Al berbicara sendiri tanp
Karin merenggangkan tangannya ke atas, senyum di bibirnya terlihat mengembang. Sejak tujuh bulan yang lalu, ia kembali ke Indonesia setelah berhasil kabur dari cengkraman Mark. Ingatannya kembali ke masa di mana, situasi yang sangat menegangkan terjadi dalam hidupnya. Los Angeles, Amerika Serikat, tujuh bulan yang lalu. Wajah Karin pucat pasi melihat mobil Mark sudah berada di hadapannya. Namun sudah kepalang tanggung, lebih baik mati dari pada menjadi budak seks Mark, seumur hidup. Mark yang melihat Karin mematung di pinggir jalan, langsung menghentikan mobilnya. Ia langsung turun, ingin mengejar Karin. "Karin, what are you doing?" Mark menatap tajam ke arah Karin yang sedang ketakutan. Mendapat bentakan dari Mark, menyadarkannya bahwa sekarang bukan waktunya untuk ketakutan. Kesempatan hanya datang sekali, jika ini gagal, selamanya ia akan terpenjara di sangkar emasnya Mark. "Karin mundur lalu mengambil langkah seribu, berlari ke arah hutan cemara, berharap Mark tidak mengejarnya
Jono dan Danu langsung mendekati pintu UGD. Namun mereka hanya bisa menunggu karena pintu masih tertutup rapat dan tidak mengizinkan mereka untuk masuk ke dalam."Pak Danu, kok tahu, Non Risa, ada di sini?""Saya lihat berita di online, tadi."Mereka kembali diam. Keduanya larut dalam pikirannya masing-masing. Dua laki-laki beda usia yang sama-sama mencintai Risa. Wanita berhati baik yang bernasib malang.Hampir setengah jam mereka menunggu, akhirnya pintu terbuka. Seorang dokter laki-laki berumur empat puluhan bersama asistennya memandang Danu dan Jono bergantian. "Keluarga pasien!""Saya!" Danu dan Jono menjawab bersamaan."Bagaimana keadaan pasien, dokter?" Jono bertanya dengan