Jono dan Danu langsung mendekati pintu UGD. Namun mereka hanya bisa menunggu karena pintu masih tertutup rapat dan tidak mengizinkan mereka untuk masuk ke dalam.
"Pak Danu, kok tahu, Non Risa, ada di sini?"
"Saya lihat berita di online, tadi."
Mereka kembali diam. Keduanya larut dalam pikirannya masing-masing. Dua laki-laki beda usia yang sama-sama mencintai Risa. Wanita berhati baik yang bernasib malang.
Hampir setengah jam mereka menunggu, akhirnya pintu terbuka. Seorang dokter laki-laki berumur empat puluhan bersama asistennya memandang Danu dan Jono bergantian. "Keluarga pasien!"
"Saya!" Danu dan Jono menjawab bersamaan.
"Bagaimana keadaan pasien, dokter?" Jono bertanya dengan
"Maksud, Dokter?" "Akibat benturan keras di perut pasien kami curiga kejadian tersebut mengakibatkan kerusakan yang cukup serius dengan rahimnya, karena sampai saat ini pendarahannya belum berhenti juga. Awalnya kami sengaja menunggu beberapa saat apakah pendarahan itu akan berhenti dengan obat-obatan. Bagaimanapun, rahim sangatlah penting bagi seorang wanita. Kami tidak ingin gegabah dalam mengambil keputusan." "Baik, Dok. Tapi saya akan berunding dengan anggota keluarga yang lain." "Kami harap, Bapak dan keluarga secepatnya memberikan keputusan. Kalau terlalu lama akan berakibat buruk bagi kesehatan pasien." "Saya mengerti, Dokter." Sesaat kemudian Jono datang menghampiri Danu. "Gimana perkembangan, Non Risa, Pak?"&nbs
Danu membelai pipi Risa yang terlihat tirus hanya dalam beberapa hari saja. Ia duduk sambil memandangi wajah cantik itu dengan sabar. Rasanya belum puas ia memperhatikan mantan istrinya itu walau sudah hampir satu jam berada di sisinya. Melihat pergerakan Risa, Danu pelan-pelan menyelinap keluar. Ia takut Risa akan bangun lalu melihatnya. Untuk saat ini ia belum siap berhadapan langsung dengannya. Danu langsung pucat pasi ketika melihat El Barak dan Sinta seperti meminta penjelasan darinya. "Pak, Bu." "Ikut kami!" perintah El Barak. Danu mengikuti El Barak dan Sinta menuju ruang kantin rumah sakit. Mereka duduk berhadapan. Tidak ada satupun dari mereka yang berinisiatif untuk berbicara. El Barak menarik napas lalu mengem
"Tante, Tante bukain pintu mobil saja. Biar saya yang gendong, Non Risa." Jono mengangkat tubuh Risa yang terlihat kurus dari beberapa minggu lalu saat ia melihatnya di rumah sakit."Baik, Jon." Sinta berlari keluar dari rumah lalu membuka pintu mobil bagian belakang. "Hati-hati, Jon." Sinta membantu Jono merebahkan Risa di jok mobil."Rumah sakit mana, Tante?""Rumah sakit yang menangani sebelumnya, Jon. Biar di follow up kesehatan Risa sedetailnya.""Baik, Tante, Kita secepatnya ke sana.""Ya, Jon, Tante, pikir, akan lebih baik kita bawa ke sana karena mereka sudah lebih tahu kondisi kesehatan Risa.""Beruntung, pagi ini keadaan jalanan tidak macet dikarenakan hari libur a
Danu tidak mampu lagi menopang tubuhnya, kakinya terasa lemas ketika mendengar Risa mengatakan bahwa dirinya adalah wanita yang tidak sempurna. Dari balik pintu, ia mencuri dengar percakapan Risa dan Sinta. Ia hampir tidak percaya, kata-kata yang penuh keputusasaan itu keluar dari bibir Risa. Masih segar di ingatannya, delapan tahun yang lalu. Risa adalah gadis yang sangat periang dan penuh semangat. Senyum tidak pernah lepas dari bibirnya. Bahkan saat kencan yang diatur oleh Karin, ia sangat antusias yang sempat membuat Danu sebal waktu itu. Kini segala semangat itu telah hilang berganti dengan kemuraman dan kesedihan. Sungguh Danu sangat menyesal telah menghancurkan kehidupan Risa.Di dalam ruang perawatan, Sinta tersentak dengan kata-kata Risa yang mengatakan dirinya wanita yang tidak sempurna. Ia tidak tahu lagi harus bagaimana menghibur Risa. Jujur di dalam hatinya, jika ia berada di posisi Risa
"Tapi apa, Non Risa, nggak bakal kesulitan hidup di sini. Mmm … maksud saya, kondisi, Non …." Jono tidak berani meneruskan kata-kata yang akan menyinggung perasaan Risa."Nggak, Jon, awalnya mungkin susah. Tapi pelan-pelan, saya akan terbiasa. Setelah lukanya sembuh, saya akan mulai mencoba kaki palsu untuk berjalan.""Kalau, Non, merasa lebih baik untuk tinggal di sini, saya pasti akan mendukung keputusan, Non.""Terima kasih, Jon. Selama ini, kamu, telah banyak membantu saya.""Jangan berkata seperti itu, Non. Justru, Non Risa dan almarhum Bapak lah yang banyak membantu dan memberikan kesempatan kepada saya sekeluarga untuk bisa hidup lebih baik.""Non, Mas, makan dulu! Makan siang sudah siap." Bu Narti, pengu
"A-apa?" Risa terkejut, mungkinkah ia salah dengar? Ini kedua kalinya Jono menyatakan perasaannya. Ia tak menyangka, penolakannya dua tahun yang lalu tidak membuat Jono patah semangat."Maukah, Non Risa, jadi istri saya?" Jono masih bersimpuh di depan Risa."Jon, bangun! Jangan begitu, kamu nggak pantas bersimpuh di hadapanku!""Jawab dulu, Non!" iba Jono."Jon, Saya akan marah kalau, kamu, nggak berdiri, sekarang!" Risa memasang tampang masam."Sepertinya, saya akan tertolak lagi." Jono kembali duduk di samping Risa sambil menahan getir di hatinya."Jon, saya wanita cacat, saya nggak sempurna, wanita tanpa rahim seperti saya, apa yang akan kamu harapkan jika menikahi saya."
"Benar, Sayang, Nina memang pinter." Danu begitu bersemangat ketika Nina merespon perkataannya dengan baik."Ante, Ante, Om au, Ante, iti agi." Nina kembali menyadarkan Risa dari lamunannya."Nina, Sayang, sini sama, Tante!" Risa mengulurkan tangannya.Nina yang melihat Risa ingin menggendongnya malah merangkul leher Danu dengan erat, seperti takut untuk berpisah dengan Danu. "Ina, au, Om, Ina, iku, Om." Nina menyenderkan kepalanya di pundak Danu."Sayang, nggak boleh gitu. Omnya, capek, Nina, sama, Tante, yuk?" Risa berjalan menggunakan kruk, mendekati Danu dan Nina. Risa mendesah pelan, teringat dengan Satria yang sama dengan Nina. Tidak mau dipisahkan dari Danu. Entah pelet apa yang ada di tubuh Danu. Setiap anak kecil selalu suka padanya, bahkan sangat lengket sepert
"Bayi laki-laki?" Wajah Risa tiba-tiba memancarkan binar bahagia. "Sini, Dan, aku pengen lihat!"Danu mendekat, wajah bayi yang masih merah dan kotor itu terlihat sangat tampan. "Bayi blasteran, Ris, matanya berwarna biru.""Iya, tampan sekali. Kenapa dibuang?" Risa menatapnya sendu. "Aku pengen gendong dia, Dan!" Risa sangat antusias."Sebentar, ayo masuk dulu, sudah malam, Nina juga udah ngantuk, kayaknya." Danu menggiring Risa dan Nina masuk kedalam. sampai di teras, Danu duduk di kursi panjang yang berada di halaman panti. "Kamu duduk dulu, biar enak gendongnya."Risa menuruti ucapan Danu. Ia dengan senang hati duduk sambil mengulurkan tangannya ingin memeluk makhluk mungil yang nasibnya kurang beruntung karena ditelantarkan keluarga kandungnya.