Risa melempar test pack ke dalam tempat sampah. Helaan napas panjang keluar dari mulutnya. Ia memandang langit-langit kamar sambil mengelus perutnya. Setitik cairan bening mengalir di sudut mata cantiknya. "Kenapa, hem?" Al sudah berada di samping Risa lalu memeluknya. "Al," Risa menoleh. "Ada apa, Aayang?" Al balik menatap. "Sampai sekarang …." Risa meremas ujung kemejanya. "Sttt … sabar aja." "Tapi apa yang salah, sedangkan kita udah Chek-up dan hasilnya kita berdua tidak ada masalah. Program kesuburan dan kehamilan juga sudah. Diet gizi apalagi, sampai bosan makan makanan itu-itu saja." Risa mulai menumpahkan kekecewaanya dengan menangis di dada, Al. "Tidak ada yang salah, kita sudah melakukan segala usaha dengan maksimal. Kita hanya bisa menunggu izin dari Tuhan untuk mempunyai keturunan." "Sampai kapan, kita sudah setengah tahun lebih menikah, Al." "Sampai Tuhan memberikan izin karena hanya Dia yang tahu waktu dan keadaan yang tepat, rahimmu terisi oleh kehidupan baru." A
"Ha-hamil, s-selamat, Pak, Bu." Danu terlihat salah tingkah. "Terima kasih, Dan." Al berusaha terlihat biasa saja demi menjaga moodnya Risa. "Kamu ke sini …?" "Halo apa kabar?" Dari ujung koridor, Shela datang menyapa. Risa memicingkan matanya melihat wanita cantik nan sèksi seumuran dengan Danu datang menyapa dan langsung mengalungkan tangannya di lengan Danu. Wanita itu terlihat terawat dari segi kulit, wajah, rambut hingga kuku-kuku jarinya. "Ehm … ini?" Al bertanya. "Perkenalkan, saya calon istrinya Mas Danu, kami ke sini buat cek kesehatan. Bulan depan kami akan menikah." Danu mengernyit, melirik Shela yang tersenyum padanya. "Oh jadi kamu mau nikah, Dan?" "Ehm … itu …." "Kami memang mendadak karena tidak merencanakan sebelumnya. Mas, kamu sudah ngomong kalau mau resign?" "Resign?" Danu terlihat bingung. "Kamu dapat kerjaan di sini, bukan? Setelah menikah, aku nggak mau LDR. Berat, Mas, banyak godaannya." "Itu … aku belum ngomong, sih." Shela melakukan kontak mata de
"Jangan ditekuk mulu dong mukanya. Yang lalu biarlah berlalu, ikhlaskan semua yang terjadi." Al menenangkan Risa yang sedari tadi terlihat murung setelah pertemuannya dengan Danu.Helaan napas keluar dari mulut Risa. Ia memeluk tubuh suaminya, menyalurkan keresahan yang mulai muncul."Ngomong dong, hem …, ada apa sayang. Jangan dipendam, aku siap mendengarkan keluh kesahmu." Al masih berusaha membujuk Risa. Ia ingat kata dokter, kalau wanita sedang hamil sangat gampang mengalami mood swing atau perubahan perasaan secara drastis. Al memijat punggung Risa dengan lembut."Entahlah, Al, aku sudah mengikhlaskan ujian di masa laluku. Namun kenapa, setiap melihatnya, aku teringat Satria dan itu membuatku sakit." Risa terisak, "di sini, sakit sekali." Risa melepaskan pelukannya lalu menunjuk dada kirinya.
Jakarta. Tujuh bulan kemudian. Al menemani Risa jalan-jalan di mall untuk mencari keperluan perlengkapan bayi. Sebenarnya sudah banyak pernak-pernik bayi menumpuk di rumah. Namun Al bersikeras mengajak Risa keluar untuk melihat-lihat di toko. "Ayo, Sayang, kita lihat boks bayi yang terbuat dari kayu." Al terlihat sangat sumringah memperhatikan aneka macam boks bayi. "Al kita sudah punya satu di rumah, cukup, jangan beli lagi!" "Satu lagi, tidak apa, Sayang. Kalau yang satunya rusak langsung ada gantinya." "Ih bener-bener nih, orang. Nggak mau dengerin." "Yang warna cokelat tua ini kayaknya bagus." Al berbicara sendiri tanp
Karin merenggangkan tangannya ke atas, senyum di bibirnya terlihat mengembang. Sejak tujuh bulan yang lalu, ia kembali ke Indonesia setelah berhasil kabur dari cengkraman Mark. Ingatannya kembali ke masa di mana, situasi yang sangat menegangkan terjadi dalam hidupnya. Los Angeles, Amerika Serikat, tujuh bulan yang lalu. Wajah Karin pucat pasi melihat mobil Mark sudah berada di hadapannya. Namun sudah kepalang tanggung, lebih baik mati dari pada menjadi budak seks Mark, seumur hidup. Mark yang melihat Karin mematung di pinggir jalan, langsung menghentikan mobilnya. Ia langsung turun, ingin mengejar Karin. "Karin, what are you doing?" Mark menatap tajam ke arah Karin yang sedang ketakutan. Mendapat bentakan dari Mark, menyadarkannya bahwa sekarang bukan waktunya untuk ketakutan. Kesempatan hanya datang sekali, jika ini gagal, selamanya ia akan terpenjara di sangkar emasnya Mark. "Karin mundur lalu mengambil langkah seribu, berlari ke arah hutan cemara, berharap Mark tidak mengejarnya
Jono dan Danu langsung mendekati pintu UGD. Namun mereka hanya bisa menunggu karena pintu masih tertutup rapat dan tidak mengizinkan mereka untuk masuk ke dalam."Pak Danu, kok tahu, Non Risa, ada di sini?""Saya lihat berita di online, tadi."Mereka kembali diam. Keduanya larut dalam pikirannya masing-masing. Dua laki-laki beda usia yang sama-sama mencintai Risa. Wanita berhati baik yang bernasib malang.Hampir setengah jam mereka menunggu, akhirnya pintu terbuka. Seorang dokter laki-laki berumur empat puluhan bersama asistennya memandang Danu dan Jono bergantian. "Keluarga pasien!""Saya!" Danu dan Jono menjawab bersamaan."Bagaimana keadaan pasien, dokter?" Jono bertanya dengan
"Maksud, Dokter?" "Akibat benturan keras di perut pasien kami curiga kejadian tersebut mengakibatkan kerusakan yang cukup serius dengan rahimnya, karena sampai saat ini pendarahannya belum berhenti juga. Awalnya kami sengaja menunggu beberapa saat apakah pendarahan itu akan berhenti dengan obat-obatan. Bagaimanapun, rahim sangatlah penting bagi seorang wanita. Kami tidak ingin gegabah dalam mengambil keputusan." "Baik, Dok. Tapi saya akan berunding dengan anggota keluarga yang lain." "Kami harap, Bapak dan keluarga secepatnya memberikan keputusan. Kalau terlalu lama akan berakibat buruk bagi kesehatan pasien." "Saya mengerti, Dokter." Sesaat kemudian Jono datang menghampiri Danu. "Gimana perkembangan, Non Risa, Pak?"&nbs
Danu membelai pipi Risa yang terlihat tirus hanya dalam beberapa hari saja. Ia duduk sambil memandangi wajah cantik itu dengan sabar. Rasanya belum puas ia memperhatikan mantan istrinya itu walau sudah hampir satu jam berada di sisinya. Melihat pergerakan Risa, Danu pelan-pelan menyelinap keluar. Ia takut Risa akan bangun lalu melihatnya. Untuk saat ini ia belum siap berhadapan langsung dengannya. Danu langsung pucat pasi ketika melihat El Barak dan Sinta seperti meminta penjelasan darinya. "Pak, Bu." "Ikut kami!" perintah El Barak. Danu mengikuti El Barak dan Sinta menuju ruang kantin rumah sakit. Mereka duduk berhadapan. Tidak ada satupun dari mereka yang berinisiatif untuk berbicara. El Barak menarik napas lalu mengem