"Prang …!" suara nyaring barang yang dibanting terdengar dari dalam suatu kamar kontrakan. Danu hanya diam menatap Karin yang sedang meluapkan emosinya dengan membanting barang-barang yang ada di dalam kamar kontrakan.Selesai mengobrak-abrik kamar, Karin menangis di pojokan kamar. Ia tergugu meratapi nasibnya yang sial. Impiannya pupus sudah setelah perceraian antara Risa dan Danu tidak mendapatkan harta yang sudah diinginkan sejak lama. Dalam hatinya ia mengumpat kepada Tuhan. Kesialan telah mewarnai hidupnya sejak lahir. Dibuang orangtua kandungnya, hidup ala kadarnya di panti asuhan, diejek di sekolah karena miskin dan di saat ia punya peluang emas menjadi kaya harus menelan kekecewaan ketika rencananya selama lima tahun sia-sia tidak menghasilkan harta yang ia butuhkan. Setelah diam cukup lama Danu bersuara. "Rin?" Karin semakin muak dengan kehidupannya. Ditambah sekarang tubuhnya lemah karena hamil muda. Kehamilan yang ingin ia gunakan sebagai alat untuk mengikat Danu setelah
Sisi dan Tata bersamaan memberi saran kotor yang menurut mereka sah-sah saja dalam memperoleh pundi-pundi rupiah. Tidak peduli jalan yang mereka tempuh adalah hal kotor dan terlarang. Dosa yang tidak terlihat, menjadikan mereka tersesat jauh ke dalam lubang maksiat. Usia muda yang menggelora, menjadikan Sisi dan Tata hilang arah karena jauh dari keluarga."Perbaiki make up elo, setelah itu ikut gue ke lantai atas, cuma servis dua jam langsung dapat segepok uang." Sisi menarik tangan Karin. "Si, gue nggak bisa." Karin sudah tidak tahan dengan bau udara yang pengap. "Ngapain sih lo? Elo mau hidup di kolong jembatan?" Sisi menghempas tangan Karin. "Eh bentar, Si. Kayaknya ada yang nggak beres sama Karin." Tata menangkup wajah Karin yang terlihat pucat. "Iya juga sih!" Sisi ikut memperhatikan wajahnya Karin."G-gue hamil." Karin mengatakannya dengan bergetar. "What?! Tata dan Sisi kompak menjerit. Mereka menatap perut Ksrin dengan lekat."Ssstt … kalian ngapain teriak gitu, sih?" kesa
"Mas ingin menceraikan aku karena telah menggugurkan janinku?!" Karin mendengkus. Danu menarik napasnya dalam. Ia memejamkan mata untuk mengontrol emosinya. "Katakan sekarang apa maumu karena telah menggugurkan darah dagingku? Bukankah kamu mencintaiku? Lalu kenapa, tega sekali kau membunuh anak yang belum terlahir ke dunia?" Danu menunggu jawaban Karin. "Aku tidak bisa hidup susah." "Lalu?" tanya Danu, hatinya terasa getir. "Aku ingin pergi dari sini." "Pergi?" "Ya, pergi dari sini. Mencari kehidupan yang lebih baik." Karin berusaha menghundar dari tatapan Danu."Bagaimana dengan pernikahan kita?" Danu menatap tajam Karin. "Kita hanya nikah siri." "Baiklah, aku mengerti maksudmu. Akan kuturuti permintaan darimu untuk yang terakhir kalinya." Danu sudah mantap dengan keputusannya. Tidak ada yang perlu dipertahankan lagi. Semuanya telah berakhir, mungkin ini karma baginya yang telah dengan sadar mempermainkan kehidupan Risa. Danu melangkah mendekati Karin. Tangannya memeg
"Wanita itu adalah Non. Saya menyukai non Risa sejak lama." Jono mengatakannya dengan mantap. "Tunggu dulu, kamu menyukai saya sejak lama?" Risa terkejut."Iya, sejak Non Risa belum menikah." Jono menatap Risa dengan penuh cinta. "Tapi Jon, saya …." Risa madih belum percaya dan sangat terkejut dengan pengakuan Jono."Saya mengerti, saya tidak minta dibalas perasaan saya, Non. Saya cukup lega bisa mengutarakan perasaan saya yang terpendam kepada, Non." "Jadi alasan kamu menjomlo selama ini karena saya?" Risa memastikan Jono mengangguk lalu tersenyum.Risa merasa tidak enak, ia sudah menganggap Jono sebagai adik kandungnya. "Non, nggak usah bingung. Asal Non bisa hidup bahagia, saya juga ikut bahagia." ucap Jono tulus. Sumpah demi apa pun, rasa sayang Jono kepada Risa adalah sebuah ketulusan. Sekali pun tidak mengharap balasan. Walaupun rasa cintanya begitu kuat."Ya Tuhan, Jon, kamu juga harus memikirkan kehidupan kamu sendiri." keluh Risa. Ia membayangkan perasaan laki-laki muda i
"Bapak nyari kerjaan?" Pak Budi bertanya dengan suara lantang seperti suara toa di masjid. "I-iya, Pak Budi." Jono memandang Risa yang terlihat cuek. "Non." Jono memanggil Risa pelan. Risa hanya menggidikkan bahunya. Selesai memungut lembaran kertas yang dibantu oleh pak Budi. Danu memutuskan untuk segera pergi dari hadapan Risa. Rasa malu yang menggunung membuat Danu seakan ingin menenggelamkan diri ke dalam lautan yang paling dalam."Permisi semuanya, mari." Danu mengambil langkah seribu. "Mari, Pak." ***Satu tahun kemudian. "Jon, sini." Risa melambaikan tangannya kepada Jono. "Non, sudah lama?" "Baru kok." "Oh kirain udah nunggu lama." Jono memperhatikan Risa yang dari hari ke hari bertambah cantik. Namun sayang, Risa hanya menganggapnya sebagai adik dan tidak lebih. Sampai detik ini perasaan Jono tidak berubah untuk wanita mungil yang ada di hadapannya. "Jon, Jono." Risa memanggil Jono yang sedang terpaku. "Eh iya, Non. Ngikut aja, saya apa aja oke, yang penting hala
"Mas Danu, aku rindu." Karin membuka pintu taksi bagian depan.Danu mematung tidak bersuara. Dari awal Karin masuk ke dalam, ia sudah tahu bahwa penumpangnya adalah Karin mantan istri sirinya. Wanita yang membuat hidupnya naik turun bak roller coaster. "Mas!" "Maaf, Anda salah orang." Danu tidak mau mengaku, ia membetulkan kacamata hitamnya yang sedikit turun ke hidung mancungnya. Karin yang tidak mau melepaskan pintu taksi membuat Danu tidak bisa segera pergi menyetir taksinya. Danu akhirnya menyerah, ia turun dari taksi. Karin segera menghambur memeluk Danu dari belakang. "Mas Danu, aku rindu."Danu mengembuskan napasnya kasar. Ia merasa risih dipeluk oleh Karin padahal dulu momen seperti ini sangat disukainya. "Mas, apa kabarnya? Mas kelihatan kurus sekarang." Karin menempelkan wajahnya di punggung Danu. Ia merasa sangat nyaman, aroma khas tubuh Danu membuatnya tenang. "Mbak, jangan begini. Bisa digeruduk masa, nanti." Danu berusaha melepaskan tangan Karin yang melingkar di t
"Menggantikan Non Risa menjadi CEO?" Jono kaget dengan permintaan Risa yang tiba-tiba. "Bagaimana, Jon?" "Ehm … Non Risa mau ke mana? Apa dewan direksi akan setuju dengan keputusan ini? Sedangkan saya hanya orang luar yang tidak mempunyai hak atas Bagaskara Grup." "Saham atas nama saya akan saya alihkan nama kamu. Sedangkan jumlah saham yang saya punya sekarang sebanyak enam puluh lima persen. Itu artinya saya punya suara mutlak di Bagaskara Grup. Mereka tidak punya hak untuk menggagalkan keputusan saya. Suara saya adalah mutlak yang mempunyai kekuatan hukum." "Non, tapi …?""Kalau kamu ingin melihat saya bahagia, tolong kabulkan permintaan saya, Jon." pinta Risa.Hening. "Saya memilih kamu bukan tanpa alasan. Kamu jujur, pekerja keras dan yang terpenting kamu mampu untuk memegang dan menjalankan perusahaan dengan baik." "Tapi, Non?" Jono terlihat gelisah. "Saya akan dampingi kamu, sampai kamu benar-benar mampu memimpin sendiri Bagaskara Grup. Kamu juga bisa menghubungi saya kap
"Plak, gila kamu! Sayang sekali, tampan tapi gila." Risa dengan sangat kesal meninggalkan toko souvenir."Hei tunggu!" Lelaki itu ingin mengejar Risa namun dihentikan oleh pegawai toko. "Kak, ganti rugi dulu. Kakak tidak boleh pergi sebelum ganti rugi guci yang pecah itu." "Eh iya Dik, maaf ya? Kakak ganti, kok." ***"Dasar orang gila." Risa sedikit berlari karena Jono sudah meneleponnya dari tadi. "Non, sebelah sini!" Jono melambaikan tangannya ketika melihat Risa berdiri di ambang pintu. Risa bergegas menghampiri Jono. "Maaf, Jon. Tadi ada kejadian tak terduga sehingga tidak tahu kalau kamu menelepon saya." "Nggak pa pa, Non. Belum lama kok, saya nunggunya." Jono mengambil buku menu lalu menyodorkannya di hadapan Risa. "Kamu sudah pesan?" "Belum, nungguin Non Risa." "Mbak," Risa mengacungkan tangannya ke atas. "Iya Kak, ada yang bisa saya bantu?" "Kamu mau pesan apa, Jon?" "Ikut Non Risa aja." "Oke, tiga porsi gudeg spesial dan dua gelas es jeruk, Mbak. Itu dulu sementar