Sosok gadis berkaca mata bulat, kemeja formal berwarna navy dengan rok hitam selutut yang sedikit kebesaran, sepatu pansus hitam yang sedikit lusuh hampir tak layak pakai, lalu tas selempang bewarna hitam, sedang berlari sekencang-kencangnya di trotoar jalan.
Entah apa yang terjadi hingga membuat gadis itu bangun terlambat pagi ini.
Beruntungnya, gadis itu sampai tepat waktu di halte tepat saat bus berhenti di sana. Dengan peluh keringat yang membasahi pelipis, gadis kurus dan pendek itu menaiki beberapa tangga kecil bus dan masuk ke dalam bus itu.
Seperti biasanya, kota Jakarta selalu padat akan pekerja. Dan di dalam bus, tidak ada kursi kosong yang tersisa, membuat gadis kurus itu berdiri dan berpegangan pada handle grip bus yang sedikit tinggi hingga gadis kurus itu harus berjinjit.
Kini bus itu melaju.
Gadis kurus itu semakin berkeringat karena merasa pengap terjebak di antara orang-orang bertubuh besar yang juga memakai pakaian formal sepertinya.
Bus tiba-tiba ngerem mendadak, lalu kembali melaju.
Membuat gadis kurus itu tak bisa menahan tubuh dan oleng, ia menabrak bahu seseorang dihadapannya yang dibalas dengan dorongan balik di bahunya. Membuat gadis kurus yang belum bisa menahan keseimbangan tubuh itu terdorong kebelakang dan kembali menubruk seseorang di belakangnya.
"Maaf, maaf," tanpa melihat seseorang yang ia tabrak, gadis kurus itu menundukkan kepala berkali-kali dan meminta maaf tanpa henti.
Bus berhenti.
Gadis kurus itu menghela napas panjang. Beberapa orang yang melewatinya mencibir pelan sembari turun dari bus.
Gadis kurus itu hanya bisa diam dan ikut turun dari bus ketika semua orang sudah tidak berdesak-desak untuk turun dari bus itu.
Ia sampai.
Tepat di hadapannya. Ada sebuah gedung besar yang terbuat dari kaca, tampak megah dan berdiri kokoh.
Gedung tempat di mana gadis itu bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya selama satu tahun belakangan.
Terlahir sebagai yatim dan kehilangan Ibu saat remaja membuat gadis itu harus bisa hidup dengan mandiri dan menjadi sosok yang pantang menyerah.
Gadis itu mengikat rambut sebahunya. Dan dengan sedikit bersemangat, ia melangkahkan kaki menuju gedung itu.
Beberapa orang yang memiliki tujuan yang sama dengan gadis itu, melewatinya dengan mengendarai motor mahal serta mobil mewah.
Gadis kurus itu tidak peduli, ia tetap melanjutkan langkah dan kini ia sampai di lobi gedung perusahaan ternama di Indonesia.
Seperti biasa, orang-orang akan menatapnya dengan tatapan menilai dari ujung kepala hingga ujung kaki.
Dan seperti biasa pula, gadis kurus itu tidak peduli banyak atas tatapan-tatapan yang dilayangkan orang-orang kepadanya.
"Ava!"
Gadis kurus itu menghentikan langkah, menatap sosok gadis cantik dengan kemeja putih polos, rok span hitam setengah paha yang membentuk lekukan tubuh body goals nya, rambut panjang hitam legam yang terurai dan riasan wajah yang natural sedang berlari ke arahnya. Membuat semua orang di sekitar lobi menatap gadis cantik itu dengan tatapan terpana.
Suara hak sepatu yang mengetuk permukaan ubin lantai berhenti terdengar. Gadis cantik itu berhenti di hadapan gadis kurus itu. "Ava? Lo telat lagi?"
Gadis kurus yang bernama Ava itu menatap gadis dihadapannya dan menghela napas panjang. "Hm, gue telat bangun." sahutnya dan kembali melanjutkan langkah.
Alana, yang merupakan teman dekat Ava di kantor dan mereka juga duduk bersebelahan. "Kok bisa sih? Lo akhir-akhir ini telat tahu."
Ava mengernyit. "Bukannya ini yang pertama kali ya?" tanya nya dan masuk ke dalam lift yang terbuka.
Alana ikut masuk ke dalam lift dan menekan tombol lantai tiga. Ia bersedekap, "lo udah ikutin saran gue?"
Ava menoleh tak bersemangat. "Apa?"
"Astaga ... Gue harus ingetin lo berapa kali?!" geram Alana dan memijit pelipis. "Lo sendiri yang bilang lo susah tidur, dan lo akhir-akhir ini bangun telat, bahkan lo jadi pelupa. Gue udah berulang kali nyuruh lo buat konsultasi ke Dokter, Ava .... "
Ava mendengus. "Gue nggak ada waktu La, kerjaan gue masih numpuk. Mungkin gue cuma kecapean,"
"Makanya, have fun dong sesekali." cibir Alana dan keluar dari pintu lift yang sudah terbuka disusul oleh Ava disebelahnya. "Jangan terlalu maksain diri Va, lo bisa sakit makin parah. Lo juga butuh hiburan, bukan kerja mulu."
Kini mereka berjalan menuju ruang kantor tempat mereka bekerja.
Ava duduk di kursi kerja miliknya dan menyalakan komputer. "Hiburan apa yang bisa menghasilkan banyak uang?"
Alana memutar bola mata dan duduk di kursi kerjanya. "Uang, uang, uang, isi otak lo uang mulu! Jadi simpenan kakek-kakek sana." ia menyalakan komputer. "Ada juga sih, ini bisa buat hiburan dan menghasilkan banyak uang."
Ava menatap Alana berbinar. "Apa? Hiburan apa?" tanya nya bersemangat.
"Open BO." Alana tertawa mengajek. "Lo cukup tinggal stand by aja."
Ava mengernyit, kini memutar kursinya menghadap Alana sepenuhnya. "Enak banget hiburan kayak gitu, boleh tau itu hiburan sejenis apa? Dapat uang banyak, kan? Kalau iya, gue mau deh."
Alana tertawa terpingkal-pingkal saat mendengar sahutan polos dari Ava yang tidak tahu apa-apa.
"Va, tugas dari Pak Han." sosok lelaki tampan dengan pakaian rapih itu menaruh beberapa kertas di atas meja kerja Ava. "Pada bicarain apa?"
Ava kini menghadap lelaki jangkung yang berdiri di hadapannya, Ava tersenyum lebar. "Alana nyuruh gue buat ngerasain hiburan."
Alana menghentikan tawanya.
Lelaki jangkung bernama Azkar itu mengerutkan dahi. "Tumben lo tertarik sama begituan?"
Ava mengerjap polos. "Hm, hiburannya dapat banyak uang." sahutnya riang.
Azkar memandang Alana. "Hiburan apa yang dapat banyak uang?" tanya nya pada Alana membuat Alana tertawa canggung.
"Gue cuma iseng tadi, hehe, jangan dengerin Ava. Udah sono, balik ke kursi lo." jawab Alana menutupi kegugupannya.
Ava mencebik kesal. "Alana bilang open BO, lo tahu itu hiburan sejenis apa?" tanya nya pada Azkar.
Alana mematung.
Azkar mengeraskan rahang. "Alana .... " panggilnya menahan geram dan penuh peringatan.
Alana panik dan hanya cengar-cengir. "Gue nggak tahu kalo dia sepolos itu, sumpah. Gue cuma iseng, eh si Ava malah serius." elaknya dan mengerucutkan bibir.
Ava mengernyitkan alis, menatap bergantian Azkar dan Alana dengan bingung. "Emangnya kenapa? Open BO itu apa?"
Azkar memejamkan mata, lalu kembali menatap Ava. "Itu jual diri, bukan hiburan. Gue udah bilang berapa kali jangan temenan sama cewek modelan kayak Alana."
Ava mengerjap polos. "Jual diri? Jual diri sama siapa? Emangnya ada yang mau beli gue?"
Alana menahan tawa. "Tuhkan, emang dia yang polosnya kebangetan!"
Azkar mendengus. "Makanya lo jangan kotorin otak polosnya!"
Ava mengerutkan dahi. "Kalian ... Kenapa sih?" tanya nya menatap Alana dan Azkar yang sudah beradu argumen.
"Lo tahu kalau terlalu polos itu bahaya, Ava bisa diapa-apain sama cowok bejat karena nggak tahu apa-apa."
Azkar terdiam mendengar ucapan Alana yang memang ada benarnya.
Alana menghela napas. "Lo, ataupun gue, gak bisa jagain Ava dua puluh empat jam!"
"Emangnya gue polos ya?" tanya Ava disela-sela argumen Alana yang menggebu.
Azkar terdiam. "Hm, lo tahu kenapa gue mau temenan sama lo pas SMA?"
Ava menggelengkan kepala.
Azkar membuang muka dan menatap apapun selain Ava. "Karena lo sepolos itu, dan gue pengin manfaatiin kepolosan lo waktu itu. Tapi ngelihat lo lugu banget mau nerima gue sebagai teman lo, gue nggak tega."
Alana mencibir. "Bahkan lo yang udah sahabatan bertahun-tahun sama Ava aja pernah punya niat bejat. Apalagi cowok brengsek diluar sana."
Lelaki tampan dan jangkung bernama Azkar itu merupakan sahabat Ava sejak SMA, Kuliah, bahkan kerja-pun mereka berada di tempat yang sama.
"Azkar," panggil Ava dan tersenyum manis. "Gue dulu nerima lo jadi temen gue karena lo ganteng, hehe .... " ia memperbaiki letak kaca mata bulatnya.
Alana dan Azkar kaget.
"Balik ke kursi kerja masing-masing! Bos mau mampir ke kantor kita!"Seruan itu membuat Azkar dengan cepat berjalan menuju meja kerjanya dan duduk di kursi kerja miliknya.Sama seperti rekan kerja mereka yang lain, Ava dan Alana sontak langsung memasang ekspresi serius dan menatap layar monitor komputer seolah mereka sedang bekerja."Selamat pagi semua!"Ava mengangkat wajah. "Pagi pak," sahutnya kompak bersama rekan kerjanya yang lain.Sosok lelaki berkepala empat itu tersenyum lebar dengan wajah tegasnya yang khas, bersama pria-pria berbadan kekar dibelakangnya yang menjaga.Lelaki berkepala empat itu adalah pemilik perusahaan besar dan ternama di Indonesia, beliau kerap dipanggil Was."Semangat kerja!" seru Pak Was.
Ini adalah hari kerja pertama, senin, setelah semalam hari libur. Ava melangkahkan kaki dengan tidak bersemangat di lobi utama, sesekali ia mengusap matanya yang gatal. Akhir-akhir ini, Ava tidak bisa tidur nyenyak. "Lo udah tahu belum, kalau lagi ada loker buat jadi sekretaris CEO baru kita nanti?" Ava menghentikan langkah dengan mata yang melotot sempurna. Ia menoleh kepada dua orang perempuan yang tak jauh berada dari tempatnya berdiri. "Serius, mau nyoba nggak?" tanya wanita itu. Ava menatap dan mendengarkan pembicaraan mereka secara terang-terangan. "Mau dong, lo sendiri?" "Jelas aja gue mau, siapa yang gak mau uang banyak? Terus
"Kamu makan duluan.""Pak Han saja yang duluan.""Kamu.""Tapi ... Saya masih sedikit kenyang, Pak."Han menghela napas. "Saya bakalan makan mie ayamnya kalau kamu yang makan duluan."Ava meringis pelan.Bagaimana mungkin Ava bisa makan mie ayam itu terlebih dahulu, dibanding atasannya.Ava dan Han sedang duduk berhadapan di kursi panjang yang menghadap jalanan.Membuat mereka bisa menikmati pemandangan jalanan raya saat itu.Ava meraih sepasang sendok makan dan garpu. "Saya bakal minta sendok satu lagi, Pak." ucapnya saat Han menatapnya.Han menggeleng pelan. "Tidak perlu," jawabnya.
"Iya Alana iya, besok gue udah masuk kerja lagi kok." "Gue nggak mau tahu ya, besok lo harus kerja! Gue sendirian disini huhuhu .... " Ava terkikik pelan mendengar rengekan Alana dari seberang telepon. "Gue juga udah bosan dirumah terus," "Terus lo ngambil libur buat apa?? Gue kan udah saranin lo buat senang-senang, bukan malah dirumah aja selama satu minggu. Gila, gue bisa setres kalau jadi lo." "Gue gak tahu mau ngapain. Ke taman, kafe, perpustakaan, terus rebahan. Gue rasa itu udah cukup buat have fun." Ava tersenyum kecil. "Bahagia gue sesederhana itu, La." Terdengar helaan napas dari seberang telepon. "Ya, ya, ya. Selera orang memang beda-beda, tapi hidup nggak harus semonoton itu. Lo ngelakuin hal berulang-ulang selama sa
"Pakai jas ini, baju mu akan segera datang." Ava menatap sebuah jas hitam yang kebesaran sedang menyelimuti tubuhnya. "Pa-pak Han?" Ava mengusap air matanya. "Nan-nanti jas Pak Han kotor, sa-saya nggak punya banyak uang untuk membeli yang baru." Ava kembali terisak, ia hendak melepas jas Han yang tersampir di tubuhnya namun Han menahan pergerakannya. "Harga jas itu tidak sebanding dengan harga diri-mu." ujar Han dan menatap sekelilingnya yang ramai. "Siapa pun yang berani menyakiti gadis ini, kalian akan berurusan dengan saya!" teriak Han lantang di lobi utama perusahaan pagi itu. Semua orang yang berada di lobi tentu saja kaget, tidak menyangka bahwa sang direktur anak dari pemilik perusahaan besar ini melindungi gadis karyawan biasa bernama Ava. Dengan cepat, gosip pagi in
Suasana lobi perusahaan pagi ini di gemparkan oleh sebuah pengumuman yang tertempel di majalah dinding lobi utama.Di mading, tertempel dua wajah lelaki tampan dan sebuah judul yang membuat semua orang heboh.Pilih salah satu untuk menjadi seorang CEO.1. Deon 2. HanPilih dukunganmu dengan aplikasi yang telah di sediakan!"De-Deon?" Ava menatap foto di majalah dinding itu tak percaya. "Cowok yang lempar jus?""Iya, ternyata dia anaknya Pak Was. Gila, saingannya ketat. Pilih Pak Han yang tampan, mapan, dewasa, atau Pak Deon
Gadis jelek?Deon memastikan bahwa orang yang berjoged di ponselnya sama dengan orang yang sedang ketakutan beberapa meter di hadapannya.Gadis itu adalah Ava.Ava datang ke klub malam karena paksaan dari Alana yang menyuruhnya untuk bersenang-senang.Bersenang-senang seperti apa ini? Ava mengedarkan pandangannya ke penjuru klub, suara dentuman musik yang keras, orang-orang yang menari di lantai dansa, pasangan muda-mudi yang saling bercumbu di tempat terbuka.Ava memperbaiki letak kaca mata bulatnya. Ia sedang mengenakan dress selutut bermotif bunga-bunga dengan bagian dada yang sedikit terbuka, dress ini hasil pinjaman dari Alana yang begitu bersemangat menyuruh Ava ke klub.Ava melotot kecil saat melihat wanita-wan
"Ke-kenapa tidak pesan ojek online saja, Tuan?""Nggak usah banyak tanya jelek.""Ta-tapi, di sini sangat gelap. Sa-saya takut, Tuan."Deon memutar bola mata malas. "Nggak usah manja, dasar penakut!"Ava memeluk dirinya sendiri, ia menatap jalanan yang sepi dengan takut. Deon mengajak Ava pulang ke apartemen Deon dengan berjalan kaki, menyusuri jalanan sepi di larut malam saat ini.Deon tampak tidak peduli, ia sedang menahan kesal karena Arga dan Aryan tak kunjung mengangkat teleponnya. Sedangkan taksi atau ojek online tidak ada yang mau melintas di jalan sepi ini, karena sudah sering terjadi pembegalan di jalan ini."Tu-tuan, apakah masih jauh?"Deon melirik Ava dengan malas. "Lama