Ini adalah hari kerja pertama, senin, setelah semalam hari libur.
Ava melangkahkan kaki dengan tidak bersemangat di lobi utama, sesekali ia mengusap matanya yang gatal.
Akhir-akhir ini, Ava tidak bisa tidur nyenyak.
"Lo udah tahu belum, kalau lagi ada loker buat jadi sekretaris CEO baru kita nanti?"
Ava menghentikan langkah dengan mata yang melotot sempurna. Ia menoleh kepada dua orang perempuan yang tak jauh berada dari tempatnya berdiri.
"Serius, mau nyoba nggak?" tanya wanita itu.
Ava menatap dan mendengarkan pembicaraan mereka secara terang-terangan.
"Mau dong, lo sendiri?"
"Jelas aja gue mau, siapa yang gak mau uang banyak? Terus berduaan sama Boss tampan?"
"Nah betul, tapi siapa ya yang bakal gantiin posisinya Pak Was?"
Tanpa sadar Ava sudah melangkah lebih dekat kepada dua wanita itu.
"Pak Han? Sang direktur tampan," ucap wanita itu yang membuat Ava mengangguk setuju.
"Kalau ternyata yang jadi CEO anaknya Pak Was yang di Amerika, gimana?"
"Enggak!" bantah Ava tanpa sadar.
Kedua wanita itu menatap Ava dengan tatapan heran. Mereka merasa risih atas kehadiran Ava, apalagi gadis itu yang menyeletuk tiba-tiba.
Ava menggigit bibir bawahnya. "Maaf, maaf, kalian bisa lanjutkan percakapannya." Ava membungkukkan badan beberapa kali.
"Apasih dia. Dia nguping kita dari tadi?" tanya wanita itu pada temannya.
"Gak sopan banget nimbrung tiba-tiba, kenal juga enggak." sinis wanita satu lagi kepada Ava.
Ava menunduk lesu dan memperbaiki letak kaca mata bulatnya.
"Astaga cupu banget gayanya, dia beneran karyawan disini?"
"Liat tuh, kemejanya lusuh banget. Hasil pungut ya?"
Ava menatap kemeja cokelat yang ia kenakan sekarang, lalu menatap kedua wanita di depannya. Baju mereka terlihat elegan dan mewah, sangat berbeda kasta dengan kemeja pudar milik Ava.
"Yuk ah pergi, malas gue lama-lama dekat dia." ucap salah satu dari wanita itu.
Lalu kedua wanita itu pergi dari hadapan Ava.
Ava tersenyum miris.
Benar kata Alana, tidak ada yang mau berteman dengannya kecuali Alana dan Azkar.
Sejak dulu, bahkan sejak Ava punya ingatan. Yang ia ingat hanya ucapan-ucapan yang mengucilkannya hingga ia beranjak dewasa, bahkan sampai sekarang tidak ada yang berubah dengan hal itu. Dan sejak dulu pula, Ava selalu diam mendengarkan tanpa membalas ucapan-ucapan menyakitkan itu.
Bukannya Ava tidak mau membalas ucapan mereka. Hanya saja, ia tidak tahu bagaimana caranya membalasnya.
"Kamu masih diam setelah dibicarakan seperti itu?"
Ava mengerjap, ia menoleh kepada lelaki jangkung di sampingnya. "Pa-pak, Han?" tanya Ava lalu melepas kaca matanya, Ava mengusap kedua matanya, setelah itu ia kembali memasang kaca mata bulatnya di pangkal hidung.
"Iya, ini saya." sahut Pak Han dan menatap gadis pendek itu. "Lima menit lagi jam kerja akan dimulai, mengapa masih disini?"
Ava meneguk ludah. "Ma-maaf Pak, sa-saya tidak ak-akan ulangi la-lagi." jawab Ava terbata. "Sa-saya akan segera per-pergi." Ava membungkukkan badan sebelum akhirnya memutar tubuh, berjalan meninggalkan Pak Han.
Han tersenyum kecil memperhatikan tingkah gadis itu yang entah mengapa, justru terlihat menggemaskan di mata Han. "Tunggu," ucap Han.
Ava mengerem mendadak, ia dengan cepat berbalik menatap Han dengan gugup. "Y-ya Pak?"
"Ayo pergi bersama." ucap Han dan melangkah mendekat kepada gadis itu.
Ava mematung ditempatnya. Ia baru sadar saat Han sudah berjalan melewatinya. Ava menatap punggung lelaki itu, lalu tersenyum kecil dengan pipi yang bersemu merah.
"Mau sampai kapan disana?"
"Ya?" Ava mengerjap polos, lalu segera berlari kecil memasuki pintu lift yang terbuka.
Han menekan tombol tiga. "Kamu di lantai tiga, kan?" Han menatap gadis itu.
"I-iya Pak." Ava menunduk, tak berani menatap Han.
Pintu lift tertutup, dan hanya ada mereka berdua di dalam lift itu.
"Kamu takut pada saya?"
Ava sontak mengangkat kepala, menggeleng kuat-kuat. "Sa-saya hanya gugup."
Han tertawa mendengar jawaban itu. "Kamu gugup selama satu tahun?" tanya nya heran. "Bukannya kamu, gadis yang sering menerima tugas dari saya?"
"I-iya Pak."
"Kamu selalu terbata saat bertemu dengan saya. Gugup seperti apa selama satu tahun? Kamu bahkan lebih sering bertemu dengan saya, dibanding Ibu saya sendiri."
Ava meremas rok span hitamnya, pipinya semakin panas.
"Kamu kepanasan?"
"Ti-tidak Pak," Ava menyeka bulir keringat di pelipisnya. Ia merasa gugup luar biasa dengan dahi yang sudah penuh keringat.
Han memperhatikan Ava yang sibuk menyeka bulir keringat. Han meraih sesuatu di dalam saku kemejanya. "Kamu berkeringat." Ia memutar tubuh Ava untuk menghadapnya, membuat gadis itu mendongak dengan takut.
Ava hanya bisa diam saat Han mengusap lembut dahinya dengan sapu tangan. Sentuhan secara tidak langsung, untuk pertama kalinya setelah setahun lebih Ava menyukai lelaki itu, membuat jantung Ava berdebar kencang.
Pintu lift terbuka.
Orang-orang diluar lift yang ingin turun ke lantai bawah atau lantai atas, kaget bukan main saat melihat sang Direktur Han sedang mengusap dahi gadis karyawan biasa yang jauh dari kata sempurna.
Ava tersadar. "Pa-pak, liftnya sudah terbuka."
"Ah, iya." Han kembali menyimpan sapu tangan itu ke dalam saku kemeja. "Lain kali lebih santai saat bertemu dengan saya."
"Ma-makasih Pak." Ava kembali membungkukkan badan dan berlari kecil keluar lift.
***
Ava pulang terlambat hari ini.
Azkar sudah menawarkan akan menemaninya sampai selesai, namun Ava bersikeras untuk menolak. Alana memiliki urusan penting yang mendadak, membuat gadis itu tidak bisa menemani Ava di kantor.
Ava harus menyelesaikan pekerjaannya hari ini, karena besok sudah deadline.
Ava meregangkat otot-ototnya. Ia melepas kaca mata bulat dan memejamkan mata, memberikan matanya waktu untuk rileks sebentar, karena seharian sudah menatap layar monitor komputer.
Hari hampir gelap, matahari akan terbenam sepenuhnya.
Ava melirik jam pada ponselnya, sudah pukul 18.02 WIB.
Ava bangkit dari duduknya, ia berjalan menuju kaca pembatas gedung. Dari ketinggian lantai tiga, Ava melihat jalanan kota Jakarta yang tampak indah.
Ava tersenyum.
"Kenapa belum pulang?"
Sosok Han datang menghampiri Ava saat melihat pintu kantor ini belum tertutup.
Ava kaget, ia menoleh. "Pa-pak Han?"
"Kamu masih terbata?"
"Sa-saya masih gugup, Pak."
Han menghembuskan napas. "Pekerjaanmu sudah selesai?" tanya nya tak memperpanjang masalah.
Ava mengangguk, kembali menatap jalanan kota Jakarta dari ketinggian lantai tiga. "Sudah, Pak." sahutnya berusaha untuk tidak kembali terbata.
"Kenapa belum pulang?"
Ava menoleh, mendongak menatap Han yang lebih tinggi darinya. Lelaki itu selalu tampak menawan, tampan, bersinar, berkarisma, dengan rahang serta tatapan datarnya membuat Ava jatuh hati kepada lelaki itu.
Han menunduk, membalas tatapan gadis itu.
Ava tersenyum manis. "Pak Han ganteng banget," ucapnya tanpa sadar, dan menggunakan bahasa informal.
"Ya?"
"Eh, maaf, maaf Pak." Ava membungkukkan badan berkali-kali, ia sangat malu karena keceplosan. "Sa-saya tidak ber----"
"Kamu terbata lagi."
Ava kembali membungkukkan badan dan meminta maaf.
"Mau pulang bersama?" tanya Han membuat Ava langsung menegakkan tubuh.
Ava mengerjap polos, menatap Han yang tampak biasa-biasa saja.
"Tidak mau?" tanya Han sekali lagi.
"Mau!" Ava diam sejenak. "Banget."
***
Ava tidak pernah membayangkan bahwa suatu saat ia akan pulang bersama dengan Direktur Han, lelaki yang ia sukai.
Sebenarnya, Ava sedikit bingung dengan Han yang tiba-tiba mengajaknya berbicara diluar hal tentang pekerjaan. Karena selama ini, Ava dan Han hanya akan berbicara tentang pekerjaan. Mereka tidak pernah dekat atau-pun akrab, kecuali hubungan antara Direktur dengan karyawannya.
Tetapi apa ini?
Han tiba-tiba datang menanyakan mengapa Ava belum pulang dan mengajak gadis itu untuk pulang bersama.
Bahkan perlakuan Han saat mengusap dahi Ava yang berkeringat dengan sapu tangan masih memiliki efek berlebihan pada tubuh Ava ketika gadis itu mengingat momen yang baru pertama kali terjadi pada dirinya.
"Kamu sudah makan?"
Ava menoleh, menatap Han yang sedang mengemudi. "Sudah Pak." sahutnya kalem, berbeda dengan jantungnya yang berdegup kencang.
Han melirik Ava sebentar, lalu kembali fokus menatap jalan. "Kapan?"
"Tadi siang."
Han tertawa kecil. "Masih kenyang?"
"Sedikit lapar," jawabnya jujur. "Pak Han lapar ya?"
Han menoleh, tersenyum mempesona. "Iya." ia kembali menghadap depan. "Menurut kamu, dimana tempat penjual makanan yang enak?"
"Saya suka makan mie ayam di simpang dekat rumah saya Pak." jawab Ava dan menggaruk pelipis. "Pak Han suka mie ayam? Harganya cuma delapan ribu,"
"Mie ayam?" Han berpikir sejenak. "Boleh, saya belum pernah makan itu." ucapnya membuat Ava melotot kecil.
"Belum pernah?" tanya Ava kaget. "Saya bahkan hampir setiap hari makan itu," ucapnya pelan.
"Kamu tidak bosan?" kali ini Han yang kaget.
Ava menggeleng. "Saya tidak tahu makanan apa lagi yang enak dan murah selain mie ayam."
Han tertawa mendengar jawaban Ava, membuat Ava tanpa sadar juga ikut tertawa.
Ava ingin memperlambat waktu, membiarkan dirinya menikmati waktu bersama dengan lelaki yang ia sukai. Setidaknya, Ava bisa merasakan sedikit kebahagiaan setelah sekian lama hidup dalam penderitaan.
"Ini belok mana?" tanya Han menghentikan tawanya.
"Disana Pak," Ava menunjuk sebuah simpang kecil. "Pak Han bisa parkir di tepi jalan dekat simpang." ucapnya sudah tidak terbata.
Han menoleh, ia tersenyum tipis mendengar gadis itu sudah tidak terbata ketika berbicara dengannya.
Han memutar stir, berbelok ke kanan dan memparkirkan mobil mewahnya susuai dengan arahan Ava.
Ava turun dari mobil itu, setidaknya ia tidak norak karena baru pertama kali menaiki mobil mewah. "Ayo Pak,"
Han mengikuti langkah mungil gadis disampingnya sampai ke sebuah warung yang kecil.
"Mbak, mie ayamnya dua ya." ucap Ava kepada penjual mie ayam dan Han yang hanya mengikuti dibelakang.
Han memperhatikan warung kecil ini. Walaupun kecil, pembelinya sangatlah banyak dan warung ini tampak bersih.
"Duh Mbak Ava, tumben lama kesini? Mie ayamnya tinggal satu porsi." sahut sang penjual tidak enak hati. "Mbak Ava juga biasanya cuma pesan satu."
"Yah .... " seru Ava kecewa. "Saya lagi bawa temen Mbak."
"Satu porsi makan berdua aja Mbak, sama Mas gantengnya." goda sang penjual membuat Han menoleh, merasa terpanggil.
Ava menatap Han dengan ragu. "Pak Han mau cari makan tempat lain aja?" tawarnya tak enak hati.
Han menggeleng. "Pesan satu aja, kita makan berdua."
Saat itu, Ava merasa bumi tandusnya yang kering sedang berbunga-bunga.
"Kamu makan duluan.""Pak Han saja yang duluan.""Kamu.""Tapi ... Saya masih sedikit kenyang, Pak."Han menghela napas. "Saya bakalan makan mie ayamnya kalau kamu yang makan duluan."Ava meringis pelan.Bagaimana mungkin Ava bisa makan mie ayam itu terlebih dahulu, dibanding atasannya.Ava dan Han sedang duduk berhadapan di kursi panjang yang menghadap jalanan.Membuat mereka bisa menikmati pemandangan jalanan raya saat itu.Ava meraih sepasang sendok makan dan garpu. "Saya bakal minta sendok satu lagi, Pak." ucapnya saat Han menatapnya.Han menggeleng pelan. "Tidak perlu," jawabnya.
"Iya Alana iya, besok gue udah masuk kerja lagi kok." "Gue nggak mau tahu ya, besok lo harus kerja! Gue sendirian disini huhuhu .... " Ava terkikik pelan mendengar rengekan Alana dari seberang telepon. "Gue juga udah bosan dirumah terus," "Terus lo ngambil libur buat apa?? Gue kan udah saranin lo buat senang-senang, bukan malah dirumah aja selama satu minggu. Gila, gue bisa setres kalau jadi lo." "Gue gak tahu mau ngapain. Ke taman, kafe, perpustakaan, terus rebahan. Gue rasa itu udah cukup buat have fun." Ava tersenyum kecil. "Bahagia gue sesederhana itu, La." Terdengar helaan napas dari seberang telepon. "Ya, ya, ya. Selera orang memang beda-beda, tapi hidup nggak harus semonoton itu. Lo ngelakuin hal berulang-ulang selama sa
"Pakai jas ini, baju mu akan segera datang." Ava menatap sebuah jas hitam yang kebesaran sedang menyelimuti tubuhnya. "Pa-pak Han?" Ava mengusap air matanya. "Nan-nanti jas Pak Han kotor, sa-saya nggak punya banyak uang untuk membeli yang baru." Ava kembali terisak, ia hendak melepas jas Han yang tersampir di tubuhnya namun Han menahan pergerakannya. "Harga jas itu tidak sebanding dengan harga diri-mu." ujar Han dan menatap sekelilingnya yang ramai. "Siapa pun yang berani menyakiti gadis ini, kalian akan berurusan dengan saya!" teriak Han lantang di lobi utama perusahaan pagi itu. Semua orang yang berada di lobi tentu saja kaget, tidak menyangka bahwa sang direktur anak dari pemilik perusahaan besar ini melindungi gadis karyawan biasa bernama Ava. Dengan cepat, gosip pagi in
Suasana lobi perusahaan pagi ini di gemparkan oleh sebuah pengumuman yang tertempel di majalah dinding lobi utama.Di mading, tertempel dua wajah lelaki tampan dan sebuah judul yang membuat semua orang heboh.Pilih salah satu untuk menjadi seorang CEO.1. Deon 2. HanPilih dukunganmu dengan aplikasi yang telah di sediakan!"De-Deon?" Ava menatap foto di majalah dinding itu tak percaya. "Cowok yang lempar jus?""Iya, ternyata dia anaknya Pak Was. Gila, saingannya ketat. Pilih Pak Han yang tampan, mapan, dewasa, atau Pak Deon
Gadis jelek?Deon memastikan bahwa orang yang berjoged di ponselnya sama dengan orang yang sedang ketakutan beberapa meter di hadapannya.Gadis itu adalah Ava.Ava datang ke klub malam karena paksaan dari Alana yang menyuruhnya untuk bersenang-senang.Bersenang-senang seperti apa ini? Ava mengedarkan pandangannya ke penjuru klub, suara dentuman musik yang keras, orang-orang yang menari di lantai dansa, pasangan muda-mudi yang saling bercumbu di tempat terbuka.Ava memperbaiki letak kaca mata bulatnya. Ia sedang mengenakan dress selutut bermotif bunga-bunga dengan bagian dada yang sedikit terbuka, dress ini hasil pinjaman dari Alana yang begitu bersemangat menyuruh Ava ke klub.Ava melotot kecil saat melihat wanita-wan
"Ke-kenapa tidak pesan ojek online saja, Tuan?""Nggak usah banyak tanya jelek.""Ta-tapi, di sini sangat gelap. Sa-saya takut, Tuan."Deon memutar bola mata malas. "Nggak usah manja, dasar penakut!"Ava memeluk dirinya sendiri, ia menatap jalanan yang sepi dengan takut. Deon mengajak Ava pulang ke apartemen Deon dengan berjalan kaki, menyusuri jalanan sepi di larut malam saat ini.Deon tampak tidak peduli, ia sedang menahan kesal karena Arga dan Aryan tak kunjung mengangkat teleponnya. Sedangkan taksi atau ojek online tidak ada yang mau melintas di jalan sepi ini, karena sudah sering terjadi pembegalan di jalan ini."Tu-tuan, apakah masih jauh?"Deon melirik Ava dengan malas. "Lama
Ava mengerjapkan matanya beberapa kali saat merasakan sebuah cahaya menyinari wajahnya yang berasal dari ventilasi jendela kamar.Perlahan, Ava membuka kelopak matanya. Ia meregangkan otot-otot tangan dengan kesadaran yang belum penuh seutuhnya.Ava duduk, lalu menatap jendela kaca besar dengan tirai yang sudah terbuka di hadapannya. "GUE DIMANAAA?!" teriak Ava panik, ketika sudah sadar sepenuhnya.Ava memegang kedua matanya, memastikan ia sedang mengenakan kaca mata bulatnya atau tidak. Ternyata Ava sedang tidak memakai kaca mata, ia menyipitkan mata dan mencari-cari keberadaan kaca matanya dengan mata yang sedikit buram dan tangan yang sibuk meraba-raba.Ava langsung memasang kaca mata bulat miliknya yang ia dapat di atas meja nakas di samping kas
Mobil Han melaju pergi meninggalkan Ava yang menurunkan tangan dan menghela napas panjang."AVA!"Ava terperanjat dan menoleh kebelakang, melihat sosok gadis berambut panjang sedang berjalan ke arahnya dengan sorot mata marah. "Alana?"Alana menghentakkan kakinya di depan Ava, ia berkacak pinggang. "Lo dari mana? Gue telponin nggak diangkat, sok sibuk ya lo!"Ava meringis. "Lo kok pagi-pagi gini udah marah aja?"Alana menatap jas Han di pundak Ava. "Itu jas Pak Han?""Iya, dipinjamin.""Ck!" Alana menarik tangan Ava. "Lo kemana aja, sih? Gue teleponin dari tadi malam tapi hape lo gak aktif!"Ava hanya tertarik pasrah saat Alana terus menyeretnya berja