"Kamu makan duluan."
"Pak Han saja yang duluan."
"Kamu."
"Tapi ... Saya masih sedikit kenyang, Pak."
Han menghela napas. "Saya bakalan makan mie ayamnya kalau kamu yang makan duluan."
Ava meringis pelan.
Bagaimana mungkin Ava bisa makan mie ayam itu terlebih dahulu, dibanding atasannya.
Ava dan Han sedang duduk berhadapan di kursi panjang yang menghadap jalanan.
Membuat mereka bisa menikmati pemandangan jalanan raya saat itu.
Ava meraih sepasang sendok makan dan garpu. "Saya bakal minta sendok satu lagi, Pak." ucapnya saat Han menatapnya.
Han menggeleng pelan. "Tidak perlu," jawabnya.
Ava menundukkan kepala, mulai menyendokkan mie ayam itu kedalam mulutnya tanpa berani menatap Han yang terus memandanginya.
"Kamu nyaman makan dengan kepala tertunduk?" tanya Han di sela-sela Ava yang sedang mengunyah.
Ava mendongak, "Tidak .... "
Han mengusap dagu, "kamu bisa ngomong informal kepada saya, diluar kantor."
Ava mengerjap polos saat Han meraih sendok bekas mulut Ava dari tangannya. "Maksud Pak Han?"
Han meraih mangkuk mie ayam itu, menyendokkannya ke dalam mulut. Ia menatap Ava yang tampak terkejut atas tindakannya barusan.
"Itu sendok milik saya .... "
"Kenapa? Kamu keberatan?"
Ava menggeleng dengan pipi bersemu merah. Mereka sedang ciuman secara tidak langsung kan?
Karena itu adalah first kiss milik Ava walau direbut secara tidak langsung oleh Han.
Kupu-kupu beterbangan di perut Ava dan itu terasa menggelitik, membuat Ava tersenyum senang dengan jantung yang berpacu cepat.
Umur Ava sudah 20 tahun, apa ia baru merasakan pubertas di umur setua itu?
Han terperangah saat menelan mie ayam dalam mulutnya. Ia mengerjap beberapa kali, lalu dengan antusias menyantap mie ayam itu.
Ava mematung.
Hanya hitungan beberapa menit, Han sudah menyantap mie ayam itu hingga tandas lalu meminum teh es nya. "Ini makanan ter-enak yang pernah saya makan."
Tanpa sadar Ava tertawa kecil. "Pak Han kayak orang kelaparan .... "
Han ikut tertawa, ia meraih tissue dan mengusapkannya di area mulut. "Sudah saya bilang, kan, saya belum pernah makan mie ayam sebelumnya."
Ava memperhatikan dengan gemas Han yang tidak bersih mengusap sisa makanan dibawah mulutnya. Ada kuah mie ayam yang tertempel disana.
Ava berdiri, meraih tissue di tangan Han dan mengusap area bawah bibir Han dengan lembut.
Han mematung.
Ava tersenyum di depan wajah Han dengan jarak yang cukup dekat.
Han berdeham.
Ava langsung duduk kembali di tempatnya sedangkan Han mengusap tengkuknya dan membuang muka.
"Maaf Pak, saya lancang ya? Saya cuma bantu Pak Han bersihin."
Han kembali berdeham, menatap Ava yang sedang menunduk takut. "Sebenarnya ada yang ingin saya bicarakan," ucap Han.
Ava memperbaiki letak kaca mata bulatnya. "Ada apa, Pak?" tanya nya pelan.
"Akhir-akhir ini, kamu kelihatannya kurang fokus dalam pekerjaan."
Ava meneguk ludah.
"Pekerjaan yang saya berikan buat kamu kemarin, ada kesalahan. Saya perhatikan, kamu juga hampir telat menyelesaikannya. Tidak biasanya kamu seperti itu, saya selalu percaya setiap kali memberimu pekerjaan, karena kamu bekerja dengan bagus dan becus. Tapi akhir-akhir ini, selalu ada kesalahan. Ada masalah?"
Mata Ava berkaca-kaca. Ia merasa malu karena untuk pertama kalinya ditegur oleh Han tentang pekerjaannya.
Jangan-jangan, tujuan Han mendekatinya untuk memecatnya secara halus?
Han menghela napas. "Saya pikir, dekat dengan karyawan saya akan membuat karyawan saya terbuka. Ya, saya akui, selama ini saya selalu memperkejakanmu tetapi hubungan kita tidak lebih dari itu. Saya dekat dengan karyawan saya yang lain, dan saya rasa saya juga perlu melakukan itu denganmu."
"Karena itulah alasan saya mengajakmu berbicara kemarin, dan hari ini mengajakmu pulang lalu makan bersama, tujuannya agar kita lebih dekat dan tidak canggung."
Jadi, Han tidak memiliki maksud tertentu untuk mendekati Ava?
Ava menyeka sudut matanya yang berair, ia menarik ingus dan tersenyum tipis. Karena mereka duduk ditempat yang cukup gelap, sepertinya Han tidak tahu bahwa Ava sempat meneteskan air mata.
"Ada masalah?" tanya Han sekali lagi, kali ini terdengar lebih lembut.
Ava menggeleng pelan. "Saya cuma kecapekan, Pak." sahutnya pelan.
"Kamu butuh libur?"
Pertanyaan itu membuat Ava mengangkat kepala. "... Iya," jawabnya.
"Satu minggu?" tanya Han sekali lagi.
"Iya .... "
Han mengangguk, tangannya bergerak menepuk pelan puncak kepala gadis itu. "Saya akan menunggumu selama satu minggu. Semoga liburmu menyenangkan, Ava." ucapnya dan tersenyum mempesona.
Ava mengerjap, "Pak Han tidak memecat saya?" tanya Ava sedikit kaget.
Han tertawa. "Tidak mungkin saya memecat karyawan terbaik saya, apalagi hanya karena kesalahan sepele. Saya hanya mau kamu seperti sebelum-sebelumnya, bekerja dengan baik."
Ava tersenyum senang. "Saya akan menikmati hari libur saya, Pak!" ucapnya riang.
Han kembali tersenyum mempesona. "Tetaplah jadi dirimu Ava, kamu cantik apa adanya." ucapnya tanpa sadar.
Ava melotot kecil. Jantungnya berdebar-debar.
Han terkejut dengan ucapannya sendiri.
"Pak Han juga ganteng," puji Ava sudah kesemsem sendiri.
Ava berjanji akan menjadi dirinya sendiri. Ia tidak akan mengubah penampilannya karena cibiran orang lain. Bagi Ava, pendapat Han tentang dirinya lah yang terpenting.
Dan Han mengatakan Ava cantik.
Untuk pertama kalinya, ada seseorang yang mengatakan Ava cantik.
Seseorang itu adalah lelaki yang disukai Ava.
Han tersenyum tipis. "Semua orang mengatakan saya tampan." sahutnya dan memberikan ponselnya pada Ava.
Ava mengernyit bingung, memandang ponsel mahal milik Han.
Han menggoyangkan ponselnya dihadapan Ava. "Berikan nomor ponsel mu."
"Ha?" Ava mengerjap beberapa kali. "Nomor pon-ponsel saya, Pak?" tanya nya tak masih tidak percaya.
"Iya, saya akan menghubungi kamu nanti." ucap Han dan berdeham. "Kamu tidak ingin memberikannya?" tanya nya saat Ava masih tidak mengambil ponsel milik Han.
Ava meraih ponsel mahal itu. "Sa-saya mau, Pak." jawab Ava dan mengetikkan nomor ponselnya di ponsel mahal milik Han. "Ini Pak," ucap Ava dan mengembalikan ponsel milik Han.
Han menerima ponsel miliknya dari Ava. "Saya akan bayar mie ayamnya dulu," ucap Han yang langsung ditahan oleh Ava.
"Biar saya saja yang bayar, Pak. Karena harganya hanya delapan ribu, saya akan teraktir Pak Han." ucapnya dan tersenyum manis. "Pak Han mau pulang?"
Han terkekeh pelan. "Baiklah gadis manis, lain kali saya yang akan meneraktirmu. Saya pergi dulu, Ava." ucap Han dan bangkit dari duduknya.
"Pak!" panggil Ava sebelum Han benar-benar meninggalkannya. Ava berlari kecil menghampiri Han yang sudah pergi beberapa langkah. "Eung ... Tadi Pak Han bilang, saya boleh bicara informal diluar kantor?" tanya Ava takut-takut.
Han berdeham, ia menganggukkan kepala. "Ya, kenapa?"
"Saya ... Ingin bicara informal kepada Pak Han."
"Bicara saja, informal lebih santai."
"Oke Pak, hati-hati. Makasih udah mau makan mie ayam murah, pak Han keren." ucap Ava dengan riang.
Han tertawa. "Hm, saya pergi dulu." sahutnya dan melangkah pergi masuk ke dalam mobil.
Ava melambai-lambaikan tangan dengan senang atas kepergian Han.
Setelah mobil mewah milik Han benar-benar meninggalkan area simpang perumahan Ava.
Ava menepuk-nepuk dadanya girang dengan pipi yang sudah semerah tomat. "Aku makin suka sama Pak Han! Aku bakalan apa adanya, tenang aja Pak Han, gadis bernama Ava tidak akan mengecewakanmu!"
"Iya Alana iya, besok gue udah masuk kerja lagi kok." "Gue nggak mau tahu ya, besok lo harus kerja! Gue sendirian disini huhuhu .... " Ava terkikik pelan mendengar rengekan Alana dari seberang telepon. "Gue juga udah bosan dirumah terus," "Terus lo ngambil libur buat apa?? Gue kan udah saranin lo buat senang-senang, bukan malah dirumah aja selama satu minggu. Gila, gue bisa setres kalau jadi lo." "Gue gak tahu mau ngapain. Ke taman, kafe, perpustakaan, terus rebahan. Gue rasa itu udah cukup buat have fun." Ava tersenyum kecil. "Bahagia gue sesederhana itu, La." Terdengar helaan napas dari seberang telepon. "Ya, ya, ya. Selera orang memang beda-beda, tapi hidup nggak harus semonoton itu. Lo ngelakuin hal berulang-ulang selama sa
"Pakai jas ini, baju mu akan segera datang." Ava menatap sebuah jas hitam yang kebesaran sedang menyelimuti tubuhnya. "Pa-pak Han?" Ava mengusap air matanya. "Nan-nanti jas Pak Han kotor, sa-saya nggak punya banyak uang untuk membeli yang baru." Ava kembali terisak, ia hendak melepas jas Han yang tersampir di tubuhnya namun Han menahan pergerakannya. "Harga jas itu tidak sebanding dengan harga diri-mu." ujar Han dan menatap sekelilingnya yang ramai. "Siapa pun yang berani menyakiti gadis ini, kalian akan berurusan dengan saya!" teriak Han lantang di lobi utama perusahaan pagi itu. Semua orang yang berada di lobi tentu saja kaget, tidak menyangka bahwa sang direktur anak dari pemilik perusahaan besar ini melindungi gadis karyawan biasa bernama Ava. Dengan cepat, gosip pagi in
Suasana lobi perusahaan pagi ini di gemparkan oleh sebuah pengumuman yang tertempel di majalah dinding lobi utama.Di mading, tertempel dua wajah lelaki tampan dan sebuah judul yang membuat semua orang heboh.Pilih salah satu untuk menjadi seorang CEO.1. Deon 2. HanPilih dukunganmu dengan aplikasi yang telah di sediakan!"De-Deon?" Ava menatap foto di majalah dinding itu tak percaya. "Cowok yang lempar jus?""Iya, ternyata dia anaknya Pak Was. Gila, saingannya ketat. Pilih Pak Han yang tampan, mapan, dewasa, atau Pak Deon
Gadis jelek?Deon memastikan bahwa orang yang berjoged di ponselnya sama dengan orang yang sedang ketakutan beberapa meter di hadapannya.Gadis itu adalah Ava.Ava datang ke klub malam karena paksaan dari Alana yang menyuruhnya untuk bersenang-senang.Bersenang-senang seperti apa ini? Ava mengedarkan pandangannya ke penjuru klub, suara dentuman musik yang keras, orang-orang yang menari di lantai dansa, pasangan muda-mudi yang saling bercumbu di tempat terbuka.Ava memperbaiki letak kaca mata bulatnya. Ia sedang mengenakan dress selutut bermotif bunga-bunga dengan bagian dada yang sedikit terbuka, dress ini hasil pinjaman dari Alana yang begitu bersemangat menyuruh Ava ke klub.Ava melotot kecil saat melihat wanita-wan
"Ke-kenapa tidak pesan ojek online saja, Tuan?""Nggak usah banyak tanya jelek.""Ta-tapi, di sini sangat gelap. Sa-saya takut, Tuan."Deon memutar bola mata malas. "Nggak usah manja, dasar penakut!"Ava memeluk dirinya sendiri, ia menatap jalanan yang sepi dengan takut. Deon mengajak Ava pulang ke apartemen Deon dengan berjalan kaki, menyusuri jalanan sepi di larut malam saat ini.Deon tampak tidak peduli, ia sedang menahan kesal karena Arga dan Aryan tak kunjung mengangkat teleponnya. Sedangkan taksi atau ojek online tidak ada yang mau melintas di jalan sepi ini, karena sudah sering terjadi pembegalan di jalan ini."Tu-tuan, apakah masih jauh?"Deon melirik Ava dengan malas. "Lama
Ava mengerjapkan matanya beberapa kali saat merasakan sebuah cahaya menyinari wajahnya yang berasal dari ventilasi jendela kamar.Perlahan, Ava membuka kelopak matanya. Ia meregangkan otot-otot tangan dengan kesadaran yang belum penuh seutuhnya.Ava duduk, lalu menatap jendela kaca besar dengan tirai yang sudah terbuka di hadapannya. "GUE DIMANAAA?!" teriak Ava panik, ketika sudah sadar sepenuhnya.Ava memegang kedua matanya, memastikan ia sedang mengenakan kaca mata bulatnya atau tidak. Ternyata Ava sedang tidak memakai kaca mata, ia menyipitkan mata dan mencari-cari keberadaan kaca matanya dengan mata yang sedikit buram dan tangan yang sibuk meraba-raba.Ava langsung memasang kaca mata bulat miliknya yang ia dapat di atas meja nakas di samping kas
Mobil Han melaju pergi meninggalkan Ava yang menurunkan tangan dan menghela napas panjang."AVA!"Ava terperanjat dan menoleh kebelakang, melihat sosok gadis berambut panjang sedang berjalan ke arahnya dengan sorot mata marah. "Alana?"Alana menghentakkan kakinya di depan Ava, ia berkacak pinggang. "Lo dari mana? Gue telponin nggak diangkat, sok sibuk ya lo!"Ava meringis. "Lo kok pagi-pagi gini udah marah aja?"Alana menatap jas Han di pundak Ava. "Itu jas Pak Han?""Iya, dipinjamin.""Ck!" Alana menarik tangan Ava. "Lo kemana aja, sih? Gue teleponin dari tadi malam tapi hape lo gak aktif!"Ava hanya tertarik pasrah saat Alana terus menyeretnya berja
"Lo pulang bareng siapa, Va?""Naik bus Kar, kenapa?"Azkar berjalan mendekat ke arah Ava. "Mau pulang bareng gue?""Ah ... Kayaknya lain kali deh," tolak Ava halus karena merasa tidak enak hati. "Lo bentar lagi udah mau nikah, orang-orang bisa berpikiran buruk tentang lo."Azkar dan Ava berjalan bersama keluar dari kantor. "Hm, lo benar juga." sahut Azkar dan masuk ke dalam lift yang disusul oleh Ava. "Alana mana?" tanya Azkar saat mereka berdua sudah masuk ke dalam lift."Udah pulang duluan, ada urusan mendesak katanya.""Alana kok nggak pernah nebengin lo ya? Padahal jalan rumah kalian searah, Alana juga bawa motor."Ava menengadah, menatap Azkar yang lebih tinggi darinya. "Mungkin ada alasan lain, Kar." jawab Ava s