"Pakai jas ini, baju mu akan segera datang."
Ava menatap sebuah jas hitam yang kebesaran sedang menyelimuti tubuhnya.
"Pa-pak Han?" Ava mengusap air matanya. "Nan-nanti jas Pak Han kotor, sa-saya nggak punya banyak uang untuk membeli yang baru." Ava kembali terisak, ia hendak melepas jas Han yang tersampir di tubuhnya namun Han menahan pergerakannya.
"Harga jas itu tidak sebanding dengan harga diri-mu." ujar Han dan menatap sekelilingnya yang ramai. "Siapa pun yang berani menyakiti gadis ini, kalian akan berurusan dengan saya!" teriak Han lantang di lobi utama perusahaan pagi itu.
Semua orang yang berada di lobi tentu saja kaget, tidak menyangka bahwa sang direktur anak dari pemilik perusahaan besar ini melindungi gadis karyawan biasa bernama Ava. Dengan cepat, gosip pagi ini merambat keseluruh penjuru perusahaan dari mulut ke mulut, dari sosial media bahkan hingga keluar perusahaan.
Ava mengerjap, terharu karena ucapan Han yang membuatnya merasa berharga di saat orang lain mengucilkannya. Ava menatap orang-orang yang kini tak lagi membicarakannya.
"Ayo," ajak Han dan menggenggam tangan Ava, melewati orang-orang yang masih terngaga tidak percaya dengan apa yang sedang mereka saksikan.
Sedangkan di ujung lobi, Alana mengepalkan tangannya kuat-kuat. Menatap Ava dan Han dengan mata berapi-api.
Sosok lelaki jangkung yang juga ikut menonton aksi Han, tertawa remeh. "Dasar bodoh," gumamnya pelan dan kembali melanjutkan langkah.
**
"Ganti pakaian mu, Ava."
Ava mengangkat kepalanya, ia menatap sebuah bungkusan yang diberikan Han kepadanya.
Han tersenyum, "kamu bisa menggantinya di toilet saya. Tidak ada cctv disana," ucap Han dan menunjuk tempat yang ia maksud, berada di sudut ruangan.
Ava mengangguk pelan, ia bangkit dari duduknya. "Terima kasih, Pak." ia meraih bungkusan itu dan berjalan pelan menuju toilet.
Di dalam toilet, Ava menutup pintu. Ia langsung memegangi dadanya yang berdebar-debar. "Ava, Ava, Ava! Lo nggak boleh gini!" ia menepuk-nepuk pipi nya yang memanas.
Ava dengan cepat membuka bungkusan pemberian Han. "Haaa??" Ava melotot kaget hingga menutup mulutnya dengan telapak tangan.
Ava tidak terbiasa dengan penampilan baru, apalagi mengenakan sebuah dress. Ava belum pernah memakai model baju seperti itu.
Dan Han memberikan nya sebuah dress selutut berwarna dusty pink.
Ava mendengar ketukan pintu, ia menoleh ke pintu toilet masih dengan tatapan terkejut.
"Ava, kamu masih lama? Saya akan mengadakan rapat sebentar lagi."
"Tu-tunggu Pak, saya sebentar lagi siap!" sahut Ava dari dalam toilet dan segera melepas bajunya dan membersihkan tubuh lalu memakai dress selutut pemberian Han yang tampak elegan dan berkelas.
Dress itu sangat pas di tubuh Ava.
Di luar toilet, Han menatap arloji hitamnya di pergelangan tangan kanan. Ia mendesah berat, rapat akan segera di mulai. Tetapi Ava tak kunjung keluar dari dalam toilet, Han tidak tega meninggalkan gadis itu sendirian di dalam ruangan kerjanya.
Ceklek
Pintu toilet terbuka.
Han langsung menegakkan tubuh. Ia mengerjap, menatap sosok gadis berkaca mata bulat yang sedang menatapnya malu-malu.
Ava meremas bagian bawah dressnya. "Ke-kenapa Pak? Sa-saya jelek?" tanya Ava takut bahwa Han tidak suka dengan penampilannya.
Han meneguk ludah, segera menyadarkan diri. "Ti-tidak." ucapnya dan berdeham, ia jadi ikut kelagapan. "Kamu cantik."
Ava tersenyum senang, ketakutannya pada pendapat Han langsung lenyap. "Makasih Pak Han, makasih sudah menolong saya, makasih sudah memberi saya baju mahal ini. Nanti jika saya punya banyak uang, saya akan ganti membelikan Pak Han baju mahal juga!"
Han tertawa, pipi nya terasa panas, ia melonggarkan ikatan dasi pada kerah kemejanya. "Kamu tampil sangat beda dengan memakai baju itu." ia tersenyum tipis. "Saya akan tunggu kamu memiliki banyak uang, kamu harus menepati janji mu kepada saya."
Ava mengangguk antusias. "Saya tidak akan ingkar janji!" ucap Ava bersungguh-sungguh.
Han kembali tersenyum, memandang Ava dari atas sampai bawah. "Ayo saya antar ke kantor mu,"
Ava memeluk bungkusan di tangannya yang berisi baju kotor Ava yang terkena tumpahan jus. "Ah ... Tidak perlu Pak, saya tidak mau merepotkan Pak Han lagi."
"Tidak merepotkan, sekalian saya juga mau ke ruang rapat."
Ava tersenyum malu-malu. "Ya-ya sudah kalau Pak Han memaksa,"
Han tertawa. "Saya tidak memaksa mu, Ava. Ayo,"
Han dan Ava berjalan keluar ruangan kerja pribadi milik Han. Di luar ruangan, sudah banyak karyawan yang berbisik-bisik. Mereka menatap penuh penasaran ke arah Han dan Ava yang berjalan bersama.
"Lihat tuh bajunya cakep banget, eh pas lihat sepatunya gak sesuai ekspetasi."
"Baju hasil maling dari mana itu?"
"Tas nya kudel, jadi pengin bantu buang ke tempat sampah."
Ava menunduk takut. Ternyata, orang-orang masih saja membencinya.
Han menghentikan langkah. "Jangan dengar kan apapun yang mereka katakan tentang mu. Di mata saya, kamu tetap cantik dan menarik."
Ava mengangguk dan tersenyum senang. "Terima kasih Pak Han, dan sampai jumpa!" Ava membungkuk kan tubuhnya sekali sebagai tanda hormat, lalu kembali menegak kan tubuh dan melambai riang pada Han.
Han tertawa kecil, entah mengapa ia selalu gemas dengan sikap Ava hingga membuatnya ingin sekali memeluk erat-erat gadis itu.
Han rasanya ingin menculik Ava dan membawa nya pulang.
Han berdeham dan memalingkan wajah, membuang jauh-jauh pikiran anehnya itu. "Baiklah, saya pergi dulu." Han hendak meraih tubuh mungil Ava dan mendekap nya, namun ia dengan cepat berjalan meninggalkan Ava sebelum hal itu terjadi.
Ava tersenyum senang melihat kepergian Han yang sudah melangkah menjauh meninggalkannya.
Ava masih belum percaya bahwa Han menyukai dirinya, dan memuji Ava cantik juga menarik. Perasaan mengagumi satu tahun yang selama ini Ava pendam kini terbalaskan. Dan hanya butuh waktu singkat buat Han menyukai Ava.
"Ava!" Alana datang dan menarik paksa Ava masuk ke dalam kantor. Ava hanya bisa pasrah saat Alana mendudukkan nya di kursi kerja milik Ava.
Ava menaruh sebuah bungkusan di tangannya ke dalam laci meja kerja. "Kenapa La?" tanya nya pada Alana yang tampak kesal.
"Lo keramas? Rambut lo basah,"
Ava mengangguk pelan. "Tadi gue cuci pakai air, kena tumpahan jus orang tidak di kenal." jawab Ava seadanya.
Alana mendengus. "Terus lo diam aja?"
"Memang gue bisa apa?"
Pertanyaan itu membuat Alana duduk di kursi kerja miliknya dengan kesal. "Lo lawan, lah, bukan malah berlindung sama orang lain. Yang nggak ada sangkut pautnya sama masalah lo."
Ava yang sedang menghidupkan komputer, menoleh pada Alana dengan dahi mengerut. "Memang gue berlindung sama siapa?" tanya nya dan mengerjap polos.
"Siapa lagi? Pak Han, lo buat dia terlibat dalam masalah lo."
"Gue gak minta perlindungan, kok. Pak Han yang datang sendiri dan ngelindungi gue, memang nya salah?"
Alana tertohok.
"Gue juga gak tahu kenapa lo ikutan nyalahin gue La, tapi gue udah coba melawan orang yang numpahin jus itu. Yang ada gue di hina, di katain jelek, dan makin banyak yang benci gue. Cuma Pak Han yang mau lindungi gue La, lo dan Azkar juga."
"Lupain aja apa yang gue bilang barusan." Alana mengibas-ngibaskan tangannya. "Ngomong-ngomong, lo dapat baju pengganti dari mana?"
Mendengar pernyataan itu, raut sendu Ava berubah menjadi riang. "Dari Pak Han .... " Ava nyengir kuda. "Cantik, kan?"
Alana menggeleng. "Lo gak cocok pakai dress, rambut lo juga nggak cocok di gerai. Lo lebih cantik tampil kayak biasanya, lusuh."
Ava berpikir sesaat, ia sama sekali tidak tersinggung dengan ucapan Alana. "Iya, ya? Gue pikir gue cantik tampil gini, karena kata Pak Han gue cantik."
Alana tertawa sumbang. "Dia cuma kasihan sama lo yang di caci maki mulu sama orang-orang. Jadi, jangan berharap lebih apalagi sampai bawa perasaan sama pujian Pak Han."
Ava menunduk sedih. "Tapi ... Pak Han bilang dia suka gue, dan gue menarik di matanya."
"HA?! PAK HAN BILANG BEGITU??"
Alana sampai berdiri saking kagetnya mendengar tuturan Ava.
Ava mengangguk pelan, ia takut melihat respon Alana yang berlebihan.
"KE, ELO?" tanya Alana lagi.
Ava mengangguk lagi.
Alana duduk dengan lunglai di kursinya, ia menatap Ava lama lalu tersenyum tipis. "Gue bakal bantu lo dapatin Pak Han,"
Ava menoleh. "Gimana?"
"Enggak, gue punya niat baik buat lo. Hahaha ... Kita teman, kan?"
Ava mengernyit tidak paham. "Iya, kan dari dulu kita memang teman La. Kenapa lo tiba-tiba nanya gitu?"
"Bukan apa-apa." jawab Alana dan tersenyum manis.
**
Di sebuah ruangan yang hanya terdiri dari tiga lelaki, terasa mencekam. Tidak ada yang membuka suara di antara mereka, bahkan suara jarum jam yang ber-detak terdengar mengisi kekosongan di ruangan itu.
Pak Was menghela napas. "Kalian sudah dewasa, tetapi mengapa sikap kalian begitu kekanakan?"
Sosok lelaki tampan yang duduk di atas sofa tunggal di dalam ruangan itu, melepas kaca mata hitamnya dari pangkal hidung. Ia tersenyum miring, menatap Pak Was yang duduk di meja kerjanya. "Deon yang akan gantikan posisi Papa, biarkan Deon jadi CEO." ucap lelaki bernama Deon itu tegas.
Han menghembuskan napas, ia membalas datar tatapan remeh Deon kepadanya. "Pa, Han sudah kerja keras selama tiga tahun di perusahaan ini. Han tahu semua tentang perusahaan ini, dan jangan lupakan jabatan Han sebagai direktur. Papa yakin sama Han, kan? Serahkan jabatan CEO kepada Han, Pa."
Pak Was mengusap dagu, menatap kedua anak lelakinya yang sudah tumbuh dewasa.
Deon tertawa, ia memainkan lidah. "Ck, Papa nggak lupa, kan? Kalau Deon kuliah dimana, dan jurusan apa. Deon bakal ubah konsep perusahaan ini, di mulai dari seni bernegosiasi, keuangan, perekrutan dan pelatihan karyawan. Semua itu sudah Deon susun sejak kuliah di AS."
Deon bisa menangkap sorot kemarahan dari tatapan Han kepadanya. "Kerja tiga tahun sebagai direktur nggak bisa menjamin kalau di paham tentang konsep." ucapnya semakin memanasi.
Han menarik napas, mencoba sabar pada Deon yang dua tahun lebih muda darinya. "Pa," panggil Han membuat Pak Was kini kembali menatapnya. "Han harap Papa paham kalau memilih seorang CEO bukan hal yang mudah. Papa harus mempertimbangkan semuanya dengan baik, termasuk resikonya. Han tahu Papa selalu bijak dalam segala hal, jadi, jangan kecewakan para karyawan yang sudah bekerja keras untuk perusahaan ini, hanya karena Papa memilih pemimpin yang salah."
Pak Was menimang-nimang ucapan kedua anaknya, ia menganggukkan kepala. "Benar katamu Nak, Papa tidak boleh ceroboh." ucap Pak Was pada Han yang langsung tersenyum karena merasa bahwa Papanya sedang memihak kepadanya.
Deon memutar bola mata.
"Papa punya rencana, agar pemilihan CEO adil untuk kalian berdua dan para karyawan Papa."
"Apa, Pa?" tanya Han.
Deon hanya diam sembari memainkan ponsel.
"Kita lakukan voting, para karyawan akan memilih siapa di antara kalian yang pantas untuk di jadikan CEO. Bagaimana?"
Suasana lobi perusahaan pagi ini di gemparkan oleh sebuah pengumuman yang tertempel di majalah dinding lobi utama.Di mading, tertempel dua wajah lelaki tampan dan sebuah judul yang membuat semua orang heboh.Pilih salah satu untuk menjadi seorang CEO.1. Deon 2. HanPilih dukunganmu dengan aplikasi yang telah di sediakan!"De-Deon?" Ava menatap foto di majalah dinding itu tak percaya. "Cowok yang lempar jus?""Iya, ternyata dia anaknya Pak Was. Gila, saingannya ketat. Pilih Pak Han yang tampan, mapan, dewasa, atau Pak Deon
Gadis jelek?Deon memastikan bahwa orang yang berjoged di ponselnya sama dengan orang yang sedang ketakutan beberapa meter di hadapannya.Gadis itu adalah Ava.Ava datang ke klub malam karena paksaan dari Alana yang menyuruhnya untuk bersenang-senang.Bersenang-senang seperti apa ini? Ava mengedarkan pandangannya ke penjuru klub, suara dentuman musik yang keras, orang-orang yang menari di lantai dansa, pasangan muda-mudi yang saling bercumbu di tempat terbuka.Ava memperbaiki letak kaca mata bulatnya. Ia sedang mengenakan dress selutut bermotif bunga-bunga dengan bagian dada yang sedikit terbuka, dress ini hasil pinjaman dari Alana yang begitu bersemangat menyuruh Ava ke klub.Ava melotot kecil saat melihat wanita-wan
"Ke-kenapa tidak pesan ojek online saja, Tuan?""Nggak usah banyak tanya jelek.""Ta-tapi, di sini sangat gelap. Sa-saya takut, Tuan."Deon memutar bola mata malas. "Nggak usah manja, dasar penakut!"Ava memeluk dirinya sendiri, ia menatap jalanan yang sepi dengan takut. Deon mengajak Ava pulang ke apartemen Deon dengan berjalan kaki, menyusuri jalanan sepi di larut malam saat ini.Deon tampak tidak peduli, ia sedang menahan kesal karena Arga dan Aryan tak kunjung mengangkat teleponnya. Sedangkan taksi atau ojek online tidak ada yang mau melintas di jalan sepi ini, karena sudah sering terjadi pembegalan di jalan ini."Tu-tuan, apakah masih jauh?"Deon melirik Ava dengan malas. "Lama
Ava mengerjapkan matanya beberapa kali saat merasakan sebuah cahaya menyinari wajahnya yang berasal dari ventilasi jendela kamar.Perlahan, Ava membuka kelopak matanya. Ia meregangkan otot-otot tangan dengan kesadaran yang belum penuh seutuhnya.Ava duduk, lalu menatap jendela kaca besar dengan tirai yang sudah terbuka di hadapannya. "GUE DIMANAAA?!" teriak Ava panik, ketika sudah sadar sepenuhnya.Ava memegang kedua matanya, memastikan ia sedang mengenakan kaca mata bulatnya atau tidak. Ternyata Ava sedang tidak memakai kaca mata, ia menyipitkan mata dan mencari-cari keberadaan kaca matanya dengan mata yang sedikit buram dan tangan yang sibuk meraba-raba.Ava langsung memasang kaca mata bulat miliknya yang ia dapat di atas meja nakas di samping kas
Mobil Han melaju pergi meninggalkan Ava yang menurunkan tangan dan menghela napas panjang."AVA!"Ava terperanjat dan menoleh kebelakang, melihat sosok gadis berambut panjang sedang berjalan ke arahnya dengan sorot mata marah. "Alana?"Alana menghentakkan kakinya di depan Ava, ia berkacak pinggang. "Lo dari mana? Gue telponin nggak diangkat, sok sibuk ya lo!"Ava meringis. "Lo kok pagi-pagi gini udah marah aja?"Alana menatap jas Han di pundak Ava. "Itu jas Pak Han?""Iya, dipinjamin.""Ck!" Alana menarik tangan Ava. "Lo kemana aja, sih? Gue teleponin dari tadi malam tapi hape lo gak aktif!"Ava hanya tertarik pasrah saat Alana terus menyeretnya berja
"Lo pulang bareng siapa, Va?""Naik bus Kar, kenapa?"Azkar berjalan mendekat ke arah Ava. "Mau pulang bareng gue?""Ah ... Kayaknya lain kali deh," tolak Ava halus karena merasa tidak enak hati. "Lo bentar lagi udah mau nikah, orang-orang bisa berpikiran buruk tentang lo."Azkar dan Ava berjalan bersama keluar dari kantor. "Hm, lo benar juga." sahut Azkar dan masuk ke dalam lift yang disusul oleh Ava. "Alana mana?" tanya Azkar saat mereka berdua sudah masuk ke dalam lift."Udah pulang duluan, ada urusan mendesak katanya.""Alana kok nggak pernah nebengin lo ya? Padahal jalan rumah kalian searah, Alana juga bawa motor."Ava menengadah, menatap Azkar yang lebih tinggi darinya. "Mungkin ada alasan lain, Kar." jawab Ava s
Ava berjalan pelan mengikuti langkah kaki Deon yang membawanya menuju lantai bawah Mal. Perkataan Deon beberapa menit yang lalu masih terus terngiang memenuhi isi kepala Ava sekarang.Dada Ava terasa sesak, semua perlakuan Deon mulai berputar bagai kaset rusak di kepalanya. Membuat Ava ingin berteriak, memaki dan mengumpat kepada Deon. Tetapi yang Ava lakukan hanyalah diam, menerima semua perlakuan Deon yang menyakitinya."Woy!"Ava terperanjat. "I-iya Tuan?" sahut Ava ketika sudah sadar dari keterkejutannya.Deon berdecak. "Mau makan nggak?""Ti-tidak Tuan.""Gue nggak lagi nawarin!""Ma-mau Tuan,""Makan di mana?""Terserah Tuan saja.""Gue nggak lagi nanya!"Ava langsung mengatupkan bibirnya rapat-rapat."Kenapa diam?!" bentak Deon emosi. "Lo pintar banget mancing emosi gue
Han berdiri di hadapan sosok gadis yang menangis di bawah derasnya guyuran hujan. Han tidak tahu apa yang terjadi pada gadis itu, namun hatinya berdenyut sakit saat melihat sosok yang dicintainya ternyata adalah gadis yang rapuh. Ava menyeka bulir air hangat yang membasahi pipinya, ia menggigit bibir bawahnya, menahan diri agar tidak kembali terisak. Ia mencoba untuk berdiri dengan tubuh yang oleng, sedangkan Han masih terpaku menatapnya dalam diam. Ava berhasil berdiri di hadapan Han, ia tersenyum paksa. "Hai Pak, ini saya Ava." Ava tersenyum manis dengan keadaannya yang tampak kacau. Pertahanan Han langsung pecah, ia melempar asal payung di genggamannya yang kini terlempar jauh di trotoar jalan. Han memeluk tubuh Ava yang rapuh, mendekapnya hangat di saat Ava merasa kedinginan. Han menyembunyikan kepal