"Gue nggak mau tahu ya, besok lo harus kerja! Gue sendirian disini huhuhu .... "
Ava terkikik pelan mendengar rengekan Alana dari seberang telepon. "Gue juga udah bosan dirumah terus,"
"Terus lo ngambil libur buat apa?? Gue kan udah saranin lo buat senang-senang, bukan malah dirumah aja selama satu minggu. Gila, gue bisa setres kalau jadi lo."
"Gue gak tahu mau ngapain. Ke taman, kafe, perpustakaan, terus rebahan. Gue rasa itu udah cukup buat have fun." Ava tersenyum kecil. "Bahagia gue sesederhana itu, La."
Terdengar helaan napas dari seberang telepon. "Ya, ya, ya. Selera orang memang beda-beda, tapi hidup nggak harus semonoton itu. Lo ngelakuin hal berulang-ulang selama satu minggu?! Hellawww .... "
"Gue juga nggak tahu kenapa hidup gue kayak gini, tapi gue bersyukur kok. Sekalipun gue cuma punya lo sama Azkar, itu udah cukup buat gue. Kalau dapatin Pak Han itu bonus dari Tuhan."
"Pak Han juga gak mau kali sama lo," cibir Alana dari seberang telepon.
"Hehe .... " Ava menyengir kuda. "La, udah dulu ya. Gue mau turun dari bus, udah sampai."
"Oke, besok jangan lupa kerja!"
"Iya,-iya, dadah Alana."
"Sipp, bye Ava."
Tuttt ... Tuttt ... Tuttt
Suara panggilan telepon terdengar diakhiri.
Ava memasukkan ponselnya ke dalam tas selempang kecil yang ia sampirkan di bahu kanan.
Ava turun dari busway. Ia baru pulang dari perpustakan kota, menghilangkan penat disana.
Ava melangkahkan kaki dari halte menuju rumah tempatnya tinggal yang berada sedikit jauh dari sana.
Ava memasang headset di kedua telinga dan mendengarkan musik penyanyi Jorja Smith yang terhubung dari ponsel.
Angin malam membelai tubuh Ava. Ava mengenakan tudung hoodie kebesarannya dan memeluk dirinya sendiri.
Ava memandang kosong jalanan di depannya. Benar kata Alana, hidup Ava terlalu monoton. Tidak ada hal menantang yang membuat Ava bersemangat, tidak ada hal menarik dalam hidupnya. Semua terlalu membosankan.
Dan Ava berharap, seseorang datang kepadanya dan memberikan warna-warni kehidupan di hidup Ava yang membosankan.
Di persimpangan jalan menuju rumahnya, Ava mengerjap dan menghentikan langkah. Ia melepas kaca matanya dan mengusap-ngusap pelan matanya. Lalu memasang kembali kaca mata bulatnya.
Benar, mobil yang terpakir di tepi jalan dekat warung mie ayam adalah mobil mahal yang pernah Ava tumpangi.
Tapi dimana sang pemilik mobil itu?
Ava melanjutkan langkah kakinya. Ia berjalan memasuki warung mie ayam yang masih buka dipukul 22.00 WIB malam, dan mencari seseorang disana.
Ava terbelalak kaget. "Pa-Pak Han?"
Han yang sedang mengunyah mie ayam di mulutnya tersedak pelan.
Ava segera mendekat dan memberikan Han minum yang langsung di teguk oleh lelaki itu.
Han masih terbatuk kecil. Ia berdeham-deham pelan, dan menatap Ava yang masih kaget. "Kenapa?"
Ava tersenyum tipis. "Engggak kenapa-kenapa, Pak." sahutnya dan duduk di depan Han. "Mbak, mie ayamnya satu ya!" seru Ava kepada penjual.
"Siap Mbak Ava!" sahut sang penjual.
Han kembali menyendokkan mie ayam ke dalam mulutnya. "Gimana dengan liburan kamu? Sudah lebih baik?" tanya nya dan menatap lamat gadis bertudung hoodie itu.
Ava mengangguk semangat. "Jauh lebih baik sekarang." sahutnya riang. "Pak Han datang jauh-jauh kesini buat makan mie ayam?" tanya Ava yang membuat Han diam-diam menghela napas.
Han sedang menghindari pertanyaan itu. "Selain karena mie ayam disini enak seperti yang kamu katakan, saya juga ingin bertemu dengan kamu."
Pesanan Ava datang, "makasih mbak." ucapnya kepada sang penjual yang disahut ramah.
"Kenapa Pak Han pengin ketemu saya?" tanya Ava, diam-diam menyembunyikan kegugupannya.
Han menaruh kedua sendoknya. "Saya ingin tahu apa kamu bekerja besok atau tidak. Siapa tahu kamu mau tambah hari libur lagi," ucapnya dan meneguk es teh miliknya.
Ava mengaduk mie ayamnya yang sudah tercampur kecap dan sambal. "Saya pikir ... karena Pak Han nggak ngehubungi saya." jawab Ava pelan.
"Ya, mungkin itu juga. Karena saya sudah berjanji akan meneleponmu, tapi banyak pekerjaan yang harus saya lakukan. Jadi saya tidak memiliki waktu luang untuk menghubungimu."
"Ah ... Gitu ternyata, " Ava mengangguk paham. "Besok saya sudah mulai bekerja kok, Pak."
"Baguslah," jawab Han terdengar lega.
Ava hanya diam dan mengunyah mie ayam miliknya tanpa menghiraukan Han yang terus memandanginya.
Karena Ava tidak terlalu tahu bagaimana caranya salah tingkah. Ia hanya bisa diam menunduk tanpa mengatakan apapun.
Han melonggarkan ikatan pada dasinya, ia menopang dagu. Memandangi Ava yang tampak biasa-biasa saja menikmati mie ayam miliknya. "Kamu berminat untuk menjadi sekretaris?"
Ava tersedak makanan di dalam mulutnya saat itu juga. Han dengan panik memberikan minum, menatap khawatir gadis itu yang sedang terbatuk kecil.
Ava mengusap area mulutnya dengan tissue. Ia mengangguk ragu, "i-iya Pak."
Han tersenyum puas. "Oh ... " gumamnya dan terkekeh pelan. "Lanjutkan saja makannya,"
Ava menurut dan melanjutkan makannya. Ia tidak tahu mengapa Han terlihat antusias atas jawaban yang Ava berikan, tetapi Ava juga ikut merasakan sebuah keantusiasan jika bersama Han.
Ava meneguk air putih miliknya. "Saya bayar dulu ya Pak,"
"Tidak perlu, biar saya saja." ucap Han dan bangkit dari duduknya. Menyerahkan lembaran uang kepada sang penjual dan mengikhlaskan kembaliaannya.
Han berjalan mendekat kepada Ava. "Ayo saya antar pulang,"
Ava melotot kecil. "Ta-tapi, mobil Pak Han nggak bisa masuk."
"Tidak apa-apa, jalan kaki saja. Saya masih punya kaki kan? Ayo,"
Ava dan Han berjalan keluar dari ruangan itu.
"Mbak Ava, rajin-rajin bawa pacarnya makan disini ya!" seru sang penjual yang membuat Ava terkekeh kecil.
Ava mendongak, menatap Han yang berjalan disampingnya. "Pak Han tinggi banget ya,"
Han menunduk, "hm, kenapa?"
Ava mengeratkan pegangannya pada tas selempang hitamnya. "Nggak papa,"
Mereka berdua berjalan di kegelapan malam yang hanya diterangi bulan dan bintang. Cahaya yang minim membuat Han mengernyit, "kamu tidak takut malam-malam jalan sendirian disini?"
Ava menggelengkan kepala. "Enggak, kenapa harus takut? Disini gak ada orang jahat, warganya baik-baik."
"Kamu tinggal dengan siapa?"
"Sendirian, Pak." Ava memaksakan senyum. "Jadi saya gak pernah takut jalan sendirian, karena saya sudah terbiasa sendiri."
"Bagaimanapun, kamu harus tetap hati-hati. Bisa saja ada orang jahat yang mengintaimu, kamu hanya gadis polos yang tidak tahu apa-apa."
Ava menghentikan langkah.
Han ikut menghentikan langkah. "Kenapa?"
"Sudah sampai Pak," Ava menunjuk rumah minimalis dihadapannnya. "Ini rumah saya,"
Han memandangi rumah beton itu, ia menatap kagum wanita dihadapannya. "Kamu wanita yang sederhana Ava, dan itu membuatmu terlihat menarik dimata saya."
Ava mengerjap. "Ya, Pak?"
"Mungkin ... Saya sedang menyukaimu."
Apakah Ava sedang bermimpi?
Jika ini benar-benar mimpi, tolong jangan bangunkan Ava. Ava masih ingin berlama-lama menatap kagum seseorang yang sedang menatapnya dalam.
Saat ini, Ava benar-benar jatuh cinta.
**
Ava berlari sekencang-kencangnya. Ia tersenyum lebar setiap kali orang-orang di trotoar jalan menatapnya aneh.
Ava berlari dengan perasaan senang. Kali ini ia berlari bukan karena terlambat bangun lagi, tetapi ia terlalu bersemangat ingin cepat-cepat sampai di kantor.
Satu hal yang membuat Ava tersenyum cerah pagi ini. Fakta bahwa kemarin malam bukanlah sebuah mimpi, bahwa Han benar-benar menyatakan sesuatu yang membuat Ava berdebar-debar bahkan setiap kali mengingat hal itu.
"Hah ... Hah ... Hah ... " Ava terengah, ia sudah sampai di halte.
Ava membungkukkan badan, kedua tangannya bersangga kepada lutut kakinya.
Ava menegakkan tubuh, bibirnya masih membentuk lengkungan yang indah.
Ia menoleh, melihat bus yang sudah tidak jauh sedang melaju ke arah halte.
Sebuah mobil hitam yang berkilat, mewah dan yang pastinya mahal berada tidak jauh dari busway itu dan sedang melaju kencang.
Ava masih tersenyum, menunggu tidak sabar bus itu.
Gyurrrrr
Ava mengerjap.
"J-jus?" tanya nya tidak percaya menatap bajunya yang kini tersiram sebuah cairan yang lengket, bahkan kaca mata Ava serta rambutnya ikut tersiram cairan itu.
"I'm sorry girl,"
Ava melepas kaca matanya dan menatap mobil mewah dihadapannya dan sosok lelaki di dalam mobil itu yang sedang tersenyum miring dengan mata menyipit.
"Pa-Pak?!" panggil Ava berteriak, namun lelaki yang berada di dalam mobil itu menutup kaca jendela mobil dan melaju kencang meninggalkan Ava yang ternganga tidak percaya.
Ava mengusap kaca matanya dengan tissue di dalam tas selempang hitamnya yang selalu ia bawa kemana-mana. Ava bisa melihat orang-orang di halte sedang menatapnya antara jijik dan kasihan.
Ava rasanya ingin menangis saja.
Ia baru saja merasakan arti sebuah kebahagiaan, tetapi seseorang yang bahkan tidak Ava kenal memberinya penderitaan.
Mengapa dunia begitu kejam? Tidak bisakah Ava merasa bahagia tanpa ada penderitaan sekali saja?
Bagamaina mungkin Ava bekerja dengan penampilan seperti ini di hari pertamanya setelah satu minggu libur. Yang ada Han akan berpikir bahwa Ava semakin kacau.
Bus sudah berhenti di halte.
Jika Ava tidak berangkat saat ini, ia bisa telat dan Han akan berpikir bahwa Ava tidak bekerja.
Ava hanya memikirkan bagaimana pemikiran Han tentangnya nanti.
Ava berlari kecil masuk ke dalam bus. Setelah pertimbangan yang ia lakukan, Ava memilih untuk bekerja dengan keadaan seperti ini daripada membiarkan Han mengkhawatirkan dirinya.
Orang-orang di dalam bus menutup hidung dan menatap Ava jijik.
Ava menunduk malu. Baginya, setiap kali menaik bus saat pergi bekerja adalah perjalanan menuju neraka.
Dan Ava hanya bisa diam tak bisa melakukan apa-apa.
**
"Astaga dia gembel darimana?"
"Bauu banget, dia baru keluar dari tong sampah?"
"Itu apa yang dirambutnya? Parfum jus?"
Ava bisa mendengar suara tawa yang mengejek.
Ava menunduk, matanya sudah memanas. Ia tidak ingin bertemu Han, Ava ingin pulang saja. Mungkin saja Han tidak menyukainya lagi jika Ava bertemu Han dengan penampilan seperti ini.
"Dia karyawan disini kan? Tapi kenapa lusuh banget?"
"Cupu!"
"Hueek, jauh-jauh gih."
"EH ITU SIAPA?"
Teriakan itu membuat perhatian orang-orang dilobi teralih dari Ava. Dan kini mereka sedang memperhatikan sebuah mobil mewah yang berhenti tepat di depan lobi.
Ava mengerjap, mobil itu terasa tidak asing dimatanya.
Pintu mobil itu terbuka.
Sosok lelaki jangkung keluar dari mobil itu dan menyugar rambutnya kebelakang. Lelaki itu mengenakan pakaian kemeja hitam, lalu ia memasang jasnya yang diberikan oleh sang sopir yang membuat wanita-wanita di lobi berteriak kegirangan.
"Damage nya gak ada obat!"
"Ganteng banget, kayak oppa-oppa!"
"Ituu siapaaa?"
"Pokoknya harus jadi suami gue!"
Lelaki jangkung itu melangkahkan kaki ke dalam lobi sembari memasang kaca mata hitamnya di pangkal hidung.
Ketukan langkah kaki lelaki itu di ubin lantai lobi terdengar di tengah wanita-wanita yang menggerubungi dan menatap kagum lelaki itu.
"Pa-Pak?!"
Lelaki tampan itu menghentikan langkah. Ia menoleh pada sosok gadis yang sedang memanggilnnya dengan sebutan 'Pak?'
Ava memberanikan diri melangkah mendekati lelaki tampan itu.
Lelaki tampan itu memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana. Ia menatap gadis di dihadapannya.
"Pak---"
"Stop calling me 'Pak', gadis jelek." ucap lelaki tampan itu tak suka.
Ava meneguk ludah, kini ia dan lelaki tampan itu sudah menjadi pusat perhatian. "Tetapi kamu yang menyiram saya dengan jus di tepi ja-jalan," ucap Ava takut. Ia tidak pernah memarahi seseorang, dan ini baru pertama kalinya Ava berani buka suara setelah disakiti.
Ava mendengar orang-orang sedang menertawakannya.
"Lo memang pantas di siram jus!"
"Cocoknya di siram air toilet!"
"Dasar perempuan jorok!"
"Berani banget marahin orang ganteng!"
Ava menatap takut orang-orang disekitarnya. Seharusnya Ava bersikap seperti biasanya, tidak melawan orang-orang yang menyakitinya.
Lelaki tampan itu melepas kaca mata hitamnya dan pangkal hidung. Ia terkekeh pelan. "Bersyukurlah karena saya hanya menyiram mu dengan jus, gadis jelek."
"Ta-tapi, sa-saya salah apa dengan anda?"
Lelaki tampan itu menaikkan kedua alis, ia sedikit membungkukkan badan dan mensejajarkan tinggi tubuhnya dengan Ava.
Ava menatap takut lelaki itu dengan linangan air matanya yang sudah mengalir membasahi pipi.
"Ka-re-na ka-mu je-lek." ucap lelaki tampan itu sembari mengetuk-ngetuk dahi gadis dihadapannya yang menatapnya takut.
Lelaki tampan itu menegakkan tubuh, lalu kembali memasang kaca mata hitamnya. "Jauh-jauh dari saya, kamu hanya virus." ucap lelaki tampan itu dan berjalan meninggalkan Ava.
Ava menangis, ia memandang punggung lelaki itu yang menjauh dan sedang mengusap jari telunjuknya dengan tissue karena baru menyentuh Ava.
"Dasar bodoh!"
"Kontrol dirimu girl,"
"Gila, cewek gak tahu malu."
Ava memandangi orang-orang disekitarnya dengan mata yang berembun.
Lagi, Ava hanya bisa diam, menatap orang-orang yang menghinanya dan memendam amarahnya sendirian.
Ava tidak bisa melakukan apa-apa.
Dan, dari sekian banyak caci maki yang pernah Ava terima. Hanya ucapan lelaki tampan itu yang paling menyakitkan dan mempermalukannya di depan umum.
Ava sangat membenci lelaki tampan itu. Ava teramat sangat membencinya, hingga Ava memutuskan untuk tidak berhubungan lagi dalam hal apapun dengan lelaki tampan itu.
"Pakai jas ini, baju mu akan segera datang."
"Pakai jas ini, baju mu akan segera datang." Ava menatap sebuah jas hitam yang kebesaran sedang menyelimuti tubuhnya. "Pa-pak Han?" Ava mengusap air matanya. "Nan-nanti jas Pak Han kotor, sa-saya nggak punya banyak uang untuk membeli yang baru." Ava kembali terisak, ia hendak melepas jas Han yang tersampir di tubuhnya namun Han menahan pergerakannya. "Harga jas itu tidak sebanding dengan harga diri-mu." ujar Han dan menatap sekelilingnya yang ramai. "Siapa pun yang berani menyakiti gadis ini, kalian akan berurusan dengan saya!" teriak Han lantang di lobi utama perusahaan pagi itu. Semua orang yang berada di lobi tentu saja kaget, tidak menyangka bahwa sang direktur anak dari pemilik perusahaan besar ini melindungi gadis karyawan biasa bernama Ava. Dengan cepat, gosip pagi in
Suasana lobi perusahaan pagi ini di gemparkan oleh sebuah pengumuman yang tertempel di majalah dinding lobi utama.Di mading, tertempel dua wajah lelaki tampan dan sebuah judul yang membuat semua orang heboh.Pilih salah satu untuk menjadi seorang CEO.1. Deon 2. HanPilih dukunganmu dengan aplikasi yang telah di sediakan!"De-Deon?" Ava menatap foto di majalah dinding itu tak percaya. "Cowok yang lempar jus?""Iya, ternyata dia anaknya Pak Was. Gila, saingannya ketat. Pilih Pak Han yang tampan, mapan, dewasa, atau Pak Deon
Gadis jelek?Deon memastikan bahwa orang yang berjoged di ponselnya sama dengan orang yang sedang ketakutan beberapa meter di hadapannya.Gadis itu adalah Ava.Ava datang ke klub malam karena paksaan dari Alana yang menyuruhnya untuk bersenang-senang.Bersenang-senang seperti apa ini? Ava mengedarkan pandangannya ke penjuru klub, suara dentuman musik yang keras, orang-orang yang menari di lantai dansa, pasangan muda-mudi yang saling bercumbu di tempat terbuka.Ava memperbaiki letak kaca mata bulatnya. Ia sedang mengenakan dress selutut bermotif bunga-bunga dengan bagian dada yang sedikit terbuka, dress ini hasil pinjaman dari Alana yang begitu bersemangat menyuruh Ava ke klub.Ava melotot kecil saat melihat wanita-wan
"Ke-kenapa tidak pesan ojek online saja, Tuan?""Nggak usah banyak tanya jelek.""Ta-tapi, di sini sangat gelap. Sa-saya takut, Tuan."Deon memutar bola mata malas. "Nggak usah manja, dasar penakut!"Ava memeluk dirinya sendiri, ia menatap jalanan yang sepi dengan takut. Deon mengajak Ava pulang ke apartemen Deon dengan berjalan kaki, menyusuri jalanan sepi di larut malam saat ini.Deon tampak tidak peduli, ia sedang menahan kesal karena Arga dan Aryan tak kunjung mengangkat teleponnya. Sedangkan taksi atau ojek online tidak ada yang mau melintas di jalan sepi ini, karena sudah sering terjadi pembegalan di jalan ini."Tu-tuan, apakah masih jauh?"Deon melirik Ava dengan malas. "Lama
Ava mengerjapkan matanya beberapa kali saat merasakan sebuah cahaya menyinari wajahnya yang berasal dari ventilasi jendela kamar.Perlahan, Ava membuka kelopak matanya. Ia meregangkan otot-otot tangan dengan kesadaran yang belum penuh seutuhnya.Ava duduk, lalu menatap jendela kaca besar dengan tirai yang sudah terbuka di hadapannya. "GUE DIMANAAA?!" teriak Ava panik, ketika sudah sadar sepenuhnya.Ava memegang kedua matanya, memastikan ia sedang mengenakan kaca mata bulatnya atau tidak. Ternyata Ava sedang tidak memakai kaca mata, ia menyipitkan mata dan mencari-cari keberadaan kaca matanya dengan mata yang sedikit buram dan tangan yang sibuk meraba-raba.Ava langsung memasang kaca mata bulat miliknya yang ia dapat di atas meja nakas di samping kas
Mobil Han melaju pergi meninggalkan Ava yang menurunkan tangan dan menghela napas panjang."AVA!"Ava terperanjat dan menoleh kebelakang, melihat sosok gadis berambut panjang sedang berjalan ke arahnya dengan sorot mata marah. "Alana?"Alana menghentakkan kakinya di depan Ava, ia berkacak pinggang. "Lo dari mana? Gue telponin nggak diangkat, sok sibuk ya lo!"Ava meringis. "Lo kok pagi-pagi gini udah marah aja?"Alana menatap jas Han di pundak Ava. "Itu jas Pak Han?""Iya, dipinjamin.""Ck!" Alana menarik tangan Ava. "Lo kemana aja, sih? Gue teleponin dari tadi malam tapi hape lo gak aktif!"Ava hanya tertarik pasrah saat Alana terus menyeretnya berja
"Lo pulang bareng siapa, Va?""Naik bus Kar, kenapa?"Azkar berjalan mendekat ke arah Ava. "Mau pulang bareng gue?""Ah ... Kayaknya lain kali deh," tolak Ava halus karena merasa tidak enak hati. "Lo bentar lagi udah mau nikah, orang-orang bisa berpikiran buruk tentang lo."Azkar dan Ava berjalan bersama keluar dari kantor. "Hm, lo benar juga." sahut Azkar dan masuk ke dalam lift yang disusul oleh Ava. "Alana mana?" tanya Azkar saat mereka berdua sudah masuk ke dalam lift."Udah pulang duluan, ada urusan mendesak katanya.""Alana kok nggak pernah nebengin lo ya? Padahal jalan rumah kalian searah, Alana juga bawa motor."Ava menengadah, menatap Azkar yang lebih tinggi darinya. "Mungkin ada alasan lain, Kar." jawab Ava s
Ava berjalan pelan mengikuti langkah kaki Deon yang membawanya menuju lantai bawah Mal. Perkataan Deon beberapa menit yang lalu masih terus terngiang memenuhi isi kepala Ava sekarang.Dada Ava terasa sesak, semua perlakuan Deon mulai berputar bagai kaset rusak di kepalanya. Membuat Ava ingin berteriak, memaki dan mengumpat kepada Deon. Tetapi yang Ava lakukan hanyalah diam, menerima semua perlakuan Deon yang menyakitinya."Woy!"Ava terperanjat. "I-iya Tuan?" sahut Ava ketika sudah sadar dari keterkejutannya.Deon berdecak. "Mau makan nggak?""Ti-tidak Tuan.""Gue nggak lagi nawarin!""Ma-mau Tuan,""Makan di mana?""Terserah Tuan saja.""Gue nggak lagi nanya!"Ava langsung mengatupkan bibirnya rapat-rapat."Kenapa diam?!" bentak Deon emosi. "Lo pintar banget mancing emosi gue
"Ava ....?"Ava mengerjap polos saat mendengar suara yang terdengar familiar itu, ia menatap sosok lelaki jangkung yang berada di dalam pintu lift terbuka."Pak Han?""Kamu ijin pulang?" Han mendekat ke arah Ava. "Kenapa?""Eung .... " Ava menatap Azkar yang juga sedang menatapnya bingung. "Saya lagi tidak enak badan, Pak." sahut Ava canggung.Han mendengus. "Ayo saya antar pulang," ia meraih pergelangan tangan Ava.Ava menahan tubuhnya agar tidak tertarik oleh Han, sedangkan Azkar hanya memperhatikan itu tanpa tahu apa yang sedang terjadi. Ia tidak tahu sejak kapan Ava dekat dengan Han, bahkan Han sudah ingin mengantarkan Ava pulang. Sebagai sahabat Ava selama bertahun-tahun, Azkar merasa selama ini tidak tahu apa pun tentang Ava.
Ava tidak mengamati sekitarnya, ia sibuk menangis dan menelungkup 'kan wajah di atas meja kerjanya. BRAK! "Astagfirullah!" kaget Ava saat mendengar suara meja yang digebrak, suara itu berasal dari meja kerjanya. Ava memperbaiki letak kaca mata bulatnya, ia secara perlahan mengangkat wajah dan menatap kaget lelaki tampan di hadapannya. "Tu-tuan Deon .... ?" Deon memutar bola mata, ia berdecak dan menaruh sebuah bingkisan di hadapan Ava. "Ini barang milik anda, Ava." Ava menyeka pelupuk matanya. "Ma-maksud Tuan Deon?" Ava merasa aneh karena Deon tiba-tiba menggunakan bahasa formal kepadanya. "Sa-saya---" "Jangan banyak bicara Ava, terima saja." Deon menegakkan tubuh dan melotokan matanya pada Ava yang langsung menjauh takut. Ava menerima bingkisan itu dengan ragu dan meraihnya dari atas meja. "Terima kasih, Pak." A
"Kenapa Pak?" Han menaruh mangkuk di tangannya ke atas karpet, ia menatap lekat Ava. "Apa dengan menjadikanmu kekasih saya, kamu akan menjadi hak milik saya?" "Uhuk, uhuk!" Ava langsung minum dan menaruh mangkuk mie nya di atas karpet. "Pak Han demam ya?" tanya Ava panik setelah ia selesai minum. Han mengerjap polos, ia menyentuh keningnya sendiri dengan punggung tangan. "Tidak, suhu badan saya normal." jawab Han setelah mengecek suhu tubuhnya. "Kenapa kamu kaget?" "Ya saya kaget lah Pak," jawab Ava dan menggaruk kepalanya. "Masa Pak Han mau jadi pacar saya," "Saya mau, kenapa tidak?" "Sa-saya kan jelek," Ava tiba-tiba teringat sebutan yang sering dilontarkan Deon kepadanya. "Pak Han pasti malu kalau jadi pacar saya,"
Han berdiri di hadapan sosok gadis yang menangis di bawah derasnya guyuran hujan. Han tidak tahu apa yang terjadi pada gadis itu, namun hatinya berdenyut sakit saat melihat sosok yang dicintainya ternyata adalah gadis yang rapuh. Ava menyeka bulir air hangat yang membasahi pipinya, ia menggigit bibir bawahnya, menahan diri agar tidak kembali terisak. Ia mencoba untuk berdiri dengan tubuh yang oleng, sedangkan Han masih terpaku menatapnya dalam diam. Ava berhasil berdiri di hadapan Han, ia tersenyum paksa. "Hai Pak, ini saya Ava." Ava tersenyum manis dengan keadaannya yang tampak kacau. Pertahanan Han langsung pecah, ia melempar asal payung di genggamannya yang kini terlempar jauh di trotoar jalan. Han memeluk tubuh Ava yang rapuh, mendekapnya hangat di saat Ava merasa kedinginan. Han menyembunyikan kepal
Ava berjalan pelan mengikuti langkah kaki Deon yang membawanya menuju lantai bawah Mal. Perkataan Deon beberapa menit yang lalu masih terus terngiang memenuhi isi kepala Ava sekarang.Dada Ava terasa sesak, semua perlakuan Deon mulai berputar bagai kaset rusak di kepalanya. Membuat Ava ingin berteriak, memaki dan mengumpat kepada Deon. Tetapi yang Ava lakukan hanyalah diam, menerima semua perlakuan Deon yang menyakitinya."Woy!"Ava terperanjat. "I-iya Tuan?" sahut Ava ketika sudah sadar dari keterkejutannya.Deon berdecak. "Mau makan nggak?""Ti-tidak Tuan.""Gue nggak lagi nawarin!""Ma-mau Tuan,""Makan di mana?""Terserah Tuan saja.""Gue nggak lagi nanya!"Ava langsung mengatupkan bibirnya rapat-rapat."Kenapa diam?!" bentak Deon emosi. "Lo pintar banget mancing emosi gue
"Lo pulang bareng siapa, Va?""Naik bus Kar, kenapa?"Azkar berjalan mendekat ke arah Ava. "Mau pulang bareng gue?""Ah ... Kayaknya lain kali deh," tolak Ava halus karena merasa tidak enak hati. "Lo bentar lagi udah mau nikah, orang-orang bisa berpikiran buruk tentang lo."Azkar dan Ava berjalan bersama keluar dari kantor. "Hm, lo benar juga." sahut Azkar dan masuk ke dalam lift yang disusul oleh Ava. "Alana mana?" tanya Azkar saat mereka berdua sudah masuk ke dalam lift."Udah pulang duluan, ada urusan mendesak katanya.""Alana kok nggak pernah nebengin lo ya? Padahal jalan rumah kalian searah, Alana juga bawa motor."Ava menengadah, menatap Azkar yang lebih tinggi darinya. "Mungkin ada alasan lain, Kar." jawab Ava s
Mobil Han melaju pergi meninggalkan Ava yang menurunkan tangan dan menghela napas panjang."AVA!"Ava terperanjat dan menoleh kebelakang, melihat sosok gadis berambut panjang sedang berjalan ke arahnya dengan sorot mata marah. "Alana?"Alana menghentakkan kakinya di depan Ava, ia berkacak pinggang. "Lo dari mana? Gue telponin nggak diangkat, sok sibuk ya lo!"Ava meringis. "Lo kok pagi-pagi gini udah marah aja?"Alana menatap jas Han di pundak Ava. "Itu jas Pak Han?""Iya, dipinjamin.""Ck!" Alana menarik tangan Ava. "Lo kemana aja, sih? Gue teleponin dari tadi malam tapi hape lo gak aktif!"Ava hanya tertarik pasrah saat Alana terus menyeretnya berja
Ava mengerjapkan matanya beberapa kali saat merasakan sebuah cahaya menyinari wajahnya yang berasal dari ventilasi jendela kamar.Perlahan, Ava membuka kelopak matanya. Ia meregangkan otot-otot tangan dengan kesadaran yang belum penuh seutuhnya.Ava duduk, lalu menatap jendela kaca besar dengan tirai yang sudah terbuka di hadapannya. "GUE DIMANAAA?!" teriak Ava panik, ketika sudah sadar sepenuhnya.Ava memegang kedua matanya, memastikan ia sedang mengenakan kaca mata bulatnya atau tidak. Ternyata Ava sedang tidak memakai kaca mata, ia menyipitkan mata dan mencari-cari keberadaan kaca matanya dengan mata yang sedikit buram dan tangan yang sibuk meraba-raba.Ava langsung memasang kaca mata bulat miliknya yang ia dapat di atas meja nakas di samping kas
"Ke-kenapa tidak pesan ojek online saja, Tuan?""Nggak usah banyak tanya jelek.""Ta-tapi, di sini sangat gelap. Sa-saya takut, Tuan."Deon memutar bola mata malas. "Nggak usah manja, dasar penakut!"Ava memeluk dirinya sendiri, ia menatap jalanan yang sepi dengan takut. Deon mengajak Ava pulang ke apartemen Deon dengan berjalan kaki, menyusuri jalanan sepi di larut malam saat ini.Deon tampak tidak peduli, ia sedang menahan kesal karena Arga dan Aryan tak kunjung mengangkat teleponnya. Sedangkan taksi atau ojek online tidak ada yang mau melintas di jalan sepi ini, karena sudah sering terjadi pembegalan di jalan ini."Tu-tuan, apakah masih jauh?"Deon melirik Ava dengan malas. "Lama