Mobil Han melaju pergi meninggalkan Ava yang menurunkan tangan dan menghela napas panjang.
"AVA!"
Ava terperanjat dan menoleh kebelakang, melihat sosok gadis berambut panjang sedang berjalan ke arahnya dengan sorot mata marah. "Alana?"
Alana menghentakkan kakinya di depan Ava, ia berkacak pinggang. "Lo dari mana? Gue telponin nggak diangkat, sok sibuk ya lo!"
Ava meringis. "Lo kok pagi-pagi gini udah marah aja?"
Alana menatap jas Han di pundak Ava. "Itu jas Pak Han?"
"Iya, dipinjamin."
"Ck!" Alana menarik tangan Ava. "Lo kemana aja, sih? Gue teleponin dari tadi malam tapi hape lo gak aktif!"
Ava hanya tertarik pasrah saat Alana terus menyeretnya berja
"Lo pulang bareng siapa, Va?""Naik bus Kar, kenapa?"Azkar berjalan mendekat ke arah Ava. "Mau pulang bareng gue?""Ah ... Kayaknya lain kali deh," tolak Ava halus karena merasa tidak enak hati. "Lo bentar lagi udah mau nikah, orang-orang bisa berpikiran buruk tentang lo."Azkar dan Ava berjalan bersama keluar dari kantor. "Hm, lo benar juga." sahut Azkar dan masuk ke dalam lift yang disusul oleh Ava. "Alana mana?" tanya Azkar saat mereka berdua sudah masuk ke dalam lift."Udah pulang duluan, ada urusan mendesak katanya.""Alana kok nggak pernah nebengin lo ya? Padahal jalan rumah kalian searah, Alana juga bawa motor."Ava menengadah, menatap Azkar yang lebih tinggi darinya. "Mungkin ada alasan lain, Kar." jawab Ava s
Ava berjalan pelan mengikuti langkah kaki Deon yang membawanya menuju lantai bawah Mal. Perkataan Deon beberapa menit yang lalu masih terus terngiang memenuhi isi kepala Ava sekarang.Dada Ava terasa sesak, semua perlakuan Deon mulai berputar bagai kaset rusak di kepalanya. Membuat Ava ingin berteriak, memaki dan mengumpat kepada Deon. Tetapi yang Ava lakukan hanyalah diam, menerima semua perlakuan Deon yang menyakitinya."Woy!"Ava terperanjat. "I-iya Tuan?" sahut Ava ketika sudah sadar dari keterkejutannya.Deon berdecak. "Mau makan nggak?""Ti-tidak Tuan.""Gue nggak lagi nawarin!""Ma-mau Tuan,""Makan di mana?""Terserah Tuan saja.""Gue nggak lagi nanya!"Ava langsung mengatupkan bibirnya rapat-rapat."Kenapa diam?!" bentak Deon emosi. "Lo pintar banget mancing emosi gue
Han berdiri di hadapan sosok gadis yang menangis di bawah derasnya guyuran hujan. Han tidak tahu apa yang terjadi pada gadis itu, namun hatinya berdenyut sakit saat melihat sosok yang dicintainya ternyata adalah gadis yang rapuh. Ava menyeka bulir air hangat yang membasahi pipinya, ia menggigit bibir bawahnya, menahan diri agar tidak kembali terisak. Ia mencoba untuk berdiri dengan tubuh yang oleng, sedangkan Han masih terpaku menatapnya dalam diam. Ava berhasil berdiri di hadapan Han, ia tersenyum paksa. "Hai Pak, ini saya Ava." Ava tersenyum manis dengan keadaannya yang tampak kacau. Pertahanan Han langsung pecah, ia melempar asal payung di genggamannya yang kini terlempar jauh di trotoar jalan. Han memeluk tubuh Ava yang rapuh, mendekapnya hangat di saat Ava merasa kedinginan. Han menyembunyikan kepal
"Kenapa Pak?" Han menaruh mangkuk di tangannya ke atas karpet, ia menatap lekat Ava. "Apa dengan menjadikanmu kekasih saya, kamu akan menjadi hak milik saya?" "Uhuk, uhuk!" Ava langsung minum dan menaruh mangkuk mie nya di atas karpet. "Pak Han demam ya?" tanya Ava panik setelah ia selesai minum. Han mengerjap polos, ia menyentuh keningnya sendiri dengan punggung tangan. "Tidak, suhu badan saya normal." jawab Han setelah mengecek suhu tubuhnya. "Kenapa kamu kaget?" "Ya saya kaget lah Pak," jawab Ava dan menggaruk kepalanya. "Masa Pak Han mau jadi pacar saya," "Saya mau, kenapa tidak?" "Sa-saya kan jelek," Ava tiba-tiba teringat sebutan yang sering dilontarkan Deon kepadanya. "Pak Han pasti malu kalau jadi pacar saya,"
Ava tidak mengamati sekitarnya, ia sibuk menangis dan menelungkup 'kan wajah di atas meja kerjanya. BRAK! "Astagfirullah!" kaget Ava saat mendengar suara meja yang digebrak, suara itu berasal dari meja kerjanya. Ava memperbaiki letak kaca mata bulatnya, ia secara perlahan mengangkat wajah dan menatap kaget lelaki tampan di hadapannya. "Tu-tuan Deon .... ?" Deon memutar bola mata, ia berdecak dan menaruh sebuah bingkisan di hadapan Ava. "Ini barang milik anda, Ava." Ava menyeka pelupuk matanya. "Ma-maksud Tuan Deon?" Ava merasa aneh karena Deon tiba-tiba menggunakan bahasa formal kepadanya. "Sa-saya---" "Jangan banyak bicara Ava, terima saja." Deon menegakkan tubuh dan melotokan matanya pada Ava yang langsung menjauh takut. Ava menerima bingkisan itu dengan ragu dan meraihnya dari atas meja. "Terima kasih, Pak." A
"Ava ....?"Ava mengerjap polos saat mendengar suara yang terdengar familiar itu, ia menatap sosok lelaki jangkung yang berada di dalam pintu lift terbuka."Pak Han?""Kamu ijin pulang?" Han mendekat ke arah Ava. "Kenapa?""Eung .... " Ava menatap Azkar yang juga sedang menatapnya bingung. "Saya lagi tidak enak badan, Pak." sahut Ava canggung.Han mendengus. "Ayo saya antar pulang," ia meraih pergelangan tangan Ava.Ava menahan tubuhnya agar tidak tertarik oleh Han, sedangkan Azkar hanya memperhatikan itu tanpa tahu apa yang sedang terjadi. Ia tidak tahu sejak kapan Ava dekat dengan Han, bahkan Han sudah ingin mengantarkan Ava pulang. Sebagai sahabat Ava selama bertahun-tahun, Azkar merasa selama ini tidak tahu apa pun tentang Ava.
Sosok gadis berkaca mata bulat, kemeja formal berwarna navy dengan rok hitam selutut yang sedikit kebesaran, sepatu pansus hitam yang sedikit lusuh hampir tak layak pakai, lalu tas selempang bewarna hitam, sedang berlari sekencang-kencangnya di trotoar jalan. Entah apa yang terjadi hingga membuat gadis itu bangun terlambat pagi ini. Beruntungnya, gadis itu sampai tepat waktu di halte tepat saat bus berhenti di sana. Dengan peluh keringat yang membasahi pelipis, gadis kurus dan pendek itu menaiki beberapa tangga kecil bus dan masuk ke dalam bus itu. Seperti biasanya, kota Jakarta selalu padat akan pekerja. Dan di dalam bus, tidak ada kursi kosong yang tersisa, membuat gadis kurus itu berdiri dan berpegangan pada handle grip bus yang sedikit tinggi hingga gadis kurus itu harus berjinjit. Kini bus itu melaju. Gadis kurus itu s
"Balik ke kursi kerja masing-masing! Bos mau mampir ke kantor kita!"Seruan itu membuat Azkar dengan cepat berjalan menuju meja kerjanya dan duduk di kursi kerja miliknya.Sama seperti rekan kerja mereka yang lain, Ava dan Alana sontak langsung memasang ekspresi serius dan menatap layar monitor komputer seolah mereka sedang bekerja."Selamat pagi semua!"Ava mengangkat wajah. "Pagi pak," sahutnya kompak bersama rekan kerjanya yang lain.Sosok lelaki berkepala empat itu tersenyum lebar dengan wajah tegasnya yang khas, bersama pria-pria berbadan kekar dibelakangnya yang menjaga.Lelaki berkepala empat itu adalah pemilik perusahaan besar dan ternama di Indonesia, beliau kerap dipanggil Was."Semangat kerja!" seru Pak Was.