"Balik ke kursi kerja masing-masing! Bos mau mampir ke kantor kita!"
Seruan itu membuat Azkar dengan cepat berjalan menuju meja kerjanya dan duduk di kursi kerja miliknya.
Sama seperti rekan kerja mereka yang lain, Ava dan Alana sontak langsung memasang ekspresi serius dan menatap layar monitor komputer seolah mereka sedang bekerja.
"Selamat pagi semua!"
Ava mengangkat wajah. "Pagi pak," sahutnya kompak bersama rekan kerjanya yang lain.
Sosok lelaki berkepala empat itu tersenyum lebar dengan wajah tegasnya yang khas, bersama pria-pria berbadan kekar dibelakangnya yang menjaga.
Lelaki berkepala empat itu adalah pemilik perusahaan besar dan ternama di Indonesia, beliau kerap dipanggil Was.
"Semangat kerja!" seru Pak Was.
"Semangat! Semangat! Semangat!" sahut karyawan kantor ruangan itu antusias.
Pak Was bertepuk tangan dengan senyum tipisnya. "Saya mampir ke ruangan ini, untuk memberi tahu kalian secara langsung, bahwa kalian akan segera memiliki CEO baru di perusahaan ini. Yang tentu nya bukan saya lagi, sebentar lagi saya akan pensiun."
Seruan kecewa terdengar dari para karyawan ruangan itu.
"Umur saya semakin tua, saya ingin menikmati hidup bersama istri dan keluarga saya di sisa-sisa umur saya. Saya harap kalian tetap sehat dan aman, terimakasih atas kerja kerasnya selama ini dalam membangun perusahaan kita bersama."
***
"Menurut lo, siapa yang bakal gantiin posisinya pak Was?"
Ava mengedikkan bahu. "Pak Han?" tanya nya dan tersenyum kecil dengan pipi yang memerah. "Seandainya ada lowongan buat sekretaris baru, gue bakal calonin diri."
Ava dan Alana masuk kedalam lift menuju lantai lima, hanya ada mereka berdua di dalam lift itu.
Alana menyandarkan punggungnya pada dinding lift. "Kenapa? Lo mau dekat-dekat pak Han?"
Ava mengangguk semangat dan memperbaiki letak kaca mata bulatnya yang miring. "Gue pasti punya kesempatan buat pak Han suka sama gue, kalauu---"
Lift terbuka.
Alana menatap datar Ava. "Gak ada kesempatan buat lo, Ava." ucapnya memotong pembicaraan Ava.
Ava mengerjap polos. "Alana!" panggilnya saat Alana berjalan keluar lift dan meninggalkannya.
Ava dengan cepat berlari keluar lift dan segera menyusul Alana yang masuk ke dalam kafetaria.
Lantai lima memang khusus kafetaria. Hanya ada satu pintu masuk, dan setiap karyawan harus selalu mengisi absensi jika ingin makan siang. Di kafetaria ini menu makanannya lumayan banyak. Semuanya gratis, tetapi setiap orang dibatasi hanya mengambil makan sebanyak satu porsi.
Alana lebih dulu mengambil porsi makan miliknya dan duduk di salah satu kursi kafetaria.
Ava duduk dihadapan Alana. "Ada yang salah sama omongan gue?" tanya nya pada Alana yang sedang makan.
Alana menggelengkan kepala. "Gue cuma nggak mau lo berharap lebih, Va." ucapnya dan menyendokkan nasi kedalam mulut. "Kalau menurut gue sih, bisa jadi bukan pak Han."
"Terus? Bukannya pak Han kerjanya bagus? Pak Han juga jadi direktur disini, pak Han, kan, anaknya pak Was."
Alana mencondongkan wajah, menaruh telapak tangannya disamping bibir. Ava sontak mendekat, membiarkan Alana berbisik disamping telinganya. "Gue dengar-dengar, pak Was punya anak yang lagi kuliah di Amerika. Dan sekarang tahun kelulusannya, bisa jadi dia yang bakal ganti posisi CEO." Alana menjauhkan wajah dan kembali melanjutkan makan.
Ava mengerutkan dahi. "Itu cuma desas-desus kan? Belum tentu benar."
Alana menarik napas. "Terserah lo mau percaya atau enggak. Kadang-kadang, desas-desus lebih terpercaya dibanding pendapat diri sendiri."
Ava mengerucutkan bibir.
Mereka kembali melanjutkan makan dengan tenang.
"Aw!" Ava menatap Alana dengan kerutan dahinya. "Kenapa lo nendang kaki gue?"
Alana melototkan mata, menatap ke arah belakang tubuh Ava dengan pelototan yang semakin tajam.
Ava sontak menoleh kebelakang, menatap sosok Azkar yang duduk sendirian disana. Ia kembali menghadap depan, menatap Alana. "Kenapa sama Azkar?"
Alana berdecak. "Dia lagi menghindar dari lo,"
"Kenapa? Gue ada salah apa?"
"Lo, sih!" Alana kembali menendang kaki Ava yang dibawah meja membuat Ava mengaduh. "Jelas-jelas Azkar udah tunangan, kenapa lo masih muji dia?"
"Loh, kenapa?" Ava meletakkan sendoknya. "Gue cuma muji, gue ngomong fakta kok. Gue gak niat muji Azkar buat dia jadi jauhin gue,"
"Lo nggak tau kalau selama ini Azkar suka sama lo?" tanya Alana dengan tatapan mata tak percaya. "Gila sih, gue ngelakuin kesalahan apa sampai temenan sama lo."
Ava mematung. "Azkar suka gue? Gue???"
Alana menganggukkan kepala.
"AZKAR SUKA GUE?!" Ava menggebrak meja.
Alana melotot kaget.
Sedangkan Azkar yang mendengar itu, terbatuk, tersedak nasi yang ada di dalam mulutnya.
***
"Azkar, ayo kita ngomong."
Azkar bangkit dari duduknya. "Kenapa Va?" tanya nya berusaha santai. "Tunggu, gue beresin meja gue dulu."
Ava hanya mengangguk dan menunggu Azkar membereskan perlatannya dan mematikan komputer. Sekarang memang sudah jadwal karyawan untuk pulang.
Ava dan Azkar kini berjalan bersama menuju lift.
"Kenapa Va?" tanya Azkar saat di dalam lift, hanya ada mereka berdua disana.
Ava mengerjap polos, mendongak, menatap Azkar dengan gugup. "Alana bilang, lo suka ... sama gue?"
"Iya, udah dari lama."
"Ha?" Ava membalas tatapan Azkar. "Beneran? Sama gue? Lo nggak lagi sakit, kan?"
Azkar tertawa. "Gue berharapnya juga gitu. Tapi nggak mungkin, kan, gue sakitnya sampai tiga tahun?"
Ava semakin terbelalak. Ia melepas kaca mata bulatnya dan mengusap mata, lalu kembali mengenakan kaca mata bulatnya. "Tiga tahun?" suara Ava hampir tidak terdengar.
Azkar mengangguk mantap. "Gue juga kerja di perusahaan karena pengin dekat-dekat lo terus Va."
Ava tiba-tiba menangis. Ia merasa sedih atas pengakuan perasaan Azkar yang tiba-tiba.
Azkar panik saat melihat Ava yang menangis, apalagi pintu lift sudah terbuka dan mereka sampai di lobi perusahaan.
"Va? Lo kenapa? Va, jangan nangis. Va?"
Orang-orang diluar lift sudah menunggu Ava dan Azkar untuk keluar.
"Va, keluar dulu yuk."
Ava menurut dan mengikuti langkah Azkar keluar lift.
"Va? Kenapa?" tanya Azkar lembut, mereka berada di tepi lobi.
Ava menyeka air matanya. "Gue jahat sama lo, kasian Azkar harus sakit selama tiga tahun karena suka ke gue. Maaf, maafim gue .... "
Tanpa sadar Azkar tersenyum dan menepuk-nepuk puncak kepala Ava. "Nggak papa kok, lagian udah berlalu. Gue juga udah suka sama cewek lain yang sekarang jadi tunangan gue. Lo nggak perlu merasa bersalah, gue yang terlalu pengecut karena milih buat mendam perasaan gue ke lo."
Ava menangis hingga tersedu-sedu. Membuat orang-orang yang berlalu lalang di lobi menoleh penasaran kepada gadis itu. "Maafin Ava ya, pasti sakit banget buat Azkar karena mendam perasaan itu. Tolong maafin Ava."
Azkar menyeka pelupuk matanya yang berair. "Hm, emang sakit." sahutnya pelan dan tidak di dengar oleh Ava.
Ava mendongak, menatap Azkar yang lebih tinggi darinya dengan mata sembabnya. "Sekarang udah ada perempuan lain yang lebih baik buat Azkar. Bahagia terus ya, Ava selalu dukung Azkar."
Azkar mengangguk dan merangkul Ava, mengajaknya untuk pulang bersama. "Gue bahagia kalau lo bahagia, Ava."
Ini adalah hari kerja pertama, senin, setelah semalam hari libur. Ava melangkahkan kaki dengan tidak bersemangat di lobi utama, sesekali ia mengusap matanya yang gatal. Akhir-akhir ini, Ava tidak bisa tidur nyenyak. "Lo udah tahu belum, kalau lagi ada loker buat jadi sekretaris CEO baru kita nanti?" Ava menghentikan langkah dengan mata yang melotot sempurna. Ia menoleh kepada dua orang perempuan yang tak jauh berada dari tempatnya berdiri. "Serius, mau nyoba nggak?" tanya wanita itu. Ava menatap dan mendengarkan pembicaraan mereka secara terang-terangan. "Mau dong, lo sendiri?" "Jelas aja gue mau, siapa yang gak mau uang banyak? Terus
"Kamu makan duluan.""Pak Han saja yang duluan.""Kamu.""Tapi ... Saya masih sedikit kenyang, Pak."Han menghela napas. "Saya bakalan makan mie ayamnya kalau kamu yang makan duluan."Ava meringis pelan.Bagaimana mungkin Ava bisa makan mie ayam itu terlebih dahulu, dibanding atasannya.Ava dan Han sedang duduk berhadapan di kursi panjang yang menghadap jalanan.Membuat mereka bisa menikmati pemandangan jalanan raya saat itu.Ava meraih sepasang sendok makan dan garpu. "Saya bakal minta sendok satu lagi, Pak." ucapnya saat Han menatapnya.Han menggeleng pelan. "Tidak perlu," jawabnya.
"Iya Alana iya, besok gue udah masuk kerja lagi kok." "Gue nggak mau tahu ya, besok lo harus kerja! Gue sendirian disini huhuhu .... " Ava terkikik pelan mendengar rengekan Alana dari seberang telepon. "Gue juga udah bosan dirumah terus," "Terus lo ngambil libur buat apa?? Gue kan udah saranin lo buat senang-senang, bukan malah dirumah aja selama satu minggu. Gila, gue bisa setres kalau jadi lo." "Gue gak tahu mau ngapain. Ke taman, kafe, perpustakaan, terus rebahan. Gue rasa itu udah cukup buat have fun." Ava tersenyum kecil. "Bahagia gue sesederhana itu, La." Terdengar helaan napas dari seberang telepon. "Ya, ya, ya. Selera orang memang beda-beda, tapi hidup nggak harus semonoton itu. Lo ngelakuin hal berulang-ulang selama sa
"Pakai jas ini, baju mu akan segera datang." Ava menatap sebuah jas hitam yang kebesaran sedang menyelimuti tubuhnya. "Pa-pak Han?" Ava mengusap air matanya. "Nan-nanti jas Pak Han kotor, sa-saya nggak punya banyak uang untuk membeli yang baru." Ava kembali terisak, ia hendak melepas jas Han yang tersampir di tubuhnya namun Han menahan pergerakannya. "Harga jas itu tidak sebanding dengan harga diri-mu." ujar Han dan menatap sekelilingnya yang ramai. "Siapa pun yang berani menyakiti gadis ini, kalian akan berurusan dengan saya!" teriak Han lantang di lobi utama perusahaan pagi itu. Semua orang yang berada di lobi tentu saja kaget, tidak menyangka bahwa sang direktur anak dari pemilik perusahaan besar ini melindungi gadis karyawan biasa bernama Ava. Dengan cepat, gosip pagi in
Suasana lobi perusahaan pagi ini di gemparkan oleh sebuah pengumuman yang tertempel di majalah dinding lobi utama.Di mading, tertempel dua wajah lelaki tampan dan sebuah judul yang membuat semua orang heboh.Pilih salah satu untuk menjadi seorang CEO.1. Deon 2. HanPilih dukunganmu dengan aplikasi yang telah di sediakan!"De-Deon?" Ava menatap foto di majalah dinding itu tak percaya. "Cowok yang lempar jus?""Iya, ternyata dia anaknya Pak Was. Gila, saingannya ketat. Pilih Pak Han yang tampan, mapan, dewasa, atau Pak Deon
Gadis jelek?Deon memastikan bahwa orang yang berjoged di ponselnya sama dengan orang yang sedang ketakutan beberapa meter di hadapannya.Gadis itu adalah Ava.Ava datang ke klub malam karena paksaan dari Alana yang menyuruhnya untuk bersenang-senang.Bersenang-senang seperti apa ini? Ava mengedarkan pandangannya ke penjuru klub, suara dentuman musik yang keras, orang-orang yang menari di lantai dansa, pasangan muda-mudi yang saling bercumbu di tempat terbuka.Ava memperbaiki letak kaca mata bulatnya. Ia sedang mengenakan dress selutut bermotif bunga-bunga dengan bagian dada yang sedikit terbuka, dress ini hasil pinjaman dari Alana yang begitu bersemangat menyuruh Ava ke klub.Ava melotot kecil saat melihat wanita-wan
"Ke-kenapa tidak pesan ojek online saja, Tuan?""Nggak usah banyak tanya jelek.""Ta-tapi, di sini sangat gelap. Sa-saya takut, Tuan."Deon memutar bola mata malas. "Nggak usah manja, dasar penakut!"Ava memeluk dirinya sendiri, ia menatap jalanan yang sepi dengan takut. Deon mengajak Ava pulang ke apartemen Deon dengan berjalan kaki, menyusuri jalanan sepi di larut malam saat ini.Deon tampak tidak peduli, ia sedang menahan kesal karena Arga dan Aryan tak kunjung mengangkat teleponnya. Sedangkan taksi atau ojek online tidak ada yang mau melintas di jalan sepi ini, karena sudah sering terjadi pembegalan di jalan ini."Tu-tuan, apakah masih jauh?"Deon melirik Ava dengan malas. "Lama
Ava mengerjapkan matanya beberapa kali saat merasakan sebuah cahaya menyinari wajahnya yang berasal dari ventilasi jendela kamar.Perlahan, Ava membuka kelopak matanya. Ia meregangkan otot-otot tangan dengan kesadaran yang belum penuh seutuhnya.Ava duduk, lalu menatap jendela kaca besar dengan tirai yang sudah terbuka di hadapannya. "GUE DIMANAAA?!" teriak Ava panik, ketika sudah sadar sepenuhnya.Ava memegang kedua matanya, memastikan ia sedang mengenakan kaca mata bulatnya atau tidak. Ternyata Ava sedang tidak memakai kaca mata, ia menyipitkan mata dan mencari-cari keberadaan kaca matanya dengan mata yang sedikit buram dan tangan yang sibuk meraba-raba.Ava langsung memasang kaca mata bulat miliknya yang ia dapat di atas meja nakas di samping kas