Home / CEO / BOSKU MANTAN SUAMIKU / 6. Tidak Direstui

Share

6. Tidak Direstui

last update Last Updated: 2022-05-09 17:57:09

Rasanya duniaku hancur mengetahui fakta mencengangkan ini. Berulang kali kugosok mata, berharap jika penglihatan ini salah. Nyatanya alat itu menunjukkan tanda dua garis merah.

 

Dengan sisa-sisa kekuatan yang ada, aku ke luar dari kamar mandi. Lalu bergegas menuju kamar untuk menumpahkan segala ketakutan ini pada bantal. Menangis sejadi-jadinya dengan mulut kubungkam agar suara isakannya tidak sampai terdengar di luar. 

 

Seharian aku terus mengurung diri di kamar. Merutuk, menyesal, dan mengumpati kebodohan sendiri. Jangankan berselera makan, untuk membersihkan badan yang mulai lengket pun rasanya enggan.

 

"Kira ... sudah magrib, Nak. Jangan tidur terus!" Di luar Ibu mengetuk-ngetuk pintu kamar. Dia pikir aku tidak ke luar kamar karena istirahat. "Ayo bangun, Ki! Mandi dan ibadah Maghrib," perintah Ibu sambil terus mengetuk pintu.

 

Mau tidak mau aku harus bangun dari ranjang. Sebelum ke luar kulirik cermin di lemari. Mata ini sembap. Berulang kali kugosok, tetap saja bekas tangis ini tetap kentara.

 

"Kok mata kamu bengkak? Habis nangis? Ada apa?" cecar Ibu begitu aku membuka pintu. "Habis berantem sama Jamie?" tebak Ibu selidik.

 

"Eum ... enggak." Aku mengelak dengan gelengan pelan, "sebentar lagi aku kan lulus, sedih saja mau pisah sama teman-teman Kira, Bu," kilahku dusta. Ibu menyipit. Seakan tidak percaya dengan apa yang kuucapkan. "Ya sudah, aku mau mandi dulu, Bu." 

 

Kutinggalkan Ibu yang masih berkerut heran. Langkahku tertuju kamar mandi. Membersihkan badan secepatnya, lalu bergegas menunaikan kewajiban tiga rakaat.

 

Usai salam, aku kembali bersujud lama. Menangis lagi. Meminta pertolongan Allah agar dibukakan jalan.

 

*

 

Hari ini pengumuman kelulusan. Semua siswa tampak bersuka cita setelah dinyatakan lulus. Namun, tidak dengan diriku. Impianku untuk melanjutkan pendidikan dengan bea siswa, kandas karena kehamilan ini 

 

Di bawah panggung acara kelulusan, dari kejauhan kulihat Jamie tengah berbicara dengan mama papanya. Kedua orang tuanya yang begitu sibuk menyempatkan hadir pada acara kelulusan sang putra. Walau Jamie tidak meraih gelar siswa teladan. Namun, prestasinya di bidang olahraga membuat kedua orang tuanya bangga.

 

Melihat bagaimana berkharisma papa Jamie, serta anggunnya sang bunda membuatku kembali didera rasa rendah diri. Kuurungkan niat menemuinya. Tapi, Jamie harus tahu kehamilan ini.

 

Saat pengumuman siswa peraih nilai tertinggi, namaku dipanggil. Semua teman berseru menyemangati aku. Ibu yang hadir di acara itu terlihat begitu bahagia. Bahkan saat kutoleh Jamie, pemuda itu mengacungkan jempol.

 

Semua orang bahagia. Hanya aku sendiri yang merana. Perlahan aku naik panggung. Bergabung dengan para siswa lain untuk mendapatkan penghargaan. 

 

Sambutan dari kepala sekolah yang lumayan lama membuat aku didera rasa bosan. Pusing pun tiba-tiba melanda. Pidato Bapak Kepala sekolah terdengar seperti lebah yang berdengung di telinga.

 

Keringat dingin membanjiri badan. Rasa mual sialan ini juga mulai menyerang. Namun, Bapak kepala sekolah masih setia berpidato. Kini kunang-kunang memenuhi penglihatan. 

 

"Shakiraaa!" Masih sempat kudengar suara orang memanggil. Namun, setelah gelap yang terlihat, aku tidak sadar selanjutnya.

 

*

 

Aroma minyak angin tercium begitu menyengat. Di dalam kepeningan aku mencoba membuka mata. Orang yang pertama terlihat adalah Ibu. Wajahnya terlihat berduka. Bahkan matanya tampak merah. Kenapa?

 

"Siapa? Siapa pelakunya, Kira?" tanya Ibu dingin. Aku tidak langsung menjawab. Mata ini menyapu sekeliling ruangan. Ternyata aku ada di klinik sekolah. "Jawab ibu, Kiraaa!"

 

Aku tercengang. Ibu tidak pernah sekasar ini padaku atau pun pada orang lain. Wanita itu akan memilih diam jika tengah emosi. Namun, kali ini matanya tajam memindai. Seakan siap menerkamku. 

 

"Kira?"

 

"Apa, Bu?" tanyaku bingung.

 

Air mata Ibu menitik. Wanita itu menarik napas. "Siapa ... siapa lelaki yang menghamilimu?!" cecarnya dengan sedikit tersengal.

 

Jleb!

 

Aku kembali tercekat. Ibu sudah mengetahuinya.

 

"Jawab Kira! Kamu tidak bisu kan?" tuntut Ibu dengan air mata yang terus mengalir.

 

"Ja-Jamie, Bu." Aku menjawab lirih.

 

Ibu terdiam cukup lama. Wanita itu menyusut air matanya dengan sapu tangan yang ia bawa. Setelah itu dirinya beranjak pergi.

 

Walau masih lemah, kuikuti langkah wanita itu. Ibu berjalan cepat menuju parkiran.

 

"Jamie tunggu!"

 

Dari kejauhan kulihat Jamie menoleh saat namanya di sebut oleh Ibu. Pemuda itu baru saja akan membuka pintu mobilnya. Dirinya refleks melempar senyum manis begitu tahu siapa yang memanggil. Di dalam mobil kedua orang tuanya sudah menunggu.

 

Aku mendekat.

 

PLak!

 

Tidak hanya Jamie, aku pun tersentak melihat Ibu menampar pipi Jamie.

 

Plak! Plak!

 

Seakan tidak puas Ibu menambahkan lagi tamparannya. Wanita itu tidak peduli aksinya jadi bahan tontonan siswa dan para wali lain. Amarah sudah menyelimuti hati Ibu.

 

"Hei ... apa-apaan, Bu?" seru mama Jamie tidak terima putra semata wayangnya ditampar sembarangan oleh orang lain.

 

"Ada apa? Kenapa Ibu menampar anak saya?" Papa Jamie pun pasang badan untuk sang anak.

 

"Tanyakan pada putra Anda, apa yang telah ia lakukan pada putri saya!" balas Ibu tegas sambil menarikku mendekat. Wanita itu sama sekali tidak takut menghadapi kedua orang tua Jamie yang terlihat begitu terpandang itu. 

 

Ketika kedua orang tua Jamie menatapku selidik, aku langsung menunduk.

 

"Jamie, jawab! Apa yang kamu lakukan pada putri ibu ini?" Papa Jamie bertanya dengan berwibawa. Matanya lurus menatap serius putra kebanggaannya.

 

"Aku ... aku gak ngapa-ngapain," balas Jamie dengan wajah bingungnya.

 

Ibu terlihat gemas melihatnya. "Kamu meniduri anak saya hingga hamil dan bilang kamu tidak ngapa-ngapain?!" sergah Ibu dengan suara bergetar.

 

"Ha-hamil?" Mata Jamie membulat lebar. Sementara kedua orang tuanya menganga tidak percaya. "Kamu beneran hamil, Ki?" tanya Jamie memastikan. Pemuda itu memegang kedua pundakku. Ketika aku menunduk, ia menaikan daguku.

 

"Iya. Aku hamil." Aku mengangguk lemah.

 

"Wahhhhh!" Teman-teman yang mengerubung seketika ikut menganga lebar. Lalu bisik-bisik keras itu mulai terdengar riuh rendah. Kupingku juga mendengar celaan beberapa teman akrab. Menyayangkan jika aku yang selama ini terlihat begitu kalem, ternyata sebejat ini.

 

BUG!

 

Papa Jamie meninju muka sang putra dengan begitu keras. Membuat pemuda itu jatuh terjungkal.

 

"Papa, hentikaaan!" teriak sang istri berdiri di depan sang putra. "Kemarahanmu tidak akan menyelesaikan masalah," ujar mama Jamie sambil memeluk lengan sang putra. Jamie sendiri menunduk dalam sambil memegangi bibirnya yang berdarah.

 

"Papa tidak menyangka kamu separah ini bergaul," ujar Papa Jamie menatap sengit sang putra yang tidak berani menampilkan wajah.

 

"Kita bicara di rumah! Malu di sini jadi bahan tontonan," saran mama Jamie tenang. Wanita itu menatap sekeliling. Membuat teman-teman yang mengerubung mundur. "Dan kalian mari ikut kami!" ajak mama Jamie pada aku dan Ibu dengan dingin.

 

Aku dan Ibu diam menurut. Kami masuk ke mobil sedan mewah berudara sejuk. Aku duduk diapit oleh Jamie dan Ibu di jok belakang. Papa Jamie memacu mobilnya dengan kecepatan lumayan tinggi. Membuat goncangan jika di jalan yang tidak rata. Perutku serasa diaduk-aduk. Pengharum mobil yang mungkin bagi sebagian orang akan terasa menyegarkan, justru kian membuat pusing kepala.

 

Ketika sampai di rumah Jamie, kedua orang tuanya berjalan dalam mendahului kami. Dengan perasaan tidak menentu Ibu membimbingku masuk ke rumah yang sudah sering aku singgahi ini. 

 

Tanpa ada basa-basi, kedua orang tua Jamie langsung menyuruh aku menggugurkan kandungan begitu kami duduk berembug di ruang keluarga.

 

"Kalian menyuruh Shakira membunuh calon anaknya?" tanya Ibu getir. Wanita itu tampak terluka dengan menggigit bibirnya. "Anak yang dikandung Kira itu cucu kalian. Di mana mata hati kalian?" 

 

"Jamie anak kami satu-satunya. Masa depannya masing panjang. Dia yang akan melanjutkan bisnis-bisnis kami," balas mama Jamie anggun sekaligus egois. 

 

"Tapi dia yang telah merusak masa depan putri saya," tukas Ibu berani, "sekarang kita balik. Jika posisi Ibu di pihak kami, apa yang akan Anda lakukan?"

 

Papa dan Mama Jamie tidak mampu menjawab. Keduanya membisu. Namun, itu tidak lama. Setelahnya mama mengajukan sebuah usul.

 

Aku tetap disuruh melahirkan. Mereka akan mencarikan tempatku untuk bersembunyi dengan dijamin biaya hidupnya. Setelahnya melahirkan aku akan dibiayai kuliah oleh mereka. Sementara bayi itu akan ditaruh di panti asuhan.

 

"Ma, itu sungguh tidak adil bagi Kira." Tiba-tiba Jamie menginterupsi. Aku dan Ibu sampai tidak percaya dibuatnya. "Aku yang telah merusak masa depan Kira. Sudah sepantasnya aku harus bertanggung jawab," ucap Jamie terlihat tulus.

 

"Jamie, kamu--"

 

"Lambat laun orang mungkin akan melupakan Jamie si penghamil cewek, tapi selamanya orang akan mengingat jika Kira pernah hamil tanpa suami." Penuturan pelan Jamie membuat aku terharu. Tidak kusangka dia bisa seberani itu. "Aku akan menikahi Kira, Pa," tekadnya bulat.

 

"Jamie, jangan buat papa semakin naik pitam ya sama kamu!" geram papa Jamie kian meradang.

 

"Pa, bukankah seorang pria yang dipegang adalah kata-katanya?" Jamie tetap berbicara tenang. Dia sama sekali tidak menunjukkan ketakutan saat kedua orang tuanya melotot marah. "Ketika membujuk Kira untuk tidur, aku berkali-kali berjanji, jika dia hamil maka aku akan bertanggung jawab."

 

"Kamu sadar dengan apa yang baru saja kamu ucapkan?" cecar papa Jamie dengan mata mengkilat.

 

"Sangat sadar," balas Jamie yakin.

 

"Kurang aj*r! Memalukan!" Papa Jamie kembali menggampar anaknya. "Jika kamu tidak menuruti saran kami, pergi dari rumah ini!" usirnya lantang.

 

"Papa!" Mama Jamie menegur.

 

"Aku tidak sudi punya anak yang telah melemparkan kotoran ke muka. Pergi!" Telunjuk Papa Jamie mengacung ke pintu.

 

Jamie mengangguk. "Maafkan aku, Pa, Ma, tapi aku harus bertanggung jawab," ucap Jamie mulai terdengar sumbang. Ketika dia meraih tangan papanya untuk disalim, pria itu mengibas marah. 

 

Usai menghapus kedua sudut matanya yang mulai berkabut, Jamie menuntunku meninggalkan rumah.

 

"Jamie!" Mama Jamie memanggil. Namun, Jamie tidak menggubris. Dia tetap berlalu.

 

"Sekali kamu meninggalkan rumah, jangan pernah kembali lagi!" ancam papa Jamie murka.

 

Aku, Jamie, dan Ibu meninggalkan rumah megah ini dengan langkah lemah.

 

"Jam?" 

 

"Kita akan menikah Kira," jawab Jamie sambil memaksakan diri untuk tersenyum.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Nurmila Karyadi
tp keren sih jamie gentleman,gilatuh ortunya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • BOSKU MANTAN SUAMIKU   7. Pernikahan

    Walau pun tidak mendapatkan restu dari kedua orang tua Jamie, kami tetap melangsungkan pernikahan. Tidak ada yang istimewa. Karena serba mendadak semua dikerjakan sendiri oleh Ibu. Baju pengantin Ibu yang menjahit. Begitu juga dengan jas yang dipakai Jamie.Sebenarnya aku kasihan pada Ibu, wanita itu harus mengeluarkan banyak uang untuk biaya pernikahan kami. Keluarga Jamie sama sekali tidak peduli. Jangankan untuk hadir, ATM yang Jamie punya justru sudah diblokir. Pemuda itu frustasi karena sama sekali tidak memegang uang. Namun, kami sekeluarga menguatkan bahwa semua akan baik-baik saja.Kami melangsungkan pernikahan di kantor urusan di daerahku.Saat mengucap janji suci, suara Jamie terdengar sangat lirih. Membuat bapak penghulu dan saksi kurang jelas mendengarnya. Tentu saja Bapak penghulu menyuruh Jamie mengulangi ucapannya.Di ikrar kedua, suara Jamie sudah lumayan lantang. Namun, terdengar tergetar. Di tengah sumpah pemuda itu tiba-tiba diam. Kemudian bibirnya terlihat mencebik

    Last Updated : 2022-05-09
  • BOSKU MANTAN SUAMIKU   8. Pekerjaan Baru Jamie

    Aku melangkah gontai keluar dari ruangan dokter yang memeriksa Jamie. Pandangan ini tunduk menekuri lantai rumah sakit. Bingung."Saudara Jamie harus diopname karena kondisinya sudah semakin memburuk."Ucapan dokter perempuan seumuran Ibu terngiang kembali. Kaki yang lemas ini membuat memilih duduk di bangku yang ada di selasar rumah sakit ini. Kubuka kembali hasil tes laboratorium milik Jamie.Trombosit darahnya sangat rendah hanya sembilan puluh ribu per mikroliter darah. Padahal kadar normalnya sekitar seratus empat puluh sampai seratus lima puluh ribu per mikroliter darah. Pantas saja jika Jamie terlihat amat pucat dan lemas.Tas selempang warna hitam yang sudah pudar warnanya ini aku buka resletingnya untuk mengeluarkan sebuah dompet. Kuintip uang di dalamnya. Sebelum pergi membawa Jamie ke rumah sakit ini, aku terlebih dulu meminjam uang milik Salwa.Kasihan gadis itu. Berkali-kali dia meminjamkan uangnya padaku. Dan hingga detik ini masih sebagian yang belum kulunasi.Dengan ke

    Last Updated : 2022-05-09
  • BOSKU MANTAN SUAMIKU   9. Anak Pertama Kami

    Aku terdiam mendengar ucapan keras serta ketus dari Jamie. Rasanya sakit yang menyerang perut tidak sebanding dengan sakit dibentak oleh dia. Lelaki yang baru enam bulan ini sah menjadi imamku. Sedih karena semarah apapun Ibu atau Ayah, keduanya tidak pernah meninggikan suara padaku atau pun pada Salwa."Ki, kamu masih di situ?" Di seberang sana suara Jamie mulai merendah."Agrhhh!" Aku tidak membalas pertanyaan dari Jamie. Bibir ini justru mengerang. Menahan rasa sakit yang melesak di perut ini."Ki, kamu kenapa?" Suara Jamie terdengar sedikit panik."Ahhh ... kata Ibu, aku mau melahirkan, Jam," balasku sambil menggigit bibir bawah. Berusaha mengalihkan rasa sakit yang menghebat ini."Apa? Yang bener?!" Jamie berseru tidak percaya. "Bukannya masih satu bulan lagi?" cecar Jamie. Memang usia kandunganku baru menginjak tiga puluh dua minggu. Sementara bayi normal biasanya lahir di usia tiga puluh enam sampai tiga puluh delapan minggu."Ini sudah sakit banget, Jam. Awww!""Aduuuh ... ma

    Last Updated : 2022-05-09
  • BOSKU MANTAN SUAMIKU   10. Gibranku yang Malang

    Usia Gibran belum genap lima bulan waktu itu. Bayi itu masih ASI eksklusif. Berbekal bacaan di buku KIA yang menyatakan jika obat mujarab untuk bayi adalah ASI, maka kususui Gibran.Sayangnya bayi prematur yang sudah mulai menggembul itu tidak mau menyusu. Suhu badannya masih tetap panas walau telah dikompres."Jam, sebaiknya bawa Gibran ke dokter deh. Kasihan dia gak mau nyusu," mohonku dengan penuh harap.Jamie melihat waktu. "Oke. Masih ada waktu dua jam lagi. Semoga nanti setelah dikasih obat sama dokter jadi baikan," sambutnya setuju.Persetujuan Jamie laksana hujan di alas yang kering. Menyejukkan. Tanpa buang waktu lekas kugendong Gibran.Kami pergi ke klinik dengan mengendarai motor. Sebulan setengah kemarin Jamie baru mengambil kendaraan roda dua itu dari dealer. Dia merasa mampu untuk mencicil.Karena memang sangat butuh, aku pun mendukung. Namun, konsekuensi yang kudapat adalah makin jarangnya Jamie di rumah. Hari-harinya dipenuhi untuk mencari uang. Jika ada waktu luang, k

    Last Updated : 2022-05-09
  • BOSKU MANTAN SUAMIKU   11. Pertengkaran Hebat

    Aku membuka mata saat mendengar isak tangis yang menggema. Kusapu keliling ruangan. Ruangan yang tidak asing. Setelah seksama mencerna, ternyata aku sudah berada di kamar sendiri. Sinar matahari yang menerobos ventilasi menjadi penanda jika hari telah beranjak pagi.Tidak jauh dari ranjang ada Ibu dan Salwa yang saling terdiam menatapku. Keduanya bermata basah. Mereka sama-sama mengenakan pakaian bernuansa hitam.Sementara di ruang tamu sana terdengar suara yang riuh rendah. Seperti pengajian.Ya ... mereka sedang membaca surat Yasin. Ada apa?Tiba-tiba aku teringat putra semata wayang. "Bu ... Gi-Gibran mana?" tanyaku lemah. Walau masih pusing kucoba untuk bangkit dari rebahan. Ibu dan Salwa kembali hanya saling berpandangan saja."Dada aku sakit," kataku menahan nyeri yang menggerus dada. Perlahan kuremas dada yang terasa bengkak ini, "mana Gibran, Bu? Mau aku susuin? Terus di luar itu ada apa? Kenapa sepertinya ramai orang?" Bingung membuatku bercerocos panjang.Ibu membesit hidung

    Last Updated : 2022-05-17
  • BOSKU MANTAN SUAMIKU   12. Mamanya Jamie

    Aku menangis semalaman. Sama sekali tidak bisa merehatkan badan. Dan Jamie pun tidak pulang ke rumah. Lelaki itu sepertinya marah besar. Sudahlah ... biar saja. Toh aku memang muak dengan tingkahnya.Jamie memang amat muda saat mendapat gelar sebagai seorang ayah. Tapi, itu bukan alasan dirinya bisa bebas semau sendiri. Harusnya Jamie bisa berpikir, jika tanggung jawabnya sudah lebih besar lagi saat anaknya hadir. Semestinya dia paham jika anak dan istri adalah prioritas utamanya sekarang.Sampai siang hari Jamie belum juga menampakkan batang hidungnya. Dengan mengabaikan perasaan hampa, aku bergerak ke kamar mandi. Membersihkan badan. Menyirami kepala dengan air dingin. Berharap otak yang dipenuhi pikiran buruk bisa sedikit merasa sejuk.Usai mandi tanpa berpikir banyak kukemasi baju-baju di lemari. Air mataku meleleh kembali saat melihat baju-baju Gibran."Gibran ...." Aku memanggil lirih. Cukup lama aku mendekap dan menciumi baju mungil kepunyaan Gibran. Berkhayal tengah memeluk b

    Last Updated : 2022-05-17
  • BOSKU MANTAN SUAMIKU   13. Anak Kedua Kami

    Beberapa hari kemudian datang seseorang berpakaian rapi dengan jas hitam. Lelaki itu mengaku jika dirinya adalah seorang pengacara yang ditunjuk Mama Jamie untuk mendampingi aku.Proses perceraian berlangsung cepat. Tahap pertama mediasi. Baik aku dan Jamie tidak hadir dalam sidang tersebut. Kami sama-sama mewakilkan pada pengacara. Apalagi aku juga mulai sering mengeluh tidak enak badan. Begitu juga pada sidang kedua. Kami tidak ada yang menghadiri.Sebenarnya rasa pusing sudah sering kurasa dari seratus hari kematian Gibran. Namun, waktu itu tidak kuabaikan. Karena pikiran ini hanya berkutat pada rasa sakit kehilangan Gibran.Pagi ini usai melawan mual-mual aku bergegas mandi. Hari ini keputusan sidang digelar. Aku harus datang untuk menyaksikan putusan hakim."Kira, apa kamu sudah yakin dengan keputusanmu?" tanya Ibu sedih ketika aku pamit hendak pergi ke pengadilan agama. "Dengar, Nak! Kenapa ibu merasa jika kamu tengah hamil lagi. Kamu tidak berselera makan sepanjang hari. Kamu s

    Last Updated : 2022-05-17
  • BOSKU MANTAN SUAMIKU   14. Cinta yang Lain

    "Kira, kenapa sih kamu gak pernah mau tahu jenis kelamin bayi kita?" Protesan dari Jamie setahun yang lalu terngiang kembali di telinga.Waktu kami baru saja memeriksa kandungan. Usia pernikahan kami baru menginjak bulan ke empat. Dan kandunganku memasuki bulan ke enam."Gak kenapa-napa," balasku santai. Kami tengah berbagi ranjang di kamarku yang sempit. Dada kecil Jamie kujadikan bantal. Sementara tangan Jamie terus saja membelai rambutku dengan lembut. "Buat kejutan aja nanti jika lahiran. Kalo dari sekarang udah tahu jenis kelaminnya, gak asyik," tuturku tengadah untuk menatap paras Jamie.Lelaki itu tersenyum manis, lantas mengecup rambutku. "Emang kamu pengen anak kita cewek atau cowok?" Jamie bertanya lembut. Hidungnya menciumi pipiku dengan penuh kasih sayang."Aku pengen punya anak cowok nih." Aku menjawab dengan tangan yang terus mengusap-usap perut. Perut yang dulu terlihat sangat rata kini sudah tampak mulai membuncit. "Biar Ibu sama Ayah seneng. Soalnya kedua anaknya kan

    Last Updated : 2022-05-18

Latest chapter

  • BOSKU MANTAN SUAMIKU   78. Sagara

    Pov author"Alhamdulillah!"Shakira meraupkan kedua tangannya pada wajah. Air matanya merembes. Namun, ini air mata kebahagiaan dan haru. Anaknya baru saja lolos dari maut."Aku ingin ketemu bayiku, W*." Shakira merengek. Ia ingin sekali melihat rupa putrinya. Dalam mimpi wajah sang putri terlihat samar."Nanti kalo Mbak Kira pulih, kita lihat bareng, ya." Salwa membujuk lembut.Shakira mengangguk manut. Pengaruh anastesi sudah mulai menghilang. Wanita itu meringis menahan perih di perut bekas sayatan operasi. Untuk menyamarkan sakit, dirinya memilih memejam kembali.Sementara itu Ibu yang kepayahan dari tadi siang merasa amat lelah. Wanita itu merebahkan tubuh pada sofa kecil yang tersedia di ruang itu. Tidak sampai lima menit dirinya sudah menyelami alam mimpi.Di sisi lain Salwa merasakan lapar yang menghebat. Terakhir kali ia makan tujuh jam lalu di kampusnya. Dia ingin mengajak Ibu. Namun, melihat sang Ibu tertidur dengan lelapnya, Salwa memilih pergi sendiri. Gadis itu meninggalk

  • BOSKU MANTAN SUAMIKU   77. Doa Jamie

    Pov Jamieidaaak!"Aku berseru takut. Sementara Ibu Siti dan Salwa pun sudah pecah tangisnya. Beruntung ada dokter didampingi perawat yang masuk untuk memeriksa bayi lain."Dokter, tolong bayi saya," mohonku dengan suara yang bergetar."Iya, Bapak mohon tenang dan tunggu di luar, ya." Pria berseragam itu mengangguk pelan."Tolong lakukan yang terbaik untuk anak saya, Dok. Berapa pun biayanya akan saya bayar," desakku saking ketakutannya."Iya, Bapak tunggu di luar, ya!"Perawat pendamping dokter pun mendorong tubuhku untuk ke luar ruangan. Salwa dan Ibu Siti cukup patuh untuk beranjak sebelum disuruh. Sementara beberapa tenaga medis masuk untuk ikut melakukan tindakan.Aku yang merasa tidak bertenaga bersandar pada dinding. "Kamu harus kuat putraku," kataku pada diri sendiri.Mata ini kembali menatap ruangan di depan. Rasanya tidak sanggup jika harus melihat putriku kecilku yang tengah mendapatkan penanganan.Tiba-tiba saja aku teringat Allah. Aku perlu menghadap Sang Pencipta. Akan k

  • BOSKU MANTAN SUAMIKU   76. Bayi Mungilku

    Lampu di atas pintu kamar operasi telah padam. Pertanda jika operasi telah usai. Hati ini kian dag dig dug rasanya. Harap-harap cemas. Ketika pintu terbuka, aku, Aldi, dan Sandrina langsung bangkit berdiri. Aku sendiri lekas beranjak menemui dokter pria yang sedang membuka masker wajahnya. "Dok, bagaimana keadaan istri saya?" Aku bertanya dengan penasaran."Seperti yang sudah sangat saya jelaskan. Ibu dan anak sama-sama dalam keadaan bahaya," tutur Pak Dokter terdengar hati-hati. "Dan sesuai persetujuan jika kami harus memprioritaskan ibunya dulu--""Jadi anak saya gak selamat?" Aku menyambar karena takut. Rasanya tubuh ini terasa lemas. Dokter itu membetulkan letak kacamatanya. "Beruntungnya kami bisa menyelamatkan keduanya."Ucapan dokter tersebut laksana air es yang mengguyur kekeringan di hati ini. "Alhamdulillah!" Aku, Aldi dan Sandrina lagi-lagi kompak berseru karena lega. Tidak lupa aku langsung sujud syukur. "Terima kasih banyak ya Allah ...." Tangan ini meraup wajah deng

  • BOSKU MANTAN SUAMIKU   75. Kondisi Shakira

    (Pov Jamie) "Shakira?!"Seseorang memanggil nama istriku. Shakira sendiri mengangkat wajah. Wajahnya yang pucat menjadi pertanda jika dia teramat kesakitan."Kamu gak papa, Kira?"Ternyata yang memanggil Shakira adalah Aldi. Pemuda itu datang bersama Sandrina. Keduanya gegas jongkok untuk menolong Shakira. Sedangkan aku masih membeku melihat darah merembes dari paha Shakira."Ini sakit banget, Nina," desis Shakira dengan tangan mencengkeram lengan Sandrina."Jamie, kok kamu cuma diam saja sih?" tegur Aldi tampak gemas, "cepetantolong selamatkan istri kamu!" desak Aldi sambil mengguncang lenganku.Aku tergagap. Syok membuat aku tidak mampu berpikir panjang. Dan sebenarnya diri ini sangat takut jika melihat darah. Namun, demi melihat wajah pucat Shakira aku harus kuat."Sa-kiiit ...." Shakirara merintih."Tolong jangan bicara lagi, Kira. Ini hanya akan membuatku semakin panik," pintaku kalut.Tanganku gemetar meraih pundak Shakira. Perlahan kuangkat tubuh wanita yang terus saja mendes

  • BOSKU MANTAN SUAMIKU   74. Musibah

    Malam minggu ini aku di rumah berdua saja sama Jamie. Kimie dari kemarin dibawa mama dan papanya Jamie untuk menginap di rumah mereka. "Jam, pergi nonton film di bioskop, yuk!" ajakku pada pria yang sedang asyik bermain game pada gadgetnya. Jamie menatapku dengan lekat. "Nonton film di bioskop?" Dia justru mengulangi perkataanku. "Iya nih, aku pengen banget nonton film KKN Di Desa Penari. Lagi sibuk banget nih di media sosial," jawabaku dengan wajah yang mupeng. "Jangan aneh-aneh deh, Kira." Mata Jamie kembali tertuju pada layar ipadnya. "Anehnya di mana? Orang istri pengen nonton film kok dibilang aneh," sahutku sedikit sewot. "Bukannya hari perkiraan lahir anak kita sebentar lagi?" tukas Jamie masih setia memainkan jarinya pada layar sentuh tersebut. "Lagian bukannya kamu paling anti sama film horor," imbuhnya sambil sedikit melirik padaku. "HPL anak kita masih dua minggu lagi kok." Aku mendekati pria yang malam ini begitu wangi itu. Padahal kemarin-kemarin aku justru membenc

  • BOSKU MANTAN SUAMIKU   73. Permintaan Konyol Shakira

    (POV Jamie) Yesss!" Aku meninju udara. "Terima kasih ya Allah," ucapku tulus sembari meraup wajahnya. "Yeahhh!"Aku kembali berseru gembira usai menerima telepon dari Shakira. Istri tercintaku mengabarkan habis test pack dan hasilnya positif.Tanpa berpikir panjang, aku bangkit dari kursi bersandaran tinggi ini. Blazer yang menyampir pada sandaran kursi lekas kukenakan. Setelah rapi kuraih ponsel dan kunci mobil baru melangkah ke luar menuju meja Tia, sekretarisku."Saya izin pulang, ya. Mau temani Shakira ke dokter," pamitku pada perempuan berkaca mata itu."Memang Bu Kira sakit apa, Pak Jamie?" tanya Tia tampak serius.Aku tersenyum kecil. "Kami mau cek ke dokter kandungan."Mulut Tia terbuka. "Ibu Shakira hamil?"Aku mengangguk pelan. "Barusan dites sih positif, tapi kami butuh kejelasan dari dokter. Doakan semoga berita ini benar, ya.""Aamiin." Tia langsung meraup wajahnya dengan kedua tangan. "Sebelumnta selamat ya, Pak.""Sama-sama."Aku pun beranjak meninggalkan perempuan itu

  • BOSKU MANTAN SUAMIKU   72. Akhirnya Doa Kimie Terkabulkan

    Selain beribadah, Jamie juga membawaku jalan-jalan ke tempat yang romantis yaitu Jabal Rahmah atau bukit kasih sayang. Jabal Rahmah adalah bukit kecil dengan ketinggian sekitar tujuh puluh meter.Tempat itu diyakini sebagai tempat bertemunya kembali Adam dan Hawa setelah berpisah ratusan tahun. Usai mereka diturunkan ke bumi dari surga karena mereka memakan buah terlarang yakni buah khuldi. Padahal Allah SWT sudah melarang tetapi setan terus menggoda.Bagi umat Islam sendiri Jabal Rahmah memiliki nilai sejarah yang cukup penting. Sebab di tempat tersebutlah Nabi Muhammad SAW menerima wahyu terakhir. Yakni pada saat beliau menunaikan Haji Wada atau Haji terakhir dan sedang melakukan wukuf.Tempat ini terletak persis di padang Arafah, pinggiran timur kota Makkah. Sengatan terik matahari yang tajam tidak menyurutkan niat kami untuk mendaki bukit tersebut. Di atas bukit pemerintah Arab Saudi sudah membangun sebuah Tugu. Tugu tersebut diyakini sebagai tempat bertemunya Nabi Adam dan Hawa.

  • BOSKU MANTAN SUAMIKU   71. Ibadah Umroh

    Keesokan harinya aku dan Lutfi mengisi waktu masih untuk bersantai di dalam hotel. Tujuan kami datang ke tanah suci selain untuk umroh juga memang ingin berbulan madu. Apalagi kami masih merasakan lelah setelah perjalanan panjang kemarin.Pukul delapan pagi waktu setempat aku dan Jamie turun untuk sarapan. Kebetulan kami mendapatkan fasilitas breakfast buffet. Di mana restoran tersebut menyajikan aneka makanan dan minuman.Berbagai sajian mulai dari hidangan pembuka sampai hidangan penutup tepah disediakan, ditata, dan diatur di atas meja buffet atau meja panjang. Pengunjung bisa bebas memilih dan mengambil makanan sendiri sesuai dengan selera makan mereka.Kebetulan pagi itu menu sarapannya adalah English breakfast. Pilihan aku jatuh pada sepotong roti bakar dengan olesan cokelat, telor omelet, sosis bakar, segelas cokelat hangat, dan beberapa potong buah semangka dan melon. Sementara Jamie mengambil roti panggang dengan olesan butter, daging asap, kacang yang dimasak dengan saos tom

  • BOSKU MANTAN SUAMIKU   70. Malam Di Kota Jedah

    Setelah puas berlibur dan menenangkan diri di vila Jamie selama seminggu, kami pun kembali ke Jakarta. Jamie langsung membawaku dan Kimie ke rumahnya sendiri. Rumah yang ia tinggali beberapa bulan terakhir saat ia memutuskan untuk hidup mandiri.Hal itu tentu saja membuat Kimie senang. Karena akhirnya mempunyai kamar pribadi sendiri. Selama ini dia harus berbagi ranjang denganku atau Ibu. Anak itu berulang kali mengucap terima kasih pada ayahnya karena kamarnya dikonsep laksana kamar seorang putri raja.Tujuh hari kemudian, jadwal keberangkatan ke tanah suci pun tiba. Sempat terjadi drama. Kimie memaksa ikut. Bocah itu nangis diajak serta."Bunda jahat! Bunda gak sayang aku! Kenapa aku gak boleh ikut," rajuknya dengan bibir yang maju sepuluh centi."Bukannya gak boleh, Sayang, tapi ini perjalanan khusus," jawabku mencoba memberi pemahaman."Perjalanan khusus apa?" tukas Kimie masih manyun. "Banyak kok teman-teman Kimie yang ikutan umroh. Jadi haji kecil," tuturnya kian jadi."Kimie ..

DMCA.com Protection Status