Walau pun tidak mendapatkan restu dari kedua orang tua Jamie, kami tetap melangsungkan pernikahan. Tidak ada yang istimewa. Karena serba mendadak semua dikerjakan sendiri oleh Ibu. Baju pengantin Ibu yang menjahit. Begitu juga dengan jas yang dipakai Jamie.
Sebenarnya aku kasihan pada Ibu, wanita itu harus mengeluarkan banyak uang untuk biaya pernikahan kami. Keluarga Jamie sama sekali tidak peduli. Jangankan untuk hadir, ATM yang Jamie punya justru sudah diblokir. Pemuda itu frustasi karena sama sekali tidak memegang uang. Namun, kami sekeluarga menguatkan bahwa semua akan baik-baik saja.
Kami melangsungkan pernikahan di kantor urusan di daerahku.
Saat mengucap janji suci, suara Jamie terdengar sangat lirih. Membuat bapak penghulu dan saksi kurang jelas mendengarnya. Tentu saja Bapak penghulu menyuruh Jamie mengulangi ucapannya.Di ikrar kedua, suara Jamie sudah lumayan lantang. Namun, terdengar tergetar. Di tengah sumpah pemuda itu tiba-tiba diam. Kemudian bibirnya terlihat mencebik. Menit berikutnya, Jamie menangis.
Calon suamiku menangis dalam diam. Tidak terdengar suaranya. Dia tampak bersedih. Berkali kucoba hapus air mata yang mengaliri pipinya, bulir bening itu kian luruh begitu deras. Membuat bapak penghulu bertanya apakah dia terpaksa dengan pernikahan ini.
Masih dengan menitikkan air mata, Jamie menggeleng lemah. Pemuda itu meminta waktu sebentar untuk menenangkan perasaan. Bapak penghulu mengizinkan. Jamie berdiam diri selama setengah jam. Setelah merasa hatinya sudah tertata, dia melanjutkan proses ijab qobul ini.
"Saya terima nikah dan kawinnya, Shakira Rizky binti Ahmad Rizky. Dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan uang sebesar seratus ribu rupiah."
Jamie mengucap ikrar itu dengan tenang. Suaranya masih terdengar lirih. Namun, cukup terdengar di telinga. Tidak ada kebahagiaan pada wajahnya.
Usai menandatangani buku nikah dan membaca sighat taklik, kami langsung pulang ke rumah. Kami menumpangi taksi. Seharusnya aku nyaman dengan kendaraan ini. Namun, hatiku justru merasa tidak enak. Terbayang seberapa banyak uang musti Ibu keluarkan.
Tidak ada pesta. Ibu menggelar walimatul ursy dengan sangat sederhana karena keterbatasan. Hanya tetangga dan kerabat dekat saja yang diundang.
Acara tidak berlangsung lama, hanya sebatas ungkapan syukur kepada Allah atas terselenggaranya pernikahan kami. Setelah itu menikmati jamuan makanan ala kadarnya. Banyak yang memuji aku beruntung karena mendapatkan pemuda seganteng Jamie.
"Menantunya tajir ya, Bu Siti, ganteng dan bersih," celoteh tetangga memuji Jamie, "tapi ... kok besannya gak kelihatan, Bu?" tanya ibu itu terlihat begitu kepo.
"Iya, kok gak hadir ya, Bu Siti? Kenapa? Apa ada masalah?" timpal tetangga yang lain juga penasaran.
Ibu hanya tersenyum. Wanita itu menyuruhku dan Jamie masuk ke kamar saja. Karena memang suasananya yang tidak nyaman, aku dan Jamie pun menurut.
Kami melepas atribut yang melekat di badan. Dengan malas Jamie mencopot jas hitamnya, lalu menyampirkan di kursi meja belajar. Aku sendiri mengganti kebaya putih sederhana ini dengan gamis baru pemberian dari Salwa. Gadis itu memecah celengan jagonya demi bisa membelikan aku kado pernikahan ini. Ketika tengah mengancingkan baju di depan cermin, kedua tangan Jamie melingkari perutku.
"Maafkan aku ya, Ki," ucapnya serak. Jamie meletakkan dagunya di pundakku. "Maafkan aku yang telah merusak masa depanmu. Bea siswa yang sudah kamu raih harus batal karena perbuatan bejatku." Suara Jamie bergetar lagi. Dari pantulan cermin kulihat dia menangis.
Aku memutar badan, lalu mendongak pada wajah basah itu. "Kenapa kamu menangis?" tanyaku perhatian. Jamie menggeleng sedih. "Apakah kamu menyesali pernikahan ini?" Kutatap matanya lekat.
Jamie menggeleng lemah. Dia menggeretku duduk di tepi ranjang. Jemariku ia genggam erat.
"Aku menangis karena menyesal," jawabannya terdengar jujur. "Andai aku bisa menahan bisikan setan dulu, mungkin kita sedang berbahagia. Aku akan kuliah ke luar negeri seperti keinginan mama papa. Kamu juga akan melanjutkan pendidikan untuk meraih impianmu," tutur Jamie terbata.
"Sudahlah! Semua sudah terjadi." Aku mengabaikan perasaan sedih yang menyelinap di hati. Jujur, omongan Jamie memantik penyesalan yang mendalam juga.
"Aku tahu perasaanmu, Kira." Jamie membesit hidungnya yang merah. Matanya pun kembali basah. "Bukan pernikahan seperti ini yang kamu harapkan, aku tahu. Bahkan untuk memberi mahar, aku harus pinjam uang ibumu seratus ribu untuk jadi mas kawin. Kira ... maafkan aku." Jamie kian tergugu dalam tangis.
Melihat dia begitu amat bersedih, mau tidak mau aku pun ikut menangis. Kudekap pemuda itu. Lantas bersandar di dadanya.
"Jamie, sedalam apapun kita menyesal tidak akan mengembalikan keadaan." Jamie menunduk menatap wajahku, sedangkan aku mendongak balas memandangnya. Kugenggam erat jemarinya. "Sekarang yang harus dilakukan adalah kita harus kuat. Kamu harus kerja untuk dia." Kutaruh telapak tangan Jamie di perut yang sudah tidak rata ini.
"Tentu!" Jamie menjawab semangat, "ayah akan kerja keras demi kamu, Sayang," lanjutnya sambil membelai lembut perutku. Jamie lantas turun merosot. Lelaki itu mencium perutku dengan penuh kasih sayang.
*
Mencari pekerjaan ternyata tidak semudah yang kami bayangkan. Satu minggu setelah pernikahan, Jamie berencana ingin mencari nafkah. Dengan semangat aku dan Jamie melingkari lowongan pekerjaan di koran. Setelah dapat Jamie mengurus berkasnya. Tentu saja semua biaya Ibu yang menanggung.
Namun, Jamie harus menelan pil pahit, selain karena memang hanya lulusan SMA saja, dia juga belum ada pengalaman. Ketika tengah menunggu panggilan, hari-hari Jamie diisi dengan hanya main game online di rumah.
Beban Ibu kian bertambah lagi. Dulu wanita itu hanya menanggung biaya hidup tiga orang saja. Kini kebutuhan Jamie sebagai putra menantu, Ibu juga yang tanggung. Belum lagi biaya cek kandunganku.
Lahir dari keluarga berada membuat Jamie tidak bisa bekerja keras. Lelaki itu kerap mengeluh kecapekan jika dia mintai tolong.
Aku memang membuka jasa cuci gosok untuk menekan biaya hidup. Karena jika hanya mengandalkan uang dari jasa jahit yang Ibu dapat, kebutuhan hidup kami akan keteteran. Apalagi aku juga memerlukan banyak uang untuk biaya lahiran nanti.
Pagi ini, Jamie telat bangun. Lelaki itu mengerjakan sholat subuh pun saat mentari sebentar lagi akan menampakkan diri. Usai beribadah Jamie memilih meringkuk kembali di ranjang sempit kami.
Aku berdecak gemas melihatnya. Pasalnya dia harus mengambil pakaian-pakaian kotor dari langganan.
"Jam ... bangun, Jam!" Kutarik lengannya. Seketika hati ini terperanjat mendapati lengan Jamie terasa panas. Pemuda itu masih setia menutup mata dengan sedikit meracau. Tanganku memeriksa dahinya. "Ya Allah! Kenapa panas begini?" Aku bercemas sedih. "Jam ...."
"Aku-aku pusing, Kira." Jamie menjawab lemah dan sama sekali tidak mau membuka mata.
Tanpa berpikir panjang aku lekas pergi ke warung untuk membeli obat. Namun, dua hari berlalu keadaan Jamie tidak kunjung membaik. Padahal obat dan kompres sudah kuberikan.
Di hari ketiga aku memutuskan untuk membawa Jamie ke rumah sakit karena keadaannya kian memburuk. Dia kehilangan selera makan dan panas dingin sepanjang hari. Setelah melalui serangkaian tes, ternyata Jamie terkena demam berdarah.
"Saudara Jamie harus diopname untuk perawatan yang maksimal," putus dokter sambil menyerahkan laporan laboratorium.
Kuterima hasil itu dalam resah. Karena bingung harus mencari biaya perawatan dari mana. Ibu sendiri tengah menanggung ongkos kontrakan bulan lalu dan bulan ini.
Aku melangkah gontai keluar dari ruangan dokter yang memeriksa Jamie. Pandangan ini tunduk menekuri lantai rumah sakit. Bingung."Saudara Jamie harus diopname karena kondisinya sudah semakin memburuk."Ucapan dokter perempuan seumuran Ibu terngiang kembali. Kaki yang lemas ini membuat memilih duduk di bangku yang ada di selasar rumah sakit ini. Kubuka kembali hasil tes laboratorium milik Jamie.Trombosit darahnya sangat rendah hanya sembilan puluh ribu per mikroliter darah. Padahal kadar normalnya sekitar seratus empat puluh sampai seratus lima puluh ribu per mikroliter darah. Pantas saja jika Jamie terlihat amat pucat dan lemas.Tas selempang warna hitam yang sudah pudar warnanya ini aku buka resletingnya untuk mengeluarkan sebuah dompet. Kuintip uang di dalamnya. Sebelum pergi membawa Jamie ke rumah sakit ini, aku terlebih dulu meminjam uang milik Salwa.Kasihan gadis itu. Berkali-kali dia meminjamkan uangnya padaku. Dan hingga detik ini masih sebagian yang belum kulunasi.Dengan ke
Aku terdiam mendengar ucapan keras serta ketus dari Jamie. Rasanya sakit yang menyerang perut tidak sebanding dengan sakit dibentak oleh dia. Lelaki yang baru enam bulan ini sah menjadi imamku. Sedih karena semarah apapun Ibu atau Ayah, keduanya tidak pernah meninggikan suara padaku atau pun pada Salwa."Ki, kamu masih di situ?" Di seberang sana suara Jamie mulai merendah."Agrhhh!" Aku tidak membalas pertanyaan dari Jamie. Bibir ini justru mengerang. Menahan rasa sakit yang melesak di perut ini."Ki, kamu kenapa?" Suara Jamie terdengar sedikit panik."Ahhh ... kata Ibu, aku mau melahirkan, Jam," balasku sambil menggigit bibir bawah. Berusaha mengalihkan rasa sakit yang menghebat ini."Apa? Yang bener?!" Jamie berseru tidak percaya. "Bukannya masih satu bulan lagi?" cecar Jamie. Memang usia kandunganku baru menginjak tiga puluh dua minggu. Sementara bayi normal biasanya lahir di usia tiga puluh enam sampai tiga puluh delapan minggu."Ini sudah sakit banget, Jam. Awww!""Aduuuh ... ma
Usia Gibran belum genap lima bulan waktu itu. Bayi itu masih ASI eksklusif. Berbekal bacaan di buku KIA yang menyatakan jika obat mujarab untuk bayi adalah ASI, maka kususui Gibran.Sayangnya bayi prematur yang sudah mulai menggembul itu tidak mau menyusu. Suhu badannya masih tetap panas walau telah dikompres."Jam, sebaiknya bawa Gibran ke dokter deh. Kasihan dia gak mau nyusu," mohonku dengan penuh harap.Jamie melihat waktu. "Oke. Masih ada waktu dua jam lagi. Semoga nanti setelah dikasih obat sama dokter jadi baikan," sambutnya setuju.Persetujuan Jamie laksana hujan di alas yang kering. Menyejukkan. Tanpa buang waktu lekas kugendong Gibran.Kami pergi ke klinik dengan mengendarai motor. Sebulan setengah kemarin Jamie baru mengambil kendaraan roda dua itu dari dealer. Dia merasa mampu untuk mencicil.Karena memang sangat butuh, aku pun mendukung. Namun, konsekuensi yang kudapat adalah makin jarangnya Jamie di rumah. Hari-harinya dipenuhi untuk mencari uang. Jika ada waktu luang, k
Aku membuka mata saat mendengar isak tangis yang menggema. Kusapu keliling ruangan. Ruangan yang tidak asing. Setelah seksama mencerna, ternyata aku sudah berada di kamar sendiri. Sinar matahari yang menerobos ventilasi menjadi penanda jika hari telah beranjak pagi.Tidak jauh dari ranjang ada Ibu dan Salwa yang saling terdiam menatapku. Keduanya bermata basah. Mereka sama-sama mengenakan pakaian bernuansa hitam.Sementara di ruang tamu sana terdengar suara yang riuh rendah. Seperti pengajian.Ya ... mereka sedang membaca surat Yasin. Ada apa?Tiba-tiba aku teringat putra semata wayang. "Bu ... Gi-Gibran mana?" tanyaku lemah. Walau masih pusing kucoba untuk bangkit dari rebahan. Ibu dan Salwa kembali hanya saling berpandangan saja."Dada aku sakit," kataku menahan nyeri yang menggerus dada. Perlahan kuremas dada yang terasa bengkak ini, "mana Gibran, Bu? Mau aku susuin? Terus di luar itu ada apa? Kenapa sepertinya ramai orang?" Bingung membuatku bercerocos panjang.Ibu membesit hidung
Aku menangis semalaman. Sama sekali tidak bisa merehatkan badan. Dan Jamie pun tidak pulang ke rumah. Lelaki itu sepertinya marah besar. Sudahlah ... biar saja. Toh aku memang muak dengan tingkahnya.Jamie memang amat muda saat mendapat gelar sebagai seorang ayah. Tapi, itu bukan alasan dirinya bisa bebas semau sendiri. Harusnya Jamie bisa berpikir, jika tanggung jawabnya sudah lebih besar lagi saat anaknya hadir. Semestinya dia paham jika anak dan istri adalah prioritas utamanya sekarang.Sampai siang hari Jamie belum juga menampakkan batang hidungnya. Dengan mengabaikan perasaan hampa, aku bergerak ke kamar mandi. Membersihkan badan. Menyirami kepala dengan air dingin. Berharap otak yang dipenuhi pikiran buruk bisa sedikit merasa sejuk.Usai mandi tanpa berpikir banyak kukemasi baju-baju di lemari. Air mataku meleleh kembali saat melihat baju-baju Gibran."Gibran ...." Aku memanggil lirih. Cukup lama aku mendekap dan menciumi baju mungil kepunyaan Gibran. Berkhayal tengah memeluk b
Beberapa hari kemudian datang seseorang berpakaian rapi dengan jas hitam. Lelaki itu mengaku jika dirinya adalah seorang pengacara yang ditunjuk Mama Jamie untuk mendampingi aku.Proses perceraian berlangsung cepat. Tahap pertama mediasi. Baik aku dan Jamie tidak hadir dalam sidang tersebut. Kami sama-sama mewakilkan pada pengacara. Apalagi aku juga mulai sering mengeluh tidak enak badan. Begitu juga pada sidang kedua. Kami tidak ada yang menghadiri.Sebenarnya rasa pusing sudah sering kurasa dari seratus hari kematian Gibran. Namun, waktu itu tidak kuabaikan. Karena pikiran ini hanya berkutat pada rasa sakit kehilangan Gibran.Pagi ini usai melawan mual-mual aku bergegas mandi. Hari ini keputusan sidang digelar. Aku harus datang untuk menyaksikan putusan hakim."Kira, apa kamu sudah yakin dengan keputusanmu?" tanya Ibu sedih ketika aku pamit hendak pergi ke pengadilan agama. "Dengar, Nak! Kenapa ibu merasa jika kamu tengah hamil lagi. Kamu tidak berselera makan sepanjang hari. Kamu s
"Kira, kenapa sih kamu gak pernah mau tahu jenis kelamin bayi kita?" Protesan dari Jamie setahun yang lalu terngiang kembali di telinga.Waktu kami baru saja memeriksa kandungan. Usia pernikahan kami baru menginjak bulan ke empat. Dan kandunganku memasuki bulan ke enam."Gak kenapa-napa," balasku santai. Kami tengah berbagi ranjang di kamarku yang sempit. Dada kecil Jamie kujadikan bantal. Sementara tangan Jamie terus saja membelai rambutku dengan lembut. "Buat kejutan aja nanti jika lahiran. Kalo dari sekarang udah tahu jenis kelaminnya, gak asyik," tuturku tengadah untuk menatap paras Jamie.Lelaki itu tersenyum manis, lantas mengecup rambutku. "Emang kamu pengen anak kita cewek atau cowok?" Jamie bertanya lembut. Hidungnya menciumi pipiku dengan penuh kasih sayang."Aku pengen punya anak cowok nih." Aku menjawab dengan tangan yang terus mengusap-usap perut. Perut yang dulu terlihat sangat rata kini sudah tampak mulai membuncit. "Biar Ibu sama Ayah seneng. Soalnya kedua anaknya kan
(POV Jamie)Shakira. Wanita itu ... cinta pertamaku. Setelah sekian lama kami terpisah oleh jarak dan waktu, hari ini aku dipertemukan kembali dengan perempuan yang hingga kini masih saja menyapa dalam mimpi.Wajah manis Shakira yang sedap dipandang tidak pernah berubah. Masih setia sederhana tanpa polesan. Tubuhnya juga tetap ramping sama seperti waktu gadis dulu.Hanya saja sinar matanya tampak begitu sendu. Redup tanpa kebahagiaan. Seakan hidupnya penuh dengan kehampaan. Seperti diriku yang juga amat merana saat pertama kalinya meninggalkan dia.Keadaan Shakira juga tampak memprihatinkan. Lekuk tubuhnya yang indah harus terbungkus dengan pakaian lusuh. Sementara bibirnya yang kering, seakan menjadi penanda kalau dia sering menahan makan.Hati ini kian tergerus perih saat Sandrina berujar jika Shakira adalah seorang single mom. Benarkah Shakira sudah pernah membina biduk rumah tangga lagi? Jika benar, kenapa juga bercerai kembali?Apakah suami keduamu juga tidak mampu memberikan keb