Aku menangis semalaman. Sama sekali tidak bisa merehatkan badan. Dan Jamie pun tidak pulang ke rumah. Lelaki itu sepertinya marah besar. Sudahlah ... biar saja. Toh aku memang muak dengan tingkahnya.Jamie memang amat muda saat mendapat gelar sebagai seorang ayah. Tapi, itu bukan alasan dirinya bisa bebas semau sendiri. Harusnya Jamie bisa berpikir, jika tanggung jawabnya sudah lebih besar lagi saat anaknya hadir. Semestinya dia paham jika anak dan istri adalah prioritas utamanya sekarang.Sampai siang hari Jamie belum juga menampakkan batang hidungnya. Dengan mengabaikan perasaan hampa, aku bergerak ke kamar mandi. Membersihkan badan. Menyirami kepala dengan air dingin. Berharap otak yang dipenuhi pikiran buruk bisa sedikit merasa sejuk.Usai mandi tanpa berpikir banyak kukemasi baju-baju di lemari. Air mataku meleleh kembali saat melihat baju-baju Gibran."Gibran ...." Aku memanggil lirih. Cukup lama aku mendekap dan menciumi baju mungil kepunyaan Gibran. Berkhayal tengah memeluk b
Beberapa hari kemudian datang seseorang berpakaian rapi dengan jas hitam. Lelaki itu mengaku jika dirinya adalah seorang pengacara yang ditunjuk Mama Jamie untuk mendampingi aku.Proses perceraian berlangsung cepat. Tahap pertama mediasi. Baik aku dan Jamie tidak hadir dalam sidang tersebut. Kami sama-sama mewakilkan pada pengacara. Apalagi aku juga mulai sering mengeluh tidak enak badan. Begitu juga pada sidang kedua. Kami tidak ada yang menghadiri.Sebenarnya rasa pusing sudah sering kurasa dari seratus hari kematian Gibran. Namun, waktu itu tidak kuabaikan. Karena pikiran ini hanya berkutat pada rasa sakit kehilangan Gibran.Pagi ini usai melawan mual-mual aku bergegas mandi. Hari ini keputusan sidang digelar. Aku harus datang untuk menyaksikan putusan hakim."Kira, apa kamu sudah yakin dengan keputusanmu?" tanya Ibu sedih ketika aku pamit hendak pergi ke pengadilan agama. "Dengar, Nak! Kenapa ibu merasa jika kamu tengah hamil lagi. Kamu tidak berselera makan sepanjang hari. Kamu s
"Kira, kenapa sih kamu gak pernah mau tahu jenis kelamin bayi kita?" Protesan dari Jamie setahun yang lalu terngiang kembali di telinga.Waktu kami baru saja memeriksa kandungan. Usia pernikahan kami baru menginjak bulan ke empat. Dan kandunganku memasuki bulan ke enam."Gak kenapa-napa," balasku santai. Kami tengah berbagi ranjang di kamarku yang sempit. Dada kecil Jamie kujadikan bantal. Sementara tangan Jamie terus saja membelai rambutku dengan lembut. "Buat kejutan aja nanti jika lahiran. Kalo dari sekarang udah tahu jenis kelaminnya, gak asyik," tuturku tengadah untuk menatap paras Jamie.Lelaki itu tersenyum manis, lantas mengecup rambutku. "Emang kamu pengen anak kita cewek atau cowok?" Jamie bertanya lembut. Hidungnya menciumi pipiku dengan penuh kasih sayang."Aku pengen punya anak cowok nih." Aku menjawab dengan tangan yang terus mengusap-usap perut. Perut yang dulu terlihat sangat rata kini sudah tampak mulai membuncit. "Biar Ibu sama Ayah seneng. Soalnya kedua anaknya kan
(POV Jamie)Shakira. Wanita itu ... cinta pertamaku. Setelah sekian lama kami terpisah oleh jarak dan waktu, hari ini aku dipertemukan kembali dengan perempuan yang hingga kini masih saja menyapa dalam mimpi.Wajah manis Shakira yang sedap dipandang tidak pernah berubah. Masih setia sederhana tanpa polesan. Tubuhnya juga tetap ramping sama seperti waktu gadis dulu.Hanya saja sinar matanya tampak begitu sendu. Redup tanpa kebahagiaan. Seakan hidupnya penuh dengan kehampaan. Seperti diriku yang juga amat merana saat pertama kalinya meninggalkan dia.Keadaan Shakira juga tampak memprihatinkan. Lekuk tubuhnya yang indah harus terbungkus dengan pakaian lusuh. Sementara bibirnya yang kering, seakan menjadi penanda kalau dia sering menahan makan.Hati ini kian tergerus perih saat Sandrina berujar jika Shakira adalah seorang single mom. Benarkah Shakira sudah pernah membina biduk rumah tangga lagi? Jika benar, kenapa juga bercerai kembali?Apakah suami keduamu juga tidak mampu memberikan keb
(POV Jamie)"Pagi, Jamie." Mama menyapa hangat. Aku yang sudah rapi dengan kemeja putih berdasi garis-garis hitam mendekat. Kedua orang tuaku tengah makan pagi bersama. "Lihat, Pa! Putra kita dari hari ke hari makin tampan saja," puji Mama sambil mengigit sandwich-nya.Aku hanya mengulum senyum mendengar pujian dari Mama. Lalu mulai ikut menikmati sarapan pagi yang berupa roti tawar berlapis daging asap dan sayuran."Bagaimana dengan cabang distro yang baru kamu buka, Jam?" tanya Papa datar. Pria itu bertanya, tetapi pandangan tidak tertuju padaku. Matanya fokus pada roti yang tengah ia iris itu."Lancar, Pa." Aku menjawab usai menenggak jus jeruk dalam gelas panjang."Bagus. Lalu bagaimana hubunganmu dengan Nina?" Kali ini Papa serius menatapku yang duduk tepat di hadapannya.Paling malas jika Papa sudah mulai mengungkit hubunganku dengan Sandrina. Sambil mengelap bibir dengan tisu, otak ini sibuk mencari jawaban yang tepat untuk pertanyaan yang dilontarkan Papa."Eum ... aku belum b
(POV Jamie)Semenjak pertemuan kembali dengan Shakira, otak dan hatiku selalu menyebut namanya. Tiba-tiba aku didera rindu pada Ibu, Salwa, dan Ayahnya Shakira. Mereka adalah keluarga yang amat baik padaku.Ibu yang selalu lembut. Memperlakukan aku seperti anak laki-lakinya sendiri. Sedangkan Ayah, pria itu memang lemah. Namun, nasihatnya amat bijak. Menyentuh dan selalu berkharisma.Sementara Salwa, remaja itu ... mungkin dia sudah menjelma menjadi wanita dewasa kini. Entah seperti apa mukanya sekarang, tapi aku yakin pasti Salwa tumbuh menjadi gadis yang cantik.Dia sedikit lebih supel dari pada Shakira. Bisa mudah memulai obrolan terlebih dahulu. Dan dulu Salwa begitu menghormati aku sebagai kakak iparnya.Bagaimana kehidupan mereka sekarang? Apakah sakit lumpuh Ayah sudah bisa disembuhkan?Awal-awal menetap di negeri singa, aku begitu sulit melupakan kehangatan keluarga itu. Butuh waktu bertahun-tahun untuk melupakannya. Dan hanya karena bertemu dengan Shakira yang mungkin hanya s
Rasanya tidak sabar untuk menemui Aldi. Seperti biasa lelaki itu menolak ajakan untuk bertemu denganku. Namun, aku tidak kehilangan akal. Akan kudatangi Aldi ke rumahnya. Kebetulan rumahnya belum pindah. Jika Aldi benar-benar sibuk, akan kutanyakan pada keluarganya kapan lelaki itu ada di rumah. Karena jika menanyakan langsung ke Aldi pasti tidak akan dijawab.Pucuk dicinta ulam pun tiba. Tampak mobil Aldi tengah terparkir di halaman rumah. Kediaman Aldi sudah sedikit berubah. Lebih rapi dan kini telah berlantai dua. "Ja-Jamie?" Seketika Aldi mematung ketika membukakan pintu untukku."Hai! Aku boleh masuk?" Aku menyapa dengan santai.Bibir Aldi meringis kaku. "Silahkan!" Dia mundur memberi jalan untukku masuk. Ruang tamu ruang Aldi tampak begitu berbeda dari terakhir aku bertandang. Kursi tua telah berganti dengan sofa minimalis berwarna putih. Serupa lantai keramik yang tengah kupijak ini."Aku buatkan minuman dulu." Aldi pamit ke belakang. Sambil menunggu Aldi membuat minuman, m
(Pov Shakira)"Om Aldi!"Kimie berseru gembira melihat kedatangan lelaki yang sudah ia anggap seperti Paman kesayangannya. Ketika tangan Aldi menyerahkan sebuah boneka panda besar, Kimie melonjak girang."Terima kasih banyak, Om. Kimie sayaaang banget sama, Om," ucap anakku sambil memeluk pria yang sudah delapan tahun ini menemani kami."Om, juga sayang Kimie," balas Aldi sambil mengecup kilat pipi mulus Kimie."Kok cuma Kimie doang yang dibawakan oleh-oleh. Buat aku mana, Kak?" tanya Salwa dengan sedikit manja."Nih!" Aldi menyerahkan bungkusan yang kuketahui itu adalah martabak manis."Wahhh ... makasih banyak ya, Kak." Salwa menerima bungkusan itu dengan cengiran senang. Kemudian gadis itu menggandeng tangan Kimie masuk untuk menikmati panganan manis tersebut."Kamu lagi ngapain, Ki?" tanya Aldi begitu Kimie dan Salwa berlalu."Biasa lagi nyari kerjaan," sahutku tanpa mengalihkan perhatian dari koran. Aku tengah melingkari lowongan pekerjaan pada surat kabar tersebut."Bisa kita bi