BRUGHHSeorang berbadan besar dengan kepala plontos menabrak. Tubuhku yang lumayan kurus ini sampai harus terjungkal karenanya. Begitu juga dengan lelaki tersebut.Map yang tengah kupeluk jatuh berserakan. Berkas-berkas yang telah dipersiapkan untuk melamar pekerjaan berhamburan. Si lelaki pun mengalami hal yang serupa. Kulihat tas yang ia pegang terlempar akibat benturan. Anehnya kenapa tas itu seperti kepunyaan seorang wanita."Jambrettt!"Tiba-tiba terdengar suara wanita berteriak. Pria plontos yang masih terengah-engah napasnya itu gegas bangkit. Lalu langsung menyambar tas kulit yang terlihat begitu mewah itu. Dan lari terbirit-birit."Jambrettt!"Wanita cantik dengan kaca mata hitam di atas kepalanya kembali berseru. Sekarang aku paham, pria plontos itu adalah berandal. Aku harus menolong perempuan itu. Lantas mata ini bergerak mencari alat untuk menghentikan laju. Kebetulan ada sebuah batu yang cukup besar. Lumayan jika digunaka
Sosok itu tidak pernah berubah. Parasnya masih rupawan. Hanya saja jika dulu tubuhnya kurus khas remaja. Sekarang menjelma lebih tegap dan kekar. Bahkan dada tempat favoritku bersandar itu kini terlihat begitu bidang."Mas Jamie, kenalkan temanku. Namanya Mbak Shakira."Sandrina begitu antusias mengenalkan aku pada lelaki itu. Wajahnya tampak berbinar. Dia bahkan menyebutku temannya. Padahal kami baru bertemu beberapa jam yang lalu.Seperti halnya aku, lelaki yang pernah mengisi hari-hariku itu terpana begitu menyadari siapa aku. Lebih sekitar lima menit dia bergeming dengan mata yang terus menatap.Aku sendiri menunduk. Merasa amat rendah diri. Kami terlihat amat berbeda. Seperti bumi dan langit. Oh bukan! Laksana langit dan sumur. Jauh sekali.Lihatlah! Jamie terlihat amat menawan. Pakaian yang ia kenakan sangat bagus dan yang pastinya mahal. Walaupun pria kulitnya
Flash backSabtu sore Jamie bertandang ke rumah. Pemuda itu membawa dua buah tiket bioskop. Film yang sedang booming saat itu. Entah apa judulnya aku sudah lupa. Yang pasti teman-teman bercerita jika film horor tersebut sangatlah seru.Sebenarnya aku paling enggan diajak pergi oleh Jamie. Karena ada pekerjaan yang menumpuk di rumah. Waktu itu Ibu sedang mendapat banyak orderan membuat seragaman gamis dari suatu majelis taklim. Sebagai anak sulung dari keluarga yang sederhana, aku dituntut untuk aktif membantu."Sudah sana pergi! Kasihan Jamie jauh-jauh datang ke sini, kalo kamu tolak ajakannya." Ibu menyuruh lembut ketika mendapati aku termenung bingung di depan kaca rias kamar."Tapi, Ibu lagi sibuk banget. Bukannya semua jahitan harus selesai dua jari lagi," balasku masih ragu."Gak papa." Aku meyakinkan, "kan ada Ayah sama Salwa yang bantuin Ibu. Lagian kamu sudah
Aku menangis. Bukan hanya karena sekujur tubuh terasa sakit. Serta area intim yang seperti terbelah ini. Namun, aku terisak karena menyesal. Merasa amat bodoh yang karena telah berbuat sesuatu yang dilarang oleh agama."Cup ... cup ... cup ...." Jamie meraih kepalaku. Dia memeluk untuk menenangkan. "Sudah jangan menangis! Gak akan terjadi apa-apa. Percaya deh," bujuknya sambil terus membelai rambut panjangku."Aku takut hamil, Jam," isakku sedih."Kalo cuma sekali gak bakalan.""Tapi, kalo iya bagaimana?" tukasku marah sekaligus khawatir."Aku pasti tanggung jawab," janji Jamie mantap.Pemuda itu menyeka air mataku. Bibirnya terus memberikan kalimat yang menenangkan. Serta janji-janji manis.Ketika terasa sinar matahari menerobos celah ventilasi bilik, Jamie mengajak balik. Pemuda itu mengulurkan tangan. Dengan menahan sakit,
Ujian sudah di depan mata. Jamie semakin intens mendekat. Dia butuh aku untuk mengajari. Dan aku butuh dia untuk berbagi resah.Mungkin karena imanku yang lemah atau justru sudah menikmati, dosa-dosa itu terjadi berulang. Bagaikan asupan gizi usai belajar bersama, Jamie akan mengajakku tidur.Rumahnya yang memang selalu sepi menjadi tempat teraman kami memadu kasih. Walau pun setelah itu aku akan menangis dan menyesali. Seperti biasa dengan janji-janji manis Jamie selalu bisa menenangkan.Lalu hari menegangkan itu tiba. Kami para siswa akhir bertempur menghadapi ujian. Seminggu lebih otak kami benar-benar diperas. Beruntung sedari kecil Allah menganugerahi aku otak yang lumayan encer. Sehingga ujian ini dapat kulalui sebaik mungkin.Ujian yang sudah berakhir membuat aku dan Jamie jarang bertemu kembali. Kegiatan belajar mengajar untuk kelas dua belas sudah tidak ada lagi. Kami hanya sese
Rasanya duniaku hancur mengetahui fakta mencengangkan ini. Berulang kali kugosok mata, berharap jika penglihatan ini salah. Nyatanya alat itu menunjukkan tanda dua garis merah.Dengan sisa-sisa kekuatan yang ada, aku ke luar dari kamar mandi. Lalu bergegas menuju kamar untuk menumpahkan segala ketakutan ini pada bantal. Menangis sejadi-jadinya dengan mulut kubungkam agar suara isakannya tidak sampai terdengar di luar. Seharian aku terus mengurung diri di kamar. Merutuk, menyesal, dan mengumpati kebodohan sendiri. Jangankan berselera makan, untuk membersihkan badan yang mulai lengket pun rasanya enggan."Kira ... sudah magrib, Nak. Jangan tidur terus!" Di luar Ibu mengetuk-ngetuk pintu kamar. Dia pikir aku tidak ke luar kamar karena istirahat. "Ayo bangun, Ki! Mandi dan ibadah Maghrib," perintah Ibu sambil terus mengetuk pintu.Mau tidak mau aku harus bangun dari ranjang. Sebelum ke luar kulirik cermin di lemari. Mata ini sembap. Berulang kali kugosok, tetap saja bekas tangis ini teta
Walau pun tidak mendapatkan restu dari kedua orang tua Jamie, kami tetap melangsungkan pernikahan. Tidak ada yang istimewa. Karena serba mendadak semua dikerjakan sendiri oleh Ibu. Baju pengantin Ibu yang menjahit. Begitu juga dengan jas yang dipakai Jamie.Sebenarnya aku kasihan pada Ibu, wanita itu harus mengeluarkan banyak uang untuk biaya pernikahan kami. Keluarga Jamie sama sekali tidak peduli. Jangankan untuk hadir, ATM yang Jamie punya justru sudah diblokir. Pemuda itu frustasi karena sama sekali tidak memegang uang. Namun, kami sekeluarga menguatkan bahwa semua akan baik-baik saja.Kami melangsungkan pernikahan di kantor urusan di daerahku.Saat mengucap janji suci, suara Jamie terdengar sangat lirih. Membuat bapak penghulu dan saksi kurang jelas mendengarnya. Tentu saja Bapak penghulu menyuruh Jamie mengulangi ucapannya.Di ikrar kedua, suara Jamie sudah lumayan lantang. Namun, terdengar tergetar. Di tengah sumpah pemuda itu tiba-tiba diam. Kemudian bibirnya terlihat mencebik
Aku melangkah gontai keluar dari ruangan dokter yang memeriksa Jamie. Pandangan ini tunduk menekuri lantai rumah sakit. Bingung."Saudara Jamie harus diopname karena kondisinya sudah semakin memburuk."Ucapan dokter perempuan seumuran Ibu terngiang kembali. Kaki yang lemas ini membuat memilih duduk di bangku yang ada di selasar rumah sakit ini. Kubuka kembali hasil tes laboratorium milik Jamie.Trombosit darahnya sangat rendah hanya sembilan puluh ribu per mikroliter darah. Padahal kadar normalnya sekitar seratus empat puluh sampai seratus lima puluh ribu per mikroliter darah. Pantas saja jika Jamie terlihat amat pucat dan lemas.Tas selempang warna hitam yang sudah pudar warnanya ini aku buka resletingnya untuk mengeluarkan sebuah dompet. Kuintip uang di dalamnya. Sebelum pergi membawa Jamie ke rumah sakit ini, aku terlebih dulu meminjam uang milik Salwa.Kasihan gadis itu. Berkali-kali dia meminjamkan uangnya padaku. Dan hingga detik ini masih sebagian yang belum kulunasi.Dengan ke