Aku melangkah gontai keluar dari ruangan dokter yang memeriksa Jamie. Pandangan ini tunduk menekuri lantai rumah sakit. Bingung.
"Saudara Jamie harus diopname karena kondisinya sudah semakin memburuk."
Ucapan dokter perempuan seumuran Ibu terngiang kembali. Kaki yang lemas ini membuat memilih duduk di bangku yang ada di selasar rumah sakit ini. Kubuka kembali hasil tes laboratorium milik Jamie.
Trombosit darahnya sangat rendah hanya sembilan puluh ribu per mikroliter darah. Padahal kadar normalnya sekitar seratus empat puluh sampai seratus lima puluh ribu per mikroliter darah. Pantas saja jika Jamie terlihat amat pucat dan lemas.
Tas selempang warna hitam yang sudah pudar warnanya ini aku buka resletingnya untuk mengeluarkan sebuah dompet. Kuintip uang di dalamnya. Sebelum pergi membawa Jamie ke rumah sakit ini, aku terlebih dulu meminjam uang milik Salwa.
Kasihan gadis itu. Berkali-kali dia meminjamkan uangnya padaku. Dan hingga detik ini masih sebagian yang belum kulunasi.
Dengan keyakinan di hati aku bangkit dari duduk. Kaki ini kuayun ke bagian administrasi. Uang yang tidak seberapa ini membuatku terpaksa memilih kamar kelas tiga untuk ruang inap Jamie.
Jamie yang masih ada di ruang IGD kini disuruh pindah ke ruangan yang kupilih. Sebuah ruangan yang terdiri dari empat ranjang pasien. Jamie menempati brankar paling ujung.
"Kenapa aku diopname? Emangnya kamu punya uang?" tanya Jamie dengan bibirnya pucat. Suaranya terdengar begitu lirih.
"Soal uang kamu gak perlu mikirin. Yang penting kamu sembuh dulu," pintaku sambil menggenggam erat jemari kekasih hati ini.
Jamie mencoba tersenyum. Tangan lemahnya melambai. Mengisyaratkan agar aku mendekat. Lelaki muda itu mengecup pelan pucuk rambutku.
"Kira ... maafkan aku ... yang selalu ... selalu menyusahkanmu," ucap Jamie lirih dan sendu. Matanya yang sayu menatapku sedih.
"Kamu gak salah. Ngapain minta maaf." Aku menegur pelan. Tak urung melihat Jamie bersedih pertahananku ambyar juga. Aku menangis dalam diam. "Udah sekarang kamu istirahat biar cepat pulih. Aku mau beli jus jambu merah biar kamu lekas baikan ya," pamitku sambil menyusut air mata ini dengan telapak tangan.
Jamie mengangguk lemah. Tangannya merogoh saku. "Jual saja ini untuk biaya rumah sakit!" Jamie menyerahkan ponsel mahal padaku.
"Enggak, Jam." Aku menggeleng untuk menolak. "Kamu butuh hape ini untuk cari kerjaan dan uang." Kuangsurkan kembali benda layar sentuh itu.
"Aku bisa pake hapemu nanti," kata Jamie kembali menyodorkan gadget warna hitam itu padaku.
"Baiklah kalo kamu memaksa."
Ketika Jamie tersenyum tipis, kubalas senyumannya dengan memasang wajah riang. Usai mencium pipinya pelan, kutinggalkan Jamie untuk menjual barang pemberiannya.
Langkahku riang meninggalkan ruangan Jamie. Beban di pundak sedikit berkurang. Tidak kusangka pria itu berlapang dada mengikhlaskan benda kesayangannya satu-satunya untuk dijual.
Ponsel Jamie adalah gadget mahal keluaran dua bulan lalu. Harga barunya setara motor bebek. Jika ini dijual second hasilnya juga masih lumayan. Apalagi barangnya masih bagus. Selain nanti bisa untuk bayar perawatan masih ada sisa buat yang lain.
BRUGH!
Tiba-tiba ada seseorang menabrak. Saking kerasnya aku sampai tersungkur. Bahkan ponsel Jamie yang berada dalam genggaman ikut terlepas.
Mataku langsung terpana begitu melihat siapa orang yang menubruk tubuh ini. Mamanya Jamie. Wanita berpakaian bagus itu juga terperanjat melihatku.
"Ayo, Ma, cepat! Gigi papa sakit sekali ini." Papa Jamie menarik lengan istrinya yang masih terbengong memandangiku.
"Iya, Pa, tapi itu istrinya Jamie," balas sang istri sambil menunjukku.
Pria parlente dengan kaca mata berbingkai warna hitam itu menatapku lekat. Tangannya masih memegang pipi. Menit berikutnya Papa Jamie kembali mendesis.
"Sudahlah! Peduli kita apa?" ujarnya dingin. "Ayo, papa sudah tidak tahan lagi ini! Gigi papa senut-senut banget." Lelaki itu kembali menggeret lengan istrinya. Kulihat mama Jamie terseok mengikuti langkah suaminya. Sesekali wanita bersepatu tinggi itu berpaling menatapku.
Aku yang masih terpana pada pertemuan ini perlahan bangkit berdiri. Mata ini kini beralih pada ponsel Jamie yang terlempar satu meter dariku. Namun, belum juga tanganku menggapai benda mahal itu, serombongan petugas medis lewat sambil mendorong brankar berisi pasien yang terlihat terluka parah. Langkah mereka begitu tergesa. Seketika hatiku ikut hancur melihat roda brankar itu melindas gawai kepunyaan Jamie.
"Astaghfirullah!" Aku menangis sedih melihat layar ponsel Jamie retak. "Ya Allah ... hapenya jadi mati. Bagaimana ini?" Hatinya beberapa menit lagi sempat berbunga kini layu kembali.
Dengan perasaan sedih, aku kembali ke kamar Jamie. Lelaki itu tengah menerawang dengan tatapan kosong.
"Jam," sapaku pelan.
Mata sayu Jamie yang tengadah kini berpaling menatapku. "Kok cepat sekali?" tanya dia sedikit heran.
Aku tidak sanggup menjawab. Hanya bisa menunjukkan ponselnya yang sudah mati dan retak-retak.
"Tadi ... tadi aku ditabrak ibu-ibu," tuturku tanpa memberi tahu jika telah ditubruk oleh mamanya, "sampai hapemu jatuh. Terus belum juga kuambil, tiba-tiba hapemu kelindes roda brankar yang didorong oleh petugas," terangku dengan air mata yang berlinang. "Maafkan aku, Jam," ucapku dengan rasa amat bersalah.
Jamie terdiam. Ketika dia mendengar aku terus menangis dirinya menggeleng. "Gak papa. Itu masih bisa dijual walau jatuhnya barang rongsok." Dengan nada lemah Jamie menenangkan.
"Maafkan aku, Jam." Aku memeluknya sedih.
*
Benar seperti yang dikatakan Jamie, ponselnya masih tetap laku. Namun, dengan harga yang sangat murah. Dan lagi-lagi biaya perawatan Jamie, Ibu juga yang harus turun tangan. Wanita itu terpaksa menjual cincin emas mas kawin dari ayah dulu. Demi membayar biaya Jamie juga bayar sewa kontrakan.
Dua bulan full Jamie beristirahat total di rumah untuk memulihkan kondisi. Tugas dia untuk ambil cucian motor dan mengantarnya kembali pada pelanggan terpaksa aku yang mengerjakan.
Kehidupan rumah tangga kami benar-benar terasa berat. Sebenarnya aku sudah biasa menjalani ini. Namun, tidak bagi Jamie. Lelaki itu sering menahan lapar karena lauk yang Ibu sediakan tidak cocok di mulut dan perutnya. Jamie terbiasa memakan makanan enak. Sedangkan Ibu hanya bisa menyajikan sayuran. Membeli daging ayam bisa dihitung dengan jari.
Di usia enam bulan pernikahan, Jamie bertemu dengan teman lamanya. Namanya Aldi. Aku juga mengenal Aldi jaman sekolah dulu. Dia dan Jamie sama-sama idola pada waktu itu, karena keduanya mempunyai paras yang menawan.
Kata Jamie sekarang Aldi selain sibuk kuliah juga aktif di dunia model. Mengetahui kehidupan sang kawan susah, Aldi mengajak Jamie untuk ikut bergabung.
Tentu saja tawaran Aldi tidak ditolak oleh Jamie. Karena dia memang sangat membutuhkan pekerjaan. Apalagi kami juga butuh uang banyak untuk biaya persalinan nanti.
Akhirnya, melalui bantuan Aldi, Jamie menjalani profesi sebagai foto model. Dibandingkan menjadi pengantar cucian tentu saja Jamie lebih senang dengan profesi barunya. Honor pertama yang didapat ia berikan semua untukku.
"Doakan ayah banyak dapat job ya, Nak. Biar nanti kamu lahir kami bisa bayar rumah sakitnya," ujarnya suatu malam saat kami mulai bersiap tidur. Kami masih menempati ranjang sempit ini berdua. "Demi kamu ayah akan kerja keras, Sayang," janji Jamie sambil mengecup lembut perutku yang sudah membesar ini.
Namun, entah kenapa aku lebih suka Jamie yang dulu saat masih menjadi pengantar cucian. Sekarang waktu dia nyaris tidak ada untukku. Hari-harinya hanya diisi mencari casting. Pergi pagi, pulang malam. Kadang lolos kadang tidak.
Seperti malam ini, ketika tiba-tiba perutku mendadak mulas-mulas, Jamie belum juga pulang dari rumah. Ketika kutunjukan bercak darah berwarna merah muda di celana, Ibu mengatakan jika aku akan segera melahirkan.
Tentu saja aku butuh Jamie. Tapi, pria itu susah sekali dihubungi. Alhamdulillah ia bisa membeli ponsel kembali dengan honornya.
Sampai puluhan kali kutelepon, tidak diangkat juga. Padahal tersambung. Kenapa? Tidak patah semangat aku coba hubungi lagi. Alhamdulillah tersambung.
"Iya, Kiraaa ... ada apa?!" Seketika aku menjauhkan ponsel di telinga mendengar nada ketus dari suara Jamie di seberang sana. "Kok malah diam?" Jamie masih bercerocos keras. "Aku lagi sibuk tahu gak sih?!" Kembali aku dibuat ternganga mendengar nada kasarnya.
Next.
Aku terdiam mendengar ucapan keras serta ketus dari Jamie. Rasanya sakit yang menyerang perut tidak sebanding dengan sakit dibentak oleh dia. Lelaki yang baru enam bulan ini sah menjadi imamku. Sedih karena semarah apapun Ibu atau Ayah, keduanya tidak pernah meninggikan suara padaku atau pun pada Salwa."Ki, kamu masih di situ?" Di seberang sana suara Jamie mulai merendah."Agrhhh!" Aku tidak membalas pertanyaan dari Jamie. Bibir ini justru mengerang. Menahan rasa sakit yang melesak di perut ini."Ki, kamu kenapa?" Suara Jamie terdengar sedikit panik."Ahhh ... kata Ibu, aku mau melahirkan, Jam," balasku sambil menggigit bibir bawah. Berusaha mengalihkan rasa sakit yang menghebat ini."Apa? Yang bener?!" Jamie berseru tidak percaya. "Bukannya masih satu bulan lagi?" cecar Jamie. Memang usia kandunganku baru menginjak tiga puluh dua minggu. Sementara bayi normal biasanya lahir di usia tiga puluh enam sampai tiga puluh delapan minggu."Ini sudah sakit banget, Jam. Awww!""Aduuuh ... ma
Usia Gibran belum genap lima bulan waktu itu. Bayi itu masih ASI eksklusif. Berbekal bacaan di buku KIA yang menyatakan jika obat mujarab untuk bayi adalah ASI, maka kususui Gibran.Sayangnya bayi prematur yang sudah mulai menggembul itu tidak mau menyusu. Suhu badannya masih tetap panas walau telah dikompres."Jam, sebaiknya bawa Gibran ke dokter deh. Kasihan dia gak mau nyusu," mohonku dengan penuh harap.Jamie melihat waktu. "Oke. Masih ada waktu dua jam lagi. Semoga nanti setelah dikasih obat sama dokter jadi baikan," sambutnya setuju.Persetujuan Jamie laksana hujan di alas yang kering. Menyejukkan. Tanpa buang waktu lekas kugendong Gibran.Kami pergi ke klinik dengan mengendarai motor. Sebulan setengah kemarin Jamie baru mengambil kendaraan roda dua itu dari dealer. Dia merasa mampu untuk mencicil.Karena memang sangat butuh, aku pun mendukung. Namun, konsekuensi yang kudapat adalah makin jarangnya Jamie di rumah. Hari-harinya dipenuhi untuk mencari uang. Jika ada waktu luang, k
Aku membuka mata saat mendengar isak tangis yang menggema. Kusapu keliling ruangan. Ruangan yang tidak asing. Setelah seksama mencerna, ternyata aku sudah berada di kamar sendiri. Sinar matahari yang menerobos ventilasi menjadi penanda jika hari telah beranjak pagi.Tidak jauh dari ranjang ada Ibu dan Salwa yang saling terdiam menatapku. Keduanya bermata basah. Mereka sama-sama mengenakan pakaian bernuansa hitam.Sementara di ruang tamu sana terdengar suara yang riuh rendah. Seperti pengajian.Ya ... mereka sedang membaca surat Yasin. Ada apa?Tiba-tiba aku teringat putra semata wayang. "Bu ... Gi-Gibran mana?" tanyaku lemah. Walau masih pusing kucoba untuk bangkit dari rebahan. Ibu dan Salwa kembali hanya saling berpandangan saja."Dada aku sakit," kataku menahan nyeri yang menggerus dada. Perlahan kuremas dada yang terasa bengkak ini, "mana Gibran, Bu? Mau aku susuin? Terus di luar itu ada apa? Kenapa sepertinya ramai orang?" Bingung membuatku bercerocos panjang.Ibu membesit hidung
Aku menangis semalaman. Sama sekali tidak bisa merehatkan badan. Dan Jamie pun tidak pulang ke rumah. Lelaki itu sepertinya marah besar. Sudahlah ... biar saja. Toh aku memang muak dengan tingkahnya.Jamie memang amat muda saat mendapat gelar sebagai seorang ayah. Tapi, itu bukan alasan dirinya bisa bebas semau sendiri. Harusnya Jamie bisa berpikir, jika tanggung jawabnya sudah lebih besar lagi saat anaknya hadir. Semestinya dia paham jika anak dan istri adalah prioritas utamanya sekarang.Sampai siang hari Jamie belum juga menampakkan batang hidungnya. Dengan mengabaikan perasaan hampa, aku bergerak ke kamar mandi. Membersihkan badan. Menyirami kepala dengan air dingin. Berharap otak yang dipenuhi pikiran buruk bisa sedikit merasa sejuk.Usai mandi tanpa berpikir banyak kukemasi baju-baju di lemari. Air mataku meleleh kembali saat melihat baju-baju Gibran."Gibran ...." Aku memanggil lirih. Cukup lama aku mendekap dan menciumi baju mungil kepunyaan Gibran. Berkhayal tengah memeluk b
Beberapa hari kemudian datang seseorang berpakaian rapi dengan jas hitam. Lelaki itu mengaku jika dirinya adalah seorang pengacara yang ditunjuk Mama Jamie untuk mendampingi aku.Proses perceraian berlangsung cepat. Tahap pertama mediasi. Baik aku dan Jamie tidak hadir dalam sidang tersebut. Kami sama-sama mewakilkan pada pengacara. Apalagi aku juga mulai sering mengeluh tidak enak badan. Begitu juga pada sidang kedua. Kami tidak ada yang menghadiri.Sebenarnya rasa pusing sudah sering kurasa dari seratus hari kematian Gibran. Namun, waktu itu tidak kuabaikan. Karena pikiran ini hanya berkutat pada rasa sakit kehilangan Gibran.Pagi ini usai melawan mual-mual aku bergegas mandi. Hari ini keputusan sidang digelar. Aku harus datang untuk menyaksikan putusan hakim."Kira, apa kamu sudah yakin dengan keputusanmu?" tanya Ibu sedih ketika aku pamit hendak pergi ke pengadilan agama. "Dengar, Nak! Kenapa ibu merasa jika kamu tengah hamil lagi. Kamu tidak berselera makan sepanjang hari. Kamu s
"Kira, kenapa sih kamu gak pernah mau tahu jenis kelamin bayi kita?" Protesan dari Jamie setahun yang lalu terngiang kembali di telinga.Waktu kami baru saja memeriksa kandungan. Usia pernikahan kami baru menginjak bulan ke empat. Dan kandunganku memasuki bulan ke enam."Gak kenapa-napa," balasku santai. Kami tengah berbagi ranjang di kamarku yang sempit. Dada kecil Jamie kujadikan bantal. Sementara tangan Jamie terus saja membelai rambutku dengan lembut. "Buat kejutan aja nanti jika lahiran. Kalo dari sekarang udah tahu jenis kelaminnya, gak asyik," tuturku tengadah untuk menatap paras Jamie.Lelaki itu tersenyum manis, lantas mengecup rambutku. "Emang kamu pengen anak kita cewek atau cowok?" Jamie bertanya lembut. Hidungnya menciumi pipiku dengan penuh kasih sayang."Aku pengen punya anak cowok nih." Aku menjawab dengan tangan yang terus mengusap-usap perut. Perut yang dulu terlihat sangat rata kini sudah tampak mulai membuncit. "Biar Ibu sama Ayah seneng. Soalnya kedua anaknya kan
(POV Jamie)Shakira. Wanita itu ... cinta pertamaku. Setelah sekian lama kami terpisah oleh jarak dan waktu, hari ini aku dipertemukan kembali dengan perempuan yang hingga kini masih saja menyapa dalam mimpi.Wajah manis Shakira yang sedap dipandang tidak pernah berubah. Masih setia sederhana tanpa polesan. Tubuhnya juga tetap ramping sama seperti waktu gadis dulu.Hanya saja sinar matanya tampak begitu sendu. Redup tanpa kebahagiaan. Seakan hidupnya penuh dengan kehampaan. Seperti diriku yang juga amat merana saat pertama kalinya meninggalkan dia.Keadaan Shakira juga tampak memprihatinkan. Lekuk tubuhnya yang indah harus terbungkus dengan pakaian lusuh. Sementara bibirnya yang kering, seakan menjadi penanda kalau dia sering menahan makan.Hati ini kian tergerus perih saat Sandrina berujar jika Shakira adalah seorang single mom. Benarkah Shakira sudah pernah membina biduk rumah tangga lagi? Jika benar, kenapa juga bercerai kembali?Apakah suami keduamu juga tidak mampu memberikan keb
(POV Jamie)"Pagi, Jamie." Mama menyapa hangat. Aku yang sudah rapi dengan kemeja putih berdasi garis-garis hitam mendekat. Kedua orang tuaku tengah makan pagi bersama. "Lihat, Pa! Putra kita dari hari ke hari makin tampan saja," puji Mama sambil mengigit sandwich-nya.Aku hanya mengulum senyum mendengar pujian dari Mama. Lalu mulai ikut menikmati sarapan pagi yang berupa roti tawar berlapis daging asap dan sayuran."Bagaimana dengan cabang distro yang baru kamu buka, Jam?" tanya Papa datar. Pria itu bertanya, tetapi pandangan tidak tertuju padaku. Matanya fokus pada roti yang tengah ia iris itu."Lancar, Pa." Aku menjawab usai menenggak jus jeruk dalam gelas panjang."Bagus. Lalu bagaimana hubunganmu dengan Nina?" Kali ini Papa serius menatapku yang duduk tepat di hadapannya.Paling malas jika Papa sudah mulai mengungkit hubunganku dengan Sandrina. Sambil mengelap bibir dengan tisu, otak ini sibuk mencari jawaban yang tepat untuk pertanyaan yang dilontarkan Papa."Eum ... aku belum b