Ujian sudah di depan mata. Jamie semakin intens mendekat. Dia butuh aku untuk mengajari. Dan aku butuh dia untuk berbagi resah.
Mungkin karena imanku yang lemah atau justru sudah menikmati, dosa-dosa itu terjadi berulang. Bagaikan asupan gizi usai belajar bersama, Jamie akan mengajakku tidur.
Rumahnya yang memang selalu sepi menjadi tempat teraman kami memadu kasih. Walau pun setelah itu aku akan menangis dan menyesali. Seperti biasa dengan janji-janji manis Jamie selalu bisa menenangkan.
Lalu hari menegangkan itu tiba. Kami para siswa akhir bertempur menghadapi ujian. Seminggu lebih otak kami benar-benar diperas. Beruntung sedari kecil Allah menganugerahi aku otak yang lumayan encer. Sehingga ujian ini dapat kulalui sebaik mungkin.
Ujian yang sudah berakhir membuat aku dan Jamie jarang bertemu kembali. Kegiatan belajar mengajar untuk kelas dua belas sudah tidak ada lagi. Kami hanya sesekali masuk sekolah.
Aku lebih banyak menghabiskan waktu di rumah. Membantu pekerjaan Ibu, serta merawat Ayah yang dari ke hari kondisinya kian menurun.
Pagi ini usai sholat subuh, aku memutuskan untuk tidur kembali. Sudah beberapa malam aku bergadang. Menemani Ibu menyelesaikan orderan.
Ketika tengah terlelap tidur, Salwa mengguncang tubuh.
"Mbak, bangun! Tumben pagi-pagi tidur lagi," kata Salwa sambil menepuki lenganku.
"Apa sih, W*?" Aku menggeliat malas, "kepala aku pusing nih ... semalam tidur larut. Kamu tuh malas bantuin Ibu," tuturku dengan mata tertutup.
"Bagi pembalut dong, Mbak!" pinta Salwa yang sudah duduk di tepi ranjang, "bocor nih. Stok aku sudah habis," lanjut remaja kelas delapan itu.
Aku menggeliat panjang. Tangan ini merentang ke atas. Tiba-tiba aroma minyak wangi yang Salwa pakai menusuk hidungku.
"Aduuuh ... W*! Kamu pakai minyak wangi apa sih? Baunya gak enak banget deh," tegurku sambil menutup hidung rapat-rapat. Benar-benar parfum Salwa membuat kepala ini kian pening.
"Idiiih! Ini kan parfum yang Mbak Kira pilihkan," balas Salwa sambil menatapku bingung. "Kamu aneh deh, Mbak!" oloknya sambil memiringkan bibir karena melihatku terus menutup hidung. Mana pembalutnya?" Tangan Salwa tengadah.
"Ambil tuh di laci!" suruhku sambil menunjuk meja belajar yang menempel ke tembok. Sementara tangan kiri terus menutup hidung.
Salwa langsung bangkit berdiri. Gadis yang sudah segar mewangi sehabis mandi pagi itu, gegas menuju laci yang kumaksud. Gadis itu mengambil satu pack pembalut berwarna oranye milikku.
"Kok punya Mbak Kira masih utuh?" tanya Salwa dengan tatapan heran.
"Ya kan aku memang suka telat," jawabku santai dan masih menutup hidung. "Memang sekarang tanggal berapa?" Kini aku sudah duduk di tepi ranjang.
"Satu April," balas Salwa sambil melangkah ke luar.
Aku sendiri terkesiap mendengarnya. Otak ini berputar. Terakhir kali aku dapat menstruasi adalah awal bulan Februari.
Bibir ini kugigit keras. Jamie tidak pernah pakai pengaman setiap kali kami berhubungan. Dan kami pernah melakukan saat aku tengah masa subur.
Aku harus ketemu Jamie!
Kebetulan hari ini kami berangkat sekolah untuk penyuluhan. Jam di tembok menunjukkan pukul enam pagi. Tanpa berpikir lagi kusambar handuk dan bersiap membersihkan badan. Di dapur kujumpai Ibu yang sedang berkutat dengan kompor dan wajan.
"Hari ini masuk sekolah, Ki?" tanya Ibu menoleh sekilas. Lalu kembali mengaduk bumbu yang ia tumis.
"Iya." Aku menjawab pelan. "Huekkkk!"
Perutku mual mencium bau bumbu digoreng. Isi perut berupa cairan ke luar. Bahkan cairan warna kuning yang terasa begitu pahit di tenggorokan juga ikut ke luar.
"Kamu kenapa, Ki? Masuk angin?" tanya Ibu dari luar.
"Sepertinya iya, Bu," jawabku lemah. Tangan ini mengelap bibir yang penuh cairan.
"Beli obat, Ki, biar gak terlanjur sakit."
"Iya."
Dengan perasaan galau, kusiram tubuh ini dengan air dari dalam bak. Dingin. Hatiku terus saja dipenuhi tanya, apakah aku hamil?
Selain telat, aku juga jadi gampang mudah sakit. Tiba-tiba aku juga ingat, beberapa hari terakhir ini setiap hari aku selalu minta dibelikan kedondong jika Ibu pergi ke pasar.
Benarkah aku hamil?
Mandi kubuat singkat. Nasi goreng yang Ibu siapkan sama sekali tidak menggugah selera. Aku ingin segera bertemu dengan Jamie.
Di dalam angkot, kepalaku benar-benar pening. Aroma minyak angin dari seorang Ibu-ibu penumpang membuat perutku serasa diaduk-aduk. Begitu turun dari angkot, aku muntah kembali.
Lemah aku berjalan memasuki sekolah. Hari ini ada pengambilan cap tiga jari dan juga penyuluhan. Beberapa teman menegurku.
"Kok pucat gitu? Lagi sakit?" tanya teman sebangku.
"Iya nih masuk angin," balasku mencoba tersenyum.
Usai pengambilan cap tiga jari dan tanda tangan, aku ke luar kelas. Langkahku tertuju pada kelasnya Jamie. Nihil. Kata temannya, pemuda itu sedang asyik di lapangan basket.
Kakiku melangkah cepat ke lapangan basket. Benar adanya, Jamie tengah asyik bermain bola keranjang itu. Wajahnya tampak ceria. Apalagi seperti biasa cewek-cewek berteriak histeris saat dia mampu memasukkan bola itu ke keranjang.
Begitu melihat kedatanganku, Jamie menyudahi permainan. Ketika dia mengajak ke kantin sekolah, aku menolak. Tangannya kutarik ke taman sekolah yang lumayan sepi.
"Ada apa?" Jamie melepaskan pegangan ketika kami tiba di bangku. Pemuda itu langsung duduk santai di bangku. Matanya menatapku lama. "Kamu kelihatan pucat, tapi ...." Dia tidak melanjutkan ucapan. Hanya menarik lenganku hingga duduk berdampingan. "Tapi ... dadamu terlihat lebih besar," bisiknya.
"Apa sih?!" Aku mendepaknya kesal.
"Iya! Beneran ... sumpah deh!" Jamie menyakinkan omongannya dengan mengacungkan dua jari. "Besok-besok kalo ke sekolah pake jaket. Aku gak mau tubuh atasmu jadi incaran mata nakal teman-teman," sarannya terdengar begitu perhatian. Aku sendiri hanya diam mendengarkan. Bingung mau memulai cerita.
"Oh ya ... kamu ngapain nyari aku? Kangen ya?" goda Jamie setelah beberapa menit kami terdiam.
"Ee ... eum ... aku telat, Jam," ungkapku takut.
"Telat apa? Telat masuk sekolah?" Jamie menanggapi dengan cengiran.
"Aku telat datang bulan, Jam."
Jamie membeku. Namun, detik berikutnya dia menggeleng. "Kamu biasa telat kan, Ki. Dan itu wajar karena kamu masih remaja," ujarnya menenangkan.
"Kalo aku hamil beneran gimana, Jam?" selaku kian panik. Jamie sendiri juga menunduk. "Jam, jawab! Kalo aku hamil gimana? Kamu janji akan bertanggung jawab kan?"
"Tentu." Jamie menyahut pasti, "tapi kamu pastikan dulu kamu beneran hamil atau cuma telat biasa," sarannya sambil bangkit berdiri.
"Kamu mau ke mana?" tanyaku mencekal lengannya.
"Aku mau menemui guru olahraga. Ada yang harus dibicarakan-"
"Jam!"
"Aku gak akan ninggalin kamu. Percaya deh," janjinya sambil mengelus pipiku. "Sudah ya? Aku pergi dulu."
Tanpa menunggu persetujuan dariku, Jamie berlalu. Dia melangkah terus tanpa mau menoleh. Meninggalkan aku dalam kebimbangan.
Galau antara hamil dan tidak membuatku mengambil keputusan. Selepas pulang sekolah, sebuah apotek aku tuju. Sedikit ragu saat membeli barang itu.
"Tes pack?" Pelayan itu memincing mendengar aku menyebut benda itu. Matanya tajam seragamku.
"Eum ... iya. Itu titipan punya Tante saya," jawabku bohong.
"Oh ... sebentar!" Wajah curiga pelayan itu berubah ramah setelah mendengar jawaban bohongku.
Ada beberapa jenis tes pack yang ditawarkan. Karena memang tidak begitu paham, kupilih yang harganya sesuai uang di kantong. Ketika memasukkan benda tersebut ke tas, hatiku berdebar takut.
Kaki ini melangkah cepat menuju rumah yang sudah lumayan dekat. Begitu tiba di rumah, tanpa mengucap salam, aku gegas masuk kamar mandi. Kubaca secara seksama aturan penggunaan.
Setelah paham, kupraktekan aturan tersebut. Hatiku ketar-ketir menunggu hasil tes. Berulang kali mulut ini merapal doa. Berharap hasilnya adalah negatif. Namun, doaku tidak terkabul. Dua garis merah itu membuat tubuh luruh ke lantai.
Rasanya duniaku hancur mengetahui fakta mencengangkan ini. Berulang kali kugosok mata, berharap jika penglihatan ini salah. Nyatanya alat itu menunjukkan tanda dua garis merah.Dengan sisa-sisa kekuatan yang ada, aku ke luar dari kamar mandi. Lalu bergegas menuju kamar untuk menumpahkan segala ketakutan ini pada bantal. Menangis sejadi-jadinya dengan mulut kubungkam agar suara isakannya tidak sampai terdengar di luar. Seharian aku terus mengurung diri di kamar. Merutuk, menyesal, dan mengumpati kebodohan sendiri. Jangankan berselera makan, untuk membersihkan badan yang mulai lengket pun rasanya enggan."Kira ... sudah magrib, Nak. Jangan tidur terus!" Di luar Ibu mengetuk-ngetuk pintu kamar. Dia pikir aku tidak ke luar kamar karena istirahat. "Ayo bangun, Ki! Mandi dan ibadah Maghrib," perintah Ibu sambil terus mengetuk pintu.Mau tidak mau aku harus bangun dari ranjang. Sebelum ke luar kulirik cermin di lemari. Mata ini sembap. Berulang kali kugosok, tetap saja bekas tangis ini teta
Walau pun tidak mendapatkan restu dari kedua orang tua Jamie, kami tetap melangsungkan pernikahan. Tidak ada yang istimewa. Karena serba mendadak semua dikerjakan sendiri oleh Ibu. Baju pengantin Ibu yang menjahit. Begitu juga dengan jas yang dipakai Jamie.Sebenarnya aku kasihan pada Ibu, wanita itu harus mengeluarkan banyak uang untuk biaya pernikahan kami. Keluarga Jamie sama sekali tidak peduli. Jangankan untuk hadir, ATM yang Jamie punya justru sudah diblokir. Pemuda itu frustasi karena sama sekali tidak memegang uang. Namun, kami sekeluarga menguatkan bahwa semua akan baik-baik saja.Kami melangsungkan pernikahan di kantor urusan di daerahku.Saat mengucap janji suci, suara Jamie terdengar sangat lirih. Membuat bapak penghulu dan saksi kurang jelas mendengarnya. Tentu saja Bapak penghulu menyuruh Jamie mengulangi ucapannya.Di ikrar kedua, suara Jamie sudah lumayan lantang. Namun, terdengar tergetar. Di tengah sumpah pemuda itu tiba-tiba diam. Kemudian bibirnya terlihat mencebik
Aku melangkah gontai keluar dari ruangan dokter yang memeriksa Jamie. Pandangan ini tunduk menekuri lantai rumah sakit. Bingung."Saudara Jamie harus diopname karena kondisinya sudah semakin memburuk."Ucapan dokter perempuan seumuran Ibu terngiang kembali. Kaki yang lemas ini membuat memilih duduk di bangku yang ada di selasar rumah sakit ini. Kubuka kembali hasil tes laboratorium milik Jamie.Trombosit darahnya sangat rendah hanya sembilan puluh ribu per mikroliter darah. Padahal kadar normalnya sekitar seratus empat puluh sampai seratus lima puluh ribu per mikroliter darah. Pantas saja jika Jamie terlihat amat pucat dan lemas.Tas selempang warna hitam yang sudah pudar warnanya ini aku buka resletingnya untuk mengeluarkan sebuah dompet. Kuintip uang di dalamnya. Sebelum pergi membawa Jamie ke rumah sakit ini, aku terlebih dulu meminjam uang milik Salwa.Kasihan gadis itu. Berkali-kali dia meminjamkan uangnya padaku. Dan hingga detik ini masih sebagian yang belum kulunasi.Dengan ke
Aku terdiam mendengar ucapan keras serta ketus dari Jamie. Rasanya sakit yang menyerang perut tidak sebanding dengan sakit dibentak oleh dia. Lelaki yang baru enam bulan ini sah menjadi imamku. Sedih karena semarah apapun Ibu atau Ayah, keduanya tidak pernah meninggikan suara padaku atau pun pada Salwa."Ki, kamu masih di situ?" Di seberang sana suara Jamie mulai merendah."Agrhhh!" Aku tidak membalas pertanyaan dari Jamie. Bibir ini justru mengerang. Menahan rasa sakit yang melesak di perut ini."Ki, kamu kenapa?" Suara Jamie terdengar sedikit panik."Ahhh ... kata Ibu, aku mau melahirkan, Jam," balasku sambil menggigit bibir bawah. Berusaha mengalihkan rasa sakit yang menghebat ini."Apa? Yang bener?!" Jamie berseru tidak percaya. "Bukannya masih satu bulan lagi?" cecar Jamie. Memang usia kandunganku baru menginjak tiga puluh dua minggu. Sementara bayi normal biasanya lahir di usia tiga puluh enam sampai tiga puluh delapan minggu."Ini sudah sakit banget, Jam. Awww!""Aduuuh ... ma
Usia Gibran belum genap lima bulan waktu itu. Bayi itu masih ASI eksklusif. Berbekal bacaan di buku KIA yang menyatakan jika obat mujarab untuk bayi adalah ASI, maka kususui Gibran.Sayangnya bayi prematur yang sudah mulai menggembul itu tidak mau menyusu. Suhu badannya masih tetap panas walau telah dikompres."Jam, sebaiknya bawa Gibran ke dokter deh. Kasihan dia gak mau nyusu," mohonku dengan penuh harap.Jamie melihat waktu. "Oke. Masih ada waktu dua jam lagi. Semoga nanti setelah dikasih obat sama dokter jadi baikan," sambutnya setuju.Persetujuan Jamie laksana hujan di alas yang kering. Menyejukkan. Tanpa buang waktu lekas kugendong Gibran.Kami pergi ke klinik dengan mengendarai motor. Sebulan setengah kemarin Jamie baru mengambil kendaraan roda dua itu dari dealer. Dia merasa mampu untuk mencicil.Karena memang sangat butuh, aku pun mendukung. Namun, konsekuensi yang kudapat adalah makin jarangnya Jamie di rumah. Hari-harinya dipenuhi untuk mencari uang. Jika ada waktu luang, k
Aku membuka mata saat mendengar isak tangis yang menggema. Kusapu keliling ruangan. Ruangan yang tidak asing. Setelah seksama mencerna, ternyata aku sudah berada di kamar sendiri. Sinar matahari yang menerobos ventilasi menjadi penanda jika hari telah beranjak pagi.Tidak jauh dari ranjang ada Ibu dan Salwa yang saling terdiam menatapku. Keduanya bermata basah. Mereka sama-sama mengenakan pakaian bernuansa hitam.Sementara di ruang tamu sana terdengar suara yang riuh rendah. Seperti pengajian.Ya ... mereka sedang membaca surat Yasin. Ada apa?Tiba-tiba aku teringat putra semata wayang. "Bu ... Gi-Gibran mana?" tanyaku lemah. Walau masih pusing kucoba untuk bangkit dari rebahan. Ibu dan Salwa kembali hanya saling berpandangan saja."Dada aku sakit," kataku menahan nyeri yang menggerus dada. Perlahan kuremas dada yang terasa bengkak ini, "mana Gibran, Bu? Mau aku susuin? Terus di luar itu ada apa? Kenapa sepertinya ramai orang?" Bingung membuatku bercerocos panjang.Ibu membesit hidung
Aku menangis semalaman. Sama sekali tidak bisa merehatkan badan. Dan Jamie pun tidak pulang ke rumah. Lelaki itu sepertinya marah besar. Sudahlah ... biar saja. Toh aku memang muak dengan tingkahnya.Jamie memang amat muda saat mendapat gelar sebagai seorang ayah. Tapi, itu bukan alasan dirinya bisa bebas semau sendiri. Harusnya Jamie bisa berpikir, jika tanggung jawabnya sudah lebih besar lagi saat anaknya hadir. Semestinya dia paham jika anak dan istri adalah prioritas utamanya sekarang.Sampai siang hari Jamie belum juga menampakkan batang hidungnya. Dengan mengabaikan perasaan hampa, aku bergerak ke kamar mandi. Membersihkan badan. Menyirami kepala dengan air dingin. Berharap otak yang dipenuhi pikiran buruk bisa sedikit merasa sejuk.Usai mandi tanpa berpikir banyak kukemasi baju-baju di lemari. Air mataku meleleh kembali saat melihat baju-baju Gibran."Gibran ...." Aku memanggil lirih. Cukup lama aku mendekap dan menciumi baju mungil kepunyaan Gibran. Berkhayal tengah memeluk b
Beberapa hari kemudian datang seseorang berpakaian rapi dengan jas hitam. Lelaki itu mengaku jika dirinya adalah seorang pengacara yang ditunjuk Mama Jamie untuk mendampingi aku.Proses perceraian berlangsung cepat. Tahap pertama mediasi. Baik aku dan Jamie tidak hadir dalam sidang tersebut. Kami sama-sama mewakilkan pada pengacara. Apalagi aku juga mulai sering mengeluh tidak enak badan. Begitu juga pada sidang kedua. Kami tidak ada yang menghadiri.Sebenarnya rasa pusing sudah sering kurasa dari seratus hari kematian Gibran. Namun, waktu itu tidak kuabaikan. Karena pikiran ini hanya berkutat pada rasa sakit kehilangan Gibran.Pagi ini usai melawan mual-mual aku bergegas mandi. Hari ini keputusan sidang digelar. Aku harus datang untuk menyaksikan putusan hakim."Kira, apa kamu sudah yakin dengan keputusanmu?" tanya Ibu sedih ketika aku pamit hendak pergi ke pengadilan agama. "Dengar, Nak! Kenapa ibu merasa jika kamu tengah hamil lagi. Kamu tidak berselera makan sepanjang hari. Kamu s