"Ed, apa kau keluargaku?"
"Bukan, Lily.""Lalu, dimana keluargaku?"Merasa telah salah berucap, pria yang dipanggil Ed itu menghentikan kegiatannya."Kenapa kau diam, Ed? Rambutku masih basah," rengek sang gadis yang berusia tujuh tahun itu dengan mendongakkan kepala.Mata bulatnya menatap penasaran laki-laki dewasa yang duduk di belakangnya.Lihatlah, betapa menggemaskannya gadis ini?"Maaf, Tuan Putri Lily. Hamba akan melanjutkannya."Edhie kembali mengeringkan rambut bocah yang bernama Lily itu dengan handuk."Kenapa kau tiba-tiba bertanya soal keluargamu?"Edhie tentu saja sudah bersiap jika sewaktu-waktu gadis itu mempertanyakan keluarga. Hanya saja, bukankah ini terlalu cepat?"Temanku mengataiku anak pungut. Padahal aku hanya bercerita bahwa aku tidak serumah dengan ayah dan ibuku," celoteh gadis itu dengan bibir yang mengerucut.Ada rasa nyeri di sudut hati Edhie. Apa anak itu tidak dididik dengan benar oleh orang tuanya? Hingga berani mengatai gadis kecil kesayangannya ini?"Disini tidak ada orang yang kupanggil ayah dan ibu," lanjutnya lagi."Oh, sayang. Kau bisa memanggilku paman. Seperti paman Jovan dan paman Joe. Setidaknya kamu memiliki banyak paman yang menyayangimu, bukan?""Bukankah kau sendiri yang tidak suka dipanggil paman? Kau menyuruhku memanggilmu Edhie."Ah! Edhie sempat lupa. Sejak gadis itu mulai bisa berbicara, pria itu mengajarinya untuk memanggilnya Edhie. Sampai saat gadis itu tumbuh seperti sekarang, Edhie tidak pernah mengajarinya untuk memanggilnya paman.Tentu saja dengan alasan, ia tidak ingin terlihat tua. Konyol, bukan?"Hm, mulai sekarang kau boleh memanggilku paman.""Aku tidak mau, Ed. Aku lebih suka memanggilmu Edhie.""Baiklah, terserah kau saja.""Lalu, dimana keluargaku, Ed?" tanya sang gadis lagi."Semua orang yang berada disini adalah keluargamu, Lily. Meskipun tidak ada ikatan darah," jawab Edhie tenang dengan masih melakukan kegiatannya."Apa itu ikatan darah?"Ck! Yang benar saja Edhie. Kenapa kamu menggunakan bahasa yang rumit untuk menjelaskan hal yang sederhana di hadapan bocah berusia tujuh tahun itu?"Nanti kamu akan mengerti sendiri. Intinya kita semua adalah keluarga, Lily. Jika temanmu masih mengataimu, aku akan mendatangi orang tuanya dan menyuruh mereka untuk mengajari anaknya sopan santun.""Kau hebat, Ed! Kau seperti pahlawan!""Benar, bukan?"Edhie kemudian mengangkat anak itu tinggi-tinggi lalu mendudukkannya di kedua pundaknya.Pria berusia dua puluh satu tahun itu berlarian kesana kemari sambil menggendong Lily yang tertawa sangat lepas.Tanpa Edhie sadari, penjelasan yang rumit darinya benar-benar menjadi bumerang untuknya di kemudian hari.***"Ed, jika kita keluarga tanpa ikatan darah, berarti kita adalah sepasang suami-isteri?" Bocah yang berusia tujuh tahun itu sekarang sudah menjelma menjadi gadis belia berusia empat belas tahun.Sontak saja, pertanyaan darinya membuat sang lawan bicara mendadak menelan makanannya bulat-bulat tanpa dikunyah secara benar. Nyaris saja membuat pria itu tersedak."Pertanyaan konyol macam apa itu, Lily?" Edhie berucap setelah menenggak segelas air mineral sampai tandas lalu mengusap bibirnya dengan tissue."Temanku yang mengatakannya.""Temanmu selalu bermasalah, Lily. Sudah saatnya kau mengganti pertemananmu."Akan tetapi, sang gadis hanya acuh tak acuh sambil melahap sarapan paginya. Niat gadis itu memang hanya untuk menggoda Edhie.Lily tidak bodoh, ia tahu jika Edhie sudah merawatnya dari kecil. Ia bahkan tidak tahu dimana keberadaan orang tuanya. Edhie bisa saja menceritakannya, hanya saja Lily terlalu takut untuk menerima kemungkinan terburuk.Bisa jadi, orang tuanya telah membuangnya, bukan?Tapi, jika benar demikian, bukankah pria di hadapannya saat ini adalah malaikat penolongnya?"Aku harus berangkat sekarang, Ed.""Baiklah, semoga harimu menyenangkan bocah kecil."Lily menatap tajam pria itu. "Aku sudah empat belas tahun, Ed. Sudah bukan bocah kecil lagi. Ayo, Paman!" Gadis itu berlalu pergi bersama Jovan, pria yang ditunjuk sebagai pengawal pribadi Lily oleh Edhie."Gadis itu sudah tumbuh besar, Joe."Pria dengan setelan hitam yang berdiri di belakang Edhie menjawab, "Benar, Bos. Waktu berlalu begitu cepat.""Apa sebaiknya aku segera mengatakan kebenarannya?""Apa Anda yakin?""Aku hanya takut dia mendengarnya dari orang lain."Joe sang kepala pengawal sekaligus asisten pribadi Edhie mengangguk mengerti. Ia tahu, sang Bos pasti sudah memikirkannya baik-baik untuk hal ini. Tugasnya hanyalah tetap menemani apapun yang akan terjadi nantinya.Di sisi lain, Lily yang sedang duduk di jok penumpang belakang menuju ke sekolahnya, mengernyitkan kening ketika menerima sebuah pesan dari nomor asing.Biasanya Lily akan mengabaikannya karena kebanyakan pesan tersebut berisi spam.Akan tetapi, kali ini berbeda, pesan yang terbaca dari notifikasi mengambang tersebut berisi,[Aku tahu kebenaran tentang keluargamu.]Lily menggigiti kuku jarinya, ia merasa penasaran. Hanya saja, otaknya masih cukup waras untuk percaya begitu saja.Bagaimana jika orang ini hanya sekedar penipu? Mengingat sekarang banyak sekali penipuan melalu pesan singkat seperti ini."Ada apa, Nona?" Jovan yang sedang menyetir menyadari gelagat Lily yang tidak biasa dari kaca spion depan."Tidak, Paman. Hanya pesan spam," elak Lily lalu memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas.Sesampainya di sekolah, Lily berpamitan kepada Jovan lalu bergegas memasuki gerbang sekolah. Baru saja kakinya menginjakkan gedung utama kelas, lengannya tiba-tiba di tarik seseorang dan membawanya ke belakang gedung sekolah yang cukup sepi."Hei!" teriak Lily seraya melepaskan lengannya dari sang pria.Ya, pelaku yang menarik Lily adalah seorang pria berkacamata. Ia mengenakan seragam yang sama dengannya, hanya saja Lily merasa tidak mengenali pria tersebut."Kenapa kamu tidak membalas pesanku?" tanya pria itu.Dalam sekejap, jantung Lily berdegup ketika di tatap oleh sorot mata tajam seorang pria dari dekat seperti ini. Sebelumnya tidak ada yang pernah seberani itu mendekatinya, kecuali Edhie.Ah! Beruntung Jovan tidak melihat peristiwa ini. Jika sampai Jovan tahu, pria di hadapan Lily saat ini pasti akan berakhir terbaring di brankar rumah sakit.Tunggu! Apa katanya tadi?"Pesan?" Lily menaikkan sebelah alisnya."Hm. Aku mengirimimu pesan tadi pagi.""Pesan apa? Kita bahkan tidak saling mengenal untuk bertukar pesan," sergah Lily."Meskipun kamu tidak mengenalku, aku sangat mengenalimu, Lily."Lily semakin tidak percaya dibuatnya, gadis itu memutar bola matanya jengah. Edhie selalu memperingati dirinya untuk berhati-hati terhadap pria asing.Dan sekarang ada seorang pria yang mengaku sangat mengenalinya? Astaga!Gadis itu beranjak pergi begitu saja meninggalkan sang pria."Aku tahu kebenaran tentang keluargamu," ujar pria itu yang berhasil membuat Lily bergeming.Lily menghembuskan napas perlahan, tanpa berbalik, gadis itu kembali melanjutkan perjalanannya menuju kelas.Bukan saatnya percaya kepada orang asing."Elliot! Namaku Elliot! Simpan nomorku! Jika terjadi sesuatu, hubungi aku!" teriak sang pria yang bernama Elliot sebelum Lily benar-benar pergi."Perkenalkan, nama saya Elliot McLain. Saya berasal dari kota Northland dan akan menetap disini. Mohon kerjasamanya untuk dua tahun ke depan."Lily menatap tidak percaya ke arah pria yang saat ini juga tengah menatapnya intens. Pria yang tadi dengan tiba-tiba menariknya, ternyata seorang murid baru di kelasnya.Yang benar saja? Bukankah beberapa menit yang lalu pria itu berkata, ia sangat mengenal Lily?Beruntung Lily memilih untuk pergi dan tidak berurusan dengannya!"Hei, apa kalian saling kenal?" Clara, teman sebangku Lily menyikut lengan Lily yang bebas.Clara menyadari tatapan antara keduanya yang seolah saling kenal satu sama lain."Tidak, dan aku tidak ingin mengenalnya," tegas Lily acuh tak acuh.Gadis itu kemudian berpura-pura sibuk dengan membuka bukunya. Ia sangat malas beradu argumen dengan teman sebangkunya yang jika sudah penasaran, ia rela menggali lubang untuk mengorek informasi."Hei, apa kalian saling kenal?"Lihat, bukan? Tidak mendapat jawaban dari Lily, gadis itu
Keheningan tercipta sesaat Edhie mempertanyakan hal yang sama sekali tak terduga bagi Lily. Hanya suara deru mesin mobil yang melaju serta sesekali suara klakson kendaraan dari luar terdengar.Lily, gadis itu menatap Edhie yang tengah fokus menyetir. Tak lama kemudian, bahunya bergetar, disusul dengan gelak tawa yang tanpa bisa ia tahan.Jika bukan karena perutnya yang lagi-lagi seperti diremas hingga membuatnya mengerang, Lily belum berniat menghentikan tawanya. Sudut matanya bahkan sampai berair.Edhie menelan ludah, sembari melirik Lily dengan ekor matanya. Kenapa respon gadis itu justru tertawa? Apa karena saking bencinya Lily sampai bingung berekspresi?"Kau konyol, Ed!""Apa?" Pria itu tampak tercengang sesaat, tapi fokusnya kembali ke arah jalanan yang cukup padat."Bagaimana mungkin seorang Edhie mampu membunuh orang?" ucapnya lagi dengan tawa yang akan meledak tapi terpaksa Lily tahan. Gadis itu tidak ingin kembali merasa sakit yang teramat sangat di bagian perutnya."Sudahla
"Cassie, ceritakan apa yang terjadi."Setelah menyapa Lily, Cassandra kembali duduk di sisi Edhie. Perempuan itu kembali mengeluarkan cairan bening dari matanya yang terlihat bengkak. Entah, sudah berapa banyak waktu yang ia habiskan untuk menangis."Richard, dia mengancam akan membunuh keluargaku jika aku tidak menikah dengannya, Ed! Tadi pagi… tadi pagi, ada orang yang dengan sengaja menyerempet mobil ayah hingga membuatnya menabrak pembatas jalan. Beruntung ayah selamat, tapi sore harinya, kembali ada seseorang yang mengikutiku." Cassandra menelungkupkan kedua telapak tangannya di wajah.Perempuan itu berkata dengan napas yang terengah, pikirannya kembali pada kejadian yang menimpanya seharian tadi."Aku panik, aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Akhirnya aku memutuskan terbang ke Southland untuk meminta tolong padamu malam ini juga!" lanjutnya yang sudah memperlihatkan wajahnya kembali dengan genangan air mata yang mengalir deras.Dengan sekali tarikan napas, perempuan itu m
"Wah, luar biasa. Kepalaku rasanya ingin meledak sekarang!" Lily berkacak pinggang tidak percaya.Permainan macam apa lagi ini? Setelah terungkap fakta kematian orang tuanya, sekarang Lily harus mendengar pernyataan konyol bahwa dirinya seorang "sandra"?"Baiklah, sebentar. Biar aku mencerna baik-baik perkataanmu."Lily memijat pelipisnya yang tiba-tiba pening."Orang yang merawatmu, adalah orang yang membunuh kedua orang tuamu. Apa menurutmu itu mungkin? Aku tahu, kamu tidak bodoh Lily." Elliot mencoba membuka pikiran Lily dengan mengatakan hal yang sebenarnya ia ketahui.Akan tetapi, gadis itu justru memperlihatkan telapak tangannya ke arah Elliot, sarat agar pria itu berhenti bicara sebentar."Elliot juga membenarkan bahwa Edhie yang telah membunuh orang tuaku," lirih Lily dalam hati.Memang, rasanya tidak masuk akal. Orang yang membunuh orang tuanya adalah orang yang sama yang berperan menjadi penyelamatnya.Tapi, perasaan mengganjal apa ini? Lily bisa merasakan ketulusan Edhie, b
"Apa kau serius dengan ucapanmu, Lily?" Edhie menarik tubuhnya sedikit menjauh dari Lily. Bukan untuk menghindar, melainkan pria itu ingin mengamati raut wajah gadis kecilnya. "Aku tidak ingin terus menerus merepotkanmu.""Jika benar itu yang kau pikirkan, aku tetap akan menahanmu. Apa selama ini kau pernah mendengarku mengeluh tentangmu?""Pernah." Ucapan ringan Lily membuat Edhie terdiam dengan mulut yang sedikit terbuka sepersekian detik. Sebelah tangannya yang terangkat hingga sejajar dengan dada, mengawang di udara."A—apa kau bilang?""Pernah," ulang Lily lagi. "Kau pernah mengeluh tentangku yang sangat berisik dan selalu mengikutimu, Ed. Kau juga sering memanggilku bocah karena aku terus menerus merengek kepadamu. Kau juga—""Baiklah. Sudah cukup, Lily," potong pria itu cepat sebelum dihujani berbagai fakta.Edhie salah terlalu percaya diri di depan gadis hasil dari didikannya sendiri itu. Baik rasa percaya diri maupun keras kepalanya, benar-benar menurun dari sikap Edhie."Ha
"Bagaimana keadaan Lily?" tanya Edhie kepada Jovan yang saat ini berjalan di sisinya."Sangat baik, Bos."Derap langkah sepatu saling bersahutan, menimbulkan suara gema ketika memasuki mansion yang tampak sunyi itu. Edhie melonggarkan sedikit kerah bajunya, untuk meraup oksigen secara bebas. Seharian tadi, dirinya disibukkan dengan menghadiri pertemuan yang diadakan para petinggi yang mengharuskan ia untuk mengenakan pakaian formal.Hela napas terdengar ketika Edhie sampai di ruangan kerjanya. Ia kemudian duduk di kursi berlengan kayu lalu menyandarkan punggungnya di bantalan empuk sandaran kursi. Kepalanya menengadah dengan mata terpejam."Sepertinya bocah itu sedang menikmati masa kuliahnya."Jovan yang berdiri berseberangan dengan sang tuan tidak memberikan tanggapan."Apa dia membenciku?" tanya Edhie dengan mata yang sudah terbuka, menatap ke arah Jovan."Nona…" Jovan menunduk, menenggelamkan wajahnya. Namun, ia tidak bisa menutupi getar di bahunya ketika mengingat perkataan sang
Pada akhirnya, Lily menuntaskan acara bersama dengan teman-teman sekampusnya yang lain. Di lain sisi, Edhie dan Cassandra, menjadi tamu undangan dari pihak orang tua Jane.Sejauh itulah jarak di antara mereka."Apa yang paman Edhie katakan kepadamu?" tanya Elliot dengan segelas wine di tangan kanannya.Pria itu dengan setianya terus mendampingi Lily, untuk memperjelas status bohongan mereka di hadapan teman-teman Lily. Hal itu memang sudah mereka lakukan semenjak Lily merasa jengah karena diganggu oleh beberapa teman pria di kampusnya."Kita bicarakan nanti di rumah," jawab Lily."Hey, Elliot. Apa kau tidak pernah bosan dengan Lily? Aku bisa menggantikan mu jika kau bosan."Goda Kayle, salah seorang teman satu jurusan Lily. Pria dengan rambut cepak itu memang sudah lama tertarik pada Lily. Sayangnya, Lily selalu berdrama jika Elliot lah kekasihnya.Gadis itu, sama sekali tidak tertarik untuk menjalin hubungan dengan pria lain yang sama sekali tidak dikenalnya.Elliot semakin melingka
BRAK!Napas Zion terengah ketika Edhie mendorong tubuh pria itu hingga punggungnya menabrak pintu kayu yang tertutup. Zion sedikit lengah ketika Edhie berhasil meninju rahangnya.“E—Ed?! Dengarkan aku!”Dengan satu hentakan, lengan kekar Edhie menghimpit leher Zion untuk menahan pergerakannya. Tidak ada kesempatan bagi Zion untuk terbebas dari amukan Edhie saat ini.Wajah Zion mulai kemarahan, sangat kesulitan untuk meraup oksigen. Pun juga dengan kemeja putihnya yang sudah tak berbentuk, dihiasi dengan bercak darah. Peluh bercampur darah mengucur dari kening dan pelipis Zion, serta luka lebam di bagian rahang dan perut.“K—kau gila….” desis Zion bersusah payah. Matanya menyipit sayu.Zion melirik ke arah empat pengawalnya yang ditahan oleh bodyguard milik Edhie. Tidak ada satupun dari mereka yang berhasil lolos.Sedangkan di hadapannya, ada mata tajam Edhie yang siap menguliti setiap inci tubuhnya. “Ini hukuman karena kau telah bekerjasama dengan Oliver,” desis Edhie tepat di depan
Edhie bersiap untuk memerintahkan beberapa pengawal pilihannya. Joe dan juga Aaron, dua orang kepercayaan Edhie ditugaskan untuk memimpin pasukan.“Bos, aku ingin ikut dengan mereka,” pinta Jovan kepada Edhie.“Kau tetap bersamaku menjaga Lily. Kita harus mengawasinya penuh tiga hari ini.” Edhie bersedekap memikirkan kemungkinan-kemungkinan buruk yang akan terjadi.“Entahlah, ada dua hal yang aku pikirkan, Jovan. Aku harap kau mau bekerja sama.”Jovan tidak berani membantah lagi, ia kemudian mundur sejajar kembali dengan barisannya.“Aku tidak peduli jika pada akhirnya kalian ada yang berkhianat, yang perlu kalian ingat… ada harga sepadan yang harus kalian bayar jika berani melakukannya.” Edhie menatap tegas satu persatu barisan berjas hitam yang berjumlah dua puluh orang itu. Permintaan Dominus kali ini memang cukup banyak, bahkan Edhie harus mengerahkan dua orang kepercayaannya.“Loyal atau tidak, itu pilihan kalian.”Berkaca pada kasus sebelumnya, Edhie merasa jika kali ini siasat
“Lily, banyak hal yang ingin aku katakan,” ujar Edhie yang kini mengambil kesempatan mencuri waktu sebelum melaksanakan mandat dari sang Dominus.“Hm? Apa ini akan memakan waktu lama?”Lily yang duduk di balkon ruang tengah, menoleh ke arah Edhie yang baru saja tiba di rumah.Edhie melepas kancing atas kemejanya, ia gulung lengan tangannya hingga sebatas siku. Rambutnya sudah tidak serapi keberangkatannya tadi. “Apa kau ada urusan?”“Tidak. Kau yang memintaku untuk langsung pulang, aku kira ada sesuatu yang penting.”“Memang. Aku hanya ingin menjelaskan siapa kamu sebenarnya.”“Ed? Apa kau yakin?”Edhie melangkah untuk mendekat ke arah Lily. Ia memilih duduk di kursi panjang, tempat dimana Lily duduk.“Tidak. Sungguh, jika boleh jujur, aku ingin kamu menjadi Lily seperti ini saja yang tidak tahu apa-apa soal keluargamu.” Sorot mata Edhie menerawang lurus ke depan. Hamparan taman yang asri, serta kemilau cahaya matahari yang mulai terbias dengan warna senja, merubah suasana yang awaln
“Siapa tahu, bukan?”Telapak tangan Edhie mengepal. “Saya hanya berusaha menebus dosa masa lalu.”Dominus melihat Edhie dengan ekor matanya. Entah apa yang dipikirkannya, ada rasa tidak suka yang tersirat dalam pandangannya. Edhie sangat tahu, ada sesuatu yang Dominus rencanakan terhadap dirinya. Feelingnya berkata, sesuatu itu adalah hal yang mengancam keluarga Caldwell. Sederhananya, Edhie pernah melapor tentang perbuatan Halberd yang mendistribusikan barang haram dari kepulauan seberang untuk di edarkan di kepulauan Landville. Akan tetapi, Dominus sama sekali tidak mengambil tindakan. “Jika tidak ada hal penting lain, saya pamit undur diri,” ujar Edhie berpamitan.“Tunggu, aku butuh tambahan pengawal di pelabuhan St. Marina. Tenang saja, kali ini aku tidak meminta secara cuma-cuma. Akan ada bayaran lebih, karena pekerjaan ini cukup berat.”“Apa boleh saya mengetahui, pekerjaan apa kali ini?”Kecurigaan Edhie semakin menguat. Pelabuhan St. Marina adalah pelabuhan yang menjadi temp
Elliot bergegas menuruni anak tangga, Lily sudah menunggunya di depan untuk berangkat ke kampus bersama. Ia harus kembali ke kamarnya karena ponsel yang tertinggal di nakas. Bersamaan dengan itu, Cassandra menaiki anak tangga menuju ke ruang kerja Edhie. Elliot melirik sekilas ketika berpapasan, melewati wanita itu begitu saja. Akan tetapi, Cassandra menghentikan langkahnya.“Apa yang kau rencanakan, Tuan Muda McClain?” Cassandra menoleh ke arah Elliot yang turut menghentikan langkahnya di anak tangga dasar.“Bisakah kita berpura-pura tidak mengenal seperti biasanya?” Elliot menjawab tanpa berbalik badan.“Aku hanya penasaran, sebenarnya rencana apa yang kau buat hingga memberanikan diri tinggal di kediaman Caldwell.”“Urus saja urusanmu sendiri Cassandra Mortimer. Asal kau tidak menyentuh Lily, aku tidak akan membeberkan apa yang aku ketahui tentangmu.” Elliot menoleh dengan membenarkan kacamatanya. Tatapannya tajam mengintimidasi Cassandra.Tawa sumbang keluar dari bibir merah Cass
“Ya, Tuhan! Kau terluka, Ed?!” seru Lily.Edhie bergegas merapikan kemeja yang ia lepas sebelah. Meskipun niat untuk mengganti perban belum terlaksana, akan lebih merepotkan lagi jika gadis kecilnya banyak bertanya.Derap langkah kaki Lily mendekat, menyisakan jarak setengah meter. Tidak banyak bicara, Lily mencekal lengan kiri Edhie, lantas membuka kembali kemejanya. Nampak kulit kecoklatan Edhie dengan balutan perban di lengan berototnya..“Kenapa tidak minta bantuan?” tanya Lily yang sudah duduk di sisi kiri Edhie“Aku sudah menyuruh Joe untuk pulang beristirahat.”“Aku? Kenapa tidak meminta bantuanku? Kau lupa aku kuliah di jurusan kedokteran?”Edhie terdiam. Apa yang dibayangkannya tadi salah. Ternyata gadis kecilnya tidak seberisik yang dia kira. Nyatanya, Lily lebih banyak diam dan fokus membersihkan luka yang sedikit berdarah lalu mengganti perban.Bulu mata lentik Lily terlihat sangat jelas ketika Lily sedang menunduk. Dari sisi kiri, Edhie bisa melihat garis wajah gadis keci
“Aku ingin El ikut bersamaku!”Uhuk!Elliot terbatuk-batuk hingga membuat kerongkongannya sedikit memanas karena cairan kafein yang diminumnya. Ia menoleh ke arah Lily yang sekali lagi menyeretnya dalam masalah. Lihat saja, gadis itu justru menyunggingkan senyum dengan menaik turunkan alisnya. Pandangannya kini beralih kepada Edhie yang tiba-tiba berdiri lalu berkacak pinggang di hadapan Lily. Tidak, Elliot berharap ia tidak terlibat ke dalam permainan Lily lagi.“Kau kira mansion keluargaku itu penampungan?!”Benar, bukan? Pria di hadapan Lily itu kini menaikkan nada bicaranya. Tapi, bukan Lily namanya jika ia tidak mendebatnya. Sudahlah, Elliot hanya mampu pasrah sekarang.“Kau mau atau tidak, Ed? Jika kau ingin aku kembali tinggal disana, izinkan Elliot ikut bersamaku!” protes Lily.Edhie mengurut keningnya yang mendadak pening. Ia mengalihkan pandangannya ke arah Elliot yang juga menatap kepadanya. “Kau yang memintanya?”Pemuda itu melotot lalu dengan cepat mengibaskan kedua tang
Keadaan menjadi tak terkendali, baku tembak antara pengawal Edhie dan pengawal Oliver tidak bisa dihindari. Merasa mendengar keributan, pengawal dari pihak Gavin pun turut bergabung, sedangkan Lucas—sang pengawal Edhie— turut serta membantu evakuasi pelanggan Bar & Resto Cassiopeia itu. Edhie yang datang dengan penuh persiapan, tentu saja mendominasi keadaan.“Bos!” teriak Joe gegas menghampiri Edhie yang memegang lengan kirinya dengan telapak tangan kanan.Peluru yang ditembakkan oleh pengawal Oliver, menggores lengan kiri Edhie, hal tersebut membuat cekikan di leher Oliver terlepas. Sedangkan, peluru dari Aaron melesat mengenai bahu kanan pengawal Oliver.Oliver yang terbebas dari Edhie, meraup oksigen banyak-banyak. Dibantu oleh Gavin, Oliver berdiri dengan mengalungkan lengannya di pundak Gavin.“Sialan, kau, Ed!” Oliver mengumpat dengan napas tersengal.“Sebaiknya kita pergi sekarang, keadaan disini sangat berbahaya,” paksa Gavin menyeret Oliver untuk meninggalkan tempat.Sementa
Kepulauan Landville sendiri terdiri dari empat negara bagian, yaitu; Westland, Northland, Eastland, dan Southland. Sebagai penganut sistem plutokrasi, yaitu sistem pemerintahan yang berdasar pada jumlah kekayaan yang dimiliki, setiap negara bagian memiliki beberapa kepala keluarga yang turut andil dalam urusan politik.Di ke empat negara bagian tersebut, terdapat tujuh keluarga besar yang berada di bawah kepemimpinan langsung penguasa Landville, mereka menyebutnya Dominus. Seorang Domunis dalam kepimpinannya dibantu oleh para Senator yang turut ambil bagian untuk memimpin masing-masing wilayah negara bagian. Ke-tujuh keluarga besar tersebut adalah keluarga Damaresh—keluarga para Dominus lahir, yang memiliki sebagian kecil dari masing-masing negara; lalu ada keluarga Neilson; keluarga Caldwell; keluarga Livingstone; keluarga Halberd; keluarga Might; dan keluarga McClain. Selain ke-tujuh keluarga itu, sisanya para keluarga kelas Atas yang tidak bisa menyaingi keluarga besar—akan tetapi
“Ini bukan waktu yang tepat untuk membahas perasaanmu, El.” Lily melepaskan tangannya dari pundak Elliot. Ia lantas mengambil duduk di hadapan pria itu.“Fokusku untuk saat ini tidak ingin membebani Edhie, selain itu aku harus menemukan keluargaku yang tersisa. Kau sudah berjanji, bukan? Akan menemaniku bertemu dengan mereka?”Elliot terdiam sejenak. Terdengar hela napas berat keluar dari bibirnya. “Jika sudah bertemu dengan mereka, lalu apa yang akan kau lakukan selanjutnya?”“Aku akan memikirkannya nanti.”“Kau tahu alasanku mengabari paman Edhie? Karena aku belum cukup mampu untuk melindungimu.”“Aku tidak butuh perlindunganmu, El!”“Kau butuh! Kau butuh aku jika masih di sekitar paman Edhie!” Kali ini nada bicara Elliot naik satu oktaf. Namun sejenak kemudian, ia menarik napas panjang. “Kenapa kau tidak mengerti juga seberapa bahayanya paman mu itu?” lirih Elliot.Tidak ada sahutan dari Lily. Bukan tanpa alasan, Lily hanya benar-benar tidak tahu apapun tentang Edhie selain perlind