Keheningan tercipta sesaat Edhie mempertanyakan hal yang sama sekali tak terduga bagi Lily. Hanya suara deru mesin mobil yang melaju serta sesekali suara klakson kendaraan dari luar terdengar.
Lily, gadis itu menatap Edhie yang tengah fokus menyetir. Tak lama kemudian, bahunya bergetar, disusul dengan gelak tawa yang tanpa bisa ia tahan.Jika bukan karena perutnya yang lagi-lagi seperti diremas hingga membuatnya mengerang, Lily belum berniat menghentikan tawanya. Sudut matanya bahkan sampai berair.Edhie menelan ludah, sembari melirik Lily dengan ekor matanya. Kenapa respon gadis itu justru tertawa? Apa karena saking bencinya Lily sampai bingung berekspresi?"Kau konyol, Ed!""Apa?" Pria itu tampak tercengang sesaat, tapi fokusnya kembali ke arah jalanan yang cukup padat."Bagaimana mungkin seorang Edhie mampu membunuh orang?" ucapnya lagi dengan tawa yang akan meledak tapi terpaksa Lily tahan. Gadis itu tidak ingin kembali merasa sakit yang teramat sangat di bagian perutnya."Sudahlah, hentikan ucapan omong kosongmu," pinta Lily lantas mengarahkan pandangannya ke luar jendela.Lagi-lagi Edhie menelan ludahnya, lalu mengusap wajahnya dengan tangan kiri."Hei, aku tidak bercanda.""Ya, ya, ya, terserah, Ed! Bangunkan aku jika sudah sampai di rumah." Lily berucap tak acuh dan dalam sekejap mata gadis itu sudah terpejam dengan napas yang beraturan.Dinginnya AC tidak mampu mengobati hawa panas dalam diri Edhie. Ia mumbuka kancing kemeja bagian atas lalu menggulung lengan hingga sebatas siku. Jalanan yang padat, dengan cuaca panas, serta kemacetan di lampu merah benar-benar menguras tenaga Edhie.Sesekali, ia melirik ke arah Lily yang sudah terlelap dengan tenang. Wajah gadis itu sedikit tertutupi dengan beberapa helai rambut coklatnya yang panjang.Sambil menunggu lampu menyala hijau, Edhie menyandarkan kepalanya di stir mobil, menatap dengan jelas wajah Lily. "Aku tidak mungkin jadi pembunuh, bukan?" lirih pria itu seraya menghembuskan napas berat.Edhie kembali menekan pedal gas sebelum mendapat serbuan klakson dari kendaraan yang berada di belakangnya. Perjalanan kali ini terasa cukup jauh untuknya.***"Jadi, Ed… orang tuaku sudah meninggal?"Saat ini Lily sedang berbicara empat mata dengan Edhie di balkon kamar gadis itu. Malam yang tenang dengan gemerlap cahaya bintang yang menyebar di langit gelap, tidak sesuai dengan gambaran suasana hati Lily saat ini.Meskipun Lily tidak pernah menginginkan untuk bertemu kedua keluarganya—atau mungkin pernah, gadis itu tetap merasakan kehilangan."Lily." Edhie memegang bahu kecil gadis itu. "Kau… Ah! Tidak mungkin kau akan baik-baik saja." Edhie kemudian melingkarkan lengannya di tubuh Lily, tidak ada penolakan darinya."Aku sedih, tapi juga merasa hampa di saat yang bersamaan, Ed. Aku ingin menangis, tapi menangisi apa? Aku bahkan tidak ingat wajah mereka.""Siapa yang tidak sedih ketika kehilangan orang tuanya, Lily. Menangislah." Tanpa banyak bicara, Edhie melingkarkan lengan ke tubuh kecil Lily. Tidak ada penolakan dari gadis itu, ia justru mempererat pelukan mereka, mencari ketenangan dalam dada bidang orang yang selama ini merawatnya."Terima kasih, Ed. Sudah merawatku selama ini. Tidak ada hal yang bisa aku berikan untuk membalas segala kebaikanmu," ujar Lily disela-sela isakannya.Ya, dalam pelukan Edhie, Lily menumpahkan segala perasaannya.Edhie terdiam cukup lama, ia letakkan dagunya di puncak kepala Lily. Pria itu mengusap lembut punggung Lily, lalu menghembuskan napas perlahan."Tugasmu hanya perlu bahagia, Lily. Aku akan melakukan segala cara, agar kamu bisa menemukan kebahagiaan."Setelah perasaan Lily cukup lega, keduanya kini duduk di sofa yang tersedia di balkon. Pandangan mereka menatap lurus ke depan."Seperti apa kedua orang tuaku, Ed?""Mereka orang baik, Lily. Orang yang sangat baik."Lily menghembuskan napas lega. "Setidaknya sekarang aku tahu, mereka tidak membuangku, Ed.""Kebakaran di mansion keluarga yang menyebabkan mereka harus…" Edhie tercekat, rasanya tidak sanggup untuk melanjutkan perkataannya, ia takut akan melukai gadis kecilnya."Lalu, aku? Bagaimana aku bisa selamat?""Saat itu kau sedang bermain denganku, usiamu baru tujuh bulan, dan aku sering mengajakmu bermain. Kita berada di ruang berbeda dengan orang tuamu, dan berhasil selamat."Lily mengangguk mengerti mendengar penjelasan dari Edhie. Sekarang sudah tidak ada lagi pertanyaan yang mengganjal di hatinya terkait kedua orang tuanya."Kenapa kamu memutuskan untuk merawatku, Ed?""Karena sejak kecil kau sudah menempel padaku." Edhie mendaratkan punggungnya di sandaran sofa. Kepalanya mendongak angkuh, seolah Lily lah yang menginginkan dirawat olehnya.Gadis itu mendengus, menatap tidak percaya ke arah Edhie. "Kepercayaan dirimu tidak pernah berkurang, Ed."Edhie menaikkan bahunya acuh tak acuh."Lihatlah! Sampai sekarang kau juga masih menempel padaku.""Itu karena kita tinggal bersama! Kita ini suami-istri, Ed. Apa kau lupa?" Kali ini Lily yang tersenyum jumawa kepada pria dewasa di sampingnya."Kau boleh bercanda seperti itu kepadaku, Lily. Tapi, tidak ke orang lain!" Edhie berkata ringan tanpa beban.Gadis yang terancam itu mengerucutkan bibirnya. "Belum menikah saja sudah protektif.""Hei! Sebenarnya kau belajar seperti itu dari mana?" geram Edhie. Matanya melirik sinis gadis belia yang bertingkah seperti perempuan dewasa itu.Sedangkan, sang pelaku hanya terkekeh sambil menjulurkan lidahnya."Anak jaman sekarang benar-benar di luar nalar!" gerutunya lagi.Candaan mereka terpaksa harus terhenti ketika pintu kamar Lily diketuk oleh seseorang."Ada apa, Joe?" tanya Edhie setelah membukakan pintu."Ada tamu, Bos."Edhie melihat jam yang melingkar di tangan kirinya. Benda pipih itu menunjukkan pukul sepuluh malam. Ia ingat tidak ada janji dengan siapapun."Lebih baik Anda melihat sendiri, Bos."Edhie mengernyitkan keningnya, tak lama kemudian pria itu keluar dari kamar Lily diikuti dengan gadis itu yang terlihat sama penasarannya.Seorang perempuan, duduk di sofa ruang tamu. Belum terlihat siapa pemilik rambut hitam legam yang duduk membelakangi Edhie itu. "Cassie?" Suara berat Edhie yang mendekat, membuat perempuan yang dipanggil Cassie menoleh."Ed!" Perempuan dengan balutan dress sedikit terbuka itu berdiri lalu menghamburkan tubuhnya ke dada bidang Edhie. "Ed, tolong aku!" ucapnya dengan cairan bening yang sudah mengalir dari pelupuk mata sang perempuan."Hei, tenanglah. Ada apa?" Edhie mengurai pelukan mereka dan membawanya untuk duduk.Sedangkan, di belakang Edhie, Joe, dan Lily sedang memperhatikan mereka."Lily? Kau sudah besar rupanya," sapa perempuan itu yang sudah mengusap air matanya. Ia kembali berdiri lalu mendekat ke arah Lily dan memeluknya."Kamu masih ingat aku, 'kan?"Dengan berat hati, Lily membalas pelukan sang perempuan. Ia berusaha menaikkan sudut bibirnya agar tidak terlihat isi hatinya dengan kentara."Tentu saja, Kakak."Ya. Tidak mungkin Lily akan lupa siapa perempuan itu. Perempuan yang beberapa tahun lalu, berhasil membuat orang yang Lily sukai patah hati teramat dalam.Cassandra, mantan kekasih Edhie yang juga sahabat pria itu. Pun juga orang yang sama yang pernah mengatakan kepada Lily bahwa Edhie lah penyebab kedua orang tuanya meninggal."Cassie, ceritakan apa yang terjadi."Setelah menyapa Lily, Cassandra kembali duduk di sisi Edhie. Perempuan itu kembali mengeluarkan cairan bening dari matanya yang terlihat bengkak. Entah, sudah berapa banyak waktu yang ia habiskan untuk menangis."Richard, dia mengancam akan membunuh keluargaku jika aku tidak menikah dengannya, Ed! Tadi pagi… tadi pagi, ada orang yang dengan sengaja menyerempet mobil ayah hingga membuatnya menabrak pembatas jalan. Beruntung ayah selamat, tapi sore harinya, kembali ada seseorang yang mengikutiku." Cassandra menelungkupkan kedua telapak tangannya di wajah.Perempuan itu berkata dengan napas yang terengah, pikirannya kembali pada kejadian yang menimpanya seharian tadi."Aku panik, aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Akhirnya aku memutuskan terbang ke Southland untuk meminta tolong padamu malam ini juga!" lanjutnya yang sudah memperlihatkan wajahnya kembali dengan genangan air mata yang mengalir deras.Dengan sekali tarikan napas, perempuan itu m
"Wah, luar biasa. Kepalaku rasanya ingin meledak sekarang!" Lily berkacak pinggang tidak percaya.Permainan macam apa lagi ini? Setelah terungkap fakta kematian orang tuanya, sekarang Lily harus mendengar pernyataan konyol bahwa dirinya seorang "sandra"?"Baiklah, sebentar. Biar aku mencerna baik-baik perkataanmu."Lily memijat pelipisnya yang tiba-tiba pening."Orang yang merawatmu, adalah orang yang membunuh kedua orang tuamu. Apa menurutmu itu mungkin? Aku tahu, kamu tidak bodoh Lily." Elliot mencoba membuka pikiran Lily dengan mengatakan hal yang sebenarnya ia ketahui.Akan tetapi, gadis itu justru memperlihatkan telapak tangannya ke arah Elliot, sarat agar pria itu berhenti bicara sebentar."Elliot juga membenarkan bahwa Edhie yang telah membunuh orang tuaku," lirih Lily dalam hati.Memang, rasanya tidak masuk akal. Orang yang membunuh orang tuanya adalah orang yang sama yang berperan menjadi penyelamatnya.Tapi, perasaan mengganjal apa ini? Lily bisa merasakan ketulusan Edhie, b
"Apa kau serius dengan ucapanmu, Lily?" Edhie menarik tubuhnya sedikit menjauh dari Lily. Bukan untuk menghindar, melainkan pria itu ingin mengamati raut wajah gadis kecilnya. "Aku tidak ingin terus menerus merepotkanmu.""Jika benar itu yang kau pikirkan, aku tetap akan menahanmu. Apa selama ini kau pernah mendengarku mengeluh tentangmu?""Pernah." Ucapan ringan Lily membuat Edhie terdiam dengan mulut yang sedikit terbuka sepersekian detik. Sebelah tangannya yang terangkat hingga sejajar dengan dada, mengawang di udara."A—apa kau bilang?""Pernah," ulang Lily lagi. "Kau pernah mengeluh tentangku yang sangat berisik dan selalu mengikutimu, Ed. Kau juga sering memanggilku bocah karena aku terus menerus merengek kepadamu. Kau juga—""Baiklah. Sudah cukup, Lily," potong pria itu cepat sebelum dihujani berbagai fakta.Edhie salah terlalu percaya diri di depan gadis hasil dari didikannya sendiri itu. Baik rasa percaya diri maupun keras kepalanya, benar-benar menurun dari sikap Edhie."Ha
"Bagaimana keadaan Lily?" tanya Edhie kepada Jovan yang saat ini berjalan di sisinya."Sangat baik, Bos."Derap langkah sepatu saling bersahutan, menimbulkan suara gema ketika memasuki mansion yang tampak sunyi itu. Edhie melonggarkan sedikit kerah bajunya, untuk meraup oksigen secara bebas. Seharian tadi, dirinya disibukkan dengan menghadiri pertemuan yang diadakan para petinggi yang mengharuskan ia untuk mengenakan pakaian formal.Hela napas terdengar ketika Edhie sampai di ruangan kerjanya. Ia kemudian duduk di kursi berlengan kayu lalu menyandarkan punggungnya di bantalan empuk sandaran kursi. Kepalanya menengadah dengan mata terpejam."Sepertinya bocah itu sedang menikmati masa kuliahnya."Jovan yang berdiri berseberangan dengan sang tuan tidak memberikan tanggapan."Apa dia membenciku?" tanya Edhie dengan mata yang sudah terbuka, menatap ke arah Jovan."Nona…" Jovan menunduk, menenggelamkan wajahnya. Namun, ia tidak bisa menutupi getar di bahunya ketika mengingat perkataan sang
Pada akhirnya, Lily menuntaskan acara bersama dengan teman-teman sekampusnya yang lain. Di lain sisi, Edhie dan Cassandra, menjadi tamu undangan dari pihak orang tua Jane.Sejauh itulah jarak di antara mereka."Apa yang paman Edhie katakan kepadamu?" tanya Elliot dengan segelas wine di tangan kanannya.Pria itu dengan setianya terus mendampingi Lily, untuk memperjelas status bohongan mereka di hadapan teman-teman Lily. Hal itu memang sudah mereka lakukan semenjak Lily merasa jengah karena diganggu oleh beberapa teman pria di kampusnya."Kita bicarakan nanti di rumah," jawab Lily."Hey, Elliot. Apa kau tidak pernah bosan dengan Lily? Aku bisa menggantikan mu jika kau bosan."Goda Kayle, salah seorang teman satu jurusan Lily. Pria dengan rambut cepak itu memang sudah lama tertarik pada Lily. Sayangnya, Lily selalu berdrama jika Elliot lah kekasihnya.Gadis itu, sama sekali tidak tertarik untuk menjalin hubungan dengan pria lain yang sama sekali tidak dikenalnya.Elliot semakin melingka
BRAK!Napas Zion terengah ketika Edhie mendorong tubuh pria itu hingga punggungnya menabrak pintu kayu yang tertutup. Zion sedikit lengah ketika Edhie berhasil meninju rahangnya.“E—Ed?! Dengarkan aku!”Dengan satu hentakan, lengan kekar Edhie menghimpit leher Zion untuk menahan pergerakannya. Tidak ada kesempatan bagi Zion untuk terbebas dari amukan Edhie saat ini.Wajah Zion mulai kemarahan, sangat kesulitan untuk meraup oksigen. Pun juga dengan kemeja putihnya yang sudah tak berbentuk, dihiasi dengan bercak darah. Peluh bercampur darah mengucur dari kening dan pelipis Zion, serta luka lebam di bagian rahang dan perut.“K—kau gila….” desis Zion bersusah payah. Matanya menyipit sayu.Zion melirik ke arah empat pengawalnya yang ditahan oleh bodyguard milik Edhie. Tidak ada satupun dari mereka yang berhasil lolos.Sedangkan di hadapannya, ada mata tajam Edhie yang siap menguliti setiap inci tubuhnya. “Ini hukuman karena kau telah bekerjasama dengan Oliver,” desis Edhie tepat di depan
Edhie menatap tajam Lily yang kini berdiri di hadapannya. “Apa kau paham situasinya, Lily?”“Aku hanya mengkhawatirkanmu, Ed!”“Jovan!”“Tidak, Ed! Jangan salahkan Paman Jovan. Dia tidak bersalah!”Jovan berlari kecil menghampiri sang Bos. “Maaf, saya bersalah, Bos,” sesalnya tanpa berani melihat ke arah Edhie.“Mulai sekarang, Aaron yang akan menggantikanmu mengawasi Lily.”Mata Lily membulat sempurna. Jovan akan digantikan dengan Aaron? Yang benar saja, Edhie?Aaroon, pengawal Edhie yang menurut Lily paling beringas. Selama berada di rumah Edhie, Lily hampir tidak pernah berbicara dengannya. “Aku tidak mau!” sanggah Lily.“Ini perintah, bukan permintaan, Lily!”“Kau menganggapku apa, Ed? Jangan-jangan benar, selama ini kamu memperlakukanku sebagai tahanan?”Lily menaikkan sudut bibirnya, mata gadis itu tampak terluka dengan senyum yang ia paksakan.“Kau bicara apa, Lily?” E
“El, apa yang harus aku lakukan sekarang?” Lily terduduk lesu, pandangannya sarat akan kesedihan setelah Edhie sengaja membiarkannya sendiri tanpa pengawasan.“Kau tidak perlu melakukan apa-apa, Lily. Memang apa yang kau harapkan dari paman Edhie? Menikahimu?” ejek Elliot.“Elliot McClain! Aku sedang tidak ingin bercanda.”Elliot menaikkan sebelah alisnya, bibirnya tersungging. “Jadi selama ini kau berteriak ingin menikahi Edhie itu hanya bercanda? Ya, aku akan senang jika memang—”“Aku serius, El!”“Katakan yang jelas, Lily… kau serius atau bercanda?”Bibir Lily berdecak kesal. Gadis itu lalu mengacak rambut panjangnya dengan frustasi. Posisinya saat ini sedang duduk bersisian dengan Elliot. Sofa yang harusnya mereka duduki justru dialih fungsikan sebagai sandaran.Dalam sesaat, ruangan dengan lampu yang Lily biarkan temaram itu dibalut keheningan. Hanya suara detik jam yang tertangkap di indera pendengaran mereka.“Paman Edhie berbohong," ucap Elliot memecah keheningan.Lily yang ba
Edhie bersiap untuk memerintahkan beberapa pengawal pilihannya. Joe dan juga Aaron, dua orang kepercayaan Edhie ditugaskan untuk memimpin pasukan.“Bos, aku ingin ikut dengan mereka,” pinta Jovan kepada Edhie.“Kau tetap bersamaku menjaga Lily. Kita harus mengawasinya penuh tiga hari ini.” Edhie bersedekap memikirkan kemungkinan-kemungkinan buruk yang akan terjadi.“Entahlah, ada dua hal yang aku pikirkan, Jovan. Aku harap kau mau bekerja sama.”Jovan tidak berani membantah lagi, ia kemudian mundur sejajar kembali dengan barisannya.“Aku tidak peduli jika pada akhirnya kalian ada yang berkhianat, yang perlu kalian ingat… ada harga sepadan yang harus kalian bayar jika berani melakukannya.” Edhie menatap tegas satu persatu barisan berjas hitam yang berjumlah dua puluh orang itu. Permintaan Dominus kali ini memang cukup banyak, bahkan Edhie harus mengerahkan dua orang kepercayaannya.“Loyal atau tidak, itu pilihan kalian.”Berkaca pada kasus sebelumnya, Edhie merasa jika kali ini siasat
“Lily, banyak hal yang ingin aku katakan,” ujar Edhie yang kini mengambil kesempatan mencuri waktu sebelum melaksanakan mandat dari sang Dominus.“Hm? Apa ini akan memakan waktu lama?”Lily yang duduk di balkon ruang tengah, menoleh ke arah Edhie yang baru saja tiba di rumah.Edhie melepas kancing atas kemejanya, ia gulung lengan tangannya hingga sebatas siku. Rambutnya sudah tidak serapi keberangkatannya tadi. “Apa kau ada urusan?”“Tidak. Kau yang memintaku untuk langsung pulang, aku kira ada sesuatu yang penting.”“Memang. Aku hanya ingin menjelaskan siapa kamu sebenarnya.”“Ed? Apa kau yakin?”Edhie melangkah untuk mendekat ke arah Lily. Ia memilih duduk di kursi panjang, tempat dimana Lily duduk.“Tidak. Sungguh, jika boleh jujur, aku ingin kamu menjadi Lily seperti ini saja yang tidak tahu apa-apa soal keluargamu.” Sorot mata Edhie menerawang lurus ke depan. Hamparan taman yang asri, serta kemilau cahaya matahari yang mulai terbias dengan warna senja, merubah suasana yang awaln
“Siapa tahu, bukan?”Telapak tangan Edhie mengepal. “Saya hanya berusaha menebus dosa masa lalu.”Dominus melihat Edhie dengan ekor matanya. Entah apa yang dipikirkannya, ada rasa tidak suka yang tersirat dalam pandangannya. Edhie sangat tahu, ada sesuatu yang Dominus rencanakan terhadap dirinya. Feelingnya berkata, sesuatu itu adalah hal yang mengancam keluarga Caldwell. Sederhananya, Edhie pernah melapor tentang perbuatan Halberd yang mendistribusikan barang haram dari kepulauan seberang untuk di edarkan di kepulauan Landville. Akan tetapi, Dominus sama sekali tidak mengambil tindakan. “Jika tidak ada hal penting lain, saya pamit undur diri,” ujar Edhie berpamitan.“Tunggu, aku butuh tambahan pengawal di pelabuhan St. Marina. Tenang saja, kali ini aku tidak meminta secara cuma-cuma. Akan ada bayaran lebih, karena pekerjaan ini cukup berat.”“Apa boleh saya mengetahui, pekerjaan apa kali ini?”Kecurigaan Edhie semakin menguat. Pelabuhan St. Marina adalah pelabuhan yang menjadi temp
Elliot bergegas menuruni anak tangga, Lily sudah menunggunya di depan untuk berangkat ke kampus bersama. Ia harus kembali ke kamarnya karena ponsel yang tertinggal di nakas. Bersamaan dengan itu, Cassandra menaiki anak tangga menuju ke ruang kerja Edhie. Elliot melirik sekilas ketika berpapasan, melewati wanita itu begitu saja. Akan tetapi, Cassandra menghentikan langkahnya.“Apa yang kau rencanakan, Tuan Muda McClain?” Cassandra menoleh ke arah Elliot yang turut menghentikan langkahnya di anak tangga dasar.“Bisakah kita berpura-pura tidak mengenal seperti biasanya?” Elliot menjawab tanpa berbalik badan.“Aku hanya penasaran, sebenarnya rencana apa yang kau buat hingga memberanikan diri tinggal di kediaman Caldwell.”“Urus saja urusanmu sendiri Cassandra Mortimer. Asal kau tidak menyentuh Lily, aku tidak akan membeberkan apa yang aku ketahui tentangmu.” Elliot menoleh dengan membenarkan kacamatanya. Tatapannya tajam mengintimidasi Cassandra.Tawa sumbang keluar dari bibir merah Cass
“Ya, Tuhan! Kau terluka, Ed?!” seru Lily.Edhie bergegas merapikan kemeja yang ia lepas sebelah. Meskipun niat untuk mengganti perban belum terlaksana, akan lebih merepotkan lagi jika gadis kecilnya banyak bertanya.Derap langkah kaki Lily mendekat, menyisakan jarak setengah meter. Tidak banyak bicara, Lily mencekal lengan kiri Edhie, lantas membuka kembali kemejanya. Nampak kulit kecoklatan Edhie dengan balutan perban di lengan berototnya..“Kenapa tidak minta bantuan?” tanya Lily yang sudah duduk di sisi kiri Edhie“Aku sudah menyuruh Joe untuk pulang beristirahat.”“Aku? Kenapa tidak meminta bantuanku? Kau lupa aku kuliah di jurusan kedokteran?”Edhie terdiam. Apa yang dibayangkannya tadi salah. Ternyata gadis kecilnya tidak seberisik yang dia kira. Nyatanya, Lily lebih banyak diam dan fokus membersihkan luka yang sedikit berdarah lalu mengganti perban.Bulu mata lentik Lily terlihat sangat jelas ketika Lily sedang menunduk. Dari sisi kiri, Edhie bisa melihat garis wajah gadis keci
“Aku ingin El ikut bersamaku!”Uhuk!Elliot terbatuk-batuk hingga membuat kerongkongannya sedikit memanas karena cairan kafein yang diminumnya. Ia menoleh ke arah Lily yang sekali lagi menyeretnya dalam masalah. Lihat saja, gadis itu justru menyunggingkan senyum dengan menaik turunkan alisnya. Pandangannya kini beralih kepada Edhie yang tiba-tiba berdiri lalu berkacak pinggang di hadapan Lily. Tidak, Elliot berharap ia tidak terlibat ke dalam permainan Lily lagi.“Kau kira mansion keluargaku itu penampungan?!”Benar, bukan? Pria di hadapan Lily itu kini menaikkan nada bicaranya. Tapi, bukan Lily namanya jika ia tidak mendebatnya. Sudahlah, Elliot hanya mampu pasrah sekarang.“Kau mau atau tidak, Ed? Jika kau ingin aku kembali tinggal disana, izinkan Elliot ikut bersamaku!” protes Lily.Edhie mengurut keningnya yang mendadak pening. Ia mengalihkan pandangannya ke arah Elliot yang juga menatap kepadanya. “Kau yang memintanya?”Pemuda itu melotot lalu dengan cepat mengibaskan kedua tang
Keadaan menjadi tak terkendali, baku tembak antara pengawal Edhie dan pengawal Oliver tidak bisa dihindari. Merasa mendengar keributan, pengawal dari pihak Gavin pun turut bergabung, sedangkan Lucas—sang pengawal Edhie— turut serta membantu evakuasi pelanggan Bar & Resto Cassiopeia itu. Edhie yang datang dengan penuh persiapan, tentu saja mendominasi keadaan.“Bos!” teriak Joe gegas menghampiri Edhie yang memegang lengan kirinya dengan telapak tangan kanan.Peluru yang ditembakkan oleh pengawal Oliver, menggores lengan kiri Edhie, hal tersebut membuat cekikan di leher Oliver terlepas. Sedangkan, peluru dari Aaron melesat mengenai bahu kanan pengawal Oliver.Oliver yang terbebas dari Edhie, meraup oksigen banyak-banyak. Dibantu oleh Gavin, Oliver berdiri dengan mengalungkan lengannya di pundak Gavin.“Sialan, kau, Ed!” Oliver mengumpat dengan napas tersengal.“Sebaiknya kita pergi sekarang, keadaan disini sangat berbahaya,” paksa Gavin menyeret Oliver untuk meninggalkan tempat.Sementa
Kepulauan Landville sendiri terdiri dari empat negara bagian, yaitu; Westland, Northland, Eastland, dan Southland. Sebagai penganut sistem plutokrasi, yaitu sistem pemerintahan yang berdasar pada jumlah kekayaan yang dimiliki, setiap negara bagian memiliki beberapa kepala keluarga yang turut andil dalam urusan politik.Di ke empat negara bagian tersebut, terdapat tujuh keluarga besar yang berada di bawah kepemimpinan langsung penguasa Landville, mereka menyebutnya Dominus. Seorang Domunis dalam kepimpinannya dibantu oleh para Senator yang turut ambil bagian untuk memimpin masing-masing wilayah negara bagian. Ke-tujuh keluarga besar tersebut adalah keluarga Damaresh—keluarga para Dominus lahir, yang memiliki sebagian kecil dari masing-masing negara; lalu ada keluarga Neilson; keluarga Caldwell; keluarga Livingstone; keluarga Halberd; keluarga Might; dan keluarga McClain. Selain ke-tujuh keluarga itu, sisanya para keluarga kelas Atas yang tidak bisa menyaingi keluarga besar—akan tetapi
“Ini bukan waktu yang tepat untuk membahas perasaanmu, El.” Lily melepaskan tangannya dari pundak Elliot. Ia lantas mengambil duduk di hadapan pria itu.“Fokusku untuk saat ini tidak ingin membebani Edhie, selain itu aku harus menemukan keluargaku yang tersisa. Kau sudah berjanji, bukan? Akan menemaniku bertemu dengan mereka?”Elliot terdiam sejenak. Terdengar hela napas berat keluar dari bibirnya. “Jika sudah bertemu dengan mereka, lalu apa yang akan kau lakukan selanjutnya?”“Aku akan memikirkannya nanti.”“Kau tahu alasanku mengabari paman Edhie? Karena aku belum cukup mampu untuk melindungimu.”“Aku tidak butuh perlindunganmu, El!”“Kau butuh! Kau butuh aku jika masih di sekitar paman Edhie!” Kali ini nada bicara Elliot naik satu oktaf. Namun sejenak kemudian, ia menarik napas panjang. “Kenapa kau tidak mengerti juga seberapa bahayanya paman mu itu?” lirih Elliot.Tidak ada sahutan dari Lily. Bukan tanpa alasan, Lily hanya benar-benar tidak tahu apapun tentang Edhie selain perlind