"Apa kau serius dengan ucapanmu, Lily?" Edhie menarik tubuhnya sedikit menjauh dari Lily. Bukan untuk menghindar, melainkan pria itu ingin mengamati raut wajah gadis kecilnya.
"Aku tidak ingin terus menerus merepotkanmu.""Jika benar itu yang kau pikirkan, aku tetap akan menahanmu. Apa selama ini kau pernah mendengarku mengeluh tentangmu?""Pernah."Ucapan ringan Lily membuat Edhie terdiam dengan mulut yang sedikit terbuka sepersekian detik. Sebelah tangannya yang terangkat hingga sejajar dengan dada, mengawang di udara."A—apa kau bilang?""Pernah," ulang Lily lagi. "Kau pernah mengeluh tentangku yang sangat berisik dan selalu mengikutimu, Ed. Kau juga sering memanggilku bocah karena aku terus menerus merengek kepadamu. Kau juga—""Baiklah. Sudah cukup, Lily," potong pria itu cepat sebelum dihujani berbagai fakta.Edhie salah terlalu percaya diri di depan gadis hasil dari didikannya sendiri itu. Baik rasa percaya diri maupun keras kepalanya, benar-benar menurun dari sikap Edhie."Harusnya kubiarkan Joe saja yang mengasuhnya," gumam Edhie menggerutu. Pria itu mengalihkan pandangannya dari Lily yang masih menatap Edhie dengan mata bulatnya"Padahal belum semenit dia berkata tidak pernah mengeluh." Lily memutar bola matanya."Aku bisa mendengarmu, bocah.""Aku berucap memang sengaja agar kau bisa mendengarnya, Ed," balas Lily tidak ingin mengalah sedikitpun."Bisakah kau tetap disini, Lily? Aku akan kehilangan lawan debatku jika kau tidak ada," udap Edhie beralasan.Keningnya sedikit berkerut dengan sorot mata yang melunak. Apa yang diucapkannya barusan bukanlah sebuah kebohongan. Tinggal bersama dengan Lily membuat kehidupan Edhie menjadi lebih berwarna. Celotehan dari gadis kecilnya hingga kini sudah beranjak dewasa, selalu menghiasa hari-harinya."Baiklah, sebagai gantinya aku minta nama belakangmu, Ed. Agar aku yakin, kau tidak menjadikanku sebagai tawanan.""Hanya itu saja?"Edhie berujar tanpa beban. Ternyata permintaan gadis kecilnya tidaklah sulit. Sudah lama Edhie ingin mendaftarkan Lily sebagai anggota keluarganya, namun ia menunggu persetujuan dari Lily.Bukankah Lily memiliki hak untuk memilih menjadi bagian dari anggota keluarga Edhie, atau membuat nama keluarga sendiri?Yang pasti, Edhie tidak akan memberi tahu nama keluarga Lily yang sesungguhnya."Jadi, kamu bersedia menikah denganku, Ed?" Lily menaikkan sebelah sudut bibirnya dengan alis yang dinaik turunkan.Ya, Tuhan. Bocah ini benar-benar mempermainkan Edhie.***Sebuah candaan yang benar-benar membuat Lily kehilangan tempatnya."Kau serius, Ed?!" Langkah kecil Lily kepayahan mengikuti kaki jenjang Edhie.Pria itu terus mengayunkan kakinya dengan acuh tak acuh."Ed!" panggil Lily lagi.Tidak ada sahutan dari pria itu, ia kembali memerintahkan Nyonya Rosaria—sang kepala asisten rumah tangga— untuk membantu Lily membereskan semua barang-barangnya.Lily sedikit berlari lalu berhasil memegang lengan kekar Edhie dengan kedua tangannya, membuat Edhie mau tak mau harus menghentikan langkahnya."Ed! Kau serius memintaku keluar dari rumah ini?""Bukankah kau sendiri yang menginginkannya, Lily? Kau terus menerus membicarakan soal pernikahan, bagaimana jika orang lain mendengarnya?""Apa yang kau maksud orang lain itu adalah kak Cassandra?"Wajah Edhie sedikit mengeras, dengan alis yang terangkat sebelah."Kenapa membawa-bawa Cassie?""Bukankah satu-satunya alasan adalah kamu yang tidak ingin kak Cassandra salah paham?"Edhie terdiam. Bagaimana mungkin gadis kecilnya itu berpikiran demikian?"Apartemen seperti apa yang kau inginkan? Aku memiliki apartemen mewah dekat dengan sekolahmu, mungkin kau akan tertarik?"Lily berdecak kesal. "Baiklah jika keputusanmu sudah bulat, Ed." Gadis itu menghentakkan kakinya dengan kencang lalu berjalan mendahului Ed.Sesampainya di kamar, Lily mengambil ransel berukuran besar, dengan bibir yang terkatup rapat. Matanya memerah, namun sebisa mungkin ia menahan isakan. Gerakan tangannya terkesan buru-buru dan secara asal memasukkan barang-barang miliknya.Selang beberapa menit, Lily keluar dari kamarnya. Pemandangan pertama yang gadis itu lihat setelah menuruni anak tangga terakhir adalah Edhie yang tengah melingkarkan lengannya di pinggang ramping Cassandra dengan mesra—menurut Lily."Oh, sial!" Bibir mungil Lily tak kuasa untuk tidak mengumpat. "Pria itu benar-benar serius."Edhie yang tidak sadar dengan kehadiran Lily terus berdiri membelakangi Lily. Sesekali terdengar candaan dari keduanya."Dengar ini, Ed!" teriak Lily begitu lantang.Baik Edhie maupun Cassandra mengalihkan pandangannya ke arah Lily. Suasana seketika berubah menjadi menegangkan dikarenakan sorot mata Lily yang menatap tajam ke arah mereka berdua."Kau akan menyesal karena sudah mengusirku!"Setelah mengatakan hal itu, Lily berlari keluar mansion. Langkahnya yang begitu cepat membuat napasnya kian memburu. Akan tetapi, bibir gadis itu tidak hentinya menggerutu."Sial, padahal dia tahu aku hanya bercanda, tapi kenapa dia justru mengusirku. Kau lagi-lagi berbohong, Ed. Harusnya kau jujur saja jika tidak ingin kehadiranku mengganggu hubunganmu dengan Cassie tercintamu itu.""Dasar, bodoh!"Lily yang sibuk menggerutu tidak menyadari jika Edhie sudah berhasil menyusulnya. Pria itu menarik paksa Lily hingga membuat gadis itu kehilangan keseimbangan lalu menubrukkan tubuhnya di dada bidang Edhie.Lily dapat mendengar degup jantung Edhie yang tidak beraturan. Dada pria itu naik turun, sebelum akhirnya menarik napas dalam lalu menghembuskannya perlahan."Aku tidak pernah mengusirmu," ujar Edhie menjelaskan."Kau akan tumbuh semakin dewasa, Lily. Aku tidak ingin terus menerus membatasimu. Terlebih lagi, kau berpikir bahwa aku sudah menjadikanmu sebagai sandera."Ah! Ya, benar. Lily sendiri yang menjadi penyebab pengusiran atas dirinya itu. Meskipun dengan sangat jelas, Edhie sama sekali tidak berniat mengusirnya.Apa boleh saat ini dia menyalahkan Elliot?Edhie mencondongkan tubuhnya untuk menatap lamat gadis yang saat ini bertatap muka dengannya. Pria itu memegang kedua bahu Lily."Lihat aku, Lily. Aku benar-benar menyesal atas kematian kedua orang tuamu. Nyawaku pun tidak cukup untuk menebus kesalahan yang telah aku perbuat."Lily menggeleng cepat. "Tidak, Ed. Kau sudah merawatku selama ini.""Kau berhak balas dendam, Lily. Aku pembunuh."Deg!Seketika jantung Lily berhenti berdetak untuk sepersekian detik. Mendengar kata pembunuh keluar dari mulut Edhie, menarik Lily kembali ke kenyataan. Matanya yang tadi memerah kini sudah dialiri cairan bening."Aku pergi, Ed," putus Lily. Gadis itu gegas berlari ke arah mobil yang disopiri oleh Jovan.Edhie benar-benar sudah mempersiapkan segalanya untuk Lily. Baik apartemen maupun pengawal dan juga asisten rumah tangga, Edhie sudah menyiapkan semuanya dalam kurun waktu beberapa jam saja.Edhie mematung, menatap punggung Lily yang semakin menjauh, hingga menghilang memasuki mobil. "Sudah waktunya kau hidup dengan kebebasanmu, Lily," gumam Edhie.Cassandra yang menyusul Edhie, mengusap lembut bahu Edhie. "Apa kau baik-baik saja?"Edhie meletakkan tangannya di atas tangan Cassandra. "Bagaimana mungkin?" jawabnya tersenyum kecut.Sementara, di dalam mobil, di jok belakang, Lily sengaja membuang pandangannya ke luar jendela yang berlawanan dengan tempat dimana Edhie masih berdiam. Ia sama sekali tidak ingin melihatnya. Suara deru mesin mobil yang stabil, membawa Lily keluar dari tempat dimana awal ingatannya tercipta."Anda tidak apa-apa, Nona?" tanya Jovan dengan raut muka penuh kecemasan.Dari tadi ia mengamati sang nona muda yang masih membisu. "Bos tidak mengusir Anda, Nona. Aku harap, Nona tidak salah paham.""Aku tahu, Paman. Aku tahu, Edhie bukan orang yang seperti itu. Apa Paman tahu, Edhie yang membunuh kedua orang tuaku?"Tidak ada sahutan dari Jovan. Pria itu tetap menatap datar ke arah jalanan.Lily pun juga tidak berniat untuk mendapatkan jawaban. Ia kembali menoleh ke arah luar jendela, menikmati gelapnya malam perkotaan.Sesampainya di unit apartemen milik Edhie, Lily masih terdiam di ambang pintu. Suasana begitu hening, di lantai itu hanya terdapat dua kamar. Entah berpenghuni atau tidak.Lily menarik napas dalam-dalam sebelum Jovan membukanya. "Ayo, paman," ajak Lily kemudian mempersilahkan Jovan untuk membukanya.Setelah pintu terbuka, Lily mengedarkan pandangannya. Apartemen tersebut begitu luas diisi dengan berbagai properti mahal. Tidak heran karena Edhie lah yang memiliki apartemen ini."Sepertinya aku akan betah tinggal disini, Paman," ujar Lily setelah selesai mengamati semua ruangan.Jovan yang sedari tadi mengekor hanya mengangguk sekilas. "Beberapa pelayan akan sampai disini besok pagi, Nona. Nona tidak perlu khawatir, mereka akan senantiasa mempersiapkan segala keperluan Nona. Saya sendiri dan beberapa pengawal juga akan menjaga Nona setiap hari."Lily mengangguk. "Sejujurnya, Edhie tidak perlu melakukannya. Aku sudah cukup dewasa untuk mengurus diriku sendiri.""Bos hanya ingin memastikan keselamatan Nona."Lily berdecak. "Dia hanya menganggapku sebagai bocah." Langkah kaki Lily terayun ke arah balkon dengan gorden yang terbuka lebar. Pemandangan puncak gunung Elber, menjadi salah satu keunggulan dari apartemen ini."Nona, Bos sendiri pasti merasa kehilangan Nona." Jovan yang masih berdiri di belakang Lily akhirnya membuka suara setelah berdiam cukup lama."Aku tahu, karena kami sudah seperti keluarga.""Apapun keputusan Bos, semua demi kebaikan Nona.""Tapi baru kali ini dia memintaku menjauh, Paman." Lily tersenyum getir dengan pandangan yang mengembun. "Apa dia takut, aku akan membalas dendam? Aku tidak sepicik itu, mengabaikan semua kebaikannya."Lily kini menoleh menatap ke arah Jovan, rasa sesak yang sedari dia tahan akhirnya membuncah juga."Apa menurut Edhie, aku ini hanya bocah yang membebaninya?" tanyanya meracau."Tentu tidak, Nona. Bos sangat menyayangi Nona melebihi nyawanya. Bos hanya takut…""Takut?" Lily menaikkan sebelah alisnya, melasa perkataan Jovan selanjutnya adalah sebuah rahasia yang ingin dipendamnya.Jovan tidak berani menatap Lily, bola matanya bergetar. Apa perlu dia jujur dengan Nona Mudanya itu agar tidak terjadi salah paham?"Katakan, Paman," desak Lily."Bos takut jika Nona salah paham dengan perhatiannya selama ini.""Apa?"Saat itu Lily tidak mengerti dengan maksud dari perkataan Jovan. Hingga kini, usianya sudah menginjak dua puluh lima tahun, usia yang sudah matang untuk memahami maksud dari perkataan pamannya kala itu."Keputusanku sudah bulat, Edhie. Aku akan menjadikanmu suamiku!" gumam Lily bertekad."Bagaimana keadaan Lily?" tanya Edhie kepada Jovan yang saat ini berjalan di sisinya."Sangat baik, Bos."Derap langkah sepatu saling bersahutan, menimbulkan suara gema ketika memasuki mansion yang tampak sunyi itu. Edhie melonggarkan sedikit kerah bajunya, untuk meraup oksigen secara bebas. Seharian tadi, dirinya disibukkan dengan menghadiri pertemuan yang diadakan para petinggi yang mengharuskan ia untuk mengenakan pakaian formal.Hela napas terdengar ketika Edhie sampai di ruangan kerjanya. Ia kemudian duduk di kursi berlengan kayu lalu menyandarkan punggungnya di bantalan empuk sandaran kursi. Kepalanya menengadah dengan mata terpejam."Sepertinya bocah itu sedang menikmati masa kuliahnya."Jovan yang berdiri berseberangan dengan sang tuan tidak memberikan tanggapan."Apa dia membenciku?" tanya Edhie dengan mata yang sudah terbuka, menatap ke arah Jovan."Nona…" Jovan menunduk, menenggelamkan wajahnya. Namun, ia tidak bisa menutupi getar di bahunya ketika mengingat perkataan sang
Pada akhirnya, Lily menuntaskan acara bersama dengan teman-teman sekampusnya yang lain. Di lain sisi, Edhie dan Cassandra, menjadi tamu undangan dari pihak orang tua Jane.Sejauh itulah jarak di antara mereka."Apa yang paman Edhie katakan kepadamu?" tanya Elliot dengan segelas wine di tangan kanannya.Pria itu dengan setianya terus mendampingi Lily, untuk memperjelas status bohongan mereka di hadapan teman-teman Lily. Hal itu memang sudah mereka lakukan semenjak Lily merasa jengah karena diganggu oleh beberapa teman pria di kampusnya."Kita bicarakan nanti di rumah," jawab Lily."Hey, Elliot. Apa kau tidak pernah bosan dengan Lily? Aku bisa menggantikan mu jika kau bosan."Goda Kayle, salah seorang teman satu jurusan Lily. Pria dengan rambut cepak itu memang sudah lama tertarik pada Lily. Sayangnya, Lily selalu berdrama jika Elliot lah kekasihnya.Gadis itu, sama sekali tidak tertarik untuk menjalin hubungan dengan pria lain yang sama sekali tidak dikenalnya.Elliot semakin melingka
BRAK!Napas Zion terengah ketika Edhie mendorong tubuh pria itu hingga punggungnya menabrak pintu kayu yang tertutup. Zion sedikit lengah ketika Edhie berhasil meninju rahangnya.“E—Ed?! Dengarkan aku!”Dengan satu hentakan, lengan kekar Edhie menghimpit leher Zion untuk menahan pergerakannya. Tidak ada kesempatan bagi Zion untuk terbebas dari amukan Edhie saat ini.Wajah Zion mulai kemarahan, sangat kesulitan untuk meraup oksigen. Pun juga dengan kemeja putihnya yang sudah tak berbentuk, dihiasi dengan bercak darah. Peluh bercampur darah mengucur dari kening dan pelipis Zion, serta luka lebam di bagian rahang dan perut.“K—kau gila….” desis Zion bersusah payah. Matanya menyipit sayu.Zion melirik ke arah empat pengawalnya yang ditahan oleh bodyguard milik Edhie. Tidak ada satupun dari mereka yang berhasil lolos.Sedangkan di hadapannya, ada mata tajam Edhie yang siap menguliti setiap inci tubuhnya. “Ini hukuman karena kau telah bekerjasama dengan Oliver,” desis Edhie tepat di depan
Edhie menatap tajam Lily yang kini berdiri di hadapannya. “Apa kau paham situasinya, Lily?”“Aku hanya mengkhawatirkanmu, Ed!”“Jovan!”“Tidak, Ed! Jangan salahkan Paman Jovan. Dia tidak bersalah!”Jovan berlari kecil menghampiri sang Bos. “Maaf, saya bersalah, Bos,” sesalnya tanpa berani melihat ke arah Edhie.“Mulai sekarang, Aaron yang akan menggantikanmu mengawasi Lily.”Mata Lily membulat sempurna. Jovan akan digantikan dengan Aaron? Yang benar saja, Edhie?Aaroon, pengawal Edhie yang menurut Lily paling beringas. Selama berada di rumah Edhie, Lily hampir tidak pernah berbicara dengannya. “Aku tidak mau!” sanggah Lily.“Ini perintah, bukan permintaan, Lily!”“Kau menganggapku apa, Ed? Jangan-jangan benar, selama ini kamu memperlakukanku sebagai tahanan?”Lily menaikkan sudut bibirnya, mata gadis itu tampak terluka dengan senyum yang ia paksakan.“Kau bicara apa, Lily?” E
“El, apa yang harus aku lakukan sekarang?” Lily terduduk lesu, pandangannya sarat akan kesedihan setelah Edhie sengaja membiarkannya sendiri tanpa pengawasan.“Kau tidak perlu melakukan apa-apa, Lily. Memang apa yang kau harapkan dari paman Edhie? Menikahimu?” ejek Elliot.“Elliot McClain! Aku sedang tidak ingin bercanda.”Elliot menaikkan sebelah alisnya, bibirnya tersungging. “Jadi selama ini kau berteriak ingin menikahi Edhie itu hanya bercanda? Ya, aku akan senang jika memang—”“Aku serius, El!”“Katakan yang jelas, Lily… kau serius atau bercanda?”Bibir Lily berdecak kesal. Gadis itu lalu mengacak rambut panjangnya dengan frustasi. Posisinya saat ini sedang duduk bersisian dengan Elliot. Sofa yang harusnya mereka duduki justru dialih fungsikan sebagai sandaran.Dalam sesaat, ruangan dengan lampu yang Lily biarkan temaram itu dibalut keheningan. Hanya suara detik jam yang tertangkap di indera pendengaran mereka.“Paman Edhie berbohong," ucap Elliot memecah keheningan.Lily yang ba
Perselisihan antara Edhie dan Oliver dimulai sejak Edhie secara resmi dinyatakan sebagai pewaris dari keluarga Caldwell. Meskipun usianya baru menginjak dua puluh satu tahun, Edhie dengan terpaksa harus menerima keputusan itu.“Sungguh ironis. Tepat setelah pemakaman ayah dan ibu, aku harus menerima semua peninggalan kalian. Jika disuruh memilih, akan lebih baik kalian tetap hidup tanpa memberiku apa-apa.” Edhie berucap dengan senyum getir di dua gundukan tanah yang bertuliskan Edward Caldwell dan Selena Moore.“Ya. Setidaknya aku tahu kalian tidak ingin terpisah satu sama lain,” lanjutnya.“Tuan, Anda harus segera kembali ke mansion. Tuan Frederick sudah menunggu.”Deg!Mendengar nama sang kakek disebut membuat Edhie mengepalkan tangannya. Perlahan, pemuda itu lantas berdiri. “Kita kembali sekarang!” perintahnya kepada Robert, pelayan setia Edward.“Baik, Tuan.”***“Jangan membuang waktumu di pemakaman Edward dan Selena. Mereka tidak akan pernah kembali,” ujar seorang pria berkacama
“Sepertinya Anda sangat dekat dengan kakek, Tuan.” Edhie berkata tak acuh.Hal itu membuat Rafferty tersenyum jumawa. “Kau akan tahu setelah kami bertemu.”Kening Edhie berkerut, dengan telunjuk yang mengusap dagunya. “Sedikit informasi, jika Anda ingin bertemu dengan kakek, Anda harus bergegas.”“Apa maksudmu?”Edhi mengangkat kedua bahunya. “Pagi tadi, aku telah mengirim kakek untuk kembali ke Northland.”“Apa?!” Baik Rafferty maupun Oliver mengucapkan kata itu secara bersamaan . Keduanya pun saling pandang dengan wajah sama bingungnya. “Apa maksudmu?” tanya Rafferty, pandangan pria itu terarah kembali kepada Edhie. “Silahkan melakukan perjalanan ke Northland, saya bisa memastikan… apa yang Anda inginkan tidak akan terjadi.” Edhie menaikkan sebelah sudut bibirnya lalu melangkahkan kaki meninggalkan ruangan.“Sial!” Rafferty benar-benar kehabisan akal menghadapi Edhie.Mau tidak mau Rafferty dan Oliver meninggalkan kediaman keluarga Caldwell itu tanpa menghasilkan apa-apa.Edhie berj
”Hai, Nona.”Lily yang baru saja turun tangga keluar dari gedung fakultas dikejutkan oleh kehadiran pria berkacamata hitam yang tiba-tiba menghadangnya.“M—maaf?” Lily yang merasa asing pun mengerutkan keningnya.Pria itu lantas membuka kacamatanya, memperlihatkan manik mata kecoklatan miliknya.Deg! Paman yang di gedung itu?Refleks Lily sedikit termundur dengan tangan yang mengepal erat tali tas selempangnya—yang sialnya pergerakan itu tidak luput dari penglihatan Oliver.“Apa kita saling mengenal?” Usaha Lily untuk bersikap biasa saja sepertinya gagal ketika nada suaranya sedikit bergetar. Perkataan Elliot terlintas di benaknya, untuk berhati-hati kepada siapapun yang berpeluang menjadi musuh Edhie.Lily tidak bodoh, besar kemungkinan dirinya bisa terlibat dalam bahaya, bukan? Terlebih lagi mengingat ekspresi Edhie kala itu.“Aku cukup yakin kamu masih mengingatku, Nona.” Seringai tajam tercetak jelas di wajah tegas Oliver. “Tenang, aku berjanji tidak akan menyakitimu. Aku hanya in
Edhie bersiap untuk memerintahkan beberapa pengawal pilihannya. Joe dan juga Aaron, dua orang kepercayaan Edhie ditugaskan untuk memimpin pasukan.“Bos, aku ingin ikut dengan mereka,” pinta Jovan kepada Edhie.“Kau tetap bersamaku menjaga Lily. Kita harus mengawasinya penuh tiga hari ini.” Edhie bersedekap memikirkan kemungkinan-kemungkinan buruk yang akan terjadi.“Entahlah, ada dua hal yang aku pikirkan, Jovan. Aku harap kau mau bekerja sama.”Jovan tidak berani membantah lagi, ia kemudian mundur sejajar kembali dengan barisannya.“Aku tidak peduli jika pada akhirnya kalian ada yang berkhianat, yang perlu kalian ingat… ada harga sepadan yang harus kalian bayar jika berani melakukannya.” Edhie menatap tegas satu persatu barisan berjas hitam yang berjumlah dua puluh orang itu. Permintaan Dominus kali ini memang cukup banyak, bahkan Edhie harus mengerahkan dua orang kepercayaannya.“Loyal atau tidak, itu pilihan kalian.”Berkaca pada kasus sebelumnya, Edhie merasa jika kali ini siasat
“Lily, banyak hal yang ingin aku katakan,” ujar Edhie yang kini mengambil kesempatan mencuri waktu sebelum melaksanakan mandat dari sang Dominus.“Hm? Apa ini akan memakan waktu lama?”Lily yang duduk di balkon ruang tengah, menoleh ke arah Edhie yang baru saja tiba di rumah.Edhie melepas kancing atas kemejanya, ia gulung lengan tangannya hingga sebatas siku. Rambutnya sudah tidak serapi keberangkatannya tadi. “Apa kau ada urusan?”“Tidak. Kau yang memintaku untuk langsung pulang, aku kira ada sesuatu yang penting.”“Memang. Aku hanya ingin menjelaskan siapa kamu sebenarnya.”“Ed? Apa kau yakin?”Edhie melangkah untuk mendekat ke arah Lily. Ia memilih duduk di kursi panjang, tempat dimana Lily duduk.“Tidak. Sungguh, jika boleh jujur, aku ingin kamu menjadi Lily seperti ini saja yang tidak tahu apa-apa soal keluargamu.” Sorot mata Edhie menerawang lurus ke depan. Hamparan taman yang asri, serta kemilau cahaya matahari yang mulai terbias dengan warna senja, merubah suasana yang awaln
“Siapa tahu, bukan?”Telapak tangan Edhie mengepal. “Saya hanya berusaha menebus dosa masa lalu.”Dominus melihat Edhie dengan ekor matanya. Entah apa yang dipikirkannya, ada rasa tidak suka yang tersirat dalam pandangannya. Edhie sangat tahu, ada sesuatu yang Dominus rencanakan terhadap dirinya. Feelingnya berkata, sesuatu itu adalah hal yang mengancam keluarga Caldwell. Sederhananya, Edhie pernah melapor tentang perbuatan Halberd yang mendistribusikan barang haram dari kepulauan seberang untuk di edarkan di kepulauan Landville. Akan tetapi, Dominus sama sekali tidak mengambil tindakan. “Jika tidak ada hal penting lain, saya pamit undur diri,” ujar Edhie berpamitan.“Tunggu, aku butuh tambahan pengawal di pelabuhan St. Marina. Tenang saja, kali ini aku tidak meminta secara cuma-cuma. Akan ada bayaran lebih, karena pekerjaan ini cukup berat.”“Apa boleh saya mengetahui, pekerjaan apa kali ini?”Kecurigaan Edhie semakin menguat. Pelabuhan St. Marina adalah pelabuhan yang menjadi temp
Elliot bergegas menuruni anak tangga, Lily sudah menunggunya di depan untuk berangkat ke kampus bersama. Ia harus kembali ke kamarnya karena ponsel yang tertinggal di nakas. Bersamaan dengan itu, Cassandra menaiki anak tangga menuju ke ruang kerja Edhie. Elliot melirik sekilas ketika berpapasan, melewati wanita itu begitu saja. Akan tetapi, Cassandra menghentikan langkahnya.“Apa yang kau rencanakan, Tuan Muda McClain?” Cassandra menoleh ke arah Elliot yang turut menghentikan langkahnya di anak tangga dasar.“Bisakah kita berpura-pura tidak mengenal seperti biasanya?” Elliot menjawab tanpa berbalik badan.“Aku hanya penasaran, sebenarnya rencana apa yang kau buat hingga memberanikan diri tinggal di kediaman Caldwell.”“Urus saja urusanmu sendiri Cassandra Mortimer. Asal kau tidak menyentuh Lily, aku tidak akan membeberkan apa yang aku ketahui tentangmu.” Elliot menoleh dengan membenarkan kacamatanya. Tatapannya tajam mengintimidasi Cassandra.Tawa sumbang keluar dari bibir merah Cass
“Ya, Tuhan! Kau terluka, Ed?!” seru Lily.Edhie bergegas merapikan kemeja yang ia lepas sebelah. Meskipun niat untuk mengganti perban belum terlaksana, akan lebih merepotkan lagi jika gadis kecilnya banyak bertanya.Derap langkah kaki Lily mendekat, menyisakan jarak setengah meter. Tidak banyak bicara, Lily mencekal lengan kiri Edhie, lantas membuka kembali kemejanya. Nampak kulit kecoklatan Edhie dengan balutan perban di lengan berototnya..“Kenapa tidak minta bantuan?” tanya Lily yang sudah duduk di sisi kiri Edhie“Aku sudah menyuruh Joe untuk pulang beristirahat.”“Aku? Kenapa tidak meminta bantuanku? Kau lupa aku kuliah di jurusan kedokteran?”Edhie terdiam. Apa yang dibayangkannya tadi salah. Ternyata gadis kecilnya tidak seberisik yang dia kira. Nyatanya, Lily lebih banyak diam dan fokus membersihkan luka yang sedikit berdarah lalu mengganti perban.Bulu mata lentik Lily terlihat sangat jelas ketika Lily sedang menunduk. Dari sisi kiri, Edhie bisa melihat garis wajah gadis keci
“Aku ingin El ikut bersamaku!”Uhuk!Elliot terbatuk-batuk hingga membuat kerongkongannya sedikit memanas karena cairan kafein yang diminumnya. Ia menoleh ke arah Lily yang sekali lagi menyeretnya dalam masalah. Lihat saja, gadis itu justru menyunggingkan senyum dengan menaik turunkan alisnya. Pandangannya kini beralih kepada Edhie yang tiba-tiba berdiri lalu berkacak pinggang di hadapan Lily. Tidak, Elliot berharap ia tidak terlibat ke dalam permainan Lily lagi.“Kau kira mansion keluargaku itu penampungan?!”Benar, bukan? Pria di hadapan Lily itu kini menaikkan nada bicaranya. Tapi, bukan Lily namanya jika ia tidak mendebatnya. Sudahlah, Elliot hanya mampu pasrah sekarang.“Kau mau atau tidak, Ed? Jika kau ingin aku kembali tinggal disana, izinkan Elliot ikut bersamaku!” protes Lily.Edhie mengurut keningnya yang mendadak pening. Ia mengalihkan pandangannya ke arah Elliot yang juga menatap kepadanya. “Kau yang memintanya?”Pemuda itu melotot lalu dengan cepat mengibaskan kedua tang
Keadaan menjadi tak terkendali, baku tembak antara pengawal Edhie dan pengawal Oliver tidak bisa dihindari. Merasa mendengar keributan, pengawal dari pihak Gavin pun turut bergabung, sedangkan Lucas—sang pengawal Edhie— turut serta membantu evakuasi pelanggan Bar & Resto Cassiopeia itu. Edhie yang datang dengan penuh persiapan, tentu saja mendominasi keadaan.“Bos!” teriak Joe gegas menghampiri Edhie yang memegang lengan kirinya dengan telapak tangan kanan.Peluru yang ditembakkan oleh pengawal Oliver, menggores lengan kiri Edhie, hal tersebut membuat cekikan di leher Oliver terlepas. Sedangkan, peluru dari Aaron melesat mengenai bahu kanan pengawal Oliver.Oliver yang terbebas dari Edhie, meraup oksigen banyak-banyak. Dibantu oleh Gavin, Oliver berdiri dengan mengalungkan lengannya di pundak Gavin.“Sialan, kau, Ed!” Oliver mengumpat dengan napas tersengal.“Sebaiknya kita pergi sekarang, keadaan disini sangat berbahaya,” paksa Gavin menyeret Oliver untuk meninggalkan tempat.Sementa
Kepulauan Landville sendiri terdiri dari empat negara bagian, yaitu; Westland, Northland, Eastland, dan Southland. Sebagai penganut sistem plutokrasi, yaitu sistem pemerintahan yang berdasar pada jumlah kekayaan yang dimiliki, setiap negara bagian memiliki beberapa kepala keluarga yang turut andil dalam urusan politik.Di ke empat negara bagian tersebut, terdapat tujuh keluarga besar yang berada di bawah kepemimpinan langsung penguasa Landville, mereka menyebutnya Dominus. Seorang Domunis dalam kepimpinannya dibantu oleh para Senator yang turut ambil bagian untuk memimpin masing-masing wilayah negara bagian. Ke-tujuh keluarga besar tersebut adalah keluarga Damaresh—keluarga para Dominus lahir, yang memiliki sebagian kecil dari masing-masing negara; lalu ada keluarga Neilson; keluarga Caldwell; keluarga Livingstone; keluarga Halberd; keluarga Might; dan keluarga McClain. Selain ke-tujuh keluarga itu, sisanya para keluarga kelas Atas yang tidak bisa menyaingi keluarga besar—akan tetapi
“Ini bukan waktu yang tepat untuk membahas perasaanmu, El.” Lily melepaskan tangannya dari pundak Elliot. Ia lantas mengambil duduk di hadapan pria itu.“Fokusku untuk saat ini tidak ingin membebani Edhie, selain itu aku harus menemukan keluargaku yang tersisa. Kau sudah berjanji, bukan? Akan menemaniku bertemu dengan mereka?”Elliot terdiam sejenak. Terdengar hela napas berat keluar dari bibirnya. “Jika sudah bertemu dengan mereka, lalu apa yang akan kau lakukan selanjutnya?”“Aku akan memikirkannya nanti.”“Kau tahu alasanku mengabari paman Edhie? Karena aku belum cukup mampu untuk melindungimu.”“Aku tidak butuh perlindunganmu, El!”“Kau butuh! Kau butuh aku jika masih di sekitar paman Edhie!” Kali ini nada bicara Elliot naik satu oktaf. Namun sejenak kemudian, ia menarik napas panjang. “Kenapa kau tidak mengerti juga seberapa bahayanya paman mu itu?” lirih Elliot.Tidak ada sahutan dari Lily. Bukan tanpa alasan, Lily hanya benar-benar tidak tahu apapun tentang Edhie selain perlind