Home / Pernikahan / BERBAGI SUAMI (TAMAT) / BAB 1: Perselisihan

Share

BERBAGI SUAMI (TAMAT)
BERBAGI SUAMI (TAMAT)
Author: Andri Lestari

BAB 1: Perselisihan

Author: Andri Lestari
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Silakan!

Jika memang ingin menikah lagi, itu adalah hak dia sepenuhnya. Kularang pun tak bisa. Toh, dia memang tidak mencintaiku. Di dalam hatinya hanya ada satu nama yang tidak akan pernah terganti. Meskipun Hadi telah menikahiku, bukan berarti aku bisa menggeser posisi Tiara di hatinya. Wanita yang telah lama menjadi tambatan rindu suamiku. Di saat mereka sedang merangkai impian untuk hidup bersama, aku datang sebagai perebut calon suami orang.

Aku dan Hadi terpaksa menikah karena dijodohkan. Orang tuaku dan orang tua Hadi telah lama bersahabat. Tanpa diketahui mereka telah menjodohkan kami jauh hari saat aku dan Hadi masih remaja. Setelah kami menyelesaikan pendidikan dan Hadi telah mapan, akhirnya pembahasan itu pun dibuka. Acara lamaran dan pernikahan akan segera dilangsungkan.

Bukan aku tidak menolak, apalagi membayangkan Azzam yang sedang berada di Turki. Kami telah berjanji untuk saling setia menanti, apa pun yang terjadi tidak boleh seorang pun mendua hati. Di lain sisi, Umi harus beberapa kali bertemu dengan jarum infus di rumah sakit. Tekanan darahnya menjadi tinggi karena penolakan yang berulang kali kugencarkan.

Melihat kondisinya terbaring tak berdaya, aku pun mencoba untuk menepiskan ego yang meraja. Berusaha untuk legowo, menerima pilihan orang tua. Menikah dengan calon yang mereka berikan. Lelaki yang sama sekali belum pernah kutemui, karena menurut cerita umi dia menghabiskan masa lajang di luar negeri. Jangankan bertegur sapa, namanya saja baru kuketahui beberapa hari sebelum kami menikah.

"Aku mau menikah dengan Tiara." Hadi berujar acuh sambil melihat ke arahku.

"Kalau menurutmu itu yang terbaik, silakan. Aku tidak berhak untuk melarang." Kujawab sambil menahan gemuruh di dada. Dia tidak memerlukan persetujuanku sebenarnya. Karena lelaki itu bisa melakukan apa saja tanpa harus memberitahuku terlebih dahulu.

"Bagus kalau kamu sadar diri. Aku memang tidak meminta persetujuanmu. Aku tidak peduli. Hanya aku minta agar kamu merahasiakan semua ini. Dari orang tuaku tentunya, terutama ibu."

Hadi sangat menyayangi kedua orang tuanya, aku tahu itu. Dia tidak pernah membantah sepatah kata pun dari ayah dan ibunya. Di depan mereka, Hadi adalah anak yang patuh lagi baik, akan tetapi di belakang, lelaki itu bagaikan iblis tak berhati nurani.

Sekian bulan pernikahan kami, sama sekali dia tidak menganggapku ada. Kami bagaikan orang asing di dalam satu atap. Dia melarangku untuk melaksanakan tugas sebagai seorang istri. Apalagi untuk bercinta, sekali pun dia belum pernah menyentuhku layaknya pasangan normal di luaran sana.

Sama seperti umi, ibu mertuku pun tidak bisa mendengar kabar yang tidak baik. Sakit jantungnya akan kumat seketika. Hadi sangat menjaga itu. Ia tidak pernah membuat sang ibu bersedih. Setiap kami berkunjung ke rumah orang tua Hadi, maka kami akan berlagak seperti pasangan suami istri yang saling menyayangi.

Dia akan bersikap sangat romantis padaku, begitupun aku diminta untuk berperan sebagai istri yang baik di depan orang tuanya. Hingga sejauh ini tidak ada yang pernah menaruh curiga dengan pernikahan kami. Pernikahan yang sebenarnya sakit.

"Kupikir ada yang tidak peduli lagi dengan ayah dan ibu. Kulihat kau bisa berbuat sesuka hati."

"Jaga mulutmu! Kamu tidak berhak menilai apa-apa tentang aku."

"Terserah!" Aku beralih ke arah kamar. Menutup pintu dan tidak lupa menguncinya.

Begitulah, selama tujuh bulan pernikahan, aku dan Hadi sudah tidur pisah kamar. Aku dibawa Hadi beberapa hari setelah menikah. Lelaki itu termasuk salah satu pengusaha sukses di usia yang masih tergolong muda. Tidak sulit baginya untuk mendapatkan sebuah rumah besar untuk kami tinggali setelah menikah. Namun, tujuan utama ia membawaku bersama adalah karena memang tidak ingin menganggapku ada.

Sejak awal acara pertunangan pun ia telah mengatakan semuanya. Saat itu kami sengaja diminta untuk duduk berdua untuk saling mengenal lebih jauh. Dia berbicara apa adanya. Demikian juga aku, memberitahukan jika ada sebongkah hati yang tersakiti karena menerima perjodohan kami. Namun, berbeda dengan Hadi, meskipun awalnya aku menolak, akan tetapi aku berusaha untuk lapang dada.

Aku menganggap jodoh dari orang tua adalah yang terbaik untukku. Ternyata aku salah. Pernikahan kami malah membuat hari-hariku menjadi suram. Rumah tangga kami bagaikan rumput di padang tandus tak tersiram hujan.

Kulirik jam dinding, jarum pendeknya berada di angka sepuluh. Jika Hadi di rumah, aku selalu mengunci diri di kamar. Bertemu dengannya adalah hal yang sangat kuhindari.Terkadang aku sering merindui Azzam. Lelaki yang bertutur lembut dan selalu menjaga diri saat kami bersama, sehingga meyakinkanku jika dia adalah pilihan terbaik yang pantas kunanti. Entah bagaimana kabarnya sekarang, aku tidak pernah menghubungi dia lagi setelah sah menjadi istri Hadi.

Aku masih tahu tentang dosa, tak baik seorang perempuan bersuami berhubungan dengan lelaki lain walau hanya sekadar bertegur sapa. Sengaja aku menghilang, karena tak ingin menyakiti hati Azzam dan mengganggu pendidikan master-nya. Walaupun rasa sakit itu telah kutorehkan saat kabar pernikahan kusampaikan padanya dulu.

Sibuk dengan pikiran yang melalang buana, perutku bernyanyi berulang kali. Aku memang sudah lapar sejak tadi. Namun, seperti biasa, aku akan menahannya hingga jadwal Hadi makan terlewati. Lelaki itu terbiasa duduk di meja makan pukul delapan malam. Ia akan menghabiskan waktu setengah jam bahkan lebih hanya untuk menikmati makan malamnya. Sementara aku ogah untuk duduk semeja. Jika pun lapar, aku sudah terbiasa menunda hingga lelaki itu beranjak dari dapur.

Setelah melaksanakan salat Isya, aku pun beranjak ke dapur untuk menyiapkan makan malam. Sejak awal tinggal serumah, aku tidak pernah mengurusi segala keperluan Hadi. Begitu yang ia minta. Lelaki itu melarangku untuk berlaku layaknya seorang istri. Tidak boleh mempersiapkan makanan dan lain sebagainya. Kami akan mengerjakannya masing-masing.

Aku lebih banyak menghabiskan waktu di rumah karena belum mendapatkan pekerjaan. Jika soal uang, Hadi memberikan untukku selama status masih pengangguran. Namun, hanya sebatas itu, tidak untuk hal-hal lain.

Selain aku dan Hadi. Di rumah juga ada seorang wanita paruh baya yang ikut membantu urusan rumah tangga. Mbok Mi begitu kami memanggilnya. Dialah yang membantu Hadi selama ini. Wanita itu akan datang setiap pagi dan pulang menjelang sore. Dia hanya melayani Hadi, bukan aku.

Aku berjalan ke arah dapur. Perut mulai terasa perih karena rasa lapar yang terus mengikis. Saat membuka pintu kamar, aku mendengar suara orang yang sedang berbicara dari arah ruang tamu. Kedengarannya seperti suara Hadi. Aku tak peduli, perut diminta untuk segera diisi.

Setiba di dapur, aku membuka tempat penanak nasi. Apa yang terjadi? Nasi yang siang tadi kutanak tidak bersisa. Seingatku setelah makan siang tadi, masih ada sisanya untuk makan malam. Atau memang aku yang lupa? Karena lapar yang terus menyiksa, aku berpindah melihat isi lemari dapur, ada beberapa bungkus stok mie instan. Aku pun mulai mengeksekusinya.

Beberapa menit kemudian, mie kuah soto siap untuk dilahap. Aku sama sekali tak menyadari kehadiran Hadi yang telah duduk di kursi tepat di depanku.

"Masih ada?" Pertanyaannya membuatku tersedak.

"Apa? Kenapa kamu di sini? Bukannya jam malammu di meja makan telah usai? Sekarang giliranku." Aku berkata ketus. Tersisa rasa perih di hidung karena kuah mie instan yang pedas. Aku meneguk air yang baru saja kuambil dari mesin pendingin beberapa kali.

"Aroma kuah sotonya membangunkan cacing yang sudah tidur." Lelaki itu mencondongkan tubuhnya ke arah mangkuk mie kuahku.

"Ya, sudah. Kamu masak sendiri. Aku mau ke kamar." Aku pun beranjak dari meja makan. Sisa mie yang masih banyak ikut serta kuangkut beserta gelas air minum. Bisa hilang selera makan jika di dapur berduaan dengan Hadi. Kehadirannya membuat mood-ku hilang seketika. Lelaki itu memang membawa aura negatif bagiku.

"Oya, kamu makan nasi yang telah kumasak?" Aku berbalik badan dan melihat ke arah Hadi yang sedang membuka lemari tempat mie instan tersimpan.

"Ya, Mbok Mih tidak datang hari ini. Aku juga lupa membeli makanan tadi," ujarnya tanpa melihat ke arahku.

"Bukan urusanku!"

Mbok Mih memang tidak datang, hari ini dia meminta izin karena mengantar anaknya ke pesantren. Aku merasa aneh saja dengan Hadi. Dia yang membuat peraturan, tapi dia yang lebih sering melanggar. Berbeda denganku, satu peraturan saja harus tertib kulaksanakan. Tidak boleh macam-macam.

"Minggu depan aku akan menikah. Tiara akan tinggal di sini bersama kita." Suara Hadi masih terdengar dari arah dapur. Aku tak peduli. Lagi pula rumah ini juga bukan milikku. Mereka bebas mau berbuat apa saja.

***

Bersambung

Comments (5)
goodnovel comment avatar
Ratna Wati
lanjutkan Thor
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
mirip cerita orang ketiga.
goodnovel comment avatar
cermin retak
Ini author Vennia Lestari ya, kok ceritanya mirip karya Mbk Vennia judulnya Orang Ketiga
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • BERBAGI SUAMI (TAMAT)    BAB 2: Terbeban

    Aku terbangun agak telat pagi ini. Semalaman aku tidak tertidur, menghabiskan waktu membaca buku serta salat malam. Entah kenapa perkataan Hadi tadi malam begitu mengganggu pikiran. Seberapa persen lelaki itu serius untuk menikah lagi? Tahukah dia seperti apa resiko ke depan jika pernikahan tersebut tetap dilangsungkan.Akan banyak pihak yang tersakiti, terutama orang tuanya serta orang tuaku juga. Umi pasti akan sangat terpukul melihat nasib anak perempuannya yang malang. Masih muda sudah menyandang status sebagai istri tua, itu pun jika aku sanggup bertahan dan melanjutkan status pernikahan kami, jika tidak tentu aku akan menjadi janda. Apa nanti kata orang-orang?Sementara Hadi memintaku untuk menyembunyikan tentang rencana pernikahan mereka. Sampai kapan rahasia itu bisa ditutupi? Sepandai-pandai tupai melompat, akhirnya pasti jatuh juga. Namun, aku tidak boleh banyak bicara, biarkan saja ia menikahi Tiara, nanti dia sendiri yang akan menanggung segala resiko yang sedang menanti d

  • BERBAGI SUAMI (TAMAT)    BAB 3: Saran dari Sahabat

    Sudah satu jam lebih aku menunggu Hanin, akhirnya dia datang juga. Rasa kesalku sudah memuncak, mengingat perlakuan Hadi barusan. Jika saja tidak mengingat malu, sudah kuumpat lelaki itu kasar. Kulihat Hanin sedang menuju ke arah mejaku. Air mata sudah tergenang sejak tadi. Di depan Hadi aku berlagak kuat. Setetes air mata pun tak ingin kuperlihatkan di depannya. Sesakit apa pun kalimat yang ia keluarkan, aku tidak akan menangis di depan lelaki pengecut itu."Maaf, aku telatnya keterlaluan. Sengaja semua laporan kuselesaikan tadi, biar setengah hari ini bisa habiskan waktu sama kamu." Wanita yang masih setia melajang itu berkata sambil menjawit hidungku. Ah, mata sudah terlanjur berkabut, tak dapat kutahan, bulir bening itu luruh juga. Sontak saja Hanin terlihat kaget melihatku yang tiba-tiba menangis."Kamu kenapa? Aku minta Maaf! Kamu sudah menunggu lama!" seru gadis cantik itu lagi. Hanin adalah sahabatku sejak awal kuliah dulu. Banyak kenangan yang telah kami lalui bersama, suka m

  • BERBAGI SUAMI (TAMAT)    BAB 4: Kejutan dari Kamar Mandi

    "Assalamu'alaikum." Aku mengucapkan salam."Belum bisa pulang? Ibu mau datang," ujar lelaki itu dari seberang sana. Nada suaranya terdengar sinis. "Sebentar lagi aku pulang. Kamu tenang aja!"Panggilan telepon terputus tanpa ada ucapan salam. Aku menghela napas berat. Kepalaku sedikit berdenyut. Beban hidup ini terasa sungguh berat. Aku melihat ke arah Hanin. Wanita cantik itu menepuk pundakku, seolah memberikan semangat jika bukan saatnya untuk menyerah."Aku harus cepat, Nin. Ibunya Hadi sudah di jalan," ujarku pada Hanin sambil memeluk dirinya. Hanin membalas pelukanku dengan erat. Kemudian kami berjalan hingga ke parkiran dan berpisah di sana. Aku mengendarai sepeda motor dengan kecepatan standar. Kondisi jalan yang ramai membuatku berpikir dua kali untuk melaju kencang.Beberapa saat kemudian aku tiba di rumah. Kondisi dari luar terlihat masih sepi, dugaanku jika Ibu pasti belum sampai. Di depan pintu masuk, Hadi berdiri angkuh. Kedua tangannya menyilang di dada. Tatapnnya bagai

  • BERBAGI SUAMI (TAMAT)    BAB 5: Pertikaian di dalam Kamar

    Kami menatap Hadi meminta penjelasan. Dengan berbagai macam pikiran tentunya. Kenapa Hadi membeli kondom? Toh selama menikah kami tidak pernah melakukan hubungan suami istri, jadi kondom yang di kamar mandi itu untuk siapa?"Jadi kalian pakai kondom?" tanya Ibu menatap lekat anaknya."Eh, iya, Bu. Sebenarnya Nadia nggak mau. Aku saja yang paksa." Dia berkata sambil menggaruk kepala. Sering kuperhatikan jika ia sedang berbohong, maka kebiasaan yang dilakukan adalah menggaruk kepala bagian belakang."Lha, kapan mau punya bebi, kalau pakai ginian!" seru Ibu sambil menghela napas.Tega sekali dia membohongi Ayah dan Ibu. Berapa banyak kebohongan demi kebohongan yang telah kami ciptakan. Telanjur berbohong dan akhirnya semakin larut dalam skenario yang entah kapan akan berakhir."Kamu belum mau punya momongan, Nadia?" Ibu beralih padaku, sementara Ayah memilih duduk di pinggir ranjang dan memperhatikan kami. "Mau, Bu. Mau banget," lirihku sambil menunduk. Sebenarnya siapa, sih, yang tidak

  • BERBAGI SUAMI (TAMAT)    BAB 6: Sandiwara

    Aku mendorong tubuh Hadi menjauh. Namun, aku kalah kuat. Lelaki itu memeluk tubuhku dari belakang kemudian ditarik ke kamar. Pintu ditutup menggunakan kaki, sementara sebelah tangannya ia gunakan untuk mengunci pintu. "Apa-apaan, sih, kamu?" Aku menyikut perut lelaki itu. Ia mengaduh, tapi tetap tidak melepaskan pelukan. "Sakit tau!" Ia berseru dengan suara yang sepertinya sengaja ditahan. Mungkin saja biar Ayah dan Ibu tidak mendengar kegaduhan kami."Lepasin, nggak? Atau aku teriak biar heboh?"Hadi membekap mulutku dengan ke dua telapak tangannya dari arah belakang. Otomatis aku menjadi susah bernapas karena hidung juga ikut tertutup rapat. Terpaksa aku menggigit telapak tangan yang menekan mulut serta hidungku itu."Aww!" pekik Hadi sambil mengentakkan tangannya ke bawah. "Rasain!" Aku mendelik tajam ke arah lelaki berhidung mancung itu.Hadi memilih duduk di atas sofa sambil menekan-nekan telapak tangannya. Sedangkan aku berdiri tepat di depan lelaki itu. Rasa kesal serta emos

  • BERBAGI SUAMI (TAMAT)    BAB 7: Pernikahan Kedua

    Pagi ini setelah salat Shubuh sengaja aku menyibukkan diri di luar kamar. Sejak tadi malam sebenarnya aku tidak bisa tidur. Pikiran berkelana membayangkan bagaimana nanti kira-kira hari-hari yang akan kulalui bersama maduku? Satu hal lagi yang sebenarnya paling penting, aku ingin memata-matai Hadi. Tentu pagi ini adalah pagi yang sangat bahagia baginya. Tepat pukul sembilan nanti, dia akan kembali menikah dengan orang yang memang diinginkan sejak dulu. Orang yang terpaksa ditinggalkan karena kedatanganku. Pura-pura membersihkan debu di atas meja ruang tamu, aku masih menanti kehadirannya. Sedang apa dia sekarang? Apa sedang bersiap-siap untuk meluncur ke tempat pernikahan? Ah, andai saja aku bisa seperti dia, kembali menikah dengan Azzam, tentu aku juga akan bahagia. Sungguh tak adil rasanya, di saat Hadi berusaha untuk mencari kebahagiaan yang lain dan mengabaikan kehadiranku, terbesit di hati ingin melakukan hal yang sama seperti dia. Ah! Ternyata pernikahan itu sangat menguras ota

  • BERBAGI SUAMI (TAMAT)    BAB 8: Ikhlaskah?

    Pagi ini setelah salat Shubuh sengaja aku menyibukkan diri di luar kamar. Sejak tadi malam sebenarnya aku tidak bisa tidur. Pikiran berkelana membayangkan bagaimana nanti kira-kira hari-hari yang akan kulalui bersama maduku? Satu hal lagi yang sebenarnya paling penting, aku ingin memata-matai Hadi. Tentu pagi ini adalah pagi yang sangat bahagia baginya. Tepat pukul sembilan nanti, dia akan kembali menikah dengan orang yang memang diinginkan sejak dulu. Orang yang terpaksa ditinggalkan karena kedatanganku. Pura-pura membersihkan debu di atas meja ruang tamu, aku masih menanti kehadirannya. Sedang apa dia sekarang? Apa sedang bersiap-siap untuk meluncur ke tempat pernikahan? Ah, andai saja aku bisa seperti dia, kembali menikah dengan Azzam, tentu aku juga akan bahagia. Sungguh tak adil rasanya, di saat Hadi berusaha untuk mencari kebahagiaan yang lain dan mengabaikan kehadiranku, terbesit di hati ingin melakukan hal yang sama seperti dia. Ah! Ternyata pernikahan itu sangat menguras otak

  • BERBAGI SUAMI (TAMAT)    BAB 9: Statusku?

    Obrolanku dengan Mbok Mih membuat aku kembali bertanya pada diriku sendiri. Apa sebenarnya tujuan pernikahan yang telah kulakukan? Apa aku akan sanggup terus-terusan begini? Diperlakukan seperti orang lain oleh lelaki yang berstatus suami.Adakah rasa ikhlas itu di hatiku? Namun, kenapa aku harus memedulikannya, sementara di hatiku sama sekali tak ada cinta untuk lelaki itu.Sudahlah! Jalani saja dulu. Mana mungkin hatiku tak ikhlas. Meski dia adalah suami sahku, tapi di dalam bilik hati ini sama sekali tidak ada tersimpan namanya di sana. Sepeninggal Mbok Mih, aku kembali mengurung diri di kamar. Kamar adalah tempat ternyaman untukku saat Hadi sedang berada di rumah. Sebisa mungkin aku harus menghindar agar tak saling bertatap muka dengan mereka. Seperti siang tadi, aku membawa masuk makan siangku ke kamar. Di kamar aku bisa menyantap makan siang sambil bersantai tanpa harus bertemu dengan Hadi maupun Tiara. Bukan urusanku dengan dua pasangan yang sedang dimabuk asmara itu. Setelah

Latest chapter

  • BERBAGI SUAMI (TAMAT)    BAB 60: EKSTRA PART 3

    Bukanlah kesabaran, jika masih mempunyai batas dan bukanlah keikhlasan jika masih merasakan sakit. (anonymous)***Aku bahagia atas pernikahan Azzam dan Hanin. Sebuah kelegaan hadir di dalam jiwa ketika melihat sahabatku bisa berjodoh dengan seorang lelaki baik. Begitu juga Azzam, aku bersyukur karena pada akhirnya dia menikah juga. Sehingga Hadi tak perlu lagi merasakan cemburu yang berlebihan."Kalau tau dia jadi calon suaminya Hanin, aku ngga mau kasih kado honeymoon untuk mereka. Mendingan kasih cangkir plastik," ujar Hadi dengan raut wajah ditekuk. Kami sudah berada di dalam mobil menuju rumah.Resepsi digelar minggu depan. Otomatis, rencana untuk berbulan madu ke Jepang ditunda dulu hingga acara selesai."Sayang. Kita batal saja ke Jepang, ya. Masih banyak negara lain yang lebih bagus, kok. Belanda misalnya." Hadi kembali mengeluarkan pendapatnya.Aku geleng-geleng kepala melihat tingkah suamiku tersebut. Hal apa yang membuat ia sangat tidak suka melihat Azzam?"Apa karena Azzam

  • BERBAGI SUAMI (TAMAT)    BAB 59: EKSTRA PART 2

    "Gimana kalau kita ke Jepang juga? Barengan Hanin dan suaminya?" Hadi tersenyum di balik kemudi. Ia mengangguk, tapi tetap fokus ke jalan raya. Sebentar lagi kami akan tiba di masjid tempat akan nikah digelar. Belum terlambat.Mobil memasuki pelataran masjid menuju parkiran. Tampak banyak sekali mobil berjejer rapi di sini. Hadi mencari tempat kosong untuk memarkirkan mobil. Setelah selesai, kami turun dan memasuki masjid bersama.Setiba di dalam. Aku dan Hadi harus berpisah. Ia menuju tempat duduk para lelaki, sementara aku menuju barisan perempuan. Masjid telah dipenuhi oleh puluhan orang untuk menyaksikan ijab qabul Hanin dan suaminya.Tak susah mencari keberadaan Hanin. Ia duduk di barisan paling depan perempuan menghadap ke arah meja wali nikah.Aku mendekat sambil melihat-lihat yang mana calon Hanin? Belum jelas melihat, aku melihat Hanin menoleh ke arahku. Wanita itu tersenyum lebar dan memanggiku menggunakan tangannya."Kamu dampingin aku di sini," ucap Hanin setelah aku bers

  • BERBAGI SUAMI (TAMAT)    BAB 58: EKSTRA PART 1

    Setahun berlalu setelah kepergian Tiara. Aku dan Hadi tinggal di rumah yang sama. Yaitu di rumahku yang diberikan olehnya. Sedangkan rumah milik Tiara masih dalam kondisi kosong tak berpenghuni. Namun, dalam waktu dekat rumah tersebut akan disewakan atau dijual oleh Hadi. "Untuk apa dipertahankan begitu. Mubazir," ujarnya kemarin.Aku memberikan pilihan terbaik padanya. Dan sikap dia yang terakhir aku pun menyetujuinya.Kehidupan rumah tanggaku dan Hadi selalu dipenuhi kebahagiaan. Bahkan aku sudah lupa kapan terakhir mengeluarkan air mata. Hadi sudah sangat banyak berubah. Ya, Tuhan telah memberikan hasil dari apa yang pernah kutuai sebelumnya. Rasa sakit yang pernah kualami di masa awal pernikahan, terbalas sudah. Tunai!Janji Allah itu pasti. Tidak selamanya langit mendung menyisakan kesuraman. Pernahkan kalian melihat kapan munculnya pelangi? Ya, setelah hujan. Demikian juga denganku, sabar itu pahit, tapi akan berbuah manis. Hujan air mata yang kerap terjadi di dalam biduk rumah

  • BERBAGI SUAMI (TAMAT)    BAB 57: Ikhlas dan Adil (TAMAT)

    Bukan akhir seperti ini yang kuharapkan. Kematian Tiara sangat tiba-tiba. Sungguh janji Tuhan itu pasti. Kematian jaraknya sangat dekat dengan makhluk ciptaan-Nya.Hadi masih terpaku di depan gundukan tanah yang masih basah. Aroma khas menguar akibat percikan rintik hujan yang mulai menyapa. Abi, umi, ayah serta ibu telah terlebih dahulu meninggalkan pemakaman. Sementara orang tua Tiara yang berada du luar negeri tidak hadir di acara pemakaman sang anak.Aku bertahan di sini karena menanti Hadi. Mana mungkin aku beranjak, jika dia masih duduk termenung menatap nisan sang istri. Kelopak kembang warna-warni yang berserakan di atas gundukan tanah masih terlihat segar dan harum."Di. Pulang, yuk, "ajakku.Hadi tidak menjawab. Lelaki itu bergeming di tempatnya."Sayang. Mendungnya makin tebal. Mau hujan lebat. Kita pulang, ya."Masih seperti tadi. Dia mendiamkanku tanpa sepatah kata pun."Ikhlas, Di. Perlahan-lahan. Kematian akan menimpa semua orang.""Aku bersalah padanya." Akhirnya suara

  • BERBAGI SUAMI (TAMAT)    BAB 56: Ujian

    Aku bergegas berjalan di koridor rumah sakit. Tas slempang yang kusampirkan di bahu ikut berayun ke depan dan ke belakang. Pikiranku dipenuhi oleh Tiara. Tadi sudah sadar? Sekarang pingsan lagi? Dia sakit apa sebenarnya? Atau ada sesuatu yang Hadi sembunyikan dariku? Dengan perasaan berkecamuk, aku menyusuri lantai keramik berwarna putih.Tiba di depan pintu ruangan tempat Tiara dirawat, aku berhenti mengatur napas. Keringat membasahi dahi serta punggungku. Aku benar-benar merasa lelah. Setelah merasa cukup, aku pun membuka pintu kamar tersebut dan menutupnya kembali. Ada Hadi di sana. Dia berbalik badan melihat ke arahku. Perlahan aku berjalan mendekat. Lelaki itu pun menyambut sambil memelukku kuat. Dapat kurasa tubuhnya bergetar. Lelaki ini pasti sangat sedih pikirku."Sayang. Tiara ... Tiara!" serunya sambil merenggangkan pelukannya. Hadi menyebut nama wanita yang terbaring itu sambil terisak. Matanya sembab dan kemerahan."Kenapa bisa tidak sadarkan diri lagi?" tanyaku pelan seka

  • BERBAGI SUAMI (TAMAT)    BAB 55: Ikhlas itu: Mudah Diucapkan, Sulit Diterapkan

    "Jangan sampai ada keributan. Kumohon," ujarku sedikit memelas."Kita lihat nanti. Ada asap api!"Hadi menggamit lenganku menuju meja kosong di sudut kantin. Ruangan kantin tidak terlalu luas, memudahkan kita untuk memindai wajah siapa saja yang mengunjungi kantin.Kami duduk berselang beberapa meja dengan Azzam. Lelaki itu duduk sendiri, dia masih terlihat sibuk dengan ponselnya."Ganti posisi. Kamu duduk di sini." Hadi memerintah agar aku duduk di sisinya."Di sini aja. Susah di situ. Sempit." Aku beralasan."Sempit atau karena ingin melihat mantanmu itu dengan jelas?" Hadi berujar ketus.Aku serba salah. Kali ini Hadi memang berkata benar. Aku memang sedang mengintai Azzam. Bukan berarti meliriknya sesekali karena mencari perhatian, melainkan aku hanya ingin memastikan jika lelaki itu tidak menyadari kehadiran kami. Namun, seperti percuma memberi alasan pada Hadi. Rasa cemburunya tampak lebih besar."Di, bisa tidak kamu berpikiran positif untukku?" tanyaku menekan suara."Jadi kena

  • BERBAGI SUAMI (TAMAT)    BAB 54: WAJARKAH CEMBURU?

    Ibu dan Ayah akhirnya berpamitan. Pada Hadi mereka berpesan banyak hal. Kulihat Hadi tak henti menganggukkan kepalanya. Aku bisa mendengar dengan jelas, karena posisiku berada tak jauh dari mereka."Jaga Nadia baik-baik. Dia sedang mengandung. Prioritaskan perhatianmu padanya," ucap Ayah tegas."Ibu sedang memperbaiki hubungan persahabatan Ibu dengan uminya Nadia. Jangan sampai hubungan kami retak lagi karena ulahmu, Hadi. Dia itu sahabat yang sangat berarti bagi ibu. Kami telah melewati berbagai fase kehidupan bersama," ujar ibu nelangsa.Kulihat Hadi mengangkat wajahnya. Mata lelaki itu tampak berkaca-kaca."Maafkan aku, Yah, Bu." Hanya permintaan maaf yang keluar dari bibirnya."InsyaAllah Hadi sedang menapak menuju arah yang lebih baik, Bu. Dia butuh kita orang-orang terdekat dengannya. Dia butuh dukungan dari kita semua." Aku ikut bersuara. Memberitahukan pada ayah dan ibu jika Hadi memang sedang berusaha untuk berubah. "Iya. Karena semuanya tidak lepas dari campur tanganmu, Nad

  • BERBAGI SUAMI (TAMAT)    BAB 53: KRITIS

    Aku menghubungi Ibu dan meminta kedua mertuaku untuk datang ke rumah sakit. Sampai kapan hubungan orang tua dan anak itu akan dingin-dingin saja? Selaku orang tua, mereka pasti merasa kesal dan tidak dihargai. Dibohongi oleh semata wayang dan sangat disayangi. Namun, meski nasi sudah menjadi bubur, toh masih tetap mengenyangkan dan enak untuk dimakan?Di satu sisi aku sangat bersyukur saat Abi mendukunh semua keputusan yang telah kuambil untuk rumah tanggaku. Walau Ibu masih bersikeras dengan pendapatnya, tapi setidaknya aku menjadi kuat karena dukungan dari Abi. "Apa perlu Ibu dan Ayah datang? Bukannya mereka bisa menghandel semuanya sendiri?"Suara Ibu terdengar datar di seberang telepon."Bu, kondisi Tiara sedang kritis. Entah apa penyebabnya. Aku juga baru tiba di rumah sakit. Mungkin Hadi sudah tau, tapi masih menyembunyikannya dariku. Ibu dan Ayah datang, ya. Hadi butuh Ibu dan Ayah di sini. Kasihan, Bu."Aku berusaha mengambil hati Ibu. Wanita itu tidaklah sekeras Umi. Hati Ib

  • BERBAGI SUAMI (TAMAT)    BAB 52: Tiara Kritis

    "Sudahlah, Di. Aku mau istirahat. Lelah!" seruku sambil berlalu meninggalkan lelaki itu."Aku belum selesai bicara, Nadia.""Kamu bukan sedang berbicara, melainkan membentak-bentak. Sebaiknya tenangkan dirimu terlebih dahulu." Aku berujar sambil terus berjalan ke arah kamar. Punggungku terasa sangat sakit. Seharian berada di rumah sakit membuat peredaran darah serasa kaku."Nadia. Sudah berapa kali secara diam-diam kamu menemui lelaki itu?"Mendengar pertanyaan Hadi yang sudah sangat berlebihan, membuat emosiku pun ikut tersulut."Aku bukan perempuan murahan. Camkan itu! Silakan kamu hubungi Azzam dan tanyakan apa saja yang ingin kamu tanyakan. Karena percuma juga aku menjelaskan, toh kamu tidak percaya."Aku menutup pintu kamar dan tak lupa menguncinya. Sebaiknya lelaki yang sedang berdiri di depan pintu kamar itu segera pergi dan menenangkan dirinya. Dia salah orang jika menuduhku yang tidak-tidak.Setelah membersihkan diri mengenakan pakaian yang lebih longgar, aku pun menonaktifka

DMCA.com Protection Status