"Assalamu'alaikum." Aku mengucapkan salam."Belum bisa pulang? Ibu mau datang," ujar lelaki itu dari seberang sana. Nada suaranya terdengar sinis. "Sebentar lagi aku pulang. Kamu tenang aja!"Panggilan telepon terputus tanpa ada ucapan salam. Aku menghela napas berat. Kepalaku sedikit berdenyut. Beban hidup ini terasa sungguh berat. Aku melihat ke arah Hanin. Wanita cantik itu menepuk pundakku, seolah memberikan semangat jika bukan saatnya untuk menyerah."Aku harus cepat, Nin. Ibunya Hadi sudah di jalan," ujarku pada Hanin sambil memeluk dirinya. Hanin membalas pelukanku dengan erat. Kemudian kami berjalan hingga ke parkiran dan berpisah di sana. Aku mengendarai sepeda motor dengan kecepatan standar. Kondisi jalan yang ramai membuatku berpikir dua kali untuk melaju kencang.Beberapa saat kemudian aku tiba di rumah. Kondisi dari luar terlihat masih sepi, dugaanku jika Ibu pasti belum sampai. Di depan pintu masuk, Hadi berdiri angkuh. Kedua tangannya menyilang di dada. Tatapnnya bagai
Kami menatap Hadi meminta penjelasan. Dengan berbagai macam pikiran tentunya. Kenapa Hadi membeli kondom? Toh selama menikah kami tidak pernah melakukan hubungan suami istri, jadi kondom yang di kamar mandi itu untuk siapa?"Jadi kalian pakai kondom?" tanya Ibu menatap lekat anaknya."Eh, iya, Bu. Sebenarnya Nadia nggak mau. Aku saja yang paksa." Dia berkata sambil menggaruk kepala. Sering kuperhatikan jika ia sedang berbohong, maka kebiasaan yang dilakukan adalah menggaruk kepala bagian belakang."Lha, kapan mau punya bebi, kalau pakai ginian!" seru Ibu sambil menghela napas.Tega sekali dia membohongi Ayah dan Ibu. Berapa banyak kebohongan demi kebohongan yang telah kami ciptakan. Telanjur berbohong dan akhirnya semakin larut dalam skenario yang entah kapan akan berakhir."Kamu belum mau punya momongan, Nadia?" Ibu beralih padaku, sementara Ayah memilih duduk di pinggir ranjang dan memperhatikan kami. "Mau, Bu. Mau banget," lirihku sambil menunduk. Sebenarnya siapa, sih, yang tidak
Aku mendorong tubuh Hadi menjauh. Namun, aku kalah kuat. Lelaki itu memeluk tubuhku dari belakang kemudian ditarik ke kamar. Pintu ditutup menggunakan kaki, sementara sebelah tangannya ia gunakan untuk mengunci pintu. "Apa-apaan, sih, kamu?" Aku menyikut perut lelaki itu. Ia mengaduh, tapi tetap tidak melepaskan pelukan. "Sakit tau!" Ia berseru dengan suara yang sepertinya sengaja ditahan. Mungkin saja biar Ayah dan Ibu tidak mendengar kegaduhan kami."Lepasin, nggak? Atau aku teriak biar heboh?"Hadi membekap mulutku dengan ke dua telapak tangannya dari arah belakang. Otomatis aku menjadi susah bernapas karena hidung juga ikut tertutup rapat. Terpaksa aku menggigit telapak tangan yang menekan mulut serta hidungku itu."Aww!" pekik Hadi sambil mengentakkan tangannya ke bawah. "Rasain!" Aku mendelik tajam ke arah lelaki berhidung mancung itu.Hadi memilih duduk di atas sofa sambil menekan-nekan telapak tangannya. Sedangkan aku berdiri tepat di depan lelaki itu. Rasa kesal serta emos
Pagi ini setelah salat Shubuh sengaja aku menyibukkan diri di luar kamar. Sejak tadi malam sebenarnya aku tidak bisa tidur. Pikiran berkelana membayangkan bagaimana nanti kira-kira hari-hari yang akan kulalui bersama maduku? Satu hal lagi yang sebenarnya paling penting, aku ingin memata-matai Hadi. Tentu pagi ini adalah pagi yang sangat bahagia baginya. Tepat pukul sembilan nanti, dia akan kembali menikah dengan orang yang memang diinginkan sejak dulu. Orang yang terpaksa ditinggalkan karena kedatanganku. Pura-pura membersihkan debu di atas meja ruang tamu, aku masih menanti kehadirannya. Sedang apa dia sekarang? Apa sedang bersiap-siap untuk meluncur ke tempat pernikahan? Ah, andai saja aku bisa seperti dia, kembali menikah dengan Azzam, tentu aku juga akan bahagia. Sungguh tak adil rasanya, di saat Hadi berusaha untuk mencari kebahagiaan yang lain dan mengabaikan kehadiranku, terbesit di hati ingin melakukan hal yang sama seperti dia. Ah! Ternyata pernikahan itu sangat menguras ota
Pagi ini setelah salat Shubuh sengaja aku menyibukkan diri di luar kamar. Sejak tadi malam sebenarnya aku tidak bisa tidur. Pikiran berkelana membayangkan bagaimana nanti kira-kira hari-hari yang akan kulalui bersama maduku? Satu hal lagi yang sebenarnya paling penting, aku ingin memata-matai Hadi. Tentu pagi ini adalah pagi yang sangat bahagia baginya. Tepat pukul sembilan nanti, dia akan kembali menikah dengan orang yang memang diinginkan sejak dulu. Orang yang terpaksa ditinggalkan karena kedatanganku. Pura-pura membersihkan debu di atas meja ruang tamu, aku masih menanti kehadirannya. Sedang apa dia sekarang? Apa sedang bersiap-siap untuk meluncur ke tempat pernikahan? Ah, andai saja aku bisa seperti dia, kembali menikah dengan Azzam, tentu aku juga akan bahagia. Sungguh tak adil rasanya, di saat Hadi berusaha untuk mencari kebahagiaan yang lain dan mengabaikan kehadiranku, terbesit di hati ingin melakukan hal yang sama seperti dia. Ah! Ternyata pernikahan itu sangat menguras otak
Obrolanku dengan Mbok Mih membuat aku kembali bertanya pada diriku sendiri. Apa sebenarnya tujuan pernikahan yang telah kulakukan? Apa aku akan sanggup terus-terusan begini? Diperlakukan seperti orang lain oleh lelaki yang berstatus suami.Adakah rasa ikhlas itu di hatiku? Namun, kenapa aku harus memedulikannya, sementara di hatiku sama sekali tak ada cinta untuk lelaki itu.Sudahlah! Jalani saja dulu. Mana mungkin hatiku tak ikhlas. Meski dia adalah suami sahku, tapi di dalam bilik hati ini sama sekali tidak ada tersimpan namanya di sana. Sepeninggal Mbok Mih, aku kembali mengurung diri di kamar. Kamar adalah tempat ternyaman untukku saat Hadi sedang berada di rumah. Sebisa mungkin aku harus menghindar agar tak saling bertatap muka dengan mereka. Seperti siang tadi, aku membawa masuk makan siangku ke kamar. Di kamar aku bisa menyantap makan siang sambil bersantai tanpa harus bertemu dengan Hadi maupun Tiara. Bukan urusanku dengan dua pasangan yang sedang dimabuk asmara itu. Setelah
Wajah Hadi memerah. Matanya melotot menatapku."Kalau memang aku tidak dibutuhkan di sini, kenapa kamu ngga antar pulang saja?"Aku berdiri dan melawan lelaki itu. Kedua tanganku berkacak di pinggang."Kamu tau resiko jika saja kita berpisah?"Ya, dia tidak mau orangtuanya atau orangtuaku sakit karena perpisahan kami. Namun, apakah begini benar? Aku harus menanggung semua beban derita. Menjadi seseorang yang tak dianggap kehadirannya. Tak dibutuhkan, hanya pelengkap penderita."Egois!" seruku"Jaga bicaramu!" Hadi tak mau mengalah."Memangnya kamu saja yang bisa menikah dengan pacar lamamu dan bahagia? Aku juga mau! Aku bukan patung yang tak punya hati. Bahagia bukan milikmu saja!"Lelaki itu tak lagi menjawab. Kutinggalkan dia bersama nasi dan lauk yang masih penuh dipiring. Lagi-lagi laki-laki itu menghancurkan mood-ku. Apa sebenarnya yang diinginkan Hadi? Tidak menerimaku, tapi juga tidak melepaskanku."Nadia. Kamu dan Hadi bertengkar?" Tiara menghadangku di tengah jalan ke arah ka
Kesedihan mulai merongrong jiwa. Sakit sekali rasanya diperlakukan begitu. Aku kembali membesarkan volume suara di ponsel sembari memejamkan mata. Beberapa menit kemudian, kurasakan mobil tak lagi berjalan. Namun, aku enggan membuka mata. Berpura-pura tidur tapi volume HP telah kukecilkan kembali."Bangun. Woi! Malah tidur." Suara Hadi menyapa gendang telinga."Pelan, Sayang. Mungkin Nadia lelah." Giliran Tiara yang berbicara.Dih! Lelah? Ya, aku memang lelah hidup di tengah-tengah kalian berdua. Namun, kenapa aku masih bertahan? Karena aku sedang berjuang mempertahankan. Ikhtiarku belum cukup, masih banyak doa yang harus kulangitkan, masih banyak usaha yang harus kulakukan."Nadia. Bangun!" Hadi memanggil dengan sedikit keras. Aku membuka mata perlahan. Berpura-pura seperti orang yang baru bangun dari tidur nyenyaknya."Eh, sudah di mana?" Aku bertanya sambil melihat ke sekeliling."Dunia lain!" Jawaban Hadi membuat hatiku menciut untuk ke sekian kalinya. Aku pura-pura tidak mendenga
Bukanlah kesabaran, jika masih mempunyai batas dan bukanlah keikhlasan jika masih merasakan sakit. (anonymous)***Aku bahagia atas pernikahan Azzam dan Hanin. Sebuah kelegaan hadir di dalam jiwa ketika melihat sahabatku bisa berjodoh dengan seorang lelaki baik. Begitu juga Azzam, aku bersyukur karena pada akhirnya dia menikah juga. Sehingga Hadi tak perlu lagi merasakan cemburu yang berlebihan."Kalau tau dia jadi calon suaminya Hanin, aku ngga mau kasih kado honeymoon untuk mereka. Mendingan kasih cangkir plastik," ujar Hadi dengan raut wajah ditekuk. Kami sudah berada di dalam mobil menuju rumah.Resepsi digelar minggu depan. Otomatis, rencana untuk berbulan madu ke Jepang ditunda dulu hingga acara selesai."Sayang. Kita batal saja ke Jepang, ya. Masih banyak negara lain yang lebih bagus, kok. Belanda misalnya." Hadi kembali mengeluarkan pendapatnya.Aku geleng-geleng kepala melihat tingkah suamiku tersebut. Hal apa yang membuat ia sangat tidak suka melihat Azzam?"Apa karena Azzam
"Gimana kalau kita ke Jepang juga? Barengan Hanin dan suaminya?" Hadi tersenyum di balik kemudi. Ia mengangguk, tapi tetap fokus ke jalan raya. Sebentar lagi kami akan tiba di masjid tempat akan nikah digelar. Belum terlambat.Mobil memasuki pelataran masjid menuju parkiran. Tampak banyak sekali mobil berjejer rapi di sini. Hadi mencari tempat kosong untuk memarkirkan mobil. Setelah selesai, kami turun dan memasuki masjid bersama.Setiba di dalam. Aku dan Hadi harus berpisah. Ia menuju tempat duduk para lelaki, sementara aku menuju barisan perempuan. Masjid telah dipenuhi oleh puluhan orang untuk menyaksikan ijab qabul Hanin dan suaminya.Tak susah mencari keberadaan Hanin. Ia duduk di barisan paling depan perempuan menghadap ke arah meja wali nikah.Aku mendekat sambil melihat-lihat yang mana calon Hanin? Belum jelas melihat, aku melihat Hanin menoleh ke arahku. Wanita itu tersenyum lebar dan memanggiku menggunakan tangannya."Kamu dampingin aku di sini," ucap Hanin setelah aku bers
Setahun berlalu setelah kepergian Tiara. Aku dan Hadi tinggal di rumah yang sama. Yaitu di rumahku yang diberikan olehnya. Sedangkan rumah milik Tiara masih dalam kondisi kosong tak berpenghuni. Namun, dalam waktu dekat rumah tersebut akan disewakan atau dijual oleh Hadi. "Untuk apa dipertahankan begitu. Mubazir," ujarnya kemarin.Aku memberikan pilihan terbaik padanya. Dan sikap dia yang terakhir aku pun menyetujuinya.Kehidupan rumah tanggaku dan Hadi selalu dipenuhi kebahagiaan. Bahkan aku sudah lupa kapan terakhir mengeluarkan air mata. Hadi sudah sangat banyak berubah. Ya, Tuhan telah memberikan hasil dari apa yang pernah kutuai sebelumnya. Rasa sakit yang pernah kualami di masa awal pernikahan, terbalas sudah. Tunai!Janji Allah itu pasti. Tidak selamanya langit mendung menyisakan kesuraman. Pernahkan kalian melihat kapan munculnya pelangi? Ya, setelah hujan. Demikian juga denganku, sabar itu pahit, tapi akan berbuah manis. Hujan air mata yang kerap terjadi di dalam biduk rumah
Bukan akhir seperti ini yang kuharapkan. Kematian Tiara sangat tiba-tiba. Sungguh janji Tuhan itu pasti. Kematian jaraknya sangat dekat dengan makhluk ciptaan-Nya.Hadi masih terpaku di depan gundukan tanah yang masih basah. Aroma khas menguar akibat percikan rintik hujan yang mulai menyapa. Abi, umi, ayah serta ibu telah terlebih dahulu meninggalkan pemakaman. Sementara orang tua Tiara yang berada du luar negeri tidak hadir di acara pemakaman sang anak.Aku bertahan di sini karena menanti Hadi. Mana mungkin aku beranjak, jika dia masih duduk termenung menatap nisan sang istri. Kelopak kembang warna-warni yang berserakan di atas gundukan tanah masih terlihat segar dan harum."Di. Pulang, yuk, "ajakku.Hadi tidak menjawab. Lelaki itu bergeming di tempatnya."Sayang. Mendungnya makin tebal. Mau hujan lebat. Kita pulang, ya."Masih seperti tadi. Dia mendiamkanku tanpa sepatah kata pun."Ikhlas, Di. Perlahan-lahan. Kematian akan menimpa semua orang.""Aku bersalah padanya." Akhirnya suara
Aku bergegas berjalan di koridor rumah sakit. Tas slempang yang kusampirkan di bahu ikut berayun ke depan dan ke belakang. Pikiranku dipenuhi oleh Tiara. Tadi sudah sadar? Sekarang pingsan lagi? Dia sakit apa sebenarnya? Atau ada sesuatu yang Hadi sembunyikan dariku? Dengan perasaan berkecamuk, aku menyusuri lantai keramik berwarna putih.Tiba di depan pintu ruangan tempat Tiara dirawat, aku berhenti mengatur napas. Keringat membasahi dahi serta punggungku. Aku benar-benar merasa lelah. Setelah merasa cukup, aku pun membuka pintu kamar tersebut dan menutupnya kembali. Ada Hadi di sana. Dia berbalik badan melihat ke arahku. Perlahan aku berjalan mendekat. Lelaki itu pun menyambut sambil memelukku kuat. Dapat kurasa tubuhnya bergetar. Lelaki ini pasti sangat sedih pikirku."Sayang. Tiara ... Tiara!" serunya sambil merenggangkan pelukannya. Hadi menyebut nama wanita yang terbaring itu sambil terisak. Matanya sembab dan kemerahan."Kenapa bisa tidak sadarkan diri lagi?" tanyaku pelan seka
"Jangan sampai ada keributan. Kumohon," ujarku sedikit memelas."Kita lihat nanti. Ada asap api!"Hadi menggamit lenganku menuju meja kosong di sudut kantin. Ruangan kantin tidak terlalu luas, memudahkan kita untuk memindai wajah siapa saja yang mengunjungi kantin.Kami duduk berselang beberapa meja dengan Azzam. Lelaki itu duduk sendiri, dia masih terlihat sibuk dengan ponselnya."Ganti posisi. Kamu duduk di sini." Hadi memerintah agar aku duduk di sisinya."Di sini aja. Susah di situ. Sempit." Aku beralasan."Sempit atau karena ingin melihat mantanmu itu dengan jelas?" Hadi berujar ketus.Aku serba salah. Kali ini Hadi memang berkata benar. Aku memang sedang mengintai Azzam. Bukan berarti meliriknya sesekali karena mencari perhatian, melainkan aku hanya ingin memastikan jika lelaki itu tidak menyadari kehadiran kami. Namun, seperti percuma memberi alasan pada Hadi. Rasa cemburunya tampak lebih besar."Di, bisa tidak kamu berpikiran positif untukku?" tanyaku menekan suara."Jadi kena
Ibu dan Ayah akhirnya berpamitan. Pada Hadi mereka berpesan banyak hal. Kulihat Hadi tak henti menganggukkan kepalanya. Aku bisa mendengar dengan jelas, karena posisiku berada tak jauh dari mereka."Jaga Nadia baik-baik. Dia sedang mengandung. Prioritaskan perhatianmu padanya," ucap Ayah tegas."Ibu sedang memperbaiki hubungan persahabatan Ibu dengan uminya Nadia. Jangan sampai hubungan kami retak lagi karena ulahmu, Hadi. Dia itu sahabat yang sangat berarti bagi ibu. Kami telah melewati berbagai fase kehidupan bersama," ujar ibu nelangsa.Kulihat Hadi mengangkat wajahnya. Mata lelaki itu tampak berkaca-kaca."Maafkan aku, Yah, Bu." Hanya permintaan maaf yang keluar dari bibirnya."InsyaAllah Hadi sedang menapak menuju arah yang lebih baik, Bu. Dia butuh kita orang-orang terdekat dengannya. Dia butuh dukungan dari kita semua." Aku ikut bersuara. Memberitahukan pada ayah dan ibu jika Hadi memang sedang berusaha untuk berubah. "Iya. Karena semuanya tidak lepas dari campur tanganmu, Nad
Aku menghubungi Ibu dan meminta kedua mertuaku untuk datang ke rumah sakit. Sampai kapan hubungan orang tua dan anak itu akan dingin-dingin saja? Selaku orang tua, mereka pasti merasa kesal dan tidak dihargai. Dibohongi oleh semata wayang dan sangat disayangi. Namun, meski nasi sudah menjadi bubur, toh masih tetap mengenyangkan dan enak untuk dimakan?Di satu sisi aku sangat bersyukur saat Abi mendukunh semua keputusan yang telah kuambil untuk rumah tanggaku. Walau Ibu masih bersikeras dengan pendapatnya, tapi setidaknya aku menjadi kuat karena dukungan dari Abi. "Apa perlu Ibu dan Ayah datang? Bukannya mereka bisa menghandel semuanya sendiri?"Suara Ibu terdengar datar di seberang telepon."Bu, kondisi Tiara sedang kritis. Entah apa penyebabnya. Aku juga baru tiba di rumah sakit. Mungkin Hadi sudah tau, tapi masih menyembunyikannya dariku. Ibu dan Ayah datang, ya. Hadi butuh Ibu dan Ayah di sini. Kasihan, Bu."Aku berusaha mengambil hati Ibu. Wanita itu tidaklah sekeras Umi. Hati Ib
"Sudahlah, Di. Aku mau istirahat. Lelah!" seruku sambil berlalu meninggalkan lelaki itu."Aku belum selesai bicara, Nadia.""Kamu bukan sedang berbicara, melainkan membentak-bentak. Sebaiknya tenangkan dirimu terlebih dahulu." Aku berujar sambil terus berjalan ke arah kamar. Punggungku terasa sangat sakit. Seharian berada di rumah sakit membuat peredaran darah serasa kaku."Nadia. Sudah berapa kali secara diam-diam kamu menemui lelaki itu?"Mendengar pertanyaan Hadi yang sudah sangat berlebihan, membuat emosiku pun ikut tersulut."Aku bukan perempuan murahan. Camkan itu! Silakan kamu hubungi Azzam dan tanyakan apa saja yang ingin kamu tanyakan. Karena percuma juga aku menjelaskan, toh kamu tidak percaya."Aku menutup pintu kamar dan tak lupa menguncinya. Sebaiknya lelaki yang sedang berdiri di depan pintu kamar itu segera pergi dan menenangkan dirinya. Dia salah orang jika menuduhku yang tidak-tidak.Setelah membersihkan diri mengenakan pakaian yang lebih longgar, aku pun menonaktifka