Share

BAB 8: Ikhlaskah?

Penulis: Andri Lestari
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Pagi ini setelah salat Shubuh sengaja aku menyibukkan diri di luar kamar. Sejak tadi malam sebenarnya aku tidak bisa tidur. Pikiran berkelana membayangkan bagaimana nanti kira-kira hari-hari yang akan kulalui bersama maduku? Satu hal lagi yang sebenarnya paling penting, aku ingin memata-matai Hadi. Tentu pagi ini adalah pagi yang sangat bahagia baginya. Tepat pukul sembilan nanti, dia akan kembali menikah dengan orang yang memang diinginkan sejak dulu. Orang yang terpaksa ditinggalkan karena kedatanganku.

Pura-pura membersihkan debu di atas meja ruang tamu, aku masih menanti kehadirannya. Sedang apa dia sekarang? Apa sedang bersiap-siap untuk meluncur ke tempat pernikahan? Ah, andai saja aku bisa seperti dia, kembali menikah dengan Azzam, tentu aku juga akan bahagia. Sungguh tak adil rasanya, di saat Hadi berusaha untuk mencari kebahagiaan yang lain dan mengabaikan kehadiranku, terbesit di hati ingin melakukan hal yang sama seperti dia. Ah! Ternyata pernikahan itu sangat menguras otak dan perasaan.

Sudah hampir pukul tujuh, aku belum beranjak dari ruang tamu. Sengaja aku memilih berlama-lama dengan niat untuk menunggu kepergian Hadi. Entah sudah berapa kali aku membersihkan meja yang sama. Hatiku berdetak semakin tak karuan, berpacu dengan dentang jarum jam yang kian menyiksa.

Tak berapa lama terdengar suara deheman dari arah belakang. Aku pura-pura tidak mendengar dan sengaja tidak berpaling ke belakang. Ketukan sepatu di lantai keramik berwarna putih tulang itu terdengar semakin mendekat. Aku semakin berpura-pura menyibukkan diri mengelap sisi-sisi sofa dan meja.

"Tumben! Biasanya jam segini kamu masih di kamar. Bahkan hampir nggak pernah keluar kamar hingga aku berangkat kerja. Kenapa sekarang ada penampakan lain?"

Gerakanku terhenti mendengar perkataan Hadi. Memang benar apa yang ia sampaikan. Biasanya aku tidak pernah keluar kamar sebelum Hadi pergi. Sengaja memang, karena tidak ingin bertemu dengannya saja. Aku menoleh ke arah Hadi yang terlihat sangat rapi juga tampan. Tak bisa kumungkiri hal itu. Lelaki itu mengenakan kemeja seperti pakaian hendak ke kantor. Apa dia tidak jadi menikah? Atau Hadi akan menikah menggunakan pakaian formal seperti itu?

"Apa kamu tidak mau berpikir lagi? Gimana dengan Ibu dan Umi jika mereka tau kamu nikah lagi?" Aku memberanikan diri mengeluarkan pendapat. Ya, dia tidak harus memikirkan aku, tapi ada hati lain yang harus dijaga. Ada perasaan dua wanita lain yang harus diingat. Dua wanita yang sangat bernilai untukku serta dia.

"Kenapa baru ngomong sekarang? Kemarin-kemarin kamu ke mana? Saat aku beritahu ingin nikah lagi, kamu diam saja, bahkan sempat-sempatnya menyuruhku agar menyegerakan pernikahan tersebut."

Sepertinya usahaku untuk membuka pikiran Hadi sia-sia. Aku yakin jika lelaki itu telah memikirkan matang-matang. Dia lebih tahu resiko seperti apa yang akan terjadi di depan. Keputusan telah dibuat, tak mungkin Hadi akan membatalkannya.

"Oke! Kalau kamu memang bersikeras. Aku nggak bisa melarang lagi. Semoga Ibu dan Umi sehat-sehat saja." Aku berkata pelan. Namun, kuyakin Hadi mendengarnya.

"Oke. Aku pergi. Setelah menikah nanti, istri baruku akan segera kuboyong ke rumah ini."

Aku memilih diam serta menatap lelaki itu lekat. Entah kenapa dadaku bergemuruh tak menentu setiap berpas-pasan dengan Hadi.

"Semoga kamu bisa bahagia!" seruku teramat pelan. Sementara Hadi melangkah ke arah pintu depan. Tubuh tegapnya tinggi menjulang dibaluti kemeja berwarna hitam. Ia tidak mengenakan dasi seperti biasanya. Kemudian terdengar deru mobil yang meninggalkan rumah. Terasa dadaku seperti dihimpit beban berat. Sesak menghujam jiwa. Entah kenapa aku seperti merasa kehilangan Hadi. Aku merasa kalah sebelum berjuang. Di sisi lain kekesalanku tak diayal terhadap lelaki itu. Lelaki pengecut yang lari dari masalah. Bahkan dia tidak tahu jika sedang menciptakan masalah baru.

Air mataku terus merangsek keluar. Tergesa aku berlari ke kamar, tak ingin dilihat oleh Mbok Mih. Kenapa pula aku harus mengeluarkan air mata untuknya? Kutanya pada hati apakah ada rasa cemburu? Jujur, aku tidak bisa menjawab pertanyaan yang kulontarkan sendiri.

***

Hari sudah menjelang siang. Hadi belum juga pulang sepertinya. Aku masih meringkuk di atas ranjang. Perut terasa perih karena memang sejak pagi tadi belum diisi apa-apa. Mbok Mih berulang kali menawarkan untuk membawa makanan ke kamar, akan tetapi aku menolak. Aku tidak mau merepotkan siapa pun.

"Nak Nadia nggak enak badan, ya? Mau si Mbok kerokin?" tawar Mbok Mih beberapa jam lalu. Namun, aku secara halus menolak kebaikan hati wanita yang sudah tidak lagi muda itu.

Aku memaksakan diri untuk bangun. Tak lupa mengikat rambut yang tergerai panjang. Dengan langkah berat aku berjalan ke kamar mandi. Sudah waktunya salat Dhuhur. Masih ada yang tidak baik-baik saja di dasar hati sana. Entah kenapa aku merasa teramat sedih dengan keputusan Hadi. Berulang kali kubasuh wajah agar perasaan ini tenang, tetap tidak bisa.

Setelah berwudhu, perasaanku agak tenang. Kuraih mukena marun yang tergantung di gantungan lemari. Saat hendak takbiratul ihram, terdengar panggilan dari luar kamar. Ya, lelaki itu sudah kembali dan sedang mencariku sekarang. Apakah dia ingin mempertemukanku dengan Tiara yang sekarang telah sah menjadi istrinya? Tak kuhiraukan, aku tetap melanjutkan salatku.

Beberapa menit kemudian, setelah selesai menunaikan kewajiban, aku kembali menyelimuti diri di atas ranjang. Pintu kamar sengaja kukunci agar Hadi tak masuk sembarangan. Pun semua barang-barangnya telah kupindahkan kembali ke kamarnya setelah Ayah dan Ibu pulang.

Ketukan di pintu mengagetkanku. Apalagi maunya lelaki itu. Kenapa dia tidak menikmati saja waktu-waktunya bersama istri baru? Tak perlu menggangguku. Semakin tak kugubris, ketukan itu semakin bertalu diiringi dengan panggilan dari luar kamar.

"Nadia, kamu ngapain aja? Buka pintu!" seru Hadi dari luar. Tak ingin ribut, aku pun beranjak membuka pintu. Sebelumnya kuraih jilbab kurung untuk menutupi rambutku dari pandangan Hadi.

"Kamu nggak punya telinga?"

"Punya!"

"Jadi kenapa nggak buka pintu dari tadi?"

"Shalat," jawabku datar. Sorot matanya terlihat lelah. Ah! Sejak kapan aku mulai memperhatikannya?

"Keluar sebentar, Tiara menunggumu." Mata lelaki itu menatapku tak berkedip. Kali ini terlihat lebih lembut, tidak sangar seperti biasanya.

"Apa harus sekarang? Nikmati dulu kebersamaan kalian. Kenapa harus buru-buru untuk bertemu denganku?"

"Sebentar saja. Setidaknya kamu sebagai tuan rumah menyambut kedatangannya."

"Tuan rumah? Bukankah tuan rumah itu kamu? Sementara aku cuma orang asing yang kebetulan tersesat ke sini. Jadi siapa pun yang keluar masuk tidak perlu kuketahui. Apalagi dia akan menjadi nyonya besar di rumah ini."

Hadi tak berkutik. Lelaki itu masih betah berdiri di depan pintu, sedangkan aku memilih duduk di pinggir ranjang. Pintu kamar sengaja kubuka lebar agar lebih leluasa berbicara.

"Oke. Aku akan ikut semua permainanmu. Jangan salahkan aku dengan tudingan tidak adil untukmu."

Oh, Tuhan. Lelaki itu seperti amnesia. Dia bicara tentang keadilan padaku? Amboi!

"Adil? Apa selama ini kamu adil? Apa selama ini kamu memperlakukanku layaknya seorang istri?" cecarku tajam. Sekuat tenaga aku berusaha untuk meredam emosi. Dasar, lelaki tak punya hati. Bisa-bisanya ia menyudutkanku tentang keadilan. Tahu apa dia masalah adil?

Saat kami saling melempar argumen, dari arah belakang Hadi muncul wanita cantik yang sedang kuhindari bertatap muka sejak tadi. Namun, siapa sangka, dengan penuh percaya diri dia muncul di tengah-tengah kami. Make up tipis masih menempel di wajahnya yang oval. Wanita yang mengenakan terusan berwarna hijau muda itu melempar senyum ke arahku. Kemudian jemarinya yang lentik ia kaitkan dengan jemari Hadi. Aku berusaha terlihat biasa-biasa saja. Meski aku juga istri sah Hadi, tetapi cinta lelaki itu hanya ada untuk Tiara.

***

Lanjuuuttt

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Branded Storee T Cut
mana part ikhlaskah nya..?? kan ini sam dengan part 7
goodnovel comment avatar
Ana💞
kok diulang??
goodnovel comment avatar
Rieca Chandra
Lha ngulang
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • BERBAGI SUAMI (TAMAT)    BAB 9: Statusku?

    Obrolanku dengan Mbok Mih membuat aku kembali bertanya pada diriku sendiri. Apa sebenarnya tujuan pernikahan yang telah kulakukan? Apa aku akan sanggup terus-terusan begini? Diperlakukan seperti orang lain oleh lelaki yang berstatus suami.Adakah rasa ikhlas itu di hatiku? Namun, kenapa aku harus memedulikannya, sementara di hatiku sama sekali tak ada cinta untuk lelaki itu.Sudahlah! Jalani saja dulu. Mana mungkin hatiku tak ikhlas. Meski dia adalah suami sahku, tapi di dalam bilik hati ini sama sekali tidak ada tersimpan namanya di sana. Sepeninggal Mbok Mih, aku kembali mengurung diri di kamar. Kamar adalah tempat ternyaman untukku saat Hadi sedang berada di rumah. Sebisa mungkin aku harus menghindar agar tak saling bertatap muka dengan mereka. Seperti siang tadi, aku membawa masuk makan siangku ke kamar. Di kamar aku bisa menyantap makan siang sambil bersantai tanpa harus bertemu dengan Hadi maupun Tiara. Bukan urusanku dengan dua pasangan yang sedang dimabuk asmara itu. Setelah

  • BERBAGI SUAMI (TAMAT)    BAB 10: Jadi Anti Nyamuk

    Wajah Hadi memerah. Matanya melotot menatapku."Kalau memang aku tidak dibutuhkan di sini, kenapa kamu ngga antar pulang saja?"Aku berdiri dan melawan lelaki itu. Kedua tanganku berkacak di pinggang."Kamu tau resiko jika saja kita berpisah?"Ya, dia tidak mau orangtuanya atau orangtuaku sakit karena perpisahan kami. Namun, apakah begini benar? Aku harus menanggung semua beban derita. Menjadi seseorang yang tak dianggap kehadirannya. Tak dibutuhkan, hanya pelengkap penderita."Egois!" seruku"Jaga bicaramu!" Hadi tak mau mengalah."Memangnya kamu saja yang bisa menikah dengan pacar lamamu dan bahagia? Aku juga mau! Aku bukan patung yang tak punya hati. Bahagia bukan milikmu saja!"Lelaki itu tak lagi menjawab. Kutinggalkan dia bersama nasi dan lauk yang masih penuh dipiring. Lagi-lagi laki-laki itu menghancurkan mood-ku. Apa sebenarnya yang diinginkan Hadi? Tidak menerimaku, tapi juga tidak melepaskanku."Nadia. Kamu dan Hadi bertengkar?" Tiara menghadangku di tengah jalan ke arah ka

  • BERBAGI SUAMI (TAMAT)    BAB 11: Menguji Kesabaran

    Kesedihan mulai merongrong jiwa. Sakit sekali rasanya diperlakukan begitu. Aku kembali membesarkan volume suara di ponsel sembari memejamkan mata. Beberapa menit kemudian, kurasakan mobil tak lagi berjalan. Namun, aku enggan membuka mata. Berpura-pura tidur tapi volume HP telah kukecilkan kembali."Bangun. Woi! Malah tidur." Suara Hadi menyapa gendang telinga."Pelan, Sayang. Mungkin Nadia lelah." Giliran Tiara yang berbicara.Dih! Lelah? Ya, aku memang lelah hidup di tengah-tengah kalian berdua. Namun, kenapa aku masih bertahan? Karena aku sedang berjuang mempertahankan. Ikhtiarku belum cukup, masih banyak doa yang harus kulangitkan, masih banyak usaha yang harus kulakukan."Nadia. Bangun!" Hadi memanggil dengan sedikit keras. Aku membuka mata perlahan. Berpura-pura seperti orang yang baru bangun dari tidur nyenyaknya."Eh, sudah di mana?" Aku bertanya sambil melihat ke sekeliling."Dunia lain!" Jawaban Hadi membuat hatiku menciut untuk ke sekian kalinya. Aku pura-pura tidak mendenga

  • BERBAGI SUAMI (TAMAT)    BAB 12: Memanas manasi

    Aku tersenyum senang. Merasa menang selangkah dari Tiara. Kulihat wanita itu menunduk menekuri layar ponsel. "Sayang, aku mau rencana liburannya dipercepat," ucapku sambil bersandar mesra di bahu Hadi. Lelaki itu tak berkutik sekarang."Ya, ya. Nanti kita atur lagi," pungkasnya cepat.Aku menggenggam jemarinya. Kurasakan remasan keras di jemariku. Dia pasti sangat kesal."Kalau bisa secepatnya, Sayang. Sekalian kalian bulan madu lagi, biar Ibu bisa segera nimbang cucu. Sepi."Aku tergelak dalam hati. Yang sedang merencanakan untuk berbulan madu siapa, eh, yang mau pergi siapa. Momen ini cocok sekali. Kehadiran mertuaku bagaikan oase di tengah gurun yang tandus. Menyegarkan."Ya, Bu. InsyaAllah. Nanti aku kabari lagi."Lelaki itu meneguk minumannya berulang kali. Aku sama sekali tidak melepaskannya. Tanganku masih melingkar di lengan kekar Hadi. Sesekali kurasakan Hadi menginjak kakiku, tak tinggal diam aku pun membalasnya."Sayang. Bagaimana kalau temanku ikut juga. Kasihan dia sendi

  • BERBAGI SUAMI (TAMAT)    BAB 13: Malam Lara

    Kenapa Ayah serta Ibu datang lagi? Bukannya kami baru saja bertemu? Ah, terserah. Kali ini kubiarkan Hadi untuk menyelesaikan masalahnya sendiri. Berani berbuat, berani juga bertanggungjawab. Bukankah begitu?Meskipun berstatus suami, akan tetapi lelaki itu tidak bisa berbuat semena-mena terhadapku. Aku menghubungi Hanin. Aku merencanakan akan menghabiskan malam bersamanya. Kurasa aku lebih baik tidak pulang dari pada harus menyelamatkan lelaki itu dan istri barunya. Kira-kira bagaimana reaksi kedua mertuaku saat melihat anaknya sedang berduaan di rumah dengan seorang wanita, ya? Apalagi tadi di restoran, Hadi memperkenalkan Tiara sebagai sahabatku.Taksi yang kutumpangi berhenti di depan rumah Hanin. Setelah membuka pintu pagar, aku masuk dengan leluasa. Kulangkahkan kaki menuju teras rumah. Di sana Hanin terlihat menantiku sambil melambaikan tangan. Aku bergegas menghampirinya.Setelah berada di dekatnya, Hanin mengajakku untuk masuk. Di dalam rumah, aku menyandarkan tubuh di sofa ru

  • BERBAGI SUAMI (TAMAT)    BAB 14: Hukuman

    Aku meringkuk di sudut kamar. Tak henti menangis karena ulah Hadi. Lelaki itu bagai tak bermoral. Meskipun aku istrinya, bukan berarti dia bisa semena-mena. Lalu, kenapa harus aku? Bukankah dia bisa menyalurkan hasratnya pada Tiara?Bagian bawah perutku pun terasa sangat perih dan nyeri. Hadi melakukannya secara paksa. Saat aku berusaha berontak malah menyisakan rasa sakit."Aku tidak akan pernah memaafkanmu, Hadi!" seruku dengan suara tersedu. Lelaki itu menarik selimut menutupi tubuhnya, ia mendelik melihatku."Bukankah kamu sangat ingin dianggap. Diperlakukan seperti seorang istri. Ya, terima, dong.""Aku memang ingin diperlakukan seperti Tiara, tapi bukan berarti kamu bisa berbuat seenak hatimu. Perlakuanmu tadi sangat menyakitkan. Bukan hanya tubuhku, tapi juga hatiku.""Cerewet. Keluar kamu. Aku mau tidur!" Dia memerintah sesuka hati.Aku berusaha turun dari ranjang masih dalam kondisi tak mengenakan pakaian."Tutup matamu! Jangan lihat!" Aku urung berjalan saat melihat Hadi ber

  • BERBAGI SUAMI (TAMAT)    BAB 15: Dia Kenapa? (POV Nadia)

    POV NADIAAku menghubungi Tiara berulang kali. Wanita itu sepertinya masih sangat marah padaku. Pasti dia menambah waktu untuk tidak kembali ke rumah, sehingga lelaki itu harus menghukumku. Hukuman satu minggu? Duh, bagaimana dengan jadwal wawancaraku? Kulihat kembali jadwal yang telah ditetapkan, ternyata aku masih mempunyai waktu untuk mempersiapkan diri sebaik-baiknya.Menulis artikel maupun jurnal sudah menjadi makananku sehari-hari. Namun, kali ini berbeda, aku harus memahami tentang fashion. Karena aku akan bekerja di sebuah perusahaan majalah yang begerak di bidang fashion. Pasti segala hal yang akan kutulis ke depan tidak jauh dari hal-hal tersebut.Menyibukkan diri mempelajari tentang perusahaan agency tersebut membuat aku melupakan masalah yang sedang terjadi. Tentang hukuman yang akan diberikan Hadi. ***Sudah sore hari. Aku masih saja berkutat dengan laptop dan bahan-bahan wawancara yang sedang kupelajari. Pekerjaan ini harus kudapat. Aku harus lulus dan bekerja. Derap l

  • BERBAGI SUAMI (TAMAT)    BAB 16: Rencana

    "Hadi! Kalian sedang apa?" Suara Tiara terdengar menginterogasi.Hadi terlihat kikuk dan menghentikan suapannya. Aku mencoba mencuri kesempatan untuk memperhatikan mereka berdua."Sayang. Sudah pulang?" Hadi beranjak dari duduknya. Dia berusaha mendekat ke arah Tiara. Wanita itu terlihat menekuk wajah serta mulut sedikit dimajukan. Matanya menatap kesal ke arah Hadi."Bukannya jemput aku, malah berduaan sama dia."Wah! Dia cemburu. Ini kesempatan emasku untuk membuat Tiara semakin menggerutu."Duh! Maaf. Tapi Hadi juga suamiku, kok. Selama kamu tidak di rumah, kami memang menjadi lebih dekat." Hadi mendelik tajam ke arahku, sementara aku sengaja melebarkan senyuman. Toh, aku tidak berbohong. Memang semenjak Tiara tidak berada di rumah, kulihat Hadi sedikit lebih baik padaku. Ya, tak apa meski sedikit. Tiara menyipitkan matanya pada Hadi. Lelaki itu mengelus bahu istri mudanya. "Nadia juga istriku, Sayang. Kurasa tak ada salahnya jika aku juga sedikit lebih hangat padanya."Benarkah

Bab terbaru

  • BERBAGI SUAMI (TAMAT)    BAB 60: EKSTRA PART 3

    Bukanlah kesabaran, jika masih mempunyai batas dan bukanlah keikhlasan jika masih merasakan sakit. (anonymous)***Aku bahagia atas pernikahan Azzam dan Hanin. Sebuah kelegaan hadir di dalam jiwa ketika melihat sahabatku bisa berjodoh dengan seorang lelaki baik. Begitu juga Azzam, aku bersyukur karena pada akhirnya dia menikah juga. Sehingga Hadi tak perlu lagi merasakan cemburu yang berlebihan."Kalau tau dia jadi calon suaminya Hanin, aku ngga mau kasih kado honeymoon untuk mereka. Mendingan kasih cangkir plastik," ujar Hadi dengan raut wajah ditekuk. Kami sudah berada di dalam mobil menuju rumah.Resepsi digelar minggu depan. Otomatis, rencana untuk berbulan madu ke Jepang ditunda dulu hingga acara selesai."Sayang. Kita batal saja ke Jepang, ya. Masih banyak negara lain yang lebih bagus, kok. Belanda misalnya." Hadi kembali mengeluarkan pendapatnya.Aku geleng-geleng kepala melihat tingkah suamiku tersebut. Hal apa yang membuat ia sangat tidak suka melihat Azzam?"Apa karena Azzam

  • BERBAGI SUAMI (TAMAT)    BAB 59: EKSTRA PART 2

    "Gimana kalau kita ke Jepang juga? Barengan Hanin dan suaminya?" Hadi tersenyum di balik kemudi. Ia mengangguk, tapi tetap fokus ke jalan raya. Sebentar lagi kami akan tiba di masjid tempat akan nikah digelar. Belum terlambat.Mobil memasuki pelataran masjid menuju parkiran. Tampak banyak sekali mobil berjejer rapi di sini. Hadi mencari tempat kosong untuk memarkirkan mobil. Setelah selesai, kami turun dan memasuki masjid bersama.Setiba di dalam. Aku dan Hadi harus berpisah. Ia menuju tempat duduk para lelaki, sementara aku menuju barisan perempuan. Masjid telah dipenuhi oleh puluhan orang untuk menyaksikan ijab qabul Hanin dan suaminya.Tak susah mencari keberadaan Hanin. Ia duduk di barisan paling depan perempuan menghadap ke arah meja wali nikah.Aku mendekat sambil melihat-lihat yang mana calon Hanin? Belum jelas melihat, aku melihat Hanin menoleh ke arahku. Wanita itu tersenyum lebar dan memanggiku menggunakan tangannya."Kamu dampingin aku di sini," ucap Hanin setelah aku bers

  • BERBAGI SUAMI (TAMAT)    BAB 58: EKSTRA PART 1

    Setahun berlalu setelah kepergian Tiara. Aku dan Hadi tinggal di rumah yang sama. Yaitu di rumahku yang diberikan olehnya. Sedangkan rumah milik Tiara masih dalam kondisi kosong tak berpenghuni. Namun, dalam waktu dekat rumah tersebut akan disewakan atau dijual oleh Hadi. "Untuk apa dipertahankan begitu. Mubazir," ujarnya kemarin.Aku memberikan pilihan terbaik padanya. Dan sikap dia yang terakhir aku pun menyetujuinya.Kehidupan rumah tanggaku dan Hadi selalu dipenuhi kebahagiaan. Bahkan aku sudah lupa kapan terakhir mengeluarkan air mata. Hadi sudah sangat banyak berubah. Ya, Tuhan telah memberikan hasil dari apa yang pernah kutuai sebelumnya. Rasa sakit yang pernah kualami di masa awal pernikahan, terbalas sudah. Tunai!Janji Allah itu pasti. Tidak selamanya langit mendung menyisakan kesuraman. Pernahkan kalian melihat kapan munculnya pelangi? Ya, setelah hujan. Demikian juga denganku, sabar itu pahit, tapi akan berbuah manis. Hujan air mata yang kerap terjadi di dalam biduk rumah

  • BERBAGI SUAMI (TAMAT)    BAB 57: Ikhlas dan Adil (TAMAT)

    Bukan akhir seperti ini yang kuharapkan. Kematian Tiara sangat tiba-tiba. Sungguh janji Tuhan itu pasti. Kematian jaraknya sangat dekat dengan makhluk ciptaan-Nya.Hadi masih terpaku di depan gundukan tanah yang masih basah. Aroma khas menguar akibat percikan rintik hujan yang mulai menyapa. Abi, umi, ayah serta ibu telah terlebih dahulu meninggalkan pemakaman. Sementara orang tua Tiara yang berada du luar negeri tidak hadir di acara pemakaman sang anak.Aku bertahan di sini karena menanti Hadi. Mana mungkin aku beranjak, jika dia masih duduk termenung menatap nisan sang istri. Kelopak kembang warna-warni yang berserakan di atas gundukan tanah masih terlihat segar dan harum."Di. Pulang, yuk, "ajakku.Hadi tidak menjawab. Lelaki itu bergeming di tempatnya."Sayang. Mendungnya makin tebal. Mau hujan lebat. Kita pulang, ya."Masih seperti tadi. Dia mendiamkanku tanpa sepatah kata pun."Ikhlas, Di. Perlahan-lahan. Kematian akan menimpa semua orang.""Aku bersalah padanya." Akhirnya suara

  • BERBAGI SUAMI (TAMAT)    BAB 56: Ujian

    Aku bergegas berjalan di koridor rumah sakit. Tas slempang yang kusampirkan di bahu ikut berayun ke depan dan ke belakang. Pikiranku dipenuhi oleh Tiara. Tadi sudah sadar? Sekarang pingsan lagi? Dia sakit apa sebenarnya? Atau ada sesuatu yang Hadi sembunyikan dariku? Dengan perasaan berkecamuk, aku menyusuri lantai keramik berwarna putih.Tiba di depan pintu ruangan tempat Tiara dirawat, aku berhenti mengatur napas. Keringat membasahi dahi serta punggungku. Aku benar-benar merasa lelah. Setelah merasa cukup, aku pun membuka pintu kamar tersebut dan menutupnya kembali. Ada Hadi di sana. Dia berbalik badan melihat ke arahku. Perlahan aku berjalan mendekat. Lelaki itu pun menyambut sambil memelukku kuat. Dapat kurasa tubuhnya bergetar. Lelaki ini pasti sangat sedih pikirku."Sayang. Tiara ... Tiara!" serunya sambil merenggangkan pelukannya. Hadi menyebut nama wanita yang terbaring itu sambil terisak. Matanya sembab dan kemerahan."Kenapa bisa tidak sadarkan diri lagi?" tanyaku pelan seka

  • BERBAGI SUAMI (TAMAT)    BAB 55: Ikhlas itu: Mudah Diucapkan, Sulit Diterapkan

    "Jangan sampai ada keributan. Kumohon," ujarku sedikit memelas."Kita lihat nanti. Ada asap api!"Hadi menggamit lenganku menuju meja kosong di sudut kantin. Ruangan kantin tidak terlalu luas, memudahkan kita untuk memindai wajah siapa saja yang mengunjungi kantin.Kami duduk berselang beberapa meja dengan Azzam. Lelaki itu duduk sendiri, dia masih terlihat sibuk dengan ponselnya."Ganti posisi. Kamu duduk di sini." Hadi memerintah agar aku duduk di sisinya."Di sini aja. Susah di situ. Sempit." Aku beralasan."Sempit atau karena ingin melihat mantanmu itu dengan jelas?" Hadi berujar ketus.Aku serba salah. Kali ini Hadi memang berkata benar. Aku memang sedang mengintai Azzam. Bukan berarti meliriknya sesekali karena mencari perhatian, melainkan aku hanya ingin memastikan jika lelaki itu tidak menyadari kehadiran kami. Namun, seperti percuma memberi alasan pada Hadi. Rasa cemburunya tampak lebih besar."Di, bisa tidak kamu berpikiran positif untukku?" tanyaku menekan suara."Jadi kena

  • BERBAGI SUAMI (TAMAT)    BAB 54: WAJARKAH CEMBURU?

    Ibu dan Ayah akhirnya berpamitan. Pada Hadi mereka berpesan banyak hal. Kulihat Hadi tak henti menganggukkan kepalanya. Aku bisa mendengar dengan jelas, karena posisiku berada tak jauh dari mereka."Jaga Nadia baik-baik. Dia sedang mengandung. Prioritaskan perhatianmu padanya," ucap Ayah tegas."Ibu sedang memperbaiki hubungan persahabatan Ibu dengan uminya Nadia. Jangan sampai hubungan kami retak lagi karena ulahmu, Hadi. Dia itu sahabat yang sangat berarti bagi ibu. Kami telah melewati berbagai fase kehidupan bersama," ujar ibu nelangsa.Kulihat Hadi mengangkat wajahnya. Mata lelaki itu tampak berkaca-kaca."Maafkan aku, Yah, Bu." Hanya permintaan maaf yang keluar dari bibirnya."InsyaAllah Hadi sedang menapak menuju arah yang lebih baik, Bu. Dia butuh kita orang-orang terdekat dengannya. Dia butuh dukungan dari kita semua." Aku ikut bersuara. Memberitahukan pada ayah dan ibu jika Hadi memang sedang berusaha untuk berubah. "Iya. Karena semuanya tidak lepas dari campur tanganmu, Nad

  • BERBAGI SUAMI (TAMAT)    BAB 53: KRITIS

    Aku menghubungi Ibu dan meminta kedua mertuaku untuk datang ke rumah sakit. Sampai kapan hubungan orang tua dan anak itu akan dingin-dingin saja? Selaku orang tua, mereka pasti merasa kesal dan tidak dihargai. Dibohongi oleh semata wayang dan sangat disayangi. Namun, meski nasi sudah menjadi bubur, toh masih tetap mengenyangkan dan enak untuk dimakan?Di satu sisi aku sangat bersyukur saat Abi mendukunh semua keputusan yang telah kuambil untuk rumah tanggaku. Walau Ibu masih bersikeras dengan pendapatnya, tapi setidaknya aku menjadi kuat karena dukungan dari Abi. "Apa perlu Ibu dan Ayah datang? Bukannya mereka bisa menghandel semuanya sendiri?"Suara Ibu terdengar datar di seberang telepon."Bu, kondisi Tiara sedang kritis. Entah apa penyebabnya. Aku juga baru tiba di rumah sakit. Mungkin Hadi sudah tau, tapi masih menyembunyikannya dariku. Ibu dan Ayah datang, ya. Hadi butuh Ibu dan Ayah di sini. Kasihan, Bu."Aku berusaha mengambil hati Ibu. Wanita itu tidaklah sekeras Umi. Hati Ib

  • BERBAGI SUAMI (TAMAT)    BAB 52: Tiara Kritis

    "Sudahlah, Di. Aku mau istirahat. Lelah!" seruku sambil berlalu meninggalkan lelaki itu."Aku belum selesai bicara, Nadia.""Kamu bukan sedang berbicara, melainkan membentak-bentak. Sebaiknya tenangkan dirimu terlebih dahulu." Aku berujar sambil terus berjalan ke arah kamar. Punggungku terasa sangat sakit. Seharian berada di rumah sakit membuat peredaran darah serasa kaku."Nadia. Sudah berapa kali secara diam-diam kamu menemui lelaki itu?"Mendengar pertanyaan Hadi yang sudah sangat berlebihan, membuat emosiku pun ikut tersulut."Aku bukan perempuan murahan. Camkan itu! Silakan kamu hubungi Azzam dan tanyakan apa saja yang ingin kamu tanyakan. Karena percuma juga aku menjelaskan, toh kamu tidak percaya."Aku menutup pintu kamar dan tak lupa menguncinya. Sebaiknya lelaki yang sedang berdiri di depan pintu kamar itu segera pergi dan menenangkan dirinya. Dia salah orang jika menuduhku yang tidak-tidak.Setelah membersihkan diri mengenakan pakaian yang lebih longgar, aku pun menonaktifka

DMCA.com Protection Status