Share

BAB 9: Statusku?

Penulis: Andri Lestari
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Obrolanku dengan Mbok Mih membuat aku kembali bertanya pada diriku sendiri. Apa sebenarnya tujuan pernikahan yang telah kulakukan? Apa aku akan sanggup terus-terusan begini? Diperlakukan seperti orang lain oleh lelaki yang berstatus suami.

Adakah rasa ikhlas itu di hatiku? Namun, kenapa aku harus memedulikannya, sementara di hatiku sama sekali tak ada cinta untuk lelaki itu.

Sudahlah! Jalani saja dulu. Mana mungkin hatiku tak ikhlas. Meski dia adalah suami sahku, tapi di dalam bilik hati ini sama sekali tidak ada tersimpan namanya di sana.

Sepeninggal Mbok Mih, aku kembali mengurung diri di kamar. Kamar adalah tempat ternyaman untukku saat Hadi sedang berada di rumah. Sebisa mungkin aku harus menghindar agar tak saling bertatap muka dengan mereka. Seperti siang tadi, aku membawa masuk makan siangku ke kamar. Di kamar aku bisa menyantap makan siang sambil bersantai tanpa harus bertemu dengan Hadi maupun Tiara. Bukan urusanku dengan dua pasangan yang sedang dimabuk asmara itu.

Setelah selesai menyantap makan siang, perlahan aku membuka pintu kamar hendak membawa piring kotor ke dapur. Aku mengintip di balik pintu, memastikan jika pasangan suami istri itu sedang tidak berada di dapur. Setelah yakin seratus persen, aku pun berjinjit menuju ke arah dapur. Sialnya aku harus melewati kamar Hadi dan Tiara. Bagaimana jika nanti berpas-pasan di sana?

Sekuat tenaga aku menepis rasa tak nyaman yang saban hari selalu menggelayut di pikiran. Kukuatkan hati jika aku adalah menantu sah. Kedua mertuaku sangat menyayangiku dan Hadi sangat takut jika rahasia ini terbongkar. Jadi sebenarnya aku memegang kartu AS di rumah ini. Kenapa harus merasa tak enak atau sungkan?

Saat tiba di depan pintu kamar Hadi. Kulihat pintu kayu itu tertutup rapat tanpa celah. Namun, samar-samar aku bisa mendengar cekikikan wanita dari dalam kamar. Aku menebak jika itu adalah Tiara. Sedang apa mereka? Rasa penasaran membuatku berhenti dan mendekatkan telinga ke daun pintu. Suara yang tadi samar-samar, semakin jelas menyapa telinga. Desahan bergantian dari Hadi dan Tiara membuat bulu kudukku meremang. Meski belum pernah melakukan hubungan suami istri dengan Hadi, tapi aku tidak bodoh. Aku tahu apa yang sedang mereka lakukan. Suara itu seperti sedang saling kejar. Semakin cepat dan berirama. Seperti pacu hatiku yang kian melaju kencang. Membuat tubuhku menegang di depan pintu. Sebelah tanganku masih memegang piring kotor yang berisi gelas kosong. Mataku memanas dan berkabut. Tak terasa air mata hangat menjalari pipi. Demi apa aku harus menangis? Bukankah sudah pantas mereka begitu, toh, Hadi dan Tiara sudah halal menurut agama.

Setelah suara aneh itu tak lagi terdengar, digantikan dengan suara tawa dan rengekan-rengekan manja dari Hadi serta Tiara. Telingaku tiba-tiba terasa sakit. Gegas aku menuju dapur dan meletakkan piring kotor di dekat westafel. Beberapa saat lamanya aku memilih duduk di salah satu kursi meja makan. Menetralkan darah serta pikiran. Sudah dua gelas air putih kutenggak paksa. Desahan yang tadi terdengar masih menari-nari di pikiran.

***

Beberapa jam berlalu. Aku masih terpekur di atas sajadah. Menekuri ayat demi ayat Alquran yang beberapa saat sudah tak pernah lagi tersentuh. Terdengar ketukan di pintu kamarku, "Nadia. Yuk makan!" seru Tiara dari luar. Ah! Kenapa dia harus menggangguku.

Aku tak menyahut. Sengaja kubesarkan suara bacaan tartil dari dalam. Dia harus tahu jika aku sedang membaca Alquran tanpa harus kuberitahukan.

Selang beberapa saat, tidak lagi terdengar suara panggilan Tiara. Aku menarik napas lega dan kembali terpekur dengan terjemahan ayat yang baru saja kubaca.

"Nadia, makan. Ngapain kamu?"

Hilang Tiara, datang lagi pengganggu kedua. Siapa lagi kalau bukan Hadi. Kenapa mereka harus sibuk dengan kehadiranku di meja makan? Bukannya mereka bisa menikmati saat-saat berdua. Apa urusannya denganku?

"Nadia. Jangan sampai membuatku marah. Kamu bukan anak-anak lagi yang harus dipanggil berulang kali."

Aku geram mendengar kalimat Hadi. Setelah menutup Alquran, segera aku beranjak dan membuka pintu kamar. Mukena berwarna cokelat muda masih bertengger menutupi kepala.

"Kamu kenapa, sih? Kalau kalian mau makan, ya, silakan! Kenapa harus mengajakku?"

"Karena aku mengingat pesan Umi agar selalu menjagamu sebaik mungkin. Jangan gara-gara telat makan, sakit kepalamu kambuh. Aku juga yang susah!" Lelaki itu berujar datar. Sama sekali dia tidak melihat ke arahku saat berbicara. Aku melihat gerak-geriknya yang acuh. Memanggilku begini seperti terpaksa dilakukan.

"Bukan urusanmu, Hadi. Aku masih belum lapar."

Kututup pintu kamar tanpa memedulikan bagaimana reaksinya. Kembali terngiang wejangan dari Hanin agar aku bersikap lemah lembut pada Hadi. Berusaha dan berupaya untuk membuatnya jatuh cinta. Apakah aku bisa mengalahkan Tiara, wanita yang jelas-jelas sangat dicintai oleh Hadi?

Aku menunggu di kamar hingga mereka menyelesaikan makan malamnya. Setelah dua puluh menit berlalu, aku yakin jika Hadi dan Tiara telah meninggalkan meja makan. Aku pun segera membuka pintu kamar. Rasa lapar tanpa kompromi melilit perutku. Membuat cacing-cacing ikut berdemo meminta jatah makannya yang belum diberikan.

Setelah keluar dari kamar, aku berjalan santai menuju meja makan. Di tengah jalan, setiba di ruang televisi, aku melihat pemandangan yang membuat mataku menyipit. Lelaki itu merebahkan badannya di atas sofa. Ternyata ada Tiara yang sedang duduk sambil memangku kepala mantan kekasihnya. Wanita itu sedang memegang sepotong apel yang telah dikupas, kemudian menyuapkan ke mulut Hadi. Ah, sial! Kenapa aku harus dihadapkan pada pemandangan seperti ini.

"Eh, Nadia. Sini, mari. Duduk sama kita. Nonton, yuk!"

Tiara memanggilku. Aku menebalkan telinga pura-pura tak mendengar. Wanita itu masih terus memanggil hingga berulang kali. Alah! Aku tahu trik permainannya yang ingin terlihat peduli bisa jadi. Sedikit pun aku tak mengalihkan pandangan padanya. Kuayunkan langkah menuju meja makan. Ternyata sudah ada makanan tertata rapi di atas meja. Kuperhatikan dengan seksama jika itu bukanlah sisa dari masakan yang dimasakkan Mbok Mih siang tadi. Apa barangkali Tiara yang memasak. Hmm! Bodo amat! Tak peduli masakan siapa yang ada di atas meja, aku mengambil piring dan meletakkan sesendok nasi beserta lauknya. Perutku sudah tak bisa diajak berdiskusi lagi.

BRAAK!

Astaghfirullah. Hadi muncul di depanku dan menggebrak meja makan yang terbuat dari kayu jati itu keras. Aku kaget dan sedikit melonjak dari kursi yang kududuki.

"Nadia! Kamu kenapa, sih? Dipanggil berulang kali, tapi tidak merespon. Telinga kamu mana?"

"Lha. Telingaku di sini, kok!" seruku polos.

"Kamu bisa tidak sedikit saja menghargai Tiara. Dia itu istriku."

Aku membanting sendok di piring yang masih berisi nasi serta lauk. Belu sesuap pun nasi di piring berpindah ke dalam mulut, tapi Hadi sudah kembali mencari-cari masalah.

"Lalu, aku siapa?" tanyaku sambil bangkit dari kursi dan sedikit mendongak menatap lelaki itu. Tinggi kami yang tak seimbang membuat aku harus selalu mengangkat leher agar bisa menatap matanya.

"Kamu juga istriku. Hanya status. Beda dengan Tiara!"

***

Duh! Hadi jahat bener!a

Komen (10)
goodnovel comment avatar
asrinaspd spd
seru sih sygz g bisa terbuka bab 11x
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
kayaknya si penulis dlm kehidupan nyata mungkin pelakor atau istri sah g berguna. alasan bertahan g masuk ajal. mati ajalah kau nadia sholat tapi pembohong besar
goodnovel comment avatar
Siska Adam
mending d hapus aja aplikasix
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • BERBAGI SUAMI (TAMAT)    BAB 10: Jadi Anti Nyamuk

    Wajah Hadi memerah. Matanya melotot menatapku."Kalau memang aku tidak dibutuhkan di sini, kenapa kamu ngga antar pulang saja?"Aku berdiri dan melawan lelaki itu. Kedua tanganku berkacak di pinggang."Kamu tau resiko jika saja kita berpisah?"Ya, dia tidak mau orangtuanya atau orangtuaku sakit karena perpisahan kami. Namun, apakah begini benar? Aku harus menanggung semua beban derita. Menjadi seseorang yang tak dianggap kehadirannya. Tak dibutuhkan, hanya pelengkap penderita."Egois!" seruku"Jaga bicaramu!" Hadi tak mau mengalah."Memangnya kamu saja yang bisa menikah dengan pacar lamamu dan bahagia? Aku juga mau! Aku bukan patung yang tak punya hati. Bahagia bukan milikmu saja!"Lelaki itu tak lagi menjawab. Kutinggalkan dia bersama nasi dan lauk yang masih penuh dipiring. Lagi-lagi laki-laki itu menghancurkan mood-ku. Apa sebenarnya yang diinginkan Hadi? Tidak menerimaku, tapi juga tidak melepaskanku."Nadia. Kamu dan Hadi bertengkar?" Tiara menghadangku di tengah jalan ke arah ka

  • BERBAGI SUAMI (TAMAT)    BAB 11: Menguji Kesabaran

    Kesedihan mulai merongrong jiwa. Sakit sekali rasanya diperlakukan begitu. Aku kembali membesarkan volume suara di ponsel sembari memejamkan mata. Beberapa menit kemudian, kurasakan mobil tak lagi berjalan. Namun, aku enggan membuka mata. Berpura-pura tidur tapi volume HP telah kukecilkan kembali."Bangun. Woi! Malah tidur." Suara Hadi menyapa gendang telinga."Pelan, Sayang. Mungkin Nadia lelah." Giliran Tiara yang berbicara.Dih! Lelah? Ya, aku memang lelah hidup di tengah-tengah kalian berdua. Namun, kenapa aku masih bertahan? Karena aku sedang berjuang mempertahankan. Ikhtiarku belum cukup, masih banyak doa yang harus kulangitkan, masih banyak usaha yang harus kulakukan."Nadia. Bangun!" Hadi memanggil dengan sedikit keras. Aku membuka mata perlahan. Berpura-pura seperti orang yang baru bangun dari tidur nyenyaknya."Eh, sudah di mana?" Aku bertanya sambil melihat ke sekeliling."Dunia lain!" Jawaban Hadi membuat hatiku menciut untuk ke sekian kalinya. Aku pura-pura tidak mendenga

  • BERBAGI SUAMI (TAMAT)    BAB 12: Memanas manasi

    Aku tersenyum senang. Merasa menang selangkah dari Tiara. Kulihat wanita itu menunduk menekuri layar ponsel. "Sayang, aku mau rencana liburannya dipercepat," ucapku sambil bersandar mesra di bahu Hadi. Lelaki itu tak berkutik sekarang."Ya, ya. Nanti kita atur lagi," pungkasnya cepat.Aku menggenggam jemarinya. Kurasakan remasan keras di jemariku. Dia pasti sangat kesal."Kalau bisa secepatnya, Sayang. Sekalian kalian bulan madu lagi, biar Ibu bisa segera nimbang cucu. Sepi."Aku tergelak dalam hati. Yang sedang merencanakan untuk berbulan madu siapa, eh, yang mau pergi siapa. Momen ini cocok sekali. Kehadiran mertuaku bagaikan oase di tengah gurun yang tandus. Menyegarkan."Ya, Bu. InsyaAllah. Nanti aku kabari lagi."Lelaki itu meneguk minumannya berulang kali. Aku sama sekali tidak melepaskannya. Tanganku masih melingkar di lengan kekar Hadi. Sesekali kurasakan Hadi menginjak kakiku, tak tinggal diam aku pun membalasnya."Sayang. Bagaimana kalau temanku ikut juga. Kasihan dia sendi

  • BERBAGI SUAMI (TAMAT)    BAB 13: Malam Lara

    Kenapa Ayah serta Ibu datang lagi? Bukannya kami baru saja bertemu? Ah, terserah. Kali ini kubiarkan Hadi untuk menyelesaikan masalahnya sendiri. Berani berbuat, berani juga bertanggungjawab. Bukankah begitu?Meskipun berstatus suami, akan tetapi lelaki itu tidak bisa berbuat semena-mena terhadapku. Aku menghubungi Hanin. Aku merencanakan akan menghabiskan malam bersamanya. Kurasa aku lebih baik tidak pulang dari pada harus menyelamatkan lelaki itu dan istri barunya. Kira-kira bagaimana reaksi kedua mertuaku saat melihat anaknya sedang berduaan di rumah dengan seorang wanita, ya? Apalagi tadi di restoran, Hadi memperkenalkan Tiara sebagai sahabatku.Taksi yang kutumpangi berhenti di depan rumah Hanin. Setelah membuka pintu pagar, aku masuk dengan leluasa. Kulangkahkan kaki menuju teras rumah. Di sana Hanin terlihat menantiku sambil melambaikan tangan. Aku bergegas menghampirinya.Setelah berada di dekatnya, Hanin mengajakku untuk masuk. Di dalam rumah, aku menyandarkan tubuh di sofa ru

  • BERBAGI SUAMI (TAMAT)    BAB 14: Hukuman

    Aku meringkuk di sudut kamar. Tak henti menangis karena ulah Hadi. Lelaki itu bagai tak bermoral. Meskipun aku istrinya, bukan berarti dia bisa semena-mena. Lalu, kenapa harus aku? Bukankah dia bisa menyalurkan hasratnya pada Tiara?Bagian bawah perutku pun terasa sangat perih dan nyeri. Hadi melakukannya secara paksa. Saat aku berusaha berontak malah menyisakan rasa sakit."Aku tidak akan pernah memaafkanmu, Hadi!" seruku dengan suara tersedu. Lelaki itu menarik selimut menutupi tubuhnya, ia mendelik melihatku."Bukankah kamu sangat ingin dianggap. Diperlakukan seperti seorang istri. Ya, terima, dong.""Aku memang ingin diperlakukan seperti Tiara, tapi bukan berarti kamu bisa berbuat seenak hatimu. Perlakuanmu tadi sangat menyakitkan. Bukan hanya tubuhku, tapi juga hatiku.""Cerewet. Keluar kamu. Aku mau tidur!" Dia memerintah sesuka hati.Aku berusaha turun dari ranjang masih dalam kondisi tak mengenakan pakaian."Tutup matamu! Jangan lihat!" Aku urung berjalan saat melihat Hadi ber

  • BERBAGI SUAMI (TAMAT)    BAB 15: Dia Kenapa? (POV Nadia)

    POV NADIAAku menghubungi Tiara berulang kali. Wanita itu sepertinya masih sangat marah padaku. Pasti dia menambah waktu untuk tidak kembali ke rumah, sehingga lelaki itu harus menghukumku. Hukuman satu minggu? Duh, bagaimana dengan jadwal wawancaraku? Kulihat kembali jadwal yang telah ditetapkan, ternyata aku masih mempunyai waktu untuk mempersiapkan diri sebaik-baiknya.Menulis artikel maupun jurnal sudah menjadi makananku sehari-hari. Namun, kali ini berbeda, aku harus memahami tentang fashion. Karena aku akan bekerja di sebuah perusahaan majalah yang begerak di bidang fashion. Pasti segala hal yang akan kutulis ke depan tidak jauh dari hal-hal tersebut.Menyibukkan diri mempelajari tentang perusahaan agency tersebut membuat aku melupakan masalah yang sedang terjadi. Tentang hukuman yang akan diberikan Hadi. ***Sudah sore hari. Aku masih saja berkutat dengan laptop dan bahan-bahan wawancara yang sedang kupelajari. Pekerjaan ini harus kudapat. Aku harus lulus dan bekerja. Derap l

  • BERBAGI SUAMI (TAMAT)    BAB 16: Rencana

    "Hadi! Kalian sedang apa?" Suara Tiara terdengar menginterogasi.Hadi terlihat kikuk dan menghentikan suapannya. Aku mencoba mencuri kesempatan untuk memperhatikan mereka berdua."Sayang. Sudah pulang?" Hadi beranjak dari duduknya. Dia berusaha mendekat ke arah Tiara. Wanita itu terlihat menekuk wajah serta mulut sedikit dimajukan. Matanya menatap kesal ke arah Hadi."Bukannya jemput aku, malah berduaan sama dia."Wah! Dia cemburu. Ini kesempatan emasku untuk membuat Tiara semakin menggerutu."Duh! Maaf. Tapi Hadi juga suamiku, kok. Selama kamu tidak di rumah, kami memang menjadi lebih dekat." Hadi mendelik tajam ke arahku, sementara aku sengaja melebarkan senyuman. Toh, aku tidak berbohong. Memang semenjak Tiara tidak berada di rumah, kulihat Hadi sedikit lebih baik padaku. Ya, tak apa meski sedikit. Tiara menyipitkan matanya pada Hadi. Lelaki itu mengelus bahu istri mudanya. "Nadia juga istriku, Sayang. Kurasa tak ada salahnya jika aku juga sedikit lebih hangat padanya."Benarkah

  • BERBAGI SUAMI (TAMAT)    BAB 17: Akal Bulus Tiara

    "Besok kita liburan. Ke Bali. Hari ini kita berdua akan mengurus tiket pesawat. Oya, Tiara, kamu juga ikut ke Bali."Romantis sekali saat melihat mereka tersedak secara bersamaan."Tapi rencananya setelah kamu selesai wawancara?" tanya Hadi."Ngga jadi. Aku sudah menghubungi ibu juga umi. Mereka sudah berkemas untuk keberangkatan besok."Tiara membanting sendok ke piringnya yang masih tersisa nasi. Suara berdenting membuat aku tertawa dalam hati."Aku tidak mau ikut! Titik!" seru wanita itu tajam. Ia mendelik melihat ke arahku."Terserah. Bukan urusanku," ujarku sambil mencebik ke arahnya.Menghadapi wanita itu sebenarnya membuatku sakit kepala. Namun, aku tidak mau mengalah begitu saja. Bagaimana pun aku adalah istri pertama dan di ketahui oleh keluarga besar. Posisiku dengan Tiara tidak sama. Meski sama-sama menyandang status sebagai istri dari laki-laki yang sama, akan tetapi aku tetap lebih unggul dari pada dia. Sebelum Hadi berani memperkenalkan wanita itu secara terang-terangan,

Bab terbaru

  • BERBAGI SUAMI (TAMAT)    BAB 60: EKSTRA PART 3

    Bukanlah kesabaran, jika masih mempunyai batas dan bukanlah keikhlasan jika masih merasakan sakit. (anonymous)***Aku bahagia atas pernikahan Azzam dan Hanin. Sebuah kelegaan hadir di dalam jiwa ketika melihat sahabatku bisa berjodoh dengan seorang lelaki baik. Begitu juga Azzam, aku bersyukur karena pada akhirnya dia menikah juga. Sehingga Hadi tak perlu lagi merasakan cemburu yang berlebihan."Kalau tau dia jadi calon suaminya Hanin, aku ngga mau kasih kado honeymoon untuk mereka. Mendingan kasih cangkir plastik," ujar Hadi dengan raut wajah ditekuk. Kami sudah berada di dalam mobil menuju rumah.Resepsi digelar minggu depan. Otomatis, rencana untuk berbulan madu ke Jepang ditunda dulu hingga acara selesai."Sayang. Kita batal saja ke Jepang, ya. Masih banyak negara lain yang lebih bagus, kok. Belanda misalnya." Hadi kembali mengeluarkan pendapatnya.Aku geleng-geleng kepala melihat tingkah suamiku tersebut. Hal apa yang membuat ia sangat tidak suka melihat Azzam?"Apa karena Azzam

  • BERBAGI SUAMI (TAMAT)    BAB 59: EKSTRA PART 2

    "Gimana kalau kita ke Jepang juga? Barengan Hanin dan suaminya?" Hadi tersenyum di balik kemudi. Ia mengangguk, tapi tetap fokus ke jalan raya. Sebentar lagi kami akan tiba di masjid tempat akan nikah digelar. Belum terlambat.Mobil memasuki pelataran masjid menuju parkiran. Tampak banyak sekali mobil berjejer rapi di sini. Hadi mencari tempat kosong untuk memarkirkan mobil. Setelah selesai, kami turun dan memasuki masjid bersama.Setiba di dalam. Aku dan Hadi harus berpisah. Ia menuju tempat duduk para lelaki, sementara aku menuju barisan perempuan. Masjid telah dipenuhi oleh puluhan orang untuk menyaksikan ijab qabul Hanin dan suaminya.Tak susah mencari keberadaan Hanin. Ia duduk di barisan paling depan perempuan menghadap ke arah meja wali nikah.Aku mendekat sambil melihat-lihat yang mana calon Hanin? Belum jelas melihat, aku melihat Hanin menoleh ke arahku. Wanita itu tersenyum lebar dan memanggiku menggunakan tangannya."Kamu dampingin aku di sini," ucap Hanin setelah aku bers

  • BERBAGI SUAMI (TAMAT)    BAB 58: EKSTRA PART 1

    Setahun berlalu setelah kepergian Tiara. Aku dan Hadi tinggal di rumah yang sama. Yaitu di rumahku yang diberikan olehnya. Sedangkan rumah milik Tiara masih dalam kondisi kosong tak berpenghuni. Namun, dalam waktu dekat rumah tersebut akan disewakan atau dijual oleh Hadi. "Untuk apa dipertahankan begitu. Mubazir," ujarnya kemarin.Aku memberikan pilihan terbaik padanya. Dan sikap dia yang terakhir aku pun menyetujuinya.Kehidupan rumah tanggaku dan Hadi selalu dipenuhi kebahagiaan. Bahkan aku sudah lupa kapan terakhir mengeluarkan air mata. Hadi sudah sangat banyak berubah. Ya, Tuhan telah memberikan hasil dari apa yang pernah kutuai sebelumnya. Rasa sakit yang pernah kualami di masa awal pernikahan, terbalas sudah. Tunai!Janji Allah itu pasti. Tidak selamanya langit mendung menyisakan kesuraman. Pernahkan kalian melihat kapan munculnya pelangi? Ya, setelah hujan. Demikian juga denganku, sabar itu pahit, tapi akan berbuah manis. Hujan air mata yang kerap terjadi di dalam biduk rumah

  • BERBAGI SUAMI (TAMAT)    BAB 57: Ikhlas dan Adil (TAMAT)

    Bukan akhir seperti ini yang kuharapkan. Kematian Tiara sangat tiba-tiba. Sungguh janji Tuhan itu pasti. Kematian jaraknya sangat dekat dengan makhluk ciptaan-Nya.Hadi masih terpaku di depan gundukan tanah yang masih basah. Aroma khas menguar akibat percikan rintik hujan yang mulai menyapa. Abi, umi, ayah serta ibu telah terlebih dahulu meninggalkan pemakaman. Sementara orang tua Tiara yang berada du luar negeri tidak hadir di acara pemakaman sang anak.Aku bertahan di sini karena menanti Hadi. Mana mungkin aku beranjak, jika dia masih duduk termenung menatap nisan sang istri. Kelopak kembang warna-warni yang berserakan di atas gundukan tanah masih terlihat segar dan harum."Di. Pulang, yuk, "ajakku.Hadi tidak menjawab. Lelaki itu bergeming di tempatnya."Sayang. Mendungnya makin tebal. Mau hujan lebat. Kita pulang, ya."Masih seperti tadi. Dia mendiamkanku tanpa sepatah kata pun."Ikhlas, Di. Perlahan-lahan. Kematian akan menimpa semua orang.""Aku bersalah padanya." Akhirnya suara

  • BERBAGI SUAMI (TAMAT)    BAB 56: Ujian

    Aku bergegas berjalan di koridor rumah sakit. Tas slempang yang kusampirkan di bahu ikut berayun ke depan dan ke belakang. Pikiranku dipenuhi oleh Tiara. Tadi sudah sadar? Sekarang pingsan lagi? Dia sakit apa sebenarnya? Atau ada sesuatu yang Hadi sembunyikan dariku? Dengan perasaan berkecamuk, aku menyusuri lantai keramik berwarna putih.Tiba di depan pintu ruangan tempat Tiara dirawat, aku berhenti mengatur napas. Keringat membasahi dahi serta punggungku. Aku benar-benar merasa lelah. Setelah merasa cukup, aku pun membuka pintu kamar tersebut dan menutupnya kembali. Ada Hadi di sana. Dia berbalik badan melihat ke arahku. Perlahan aku berjalan mendekat. Lelaki itu pun menyambut sambil memelukku kuat. Dapat kurasa tubuhnya bergetar. Lelaki ini pasti sangat sedih pikirku."Sayang. Tiara ... Tiara!" serunya sambil merenggangkan pelukannya. Hadi menyebut nama wanita yang terbaring itu sambil terisak. Matanya sembab dan kemerahan."Kenapa bisa tidak sadarkan diri lagi?" tanyaku pelan seka

  • BERBAGI SUAMI (TAMAT)    BAB 55: Ikhlas itu: Mudah Diucapkan, Sulit Diterapkan

    "Jangan sampai ada keributan. Kumohon," ujarku sedikit memelas."Kita lihat nanti. Ada asap api!"Hadi menggamit lenganku menuju meja kosong di sudut kantin. Ruangan kantin tidak terlalu luas, memudahkan kita untuk memindai wajah siapa saja yang mengunjungi kantin.Kami duduk berselang beberapa meja dengan Azzam. Lelaki itu duduk sendiri, dia masih terlihat sibuk dengan ponselnya."Ganti posisi. Kamu duduk di sini." Hadi memerintah agar aku duduk di sisinya."Di sini aja. Susah di situ. Sempit." Aku beralasan."Sempit atau karena ingin melihat mantanmu itu dengan jelas?" Hadi berujar ketus.Aku serba salah. Kali ini Hadi memang berkata benar. Aku memang sedang mengintai Azzam. Bukan berarti meliriknya sesekali karena mencari perhatian, melainkan aku hanya ingin memastikan jika lelaki itu tidak menyadari kehadiran kami. Namun, seperti percuma memberi alasan pada Hadi. Rasa cemburunya tampak lebih besar."Di, bisa tidak kamu berpikiran positif untukku?" tanyaku menekan suara."Jadi kena

  • BERBAGI SUAMI (TAMAT)    BAB 54: WAJARKAH CEMBURU?

    Ibu dan Ayah akhirnya berpamitan. Pada Hadi mereka berpesan banyak hal. Kulihat Hadi tak henti menganggukkan kepalanya. Aku bisa mendengar dengan jelas, karena posisiku berada tak jauh dari mereka."Jaga Nadia baik-baik. Dia sedang mengandung. Prioritaskan perhatianmu padanya," ucap Ayah tegas."Ibu sedang memperbaiki hubungan persahabatan Ibu dengan uminya Nadia. Jangan sampai hubungan kami retak lagi karena ulahmu, Hadi. Dia itu sahabat yang sangat berarti bagi ibu. Kami telah melewati berbagai fase kehidupan bersama," ujar ibu nelangsa.Kulihat Hadi mengangkat wajahnya. Mata lelaki itu tampak berkaca-kaca."Maafkan aku, Yah, Bu." Hanya permintaan maaf yang keluar dari bibirnya."InsyaAllah Hadi sedang menapak menuju arah yang lebih baik, Bu. Dia butuh kita orang-orang terdekat dengannya. Dia butuh dukungan dari kita semua." Aku ikut bersuara. Memberitahukan pada ayah dan ibu jika Hadi memang sedang berusaha untuk berubah. "Iya. Karena semuanya tidak lepas dari campur tanganmu, Nad

  • BERBAGI SUAMI (TAMAT)    BAB 53: KRITIS

    Aku menghubungi Ibu dan meminta kedua mertuaku untuk datang ke rumah sakit. Sampai kapan hubungan orang tua dan anak itu akan dingin-dingin saja? Selaku orang tua, mereka pasti merasa kesal dan tidak dihargai. Dibohongi oleh semata wayang dan sangat disayangi. Namun, meski nasi sudah menjadi bubur, toh masih tetap mengenyangkan dan enak untuk dimakan?Di satu sisi aku sangat bersyukur saat Abi mendukunh semua keputusan yang telah kuambil untuk rumah tanggaku. Walau Ibu masih bersikeras dengan pendapatnya, tapi setidaknya aku menjadi kuat karena dukungan dari Abi. "Apa perlu Ibu dan Ayah datang? Bukannya mereka bisa menghandel semuanya sendiri?"Suara Ibu terdengar datar di seberang telepon."Bu, kondisi Tiara sedang kritis. Entah apa penyebabnya. Aku juga baru tiba di rumah sakit. Mungkin Hadi sudah tau, tapi masih menyembunyikannya dariku. Ibu dan Ayah datang, ya. Hadi butuh Ibu dan Ayah di sini. Kasihan, Bu."Aku berusaha mengambil hati Ibu. Wanita itu tidaklah sekeras Umi. Hati Ib

  • BERBAGI SUAMI (TAMAT)    BAB 52: Tiara Kritis

    "Sudahlah, Di. Aku mau istirahat. Lelah!" seruku sambil berlalu meninggalkan lelaki itu."Aku belum selesai bicara, Nadia.""Kamu bukan sedang berbicara, melainkan membentak-bentak. Sebaiknya tenangkan dirimu terlebih dahulu." Aku berujar sambil terus berjalan ke arah kamar. Punggungku terasa sangat sakit. Seharian berada di rumah sakit membuat peredaran darah serasa kaku."Nadia. Sudah berapa kali secara diam-diam kamu menemui lelaki itu?"Mendengar pertanyaan Hadi yang sudah sangat berlebihan, membuat emosiku pun ikut tersulut."Aku bukan perempuan murahan. Camkan itu! Silakan kamu hubungi Azzam dan tanyakan apa saja yang ingin kamu tanyakan. Karena percuma juga aku menjelaskan, toh kamu tidak percaya."Aku menutup pintu kamar dan tak lupa menguncinya. Sebaiknya lelaki yang sedang berdiri di depan pintu kamar itu segera pergi dan menenangkan dirinya. Dia salah orang jika menuduhku yang tidak-tidak.Setelah membersihkan diri mengenakan pakaian yang lebih longgar, aku pun menonaktifka

DMCA.com Protection Status