Aku meringkuk di sudut kamar. Tak henti menangis karena ulah Hadi. Lelaki itu bagai tak bermoral. Meskipun aku istrinya, bukan berarti dia bisa semena-mena. Lalu, kenapa harus aku? Bukankah dia bisa menyalurkan hasratnya pada Tiara?Bagian bawah perutku pun terasa sangat perih dan nyeri. Hadi melakukannya secara paksa. Saat aku berusaha berontak malah menyisakan rasa sakit."Aku tidak akan pernah memaafkanmu, Hadi!" seruku dengan suara tersedu. Lelaki itu menarik selimut menutupi tubuhnya, ia mendelik melihatku."Bukankah kamu sangat ingin dianggap. Diperlakukan seperti seorang istri. Ya, terima, dong.""Aku memang ingin diperlakukan seperti Tiara, tapi bukan berarti kamu bisa berbuat seenak hatimu. Perlakuanmu tadi sangat menyakitkan. Bukan hanya tubuhku, tapi juga hatiku.""Cerewet. Keluar kamu. Aku mau tidur!" Dia memerintah sesuka hati.Aku berusaha turun dari ranjang masih dalam kondisi tak mengenakan pakaian."Tutup matamu! Jangan lihat!" Aku urung berjalan saat melihat Hadi ber
POV NADIAAku menghubungi Tiara berulang kali. Wanita itu sepertinya masih sangat marah padaku. Pasti dia menambah waktu untuk tidak kembali ke rumah, sehingga lelaki itu harus menghukumku. Hukuman satu minggu? Duh, bagaimana dengan jadwal wawancaraku? Kulihat kembali jadwal yang telah ditetapkan, ternyata aku masih mempunyai waktu untuk mempersiapkan diri sebaik-baiknya.Menulis artikel maupun jurnal sudah menjadi makananku sehari-hari. Namun, kali ini berbeda, aku harus memahami tentang fashion. Karena aku akan bekerja di sebuah perusahaan majalah yang begerak di bidang fashion. Pasti segala hal yang akan kutulis ke depan tidak jauh dari hal-hal tersebut.Menyibukkan diri mempelajari tentang perusahaan agency tersebut membuat aku melupakan masalah yang sedang terjadi. Tentang hukuman yang akan diberikan Hadi. ***Sudah sore hari. Aku masih saja berkutat dengan laptop dan bahan-bahan wawancara yang sedang kupelajari. Pekerjaan ini harus kudapat. Aku harus lulus dan bekerja. Derap l
"Hadi! Kalian sedang apa?" Suara Tiara terdengar menginterogasi.Hadi terlihat kikuk dan menghentikan suapannya. Aku mencoba mencuri kesempatan untuk memperhatikan mereka berdua."Sayang. Sudah pulang?" Hadi beranjak dari duduknya. Dia berusaha mendekat ke arah Tiara. Wanita itu terlihat menekuk wajah serta mulut sedikit dimajukan. Matanya menatap kesal ke arah Hadi."Bukannya jemput aku, malah berduaan sama dia."Wah! Dia cemburu. Ini kesempatan emasku untuk membuat Tiara semakin menggerutu."Duh! Maaf. Tapi Hadi juga suamiku, kok. Selama kamu tidak di rumah, kami memang menjadi lebih dekat." Hadi mendelik tajam ke arahku, sementara aku sengaja melebarkan senyuman. Toh, aku tidak berbohong. Memang semenjak Tiara tidak berada di rumah, kulihat Hadi sedikit lebih baik padaku. Ya, tak apa meski sedikit. Tiara menyipitkan matanya pada Hadi. Lelaki itu mengelus bahu istri mudanya. "Nadia juga istriku, Sayang. Kurasa tak ada salahnya jika aku juga sedikit lebih hangat padanya."Benarkah
"Besok kita liburan. Ke Bali. Hari ini kita berdua akan mengurus tiket pesawat. Oya, Tiara, kamu juga ikut ke Bali."Romantis sekali saat melihat mereka tersedak secara bersamaan."Tapi rencananya setelah kamu selesai wawancara?" tanya Hadi."Ngga jadi. Aku sudah menghubungi ibu juga umi. Mereka sudah berkemas untuk keberangkatan besok."Tiara membanting sendok ke piringnya yang masih tersisa nasi. Suara berdenting membuat aku tertawa dalam hati."Aku tidak mau ikut! Titik!" seru wanita itu tajam. Ia mendelik melihat ke arahku."Terserah. Bukan urusanku," ujarku sambil mencebik ke arahnya.Menghadapi wanita itu sebenarnya membuatku sakit kepala. Namun, aku tidak mau mengalah begitu saja. Bagaimana pun aku adalah istri pertama dan di ketahui oleh keluarga besar. Posisiku dengan Tiara tidak sama. Meski sama-sama menyandang status sebagai istri dari laki-laki yang sama, akan tetapi aku tetap lebih unggul dari pada dia. Sebelum Hadi berani memperkenalkan wanita itu secara terang-terangan,
Terima kasih, Sayang. Kamu memang suami yang sangat pengertian. Lope You.Tak lupa sebuah emoticon kiss plus love kusertakan di sana. Klik! Kirim! Done!Well, kita tunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Ponselku tak henti berbunyi setelah status facebook ku-posting.No foto, hoaxMana, nih, fotonya sama Hadi.Caption mulu, fotonya mana?Berbagai macam komentar masuk di kolom komentar statusku tadi. Tak perlu waktu lama, sekadar caption tanpa foto pun, status yang baru saja muncul di beranda sudah mendulang ratusan like. Aku tersenyum sambul membaca komentar-komentar mereka.'Ini baru permulaan. Tunggu saja besok.' Aku membathin.Setelah menutup laptop, kumasukkan benda tipis berwarna putih tersebut ke dalam tas. Aku berencana akan membawa serta benda tersebut ke Bali. Ditambah sebuah koper berukuran sedang berisi pakaian serta perlengkapanku di tempat liburan nanti.Semua sudah beres. Aku berdiri sambil melihat ke arah barang-barang yang telah kupersiapkan sambil tersenyum riang.
"Aku ikut."Aku menoleh ke arah suara. Dua ransel berukuran sedang milikku telah kuangkat keluar.Tak jauh dari tempatku berdiri, terlihat pemandangan yang membuat panas hati. Masih pagi, tapi sudah bikin naik tensi. Apalagi kalau bukan Tiara serta Hadi. Wanita itu memeluk Hadi dari arah belakang. Sementara Hadi berdiri menghadap ke arahku. Asem!Seolah tak mendengar obrolan mereka. Aku berpura-pura sibuk memainkan ponsel di teras. Sengaja kupilih bangku yang agak menjorok ke dalam, agar mataku bisa terlindungi dari kemesraan yang tak kira-kira itu."Lho. Kenapa tiba-tiba berubah pikiran?" Suara Hadi terdengar kemudian."Keberatan kalau aku mau ikut?""Bukan keberatan, Sayang. Aku malah senang kalau kamu ikut. Hanya di sana nanti kamu tau, kan, jika orang tua serta mertuaku juga ikut serta. Terus kamu gimana?"Aku memasang telinga baik-baik. Ingin mengetahui jawaban Tiara."Ya, aku akan berusaha bersikap layaknya orang asing nanti. Janji, deh, aku ngga akan membuat keributan dan kekac
Aku yakin wanita itu sangat kesal. Ya ampun, demi apa hatiku sesenang ini. Mesem-mesem terus, nih, dari tadi."Sayang, tapi jangan sampai cium-cium kening, ya, di depanku," ucap Tiara lagi. Ternyata wanita itu belum juga lelah mengajukan keberatan."Sayang, kumohon. Jangan ajukan persyaratan yang berat. Aku ngga tau nanti bagaimana. Karena kalau di depan keluarga aku harus bersikap baik pada Nadia.""Ah! Serah, deh!"Aduh, Tiara. Belum juga dimulai, tapi kamu sudah uring-uringan saja.Tak ada lagi yang berkomentar. Mobil melaju kencang di jalan raya. Kami harus cepat tiba di bandara. Para orang tua telah menunggu lama di sana.Beberapa saat kemudian, mobil yang kami tumpangi tiba di bandara. Aku dan Tiara mengikuti arahan Hadi untuk turun dari mobil. Sementara ia berlalu ke arah parkiran. Setelah memarkirkan mobilnya lelaki itu berjalan ke arahku dan meninggalkan Tiara di belakangnya."Ayo!" Ajaknya entah pada siapa. Aku pura-pura tidak mendengar dan berjalan mendahului. "Hei! Nadia!
Apa sebenarnya yang diingin lelaki itu?Dulu dia bersikeras ingin berpisah denganku, tapi sekarang malah melarang agar aku jangan pernah berpikir untuk lari darinya. Dia pikir dengan statusnya sebagai suami, lalu bisa memerintah sesuka hati? Statusnya saja suami, tapi perlakuannya tidak!"Sini!" serunya sambil meraih tanganku. Tak kugubris. Mataku mengembun membuat penglihatanku mengabur.Lelaki itu menggenggam jemariku dan sebelah tangannya lagi memijit pergelangan tanganku.Tanpa kata, hanya sentuhannya yang berbicara di tengah laju taksi yang membelah jalan raya."Maaf jika selama ini aku terlalu kasar."Kalimat yang ia lontarkan berhasil membuat air mataku mengalir sempurna."Kenapa meminta maaf? Apa kamu sudah lelah menyakitiku?" tanyaku lugas. Meski air mata tak henti mengalir, tapi tak ada isak dalam suaraku."Aku ingin kita berdamai. Mungkin itu lebih baik." Hadi kembali bersuara."Kamu kesambet apa?" tanyaku sambil menyeka air mata.Kurasakan Hadi semakin kuat meremas jemarik
Bukanlah kesabaran, jika masih mempunyai batas dan bukanlah keikhlasan jika masih merasakan sakit. (anonymous)***Aku bahagia atas pernikahan Azzam dan Hanin. Sebuah kelegaan hadir di dalam jiwa ketika melihat sahabatku bisa berjodoh dengan seorang lelaki baik. Begitu juga Azzam, aku bersyukur karena pada akhirnya dia menikah juga. Sehingga Hadi tak perlu lagi merasakan cemburu yang berlebihan."Kalau tau dia jadi calon suaminya Hanin, aku ngga mau kasih kado honeymoon untuk mereka. Mendingan kasih cangkir plastik," ujar Hadi dengan raut wajah ditekuk. Kami sudah berada di dalam mobil menuju rumah.Resepsi digelar minggu depan. Otomatis, rencana untuk berbulan madu ke Jepang ditunda dulu hingga acara selesai."Sayang. Kita batal saja ke Jepang, ya. Masih banyak negara lain yang lebih bagus, kok. Belanda misalnya." Hadi kembali mengeluarkan pendapatnya.Aku geleng-geleng kepala melihat tingkah suamiku tersebut. Hal apa yang membuat ia sangat tidak suka melihat Azzam?"Apa karena Azzam
"Gimana kalau kita ke Jepang juga? Barengan Hanin dan suaminya?" Hadi tersenyum di balik kemudi. Ia mengangguk, tapi tetap fokus ke jalan raya. Sebentar lagi kami akan tiba di masjid tempat akan nikah digelar. Belum terlambat.Mobil memasuki pelataran masjid menuju parkiran. Tampak banyak sekali mobil berjejer rapi di sini. Hadi mencari tempat kosong untuk memarkirkan mobil. Setelah selesai, kami turun dan memasuki masjid bersama.Setiba di dalam. Aku dan Hadi harus berpisah. Ia menuju tempat duduk para lelaki, sementara aku menuju barisan perempuan. Masjid telah dipenuhi oleh puluhan orang untuk menyaksikan ijab qabul Hanin dan suaminya.Tak susah mencari keberadaan Hanin. Ia duduk di barisan paling depan perempuan menghadap ke arah meja wali nikah.Aku mendekat sambil melihat-lihat yang mana calon Hanin? Belum jelas melihat, aku melihat Hanin menoleh ke arahku. Wanita itu tersenyum lebar dan memanggiku menggunakan tangannya."Kamu dampingin aku di sini," ucap Hanin setelah aku bers
Setahun berlalu setelah kepergian Tiara. Aku dan Hadi tinggal di rumah yang sama. Yaitu di rumahku yang diberikan olehnya. Sedangkan rumah milik Tiara masih dalam kondisi kosong tak berpenghuni. Namun, dalam waktu dekat rumah tersebut akan disewakan atau dijual oleh Hadi. "Untuk apa dipertahankan begitu. Mubazir," ujarnya kemarin.Aku memberikan pilihan terbaik padanya. Dan sikap dia yang terakhir aku pun menyetujuinya.Kehidupan rumah tanggaku dan Hadi selalu dipenuhi kebahagiaan. Bahkan aku sudah lupa kapan terakhir mengeluarkan air mata. Hadi sudah sangat banyak berubah. Ya, Tuhan telah memberikan hasil dari apa yang pernah kutuai sebelumnya. Rasa sakit yang pernah kualami di masa awal pernikahan, terbalas sudah. Tunai!Janji Allah itu pasti. Tidak selamanya langit mendung menyisakan kesuraman. Pernahkan kalian melihat kapan munculnya pelangi? Ya, setelah hujan. Demikian juga denganku, sabar itu pahit, tapi akan berbuah manis. Hujan air mata yang kerap terjadi di dalam biduk rumah
Bukan akhir seperti ini yang kuharapkan. Kematian Tiara sangat tiba-tiba. Sungguh janji Tuhan itu pasti. Kematian jaraknya sangat dekat dengan makhluk ciptaan-Nya.Hadi masih terpaku di depan gundukan tanah yang masih basah. Aroma khas menguar akibat percikan rintik hujan yang mulai menyapa. Abi, umi, ayah serta ibu telah terlebih dahulu meninggalkan pemakaman. Sementara orang tua Tiara yang berada du luar negeri tidak hadir di acara pemakaman sang anak.Aku bertahan di sini karena menanti Hadi. Mana mungkin aku beranjak, jika dia masih duduk termenung menatap nisan sang istri. Kelopak kembang warna-warni yang berserakan di atas gundukan tanah masih terlihat segar dan harum."Di. Pulang, yuk, "ajakku.Hadi tidak menjawab. Lelaki itu bergeming di tempatnya."Sayang. Mendungnya makin tebal. Mau hujan lebat. Kita pulang, ya."Masih seperti tadi. Dia mendiamkanku tanpa sepatah kata pun."Ikhlas, Di. Perlahan-lahan. Kematian akan menimpa semua orang.""Aku bersalah padanya." Akhirnya suara
Aku bergegas berjalan di koridor rumah sakit. Tas slempang yang kusampirkan di bahu ikut berayun ke depan dan ke belakang. Pikiranku dipenuhi oleh Tiara. Tadi sudah sadar? Sekarang pingsan lagi? Dia sakit apa sebenarnya? Atau ada sesuatu yang Hadi sembunyikan dariku? Dengan perasaan berkecamuk, aku menyusuri lantai keramik berwarna putih.Tiba di depan pintu ruangan tempat Tiara dirawat, aku berhenti mengatur napas. Keringat membasahi dahi serta punggungku. Aku benar-benar merasa lelah. Setelah merasa cukup, aku pun membuka pintu kamar tersebut dan menutupnya kembali. Ada Hadi di sana. Dia berbalik badan melihat ke arahku. Perlahan aku berjalan mendekat. Lelaki itu pun menyambut sambil memelukku kuat. Dapat kurasa tubuhnya bergetar. Lelaki ini pasti sangat sedih pikirku."Sayang. Tiara ... Tiara!" serunya sambil merenggangkan pelukannya. Hadi menyebut nama wanita yang terbaring itu sambil terisak. Matanya sembab dan kemerahan."Kenapa bisa tidak sadarkan diri lagi?" tanyaku pelan seka
"Jangan sampai ada keributan. Kumohon," ujarku sedikit memelas."Kita lihat nanti. Ada asap api!"Hadi menggamit lenganku menuju meja kosong di sudut kantin. Ruangan kantin tidak terlalu luas, memudahkan kita untuk memindai wajah siapa saja yang mengunjungi kantin.Kami duduk berselang beberapa meja dengan Azzam. Lelaki itu duduk sendiri, dia masih terlihat sibuk dengan ponselnya."Ganti posisi. Kamu duduk di sini." Hadi memerintah agar aku duduk di sisinya."Di sini aja. Susah di situ. Sempit." Aku beralasan."Sempit atau karena ingin melihat mantanmu itu dengan jelas?" Hadi berujar ketus.Aku serba salah. Kali ini Hadi memang berkata benar. Aku memang sedang mengintai Azzam. Bukan berarti meliriknya sesekali karena mencari perhatian, melainkan aku hanya ingin memastikan jika lelaki itu tidak menyadari kehadiran kami. Namun, seperti percuma memberi alasan pada Hadi. Rasa cemburunya tampak lebih besar."Di, bisa tidak kamu berpikiran positif untukku?" tanyaku menekan suara."Jadi kena
Ibu dan Ayah akhirnya berpamitan. Pada Hadi mereka berpesan banyak hal. Kulihat Hadi tak henti menganggukkan kepalanya. Aku bisa mendengar dengan jelas, karena posisiku berada tak jauh dari mereka."Jaga Nadia baik-baik. Dia sedang mengandung. Prioritaskan perhatianmu padanya," ucap Ayah tegas."Ibu sedang memperbaiki hubungan persahabatan Ibu dengan uminya Nadia. Jangan sampai hubungan kami retak lagi karena ulahmu, Hadi. Dia itu sahabat yang sangat berarti bagi ibu. Kami telah melewati berbagai fase kehidupan bersama," ujar ibu nelangsa.Kulihat Hadi mengangkat wajahnya. Mata lelaki itu tampak berkaca-kaca."Maafkan aku, Yah, Bu." Hanya permintaan maaf yang keluar dari bibirnya."InsyaAllah Hadi sedang menapak menuju arah yang lebih baik, Bu. Dia butuh kita orang-orang terdekat dengannya. Dia butuh dukungan dari kita semua." Aku ikut bersuara. Memberitahukan pada ayah dan ibu jika Hadi memang sedang berusaha untuk berubah. "Iya. Karena semuanya tidak lepas dari campur tanganmu, Nad
Aku menghubungi Ibu dan meminta kedua mertuaku untuk datang ke rumah sakit. Sampai kapan hubungan orang tua dan anak itu akan dingin-dingin saja? Selaku orang tua, mereka pasti merasa kesal dan tidak dihargai. Dibohongi oleh semata wayang dan sangat disayangi. Namun, meski nasi sudah menjadi bubur, toh masih tetap mengenyangkan dan enak untuk dimakan?Di satu sisi aku sangat bersyukur saat Abi mendukunh semua keputusan yang telah kuambil untuk rumah tanggaku. Walau Ibu masih bersikeras dengan pendapatnya, tapi setidaknya aku menjadi kuat karena dukungan dari Abi. "Apa perlu Ibu dan Ayah datang? Bukannya mereka bisa menghandel semuanya sendiri?"Suara Ibu terdengar datar di seberang telepon."Bu, kondisi Tiara sedang kritis. Entah apa penyebabnya. Aku juga baru tiba di rumah sakit. Mungkin Hadi sudah tau, tapi masih menyembunyikannya dariku. Ibu dan Ayah datang, ya. Hadi butuh Ibu dan Ayah di sini. Kasihan, Bu."Aku berusaha mengambil hati Ibu. Wanita itu tidaklah sekeras Umi. Hati Ib
"Sudahlah, Di. Aku mau istirahat. Lelah!" seruku sambil berlalu meninggalkan lelaki itu."Aku belum selesai bicara, Nadia.""Kamu bukan sedang berbicara, melainkan membentak-bentak. Sebaiknya tenangkan dirimu terlebih dahulu." Aku berujar sambil terus berjalan ke arah kamar. Punggungku terasa sangat sakit. Seharian berada di rumah sakit membuat peredaran darah serasa kaku."Nadia. Sudah berapa kali secara diam-diam kamu menemui lelaki itu?"Mendengar pertanyaan Hadi yang sudah sangat berlebihan, membuat emosiku pun ikut tersulut."Aku bukan perempuan murahan. Camkan itu! Silakan kamu hubungi Azzam dan tanyakan apa saja yang ingin kamu tanyakan. Karena percuma juga aku menjelaskan, toh kamu tidak percaya."Aku menutup pintu kamar dan tak lupa menguncinya. Sebaiknya lelaki yang sedang berdiri di depan pintu kamar itu segera pergi dan menenangkan dirinya. Dia salah orang jika menuduhku yang tidak-tidak.Setelah membersihkan diri mengenakan pakaian yang lebih longgar, aku pun menonaktifka