"Hadi! Kalian sedang apa?" Suara Tiara terdengar menginterogasi.Hadi terlihat kikuk dan menghentikan suapannya. Aku mencoba mencuri kesempatan untuk memperhatikan mereka berdua."Sayang. Sudah pulang?" Hadi beranjak dari duduknya. Dia berusaha mendekat ke arah Tiara. Wanita itu terlihat menekuk wajah serta mulut sedikit dimajukan. Matanya menatap kesal ke arah Hadi."Bukannya jemput aku, malah berduaan sama dia."Wah! Dia cemburu. Ini kesempatan emasku untuk membuat Tiara semakin menggerutu."Duh! Maaf. Tapi Hadi juga suamiku, kok. Selama kamu tidak di rumah, kami memang menjadi lebih dekat." Hadi mendelik tajam ke arahku, sementara aku sengaja melebarkan senyuman. Toh, aku tidak berbohong. Memang semenjak Tiara tidak berada di rumah, kulihat Hadi sedikit lebih baik padaku. Ya, tak apa meski sedikit. Tiara menyipitkan matanya pada Hadi. Lelaki itu mengelus bahu istri mudanya. "Nadia juga istriku, Sayang. Kurasa tak ada salahnya jika aku juga sedikit lebih hangat padanya."Benarkah
"Besok kita liburan. Ke Bali. Hari ini kita berdua akan mengurus tiket pesawat. Oya, Tiara, kamu juga ikut ke Bali."Romantis sekali saat melihat mereka tersedak secara bersamaan."Tapi rencananya setelah kamu selesai wawancara?" tanya Hadi."Ngga jadi. Aku sudah menghubungi ibu juga umi. Mereka sudah berkemas untuk keberangkatan besok."Tiara membanting sendok ke piringnya yang masih tersisa nasi. Suara berdenting membuat aku tertawa dalam hati."Aku tidak mau ikut! Titik!" seru wanita itu tajam. Ia mendelik melihat ke arahku."Terserah. Bukan urusanku," ujarku sambil mencebik ke arahnya.Menghadapi wanita itu sebenarnya membuatku sakit kepala. Namun, aku tidak mau mengalah begitu saja. Bagaimana pun aku adalah istri pertama dan di ketahui oleh keluarga besar. Posisiku dengan Tiara tidak sama. Meski sama-sama menyandang status sebagai istri dari laki-laki yang sama, akan tetapi aku tetap lebih unggul dari pada dia. Sebelum Hadi berani memperkenalkan wanita itu secara terang-terangan,
Terima kasih, Sayang. Kamu memang suami yang sangat pengertian. Lope You.Tak lupa sebuah emoticon kiss plus love kusertakan di sana. Klik! Kirim! Done!Well, kita tunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Ponselku tak henti berbunyi setelah status facebook ku-posting.No foto, hoaxMana, nih, fotonya sama Hadi.Caption mulu, fotonya mana?Berbagai macam komentar masuk di kolom komentar statusku tadi. Tak perlu waktu lama, sekadar caption tanpa foto pun, status yang baru saja muncul di beranda sudah mendulang ratusan like. Aku tersenyum sambul membaca komentar-komentar mereka.'Ini baru permulaan. Tunggu saja besok.' Aku membathin.Setelah menutup laptop, kumasukkan benda tipis berwarna putih tersebut ke dalam tas. Aku berencana akan membawa serta benda tersebut ke Bali. Ditambah sebuah koper berukuran sedang berisi pakaian serta perlengkapanku di tempat liburan nanti.Semua sudah beres. Aku berdiri sambil melihat ke arah barang-barang yang telah kupersiapkan sambil tersenyum riang.
"Aku ikut."Aku menoleh ke arah suara. Dua ransel berukuran sedang milikku telah kuangkat keluar.Tak jauh dari tempatku berdiri, terlihat pemandangan yang membuat panas hati. Masih pagi, tapi sudah bikin naik tensi. Apalagi kalau bukan Tiara serta Hadi. Wanita itu memeluk Hadi dari arah belakang. Sementara Hadi berdiri menghadap ke arahku. Asem!Seolah tak mendengar obrolan mereka. Aku berpura-pura sibuk memainkan ponsel di teras. Sengaja kupilih bangku yang agak menjorok ke dalam, agar mataku bisa terlindungi dari kemesraan yang tak kira-kira itu."Lho. Kenapa tiba-tiba berubah pikiran?" Suara Hadi terdengar kemudian."Keberatan kalau aku mau ikut?""Bukan keberatan, Sayang. Aku malah senang kalau kamu ikut. Hanya di sana nanti kamu tau, kan, jika orang tua serta mertuaku juga ikut serta. Terus kamu gimana?"Aku memasang telinga baik-baik. Ingin mengetahui jawaban Tiara."Ya, aku akan berusaha bersikap layaknya orang asing nanti. Janji, deh, aku ngga akan membuat keributan dan kekac
Aku yakin wanita itu sangat kesal. Ya ampun, demi apa hatiku sesenang ini. Mesem-mesem terus, nih, dari tadi."Sayang, tapi jangan sampai cium-cium kening, ya, di depanku," ucap Tiara lagi. Ternyata wanita itu belum juga lelah mengajukan keberatan."Sayang, kumohon. Jangan ajukan persyaratan yang berat. Aku ngga tau nanti bagaimana. Karena kalau di depan keluarga aku harus bersikap baik pada Nadia.""Ah! Serah, deh!"Aduh, Tiara. Belum juga dimulai, tapi kamu sudah uring-uringan saja.Tak ada lagi yang berkomentar. Mobil melaju kencang di jalan raya. Kami harus cepat tiba di bandara. Para orang tua telah menunggu lama di sana.Beberapa saat kemudian, mobil yang kami tumpangi tiba di bandara. Aku dan Tiara mengikuti arahan Hadi untuk turun dari mobil. Sementara ia berlalu ke arah parkiran. Setelah memarkirkan mobilnya lelaki itu berjalan ke arahku dan meninggalkan Tiara di belakangnya."Ayo!" Ajaknya entah pada siapa. Aku pura-pura tidak mendengar dan berjalan mendahului. "Hei! Nadia!
Apa sebenarnya yang diingin lelaki itu?Dulu dia bersikeras ingin berpisah denganku, tapi sekarang malah melarang agar aku jangan pernah berpikir untuk lari darinya. Dia pikir dengan statusnya sebagai suami, lalu bisa memerintah sesuka hati? Statusnya saja suami, tapi perlakuannya tidak!"Sini!" serunya sambil meraih tanganku. Tak kugubris. Mataku mengembun membuat penglihatanku mengabur.Lelaki itu menggenggam jemariku dan sebelah tangannya lagi memijit pergelangan tanganku.Tanpa kata, hanya sentuhannya yang berbicara di tengah laju taksi yang membelah jalan raya."Maaf jika selama ini aku terlalu kasar."Kalimat yang ia lontarkan berhasil membuat air mataku mengalir sempurna."Kenapa meminta maaf? Apa kamu sudah lelah menyakitiku?" tanyaku lugas. Meski air mata tak henti mengalir, tapi tak ada isak dalam suaraku."Aku ingin kita berdamai. Mungkin itu lebih baik." Hadi kembali bersuara."Kamu kesambet apa?" tanyaku sambil menyeka air mata.Kurasakan Hadi semakin kuat meremas jemarik
Entah kenapa kakiku bergerak menyusul wanita itu. Dari jendela kamar kami, aku bisa melihat Nadia berjalan di pasir pantai. Jilbab putihnya menari digerakkan angin sepoi.Aku menuruni anak tangga untuk tiba di tempat Nadia berada. Dari jarak yang tak terlalu dekat, aku bisa melihat wanita berkerudung itu sedang melampiaskan kekesalannya. Ia melemparkan karang-karang kecil yang berserakan di pasir ke segala arah. Aku menegurnya. Dan ternyata membuat ia kaget. Entah kaget karena melihatku yang tiba-tiba saja berada di sana atau kaget karena aku berbicara tiba-tiba."Kamu beneran Hadi?"Pertanyaan yang konyol kurasa!"Lalu, kamu pikir aku siapa?" balasku sambil menaikkan segaris alis."Ya, mungkin saja kamu sedang kemasukan makhluk ghaib penghuni tempat ini."Wah! Mulai berani dia. Hmm, maksudku dia makin berani saja. "Boleh kita ngobrol sebentar?""Untuk apa? Nanti nenek lampir itu marah," katanya sambil mendelikkan mata. Entah kenap juga aku tidak ikut emosi seperti biasanya."Nenek
Kelembutan senja memeluk ufuk barat langit Bali. Di tempat aku dan Nadia berada, aku terpana menyaksikan kebesaran Tuhan dalam tiap ciptaan-Nya. Kulihat Nadia memejamkan mata dan menengadah sembari merentangkan tangannya. Aku tersenyum dan merasa terpanggil untuk mengabadikan dua keindahan sekaligus yang ada di depan mata. Keindahan yang baru beberapa hari ini kusadari dari istri pertamaku juga keindahan swastamita* yang sebentar lagi akan berganti dengan gelapnya malam.Beberapa kali aku mengambil foto Nadia. Pantulan cahaa jingga membuat foto terlihat eksotik. Dia tidak tahu jika aku telah mengabadikan semuanya di dalam ponselku."Yuk. Magrib," ajak Nadia.Aku mengangguk dan beranjak dari sebuah bangku panjang. Tidak lagi terlihat orang tua serta mertuaku di bangku yang mereka duduki tadi. Juga Tiara, wanita itu pasti sudah masuk ke kamarnya.Kami berjalan beriringan tanpa suara. Sesekali aku melirik wanita mungil yang sedang menapaki anak tangga di depanku itu. Baju panjang serta j