Share

BAB 2: Terbeban

Penulis: Andri Lestari
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Aku terbangun agak telat pagi ini. Semalaman aku tidak tertidur, menghabiskan waktu membaca buku serta salat malam. Entah kenapa perkataan Hadi tadi malam begitu mengganggu pikiran. Seberapa persen lelaki itu serius untuk menikah lagi? Tahukah dia seperti apa resiko ke depan jika pernikahan tersebut tetap dilangsungkan.

Akan banyak pihak yang tersakiti, terutama orang tuanya serta orang tuaku juga. Umi pasti akan sangat terpukul melihat nasib anak perempuannya yang malang. Masih muda sudah menyandang status sebagai istri tua, itu pun jika aku sanggup bertahan dan melanjutkan status pernikahan kami, jika tidak tentu aku akan menjadi janda. Apa nanti kata orang-orang?

Sementara Hadi memintaku untuk menyembunyikan tentang rencana pernikahan mereka. Sampai kapan rahasia itu bisa ditutupi? Sepandai-pandai tupai melompat, akhirnya pasti jatuh juga. Namun, aku tidak boleh banyak bicara, biarkan saja ia menikahi Tiara, nanti dia sendiri yang akan menanggung segala resiko yang sedang menanti di depan.

Apa semua sudah dipikirkan? Bagaimana nanti jika ibunya atau Umiku datang bertamu? Siapa yang akan keluar menyambut? Istri pertama atau istri kedua. Seharusnya hal seperti itu tidak luput dari pantauannya. Aku tidak mau ibu mertua atau pun Umiku bertambah sakit hanya karena ulah Hadi.

"Sudah bangun, Nak Nadia?" tanya Mbok Mih sembari menyuguhkan segaris senyum hangat. Aku yang baru saja berada di dapur mengangguk dan membalas senyum Mbok Mih. Aku memang meminta wanita yang sudah tak lagi muda itu untuk memanggilku dengan sebutan 'nak'. Walau bagaimanapun usianya terpaut jauh denganku, layak untuk dihormati.

"Ia, Mbok. Telat. Untung aku sudah Shubuh sebelum terlelap pagi tadi." Kuraih gelas berisi teh manis di atas meja. Berbeda dengan Hadi, lelaki itu cukup meminum segelas jus jeruk buatan Mbok Mih saja dan menyantap sepotong roti sebagai pengganjal perut sebelum berangkat ke kantor.

Walau jarang bertemu dengan lelaki itu di pagi hari, tapi Mbok Mih sering menceritakan aktivitas Hadi di pagi hari padaku. Selama ini ia mengetahui dengan baik bagaimana nasib rumah tanggaku dan Hadi. Dia telah menjadi saksi hidup perjalanan rumah tangga kami yang masih seumur jagung.

Mbok Mih pernah mengungkapkan jika ia merasa kasihan padaku. Kenapa aku bisa terjebak di dalam sebuah pernikahan yang tidak sehat, begitu tanyanya dulu. Sebenarnya sebuah pernikahan itu tidaklah salah. Pernikahan adalah sebuah ikatan suci yang harus dihormati dan dijaga, agar tidak layu dimakan usia. Namun, bisakah rumah tanggaku berbenah hingga menjadi lebih baik, sementara nahkodanya selama ini enggan berlayar? Begitu juga awak kapal yang enggan untuk berlabuh lebih jauh ke tengah samudera.

"Mbok ..."

"Ya, Nak Nadia," ujar perempuan berjilbab kurung berwarna kulit bawang itu pelan. Meski ia sedang kuajak bicara, akan tetapi tangannya tetap gesit membersihkan sayur dan buah-buahan di wastafel.

Wanita tua itu sangat baik padaku. Jika sudah tak tahan dengan perlakuan Hadi yang semena-mena, aku akan mengadu ke Mbok Mih, tidak mungkin ke Umi. Namun, kali ini aku tak boleh bicara. Kuurung niat untuk melanjutkan cerita. Biarlah nanti Mbok Mih melihat sendiri apa yang terjadi.

"Ngga jadi, Mbok. Eh, pagi ini Mbok bikin sarapan apa?" Aku sengaja mengalihkan pertanyaan. Wanita itu menghentikan aktivitas. Ia melihat ke arahku dengan senyum yang masih melekat di bibir pucatnya.

"Nak Nadia mau cerita apa? Mungkin ada yang bisa Mbok Mih bantu," ungkapnya sopan.

Aku sengaja meminum teh manis di dalam gelas hingga tandas dalam sekali teguk. Lalu berpura-pura ingin melanjutkan menulis kepada Mbok Mih.

"Mbok, aku permisi dulu. Tulisanku harus selesai, nanti siang tenggat waktu pengirimannya." Aku tidak memedulikan bagaimana reaksi Mbok Mih di belakangku. Sial! Perkataan Hadi tadi malam masih terngiang hingga detik ini di pikiran.

Pikiran terus berkecamuk memecah konsentrasi. Terpaksa kembali menunda menulis, novel yang sedang dalam tahap finishing teronggok pasrah di atas meja sudut kamar. Laptop yang telah kunyalakan, kembali kupadamkan. Ide menulis hilang seketika, mood pun ikut hancur berantakan.

Aku bergegas berganti pakaian. Terus-terusan mengendap di kamar pun tidak baik untukku. Paru-paru membutuhkan udara segar, pikiran juga butuh direhatkan. Ya, aku harus pergi melepas penat yang selama ini merongrong diri. Setelah memakai baju terusan panjang berwarna hijau lumut dengan perpaduan jilbab lebar berwarna senada, aku menarik kunci motor dan ponsel di atas atas meja.

"Assalamu'alaikum." Aku menyapa seseorang di seberang sana.

"Temani aku. Sedang butuh sandaran." Setelah salam terjawab, aku melanjutkan kalimat permohonan kepada orang tersebut.

"Oke, di tempat biasa, ya. Aku tunggu!" Aku pun memutuskan sambungan telepon. Hanin akan menemuiku satu jam lagi. Sekarang dia sedang menyelesaikan beberapa laporan perusahaan tempat ia bekerja.

Selain Mbok Mih, Hanin adalah orang yang sering kupinjam bahunya sebagai tempatku menyandarkan kepala. Meluapkan segala gundah dan masalah yang saban hari tak pernah henti menimpa. Terkadang ia ingin menemui Hadi untuk melampiaskan kekesalannya atas cerita-ceritaku. Namun, aku melarang. Aku adalah tipe orang yang malas untuk membuat keributan. Apalagi dengan Hadi. Lelaki yang makin ke sini makin membuatku menyesal untuk mengenalnya.

"Mbok, aku pergi dulu." Pamitku pada Mbok Mih.

"Ke mana, Nak Nadia?" tanya Mbok Mih sambil tergopoh menemuiku.

"Jumpa teman sebentar. Kalau nanti Hadi tanya, bilang saja tidak tau, ya, Mbok." jawabku sambil memakai kaos kaki. Kulirik Mbok Mih sekilas dan dia mengangguk ke arahku. Tanpa menunggu lama aku pun berangkat meninggalkan rumah besar milik Hadi yang telah kutinggali hampir beberapa bulan ini.

Tidak banyak kenangan indah yang terukir di sana. Karena aku dan tuannya tidak pernah bisa saling mencintai.

***

Setiba di sebuah mal, aku langsung menuju tempat makan yang sering kukunjungi bersama Hanin. Seperti janji tadi, aku harus menunggunya untuk satu jam ke depan. Tak mengapa, aku bisa menghabiskan waktu dengan menyantap beberapa pesanan makanan. Berhubung sudah hampir siang dan aku sama sekali belum makan sejak pagi tadi. Hanya segelas teh manis buatan MboK Mih yang mengisi perutku sejak pagi tadi.

Sembari menunggu makanan datang, aku berselancar di dunia maya, mengikuti berita-berita terupdate beberapa hari ini. Hingga kemudian seseorang menyapaku. Aku melihat ke arah suara. O, Tuhan, ternyata Tiara. Apa? Bukan dia sendiri, ternyata dia bersama Hadi dan mereka sekarang duduk di depanku.

"Ada apa?" tanyaku datar, walau sejujurnya aku kaget melihat mereka ada di sini.

"Kenapa keluar rumah tidak memberitahu?" Hadi balik bertanya.

"Penting? Bukannya kamu tidak pernah peduli?"

"Kamu tau statusmu sekarang? Kamu seorang istri. Wajib memberitahuku ke mana pun kau pergi!" Suara Hadi mulai meninggi.

Aku melihat sekeliling, rasa kesal mulai bergelayut di hati. Apa-apaan ini? Tidak pernah sebelumnya aku harus berpamitan atau memberitahu padanya apa saja yang kukerjakan. Dan itu adalah peraturan darinya. Bukan aku mencoba untuk menjadi istri durhaka. Hadi memintaku begitu, kami tidak perlu untuk melaksanakan tugas-tugas istri atau pun suami. Kenapa sekarang lain lagi?

"Apa? Istri? Jangan ngaco kamu! Kamu sedang tidak mengigau, 'kan?"

Aku menatap tajam ke arah Hadi. Tiara yang duduk di sampingnya hanya diam saja. Ia tidak menjawab separah kata pun. Wanita yang memiliki tubuh semampai itu juga ikut melihat ke arahku. Baru dua kali aku bertemu dengannya. Walau sudah saling berbicara, tapi sikap dinginnya masih terasa. Mungkin dia masih marah karena menganggapku sebagai perebut pacarnya dulu.

"Dengar, Nadia. Kamu itu sah kunikahi. Bagaimana pun juga rumah tangga kita, kamu harus memberitahuku saat keluar rumah. Karena jika orang tuaku atau orang tuamu berkunjung mendadak dan kamu tidak di rumah, aku harus jawab apa saat mereka bertanya? Kamu paham?"

Kemudian mereka pergi meninggalkanku. Mereka menghilang dalam kerumunan orang beberapa menit kemudian. Biarlah! Tidak terlalu penting juga memikirkan Hadi dan pacarnya itu. Seenaknya saja bersikap semena-mena. Dia pikir dia siapa? Meski kami telah sah menikah, tapi aku tidak terima atas sikapnya barusan. Hanya karena takut ketahuan orang tua, dia mendikteku semaunya. Lelaki tak punya nyali, jika memang tak suka, ceraikan! Itu lebih baik.

***

Lanjuuutttt!

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Tempe
ko tampar je la dia. takut apa.
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
istri sah g jelas maunya apa. kenapa juga bertahan dg alasan orangtua dan mertua. mengomel dan menggerutu dlm hati juga g akan menolong mu.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • BERBAGI SUAMI (TAMAT)    BAB 3: Saran dari Sahabat

    Sudah satu jam lebih aku menunggu Hanin, akhirnya dia datang juga. Rasa kesalku sudah memuncak, mengingat perlakuan Hadi barusan. Jika saja tidak mengingat malu, sudah kuumpat lelaki itu kasar. Kulihat Hanin sedang menuju ke arah mejaku. Air mata sudah tergenang sejak tadi. Di depan Hadi aku berlagak kuat. Setetes air mata pun tak ingin kuperlihatkan di depannya. Sesakit apa pun kalimat yang ia keluarkan, aku tidak akan menangis di depan lelaki pengecut itu."Maaf, aku telatnya keterlaluan. Sengaja semua laporan kuselesaikan tadi, biar setengah hari ini bisa habiskan waktu sama kamu." Wanita yang masih setia melajang itu berkata sambil menjawit hidungku. Ah, mata sudah terlanjur berkabut, tak dapat kutahan, bulir bening itu luruh juga. Sontak saja Hanin terlihat kaget melihatku yang tiba-tiba menangis."Kamu kenapa? Aku minta Maaf! Kamu sudah menunggu lama!" seru gadis cantik itu lagi. Hanin adalah sahabatku sejak awal kuliah dulu. Banyak kenangan yang telah kami lalui bersama, suka m

  • BERBAGI SUAMI (TAMAT)    BAB 4: Kejutan dari Kamar Mandi

    "Assalamu'alaikum." Aku mengucapkan salam."Belum bisa pulang? Ibu mau datang," ujar lelaki itu dari seberang sana. Nada suaranya terdengar sinis. "Sebentar lagi aku pulang. Kamu tenang aja!"Panggilan telepon terputus tanpa ada ucapan salam. Aku menghela napas berat. Kepalaku sedikit berdenyut. Beban hidup ini terasa sungguh berat. Aku melihat ke arah Hanin. Wanita cantik itu menepuk pundakku, seolah memberikan semangat jika bukan saatnya untuk menyerah."Aku harus cepat, Nin. Ibunya Hadi sudah di jalan," ujarku pada Hanin sambil memeluk dirinya. Hanin membalas pelukanku dengan erat. Kemudian kami berjalan hingga ke parkiran dan berpisah di sana. Aku mengendarai sepeda motor dengan kecepatan standar. Kondisi jalan yang ramai membuatku berpikir dua kali untuk melaju kencang.Beberapa saat kemudian aku tiba di rumah. Kondisi dari luar terlihat masih sepi, dugaanku jika Ibu pasti belum sampai. Di depan pintu masuk, Hadi berdiri angkuh. Kedua tangannya menyilang di dada. Tatapnnya bagai

  • BERBAGI SUAMI (TAMAT)    BAB 5: Pertikaian di dalam Kamar

    Kami menatap Hadi meminta penjelasan. Dengan berbagai macam pikiran tentunya. Kenapa Hadi membeli kondom? Toh selama menikah kami tidak pernah melakukan hubungan suami istri, jadi kondom yang di kamar mandi itu untuk siapa?"Jadi kalian pakai kondom?" tanya Ibu menatap lekat anaknya."Eh, iya, Bu. Sebenarnya Nadia nggak mau. Aku saja yang paksa." Dia berkata sambil menggaruk kepala. Sering kuperhatikan jika ia sedang berbohong, maka kebiasaan yang dilakukan adalah menggaruk kepala bagian belakang."Lha, kapan mau punya bebi, kalau pakai ginian!" seru Ibu sambil menghela napas.Tega sekali dia membohongi Ayah dan Ibu. Berapa banyak kebohongan demi kebohongan yang telah kami ciptakan. Telanjur berbohong dan akhirnya semakin larut dalam skenario yang entah kapan akan berakhir."Kamu belum mau punya momongan, Nadia?" Ibu beralih padaku, sementara Ayah memilih duduk di pinggir ranjang dan memperhatikan kami. "Mau, Bu. Mau banget," lirihku sambil menunduk. Sebenarnya siapa, sih, yang tidak

  • BERBAGI SUAMI (TAMAT)    BAB 6: Sandiwara

    Aku mendorong tubuh Hadi menjauh. Namun, aku kalah kuat. Lelaki itu memeluk tubuhku dari belakang kemudian ditarik ke kamar. Pintu ditutup menggunakan kaki, sementara sebelah tangannya ia gunakan untuk mengunci pintu. "Apa-apaan, sih, kamu?" Aku menyikut perut lelaki itu. Ia mengaduh, tapi tetap tidak melepaskan pelukan. "Sakit tau!" Ia berseru dengan suara yang sepertinya sengaja ditahan. Mungkin saja biar Ayah dan Ibu tidak mendengar kegaduhan kami."Lepasin, nggak? Atau aku teriak biar heboh?"Hadi membekap mulutku dengan ke dua telapak tangannya dari arah belakang. Otomatis aku menjadi susah bernapas karena hidung juga ikut tertutup rapat. Terpaksa aku menggigit telapak tangan yang menekan mulut serta hidungku itu."Aww!" pekik Hadi sambil mengentakkan tangannya ke bawah. "Rasain!" Aku mendelik tajam ke arah lelaki berhidung mancung itu.Hadi memilih duduk di atas sofa sambil menekan-nekan telapak tangannya. Sedangkan aku berdiri tepat di depan lelaki itu. Rasa kesal serta emos

  • BERBAGI SUAMI (TAMAT)    BAB 7: Pernikahan Kedua

    Pagi ini setelah salat Shubuh sengaja aku menyibukkan diri di luar kamar. Sejak tadi malam sebenarnya aku tidak bisa tidur. Pikiran berkelana membayangkan bagaimana nanti kira-kira hari-hari yang akan kulalui bersama maduku? Satu hal lagi yang sebenarnya paling penting, aku ingin memata-matai Hadi. Tentu pagi ini adalah pagi yang sangat bahagia baginya. Tepat pukul sembilan nanti, dia akan kembali menikah dengan orang yang memang diinginkan sejak dulu. Orang yang terpaksa ditinggalkan karena kedatanganku. Pura-pura membersihkan debu di atas meja ruang tamu, aku masih menanti kehadirannya. Sedang apa dia sekarang? Apa sedang bersiap-siap untuk meluncur ke tempat pernikahan? Ah, andai saja aku bisa seperti dia, kembali menikah dengan Azzam, tentu aku juga akan bahagia. Sungguh tak adil rasanya, di saat Hadi berusaha untuk mencari kebahagiaan yang lain dan mengabaikan kehadiranku, terbesit di hati ingin melakukan hal yang sama seperti dia. Ah! Ternyata pernikahan itu sangat menguras ota

  • BERBAGI SUAMI (TAMAT)    BAB 8: Ikhlaskah?

    Pagi ini setelah salat Shubuh sengaja aku menyibukkan diri di luar kamar. Sejak tadi malam sebenarnya aku tidak bisa tidur. Pikiran berkelana membayangkan bagaimana nanti kira-kira hari-hari yang akan kulalui bersama maduku? Satu hal lagi yang sebenarnya paling penting, aku ingin memata-matai Hadi. Tentu pagi ini adalah pagi yang sangat bahagia baginya. Tepat pukul sembilan nanti, dia akan kembali menikah dengan orang yang memang diinginkan sejak dulu. Orang yang terpaksa ditinggalkan karena kedatanganku. Pura-pura membersihkan debu di atas meja ruang tamu, aku masih menanti kehadirannya. Sedang apa dia sekarang? Apa sedang bersiap-siap untuk meluncur ke tempat pernikahan? Ah, andai saja aku bisa seperti dia, kembali menikah dengan Azzam, tentu aku juga akan bahagia. Sungguh tak adil rasanya, di saat Hadi berusaha untuk mencari kebahagiaan yang lain dan mengabaikan kehadiranku, terbesit di hati ingin melakukan hal yang sama seperti dia. Ah! Ternyata pernikahan itu sangat menguras otak

  • BERBAGI SUAMI (TAMAT)    BAB 9: Statusku?

    Obrolanku dengan Mbok Mih membuat aku kembali bertanya pada diriku sendiri. Apa sebenarnya tujuan pernikahan yang telah kulakukan? Apa aku akan sanggup terus-terusan begini? Diperlakukan seperti orang lain oleh lelaki yang berstatus suami.Adakah rasa ikhlas itu di hatiku? Namun, kenapa aku harus memedulikannya, sementara di hatiku sama sekali tak ada cinta untuk lelaki itu.Sudahlah! Jalani saja dulu. Mana mungkin hatiku tak ikhlas. Meski dia adalah suami sahku, tapi di dalam bilik hati ini sama sekali tidak ada tersimpan namanya di sana. Sepeninggal Mbok Mih, aku kembali mengurung diri di kamar. Kamar adalah tempat ternyaman untukku saat Hadi sedang berada di rumah. Sebisa mungkin aku harus menghindar agar tak saling bertatap muka dengan mereka. Seperti siang tadi, aku membawa masuk makan siangku ke kamar. Di kamar aku bisa menyantap makan siang sambil bersantai tanpa harus bertemu dengan Hadi maupun Tiara. Bukan urusanku dengan dua pasangan yang sedang dimabuk asmara itu. Setelah

  • BERBAGI SUAMI (TAMAT)    BAB 10: Jadi Anti Nyamuk

    Wajah Hadi memerah. Matanya melotot menatapku."Kalau memang aku tidak dibutuhkan di sini, kenapa kamu ngga antar pulang saja?"Aku berdiri dan melawan lelaki itu. Kedua tanganku berkacak di pinggang."Kamu tau resiko jika saja kita berpisah?"Ya, dia tidak mau orangtuanya atau orangtuaku sakit karena perpisahan kami. Namun, apakah begini benar? Aku harus menanggung semua beban derita. Menjadi seseorang yang tak dianggap kehadirannya. Tak dibutuhkan, hanya pelengkap penderita."Egois!" seruku"Jaga bicaramu!" Hadi tak mau mengalah."Memangnya kamu saja yang bisa menikah dengan pacar lamamu dan bahagia? Aku juga mau! Aku bukan patung yang tak punya hati. Bahagia bukan milikmu saja!"Lelaki itu tak lagi menjawab. Kutinggalkan dia bersama nasi dan lauk yang masih penuh dipiring. Lagi-lagi laki-laki itu menghancurkan mood-ku. Apa sebenarnya yang diinginkan Hadi? Tidak menerimaku, tapi juga tidak melepaskanku."Nadia. Kamu dan Hadi bertengkar?" Tiara menghadangku di tengah jalan ke arah ka

Bab terbaru

  • BERBAGI SUAMI (TAMAT)    BAB 60: EKSTRA PART 3

    Bukanlah kesabaran, jika masih mempunyai batas dan bukanlah keikhlasan jika masih merasakan sakit. (anonymous)***Aku bahagia atas pernikahan Azzam dan Hanin. Sebuah kelegaan hadir di dalam jiwa ketika melihat sahabatku bisa berjodoh dengan seorang lelaki baik. Begitu juga Azzam, aku bersyukur karena pada akhirnya dia menikah juga. Sehingga Hadi tak perlu lagi merasakan cemburu yang berlebihan."Kalau tau dia jadi calon suaminya Hanin, aku ngga mau kasih kado honeymoon untuk mereka. Mendingan kasih cangkir plastik," ujar Hadi dengan raut wajah ditekuk. Kami sudah berada di dalam mobil menuju rumah.Resepsi digelar minggu depan. Otomatis, rencana untuk berbulan madu ke Jepang ditunda dulu hingga acara selesai."Sayang. Kita batal saja ke Jepang, ya. Masih banyak negara lain yang lebih bagus, kok. Belanda misalnya." Hadi kembali mengeluarkan pendapatnya.Aku geleng-geleng kepala melihat tingkah suamiku tersebut. Hal apa yang membuat ia sangat tidak suka melihat Azzam?"Apa karena Azzam

  • BERBAGI SUAMI (TAMAT)    BAB 59: EKSTRA PART 2

    "Gimana kalau kita ke Jepang juga? Barengan Hanin dan suaminya?" Hadi tersenyum di balik kemudi. Ia mengangguk, tapi tetap fokus ke jalan raya. Sebentar lagi kami akan tiba di masjid tempat akan nikah digelar. Belum terlambat.Mobil memasuki pelataran masjid menuju parkiran. Tampak banyak sekali mobil berjejer rapi di sini. Hadi mencari tempat kosong untuk memarkirkan mobil. Setelah selesai, kami turun dan memasuki masjid bersama.Setiba di dalam. Aku dan Hadi harus berpisah. Ia menuju tempat duduk para lelaki, sementara aku menuju barisan perempuan. Masjid telah dipenuhi oleh puluhan orang untuk menyaksikan ijab qabul Hanin dan suaminya.Tak susah mencari keberadaan Hanin. Ia duduk di barisan paling depan perempuan menghadap ke arah meja wali nikah.Aku mendekat sambil melihat-lihat yang mana calon Hanin? Belum jelas melihat, aku melihat Hanin menoleh ke arahku. Wanita itu tersenyum lebar dan memanggiku menggunakan tangannya."Kamu dampingin aku di sini," ucap Hanin setelah aku bers

  • BERBAGI SUAMI (TAMAT)    BAB 58: EKSTRA PART 1

    Setahun berlalu setelah kepergian Tiara. Aku dan Hadi tinggal di rumah yang sama. Yaitu di rumahku yang diberikan olehnya. Sedangkan rumah milik Tiara masih dalam kondisi kosong tak berpenghuni. Namun, dalam waktu dekat rumah tersebut akan disewakan atau dijual oleh Hadi. "Untuk apa dipertahankan begitu. Mubazir," ujarnya kemarin.Aku memberikan pilihan terbaik padanya. Dan sikap dia yang terakhir aku pun menyetujuinya.Kehidupan rumah tanggaku dan Hadi selalu dipenuhi kebahagiaan. Bahkan aku sudah lupa kapan terakhir mengeluarkan air mata. Hadi sudah sangat banyak berubah. Ya, Tuhan telah memberikan hasil dari apa yang pernah kutuai sebelumnya. Rasa sakit yang pernah kualami di masa awal pernikahan, terbalas sudah. Tunai!Janji Allah itu pasti. Tidak selamanya langit mendung menyisakan kesuraman. Pernahkan kalian melihat kapan munculnya pelangi? Ya, setelah hujan. Demikian juga denganku, sabar itu pahit, tapi akan berbuah manis. Hujan air mata yang kerap terjadi di dalam biduk rumah

  • BERBAGI SUAMI (TAMAT)    BAB 57: Ikhlas dan Adil (TAMAT)

    Bukan akhir seperti ini yang kuharapkan. Kematian Tiara sangat tiba-tiba. Sungguh janji Tuhan itu pasti. Kematian jaraknya sangat dekat dengan makhluk ciptaan-Nya.Hadi masih terpaku di depan gundukan tanah yang masih basah. Aroma khas menguar akibat percikan rintik hujan yang mulai menyapa. Abi, umi, ayah serta ibu telah terlebih dahulu meninggalkan pemakaman. Sementara orang tua Tiara yang berada du luar negeri tidak hadir di acara pemakaman sang anak.Aku bertahan di sini karena menanti Hadi. Mana mungkin aku beranjak, jika dia masih duduk termenung menatap nisan sang istri. Kelopak kembang warna-warni yang berserakan di atas gundukan tanah masih terlihat segar dan harum."Di. Pulang, yuk, "ajakku.Hadi tidak menjawab. Lelaki itu bergeming di tempatnya."Sayang. Mendungnya makin tebal. Mau hujan lebat. Kita pulang, ya."Masih seperti tadi. Dia mendiamkanku tanpa sepatah kata pun."Ikhlas, Di. Perlahan-lahan. Kematian akan menimpa semua orang.""Aku bersalah padanya." Akhirnya suara

  • BERBAGI SUAMI (TAMAT)    BAB 56: Ujian

    Aku bergegas berjalan di koridor rumah sakit. Tas slempang yang kusampirkan di bahu ikut berayun ke depan dan ke belakang. Pikiranku dipenuhi oleh Tiara. Tadi sudah sadar? Sekarang pingsan lagi? Dia sakit apa sebenarnya? Atau ada sesuatu yang Hadi sembunyikan dariku? Dengan perasaan berkecamuk, aku menyusuri lantai keramik berwarna putih.Tiba di depan pintu ruangan tempat Tiara dirawat, aku berhenti mengatur napas. Keringat membasahi dahi serta punggungku. Aku benar-benar merasa lelah. Setelah merasa cukup, aku pun membuka pintu kamar tersebut dan menutupnya kembali. Ada Hadi di sana. Dia berbalik badan melihat ke arahku. Perlahan aku berjalan mendekat. Lelaki itu pun menyambut sambil memelukku kuat. Dapat kurasa tubuhnya bergetar. Lelaki ini pasti sangat sedih pikirku."Sayang. Tiara ... Tiara!" serunya sambil merenggangkan pelukannya. Hadi menyebut nama wanita yang terbaring itu sambil terisak. Matanya sembab dan kemerahan."Kenapa bisa tidak sadarkan diri lagi?" tanyaku pelan seka

  • BERBAGI SUAMI (TAMAT)    BAB 55: Ikhlas itu: Mudah Diucapkan, Sulit Diterapkan

    "Jangan sampai ada keributan. Kumohon," ujarku sedikit memelas."Kita lihat nanti. Ada asap api!"Hadi menggamit lenganku menuju meja kosong di sudut kantin. Ruangan kantin tidak terlalu luas, memudahkan kita untuk memindai wajah siapa saja yang mengunjungi kantin.Kami duduk berselang beberapa meja dengan Azzam. Lelaki itu duduk sendiri, dia masih terlihat sibuk dengan ponselnya."Ganti posisi. Kamu duduk di sini." Hadi memerintah agar aku duduk di sisinya."Di sini aja. Susah di situ. Sempit." Aku beralasan."Sempit atau karena ingin melihat mantanmu itu dengan jelas?" Hadi berujar ketus.Aku serba salah. Kali ini Hadi memang berkata benar. Aku memang sedang mengintai Azzam. Bukan berarti meliriknya sesekali karena mencari perhatian, melainkan aku hanya ingin memastikan jika lelaki itu tidak menyadari kehadiran kami. Namun, seperti percuma memberi alasan pada Hadi. Rasa cemburunya tampak lebih besar."Di, bisa tidak kamu berpikiran positif untukku?" tanyaku menekan suara."Jadi kena

  • BERBAGI SUAMI (TAMAT)    BAB 54: WAJARKAH CEMBURU?

    Ibu dan Ayah akhirnya berpamitan. Pada Hadi mereka berpesan banyak hal. Kulihat Hadi tak henti menganggukkan kepalanya. Aku bisa mendengar dengan jelas, karena posisiku berada tak jauh dari mereka."Jaga Nadia baik-baik. Dia sedang mengandung. Prioritaskan perhatianmu padanya," ucap Ayah tegas."Ibu sedang memperbaiki hubungan persahabatan Ibu dengan uminya Nadia. Jangan sampai hubungan kami retak lagi karena ulahmu, Hadi. Dia itu sahabat yang sangat berarti bagi ibu. Kami telah melewati berbagai fase kehidupan bersama," ujar ibu nelangsa.Kulihat Hadi mengangkat wajahnya. Mata lelaki itu tampak berkaca-kaca."Maafkan aku, Yah, Bu." Hanya permintaan maaf yang keluar dari bibirnya."InsyaAllah Hadi sedang menapak menuju arah yang lebih baik, Bu. Dia butuh kita orang-orang terdekat dengannya. Dia butuh dukungan dari kita semua." Aku ikut bersuara. Memberitahukan pada ayah dan ibu jika Hadi memang sedang berusaha untuk berubah. "Iya. Karena semuanya tidak lepas dari campur tanganmu, Nad

  • BERBAGI SUAMI (TAMAT)    BAB 53: KRITIS

    Aku menghubungi Ibu dan meminta kedua mertuaku untuk datang ke rumah sakit. Sampai kapan hubungan orang tua dan anak itu akan dingin-dingin saja? Selaku orang tua, mereka pasti merasa kesal dan tidak dihargai. Dibohongi oleh semata wayang dan sangat disayangi. Namun, meski nasi sudah menjadi bubur, toh masih tetap mengenyangkan dan enak untuk dimakan?Di satu sisi aku sangat bersyukur saat Abi mendukunh semua keputusan yang telah kuambil untuk rumah tanggaku. Walau Ibu masih bersikeras dengan pendapatnya, tapi setidaknya aku menjadi kuat karena dukungan dari Abi. "Apa perlu Ibu dan Ayah datang? Bukannya mereka bisa menghandel semuanya sendiri?"Suara Ibu terdengar datar di seberang telepon."Bu, kondisi Tiara sedang kritis. Entah apa penyebabnya. Aku juga baru tiba di rumah sakit. Mungkin Hadi sudah tau, tapi masih menyembunyikannya dariku. Ibu dan Ayah datang, ya. Hadi butuh Ibu dan Ayah di sini. Kasihan, Bu."Aku berusaha mengambil hati Ibu. Wanita itu tidaklah sekeras Umi. Hati Ib

  • BERBAGI SUAMI (TAMAT)    BAB 52: Tiara Kritis

    "Sudahlah, Di. Aku mau istirahat. Lelah!" seruku sambil berlalu meninggalkan lelaki itu."Aku belum selesai bicara, Nadia.""Kamu bukan sedang berbicara, melainkan membentak-bentak. Sebaiknya tenangkan dirimu terlebih dahulu." Aku berujar sambil terus berjalan ke arah kamar. Punggungku terasa sangat sakit. Seharian berada di rumah sakit membuat peredaran darah serasa kaku."Nadia. Sudah berapa kali secara diam-diam kamu menemui lelaki itu?"Mendengar pertanyaan Hadi yang sudah sangat berlebihan, membuat emosiku pun ikut tersulut."Aku bukan perempuan murahan. Camkan itu! Silakan kamu hubungi Azzam dan tanyakan apa saja yang ingin kamu tanyakan. Karena percuma juga aku menjelaskan, toh kamu tidak percaya."Aku menutup pintu kamar dan tak lupa menguncinya. Sebaiknya lelaki yang sedang berdiri di depan pintu kamar itu segera pergi dan menenangkan dirinya. Dia salah orang jika menuduhku yang tidak-tidak.Setelah membersihkan diri mengenakan pakaian yang lebih longgar, aku pun menonaktifka

DMCA.com Protection Status