Crack! Pranggg!
Pecahan kaca berhamburan di lantai. "Fiona, hentikan!" ucap pria paruh baya dengan nada tegas. "Aku tidak akan menghentikan semua ini sampai Ayah menarik kembali apa yang Ayah katakan. Kau tahu, Ayah! Aku tidak suka dengan leluconmu ini!" teriak seorang gadis yang masih berusia 18 tahun. Dia terlihat sangat marah. Jelas saja, dia begitu marah ketika baru saja bangun tidur dari mimpi indahnya semalam. Namun, saat bangun, dia harus mengalami mimpi buruk. Masa depan yang Fiona bayangkan akan begitu indah setelah lulus sekolah ternyata sia-sia. Dia harus menikah dengan seorang pria yang terpaut umur jauh lebih tua darinya. Bahkan Fiona tidak mengenal pria itu. "Ayah tidak bisa menarik apa yang Ayah katakan sebelumnya. Kamu memang telah resmi menikah dengan Tuan William Stefanus Thene. Ayah telah menikahkan kalian berdua semalam. Sekarang, kau pergilah ke rumahnya dan tinggal di sana menjadi istrinya," ucap Fawzi Sanjaya, ayah Fiona, dengan tegas. “Bagaimana bisa Ayah menikahkan aku dengannya tanpa persetujuanku?” teriak Fiona penuh dengan emosi. “Ayah tidak memerlukan persetujuan darimu,” jawab Fawzi dingin, membuat raut wajah Fiona terlihat kecewa. Fiona tidak habis pikir dengan apa yang Ayahnya katakan. Bagaimana mungkin dia bisa menikahkan dirinya tanpa persetujuan? Bahkan, Fiona pun tidak tahu kapan Ayahnya menikahkan dirinya semalam. Sekarang, Fiona berdiri menatap bangunan megah yang menjulang tinggi, mungkin sekitar empat atau lima tingkat, dengan luas yang tidak dapat dihitungnya. Ini adalah kediaman Stefanus Thene. Fiona begitu anggun berjalan, meskipun penampilannya sangat tidak pantas untuk gadis remaja sepertinya. Dia mengenakan dress merah dengan tali pengikat di belakang lehernya, memperlihatkan bagian punggungnya, serta heels merah yang dipadu dengan stocking jaring. "Nyonya, Tuan sedang menunggu Anda di kamarnya," kata pembantu itu, mencoba menunjukkan jalan menuju kamar Tuannya. Fiona sama sekali tidak tertarik untuk menjawab. Entah berapa banyak pembantu yang berbisik-bisik membicarakan penampilan Fiona saat ini. Namun, dia tidak peduli. Orang yang seharusnya berada di tempat ini bukanlah Fiona, melainkan Azalea Liona Fawzi. Gadis itulah yang seharusnya berada di kediaman Stefanus Thene. Namun, Azalea telah melarikan diri dengan selingkuhannya, dan sekarang Fiona yang harus menanggung semua konsekuensinya. Jika tidak, perusahaan ayahnya akan hancur begitu saja. Sudahlah! Lupakan soal itu. Sekarang Fiona akan melakukan rencana agar pria itu segera menceraikannya. Lebih cepat lebih baik, bukan? Brak! Fiona menendang pintu kamar yang nantinya akan ditempatinya, dengan salah satu kaki. Dengan penuh percaya diri, dia masuk ke dalam kamar tersebut. "Ah!" Fiona terperanjat kaget melihat wajah tampan yang begitu sempurna, seperti patung yang memiliki pahatan yang begitu indah, kini berada tak jauh darinya. "Oh... Baby, kau sangat tampan sekali. Mungkin aku akan menjadi gadis paling beruntung di dunia ini yang dinikahi olehmu, jika kau tidak lumpuh!" kata Fiona tanpa basa-basi, langsung menghina fisik William. Walaupun Fiona tidak mengenal wajah suaminya, pembantu sebelumnya telah menyebutkan bahwa Tuannya menunggu di dalam kamar, maka pria itu adalah suaminya. Fiona cukup terkejut melihat pria yang menjadi suaminya ternyata lumpuh. Sekarang Fiona mengetahui alasan kakaknya berselingkuh dan meninggalkan calon suaminya. Fiona sama sekali tidak mengenal William Stefanus Thene, pria yang telah menjadi suaminya itu. Meskipun kakaknya seharusnya menikah dengan pria itu, Fiona tidak pernah melihat wajah calon kakak iparnya. Fiona baru saja kembali dari Italia beberapa hari yang lalu, berniat menghadiri acara pernikahan kakaknya karena ibunya tidak dapat hadir. Setelah bercerai dengan Ayahnya, Ibunya memilih menetap di Italia bersama Fiona, sementara Azalea tinggal di Indonesia bersama Ayahnya. Fiona terpaksa datang karena Ayahnya menekannya untuk hadir di hari pernikahan kakaknya. Namun, malah Fiona yang sekarang harus menjadi pengantin pengganti. Fiona sama sekali tidak menyangka bahwa dia akan menikah di usianya yang masih belasan tahun. William menatap Fiona dengan datar, seakan tidak tertarik dengan gadis di depannya. Kata-kata yang diucapkan Fiona untuk mengejeknya tampak sudah biasa baginya. William tidak peduli dengan tingkah laku Fiona yang tidak pantas, namun wajah cantiknya mampu menarik perhatiannya. Ada sesuatu yang menggelitik di dalam hati William saat melihat wajah cantik Fiona, berbeda dengan mantan kekasihnya, Azalea. Saat mengingat Azalea, wajah William terlihat marah, rahangnya mengeras sampai terlihat dengan jelas. Fiona yang melihat perubahan mimik wajah William yang terlihat marah, tersenyum senang. Dia mengira William marah dengan perkataannya. Fiona berjalan perlahan mendekati William, tiba-tiba dia mengangkat satu kakinya yang masih menggunakan heels tinggi untuk menekannya pada dada bidang William dengan penuh percaya diri. William hanya diam tanpa bergerak sedikit pun dari kursi rodanya, memperhatikan gerak-gerik istrinya yang mungkin sangat keterlaluan. Meskipun William sudah bisa menebak maksud dan tujuan Fiona, dia memilih untuk mengabaikannya. Tingkah dan keberanian Fiona cukup menarik perhatiannya. Fiona tersenyum layaknya perempuan yang sedang menggoda. Bahkan William bisa melihat paha mulus Fiona yang terangkat di depannya. "Sayang, apa kau ingin sesuatu dari dalam tubuhku, sesuatu yang akan membuat kita mencapai puncak dengan penuh kehangatan? Tetapi sepertinya aku belum siap melakukannya. Aku masih belum lulus sekolah, dan sepertinya kau tidak akan mampu melakukannya dengan kakimu yang lumpuh. Mungkin salah satu bagian tubuhmu juga akan sama seperti kakimu!" ejek Fiona pada William yang hanya memperlihatkan wajah datar. Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, Fiona segera pergi dari kamar yang akan ditempatinya sebagai istri William. Fiona merasa lega saat berada di luar. "Huu… kenapa dia begitu tampan," gumam Fiona. Fiona merasa tidak mampu menahan keinginannya untuk memuji William. Namun, yang diinginkan Fiona saat ini hanyalah perceraian. Bagaimana pun caranya, mereka berdua harus berpisah. "Sekarang apa yang harus aku lakukan di sini? Aku tidak bisa membiarkan pria itu menyentuhku malam ini," gumam Fiona sambil berjalan menelusuri rumah mewah milik William. Fiona cukup khawatir William akan menyentuhnya malam ini. Sebagai pasangan pengantin baru, setiap orang pasti akan menunggu momen yang menggairahkan di malam pertama. Fiona tampak gelisah, tidak ingin kehormatannya direnggut oleh pria lumpuh. Meskipun William adalah suaminya, pernikahannya saat ini bukan keinginannya, dan dia tidak ingin memberikan haknya pada William. Fiona mencoba untuk tetap tenang dan berpikir lebih jernih. Sepertinya akan sulit bagi William untuk melakukan hal tersebut karena kondisinya yang lumpuh. Seulas senyum tercetak jelas di wajah Fiona. Fiona melanjutkan langkahnya dengan sedikit kebingungan saat mencari jalan menuju balkon di rumah William yang sangat besar. Karena ini kedatangannya pertama kali, sehingga Fiona beberapa kali tersesat dan harus berputar-putar untuk menemukan jalan yang benar menuju balkon, tanpa bantuan pembantu yang beberapa kali berpapasan dengannya. Setelah beberapa saat, Fiona berhasil menemukan tempat yang ditujunya.Fiona yang sedang berada di lantai dua, tiba-tiba dikejutkan oleh suara seseorang yang ada di belakangnya."Apa kau sedang menyebar pesona?" kata William, membuat Fiona terkejut."Hah! Kau membuatku terkejut! Bagaimana jika aku terjatuh dari atas balkon ini?!" teriak Fiona dengan suara nyaring.Gadis itu benar-benar terkejut setengah mati karena dia sedang berusaha untuk meraih salah satu buah anggur yang menjalar di atas balkon. Tubuhnya tidak bisa menggapainya, sehingga Fiona mencoba naik ke atas kursi demi meraih buah anggur kesukaannya. Meskipun Fiona sudah memakan beberapa buah anggur itu langsung dari pohonnya, dia ingin meraih buah yang lebih tinggi dan lebih besar.William sama sekali tidak peduli dengan kata-kata Fiona. "Turun!" perintahnya, menyuruh Fiona untuk turun dari atas kursi.William, yang sebelumnya memperhatikan Fiona dari balik CCTV, sangat dikejutkan dengan tingkah istrinya yang seperti anak kecil. Meskipun William tahu bahwa istrinya masih sangat muda, ia khawat
"Hah! Tidak, aku tidak mau memandikanmu. Kamu bukan bayi, untuk apa aku memandikanmu? Kamu juga bukan mayat!" seru Fiona sambil langsung membekap mulutnya, memandang ke arah William yang memperlihatkan wajah tidak senang."Ups!"'Astaga, Fiona, kenapa kamu menyebutnya mayat? Lihatlah tatapannya seperti ingin menerkammu,' pikir Fiona dalam hatinya."Kamu bicara apa tadi? Kemari!" ujar William sambil menggerakkan tangannya, menyuruh Fiona mendekat."Euh… tidak ada, aku tidak bicara apapun! Jika kamu ingin mandi, aku akan memanggil salah satu pembantumu," Fiona hendak berjalan untuk memanggil pembantunya, tetapi William menghentikan langkah kakinya."Cepat kemari!" Suara William mulai terdengar marah."I'm sorry, baby! Perutku tidak dapat dikondisikan untuk saat ini, aku lapar dan harus segera pergi untuk makan," ucap Fiona berbohong, demi menghindari William, karena bagaimana mungkin dia memandikan pria itu.Fiona dibuat gelisah, dia sama sekali tidak menginginkan semua itu terjadi, aka
Fiona masih belum menyadari bahwa keenam pria itu sedang menyapanya karena dia tidak mengenal mereka.“Astaga… Siapa yang kalian sebut 'Nyonya muda'? Aku belum menikah, tidak pantas disebut seperti itu,” tanya Maya.“Aku juga belum,” ucap Adel.Mata keenam pria itu tertuju pada Fiona, yang menatap balik dengan tatapan tajam. Sekarang Fiona menyadari bahwa kedatangan mereka adalah untuk menjemputnya.“Sepertinya kalian keliru, seharusnya memanggilku 'Nona muda', paham?” Fiona ingin memastikan kedua temannya tidak salah paham, sehingga dia segera memperbaiki perkataan keenam anak buah William yang sengaja diperintahkan untuk menjemput Fiona saat jam istirahat. “Maaf, Nona muda. Tuan-” belum selesai salah satu dari mereka berbicara, Fiona segera menghentikan perkataannya.“Stop! Kalian tak perlu mengucapkan apapun lagi, pergilah! Aku akan menyusul kalian nanti,” Fiona menyuruh mereka untuk pergi.“Aku harus pergi, kita akan melanjutkan cerita nanti!” tanpa menunggu jawaban dari Maya dan
Sintia yang dipanggil Adel dengan sebutan Sitong segera menggelengkan kepalanya. Dia ingin mengelak membela dirinya tetapi tatapan Maya membuat Sintia kembali menundukkan kepalanya.Maya adalah orang yang sengaja menggunakan kakinya saat Sintia akan melewati bangku Fiona agar Sintia menumpahkan minuman tersebut ke baju Fiona."Adel, apa aku tadi tidak salah dengar, kamu menyebut namanya Sitong? Astaga, nama macam apa itu! Haha..." ejek Fiona sambil tertawa.Maya ikut tertawa puas mendengar perkataan Fiona, tanpa rasa bersalah sedikitpun."Kamu tidak salah dengar, Fiona," jawab Adel.Mereka bertiga menertawakannya, di saat Sintia memilih untuk pergi dari hadapan ketiga orang itu, Fiona memegangi tangannya."Mau kemana kamu, Sitong? Enak aja, mau pergi tanpa bertanggung jawab! Lihat ini, baju seragamku kotor dan baju ini dibuat khusus dari Italia," Fiona berbicara dengan nada suara yang terdengar bangga dan angkuh."Maaf! Aku akan membersihkan seragammu, apa kamu membawa baju seragam la
Fiona berdiri tepat di hadapan William yang melihatnya dengan tatapan datar. Fiona menundukkan setengah badannya agar sejajar dengan William yang duduk di kursi roda, sambil memainkan dasi merah yang dipakainya."Apakah kamu marah padaku?" tanyanya dengan suara lembut.Hening, tak ada jawaban yang keluar dari mulut William. Dia hanya diam memperhatikan gerak gerik Fiona.Dengan sentuhan lembut, Fiona meraba jas hitam William lalu merubah tangannya menjadi menunjuk tepat di arah detak jantung William.“William, apa kamu masih ingat perkataanku kemarin? Jika lupa, aku akan ingatkan sekali lagi, bahwa kau tidak punya hak untuk melarang apapun yang aku lakukan karena aku tidak suka dilarang, termasuk oleh suamiku sendiri. Apalagi pernikahan kita-" Fiona belum menyelesaikan ucapannya, William telah memotong pembicaraannya."Kau tidak perlu membahasnya lagi! Aku sama sekali tidak tertarik dengan urusanmu," potong William dengan suara dingin, matanya menatap kosong ke arah lain.Fiona terdia
"Satu ... dua ... tiga!" Teriakan itu menggema di malam yang tenang, disambut dengan deru mesin yang meraung keras. Mobil-mobil melaju dengan cepat, meninggalkan jejak debu dan asap di jalanan aspal yang gelap. Seorang pria tampan berada di depan kemudi, memacu mobilnya dengan penuh percaya diri, matanya fokus pada jalan di depan. Cahaya lampu jalanan dan sorot lampu mobil-mobil lainnya memantulkan bayangan wajahnya yang tegang namun penuh determinasi. Di pinggir lintasan, Fiona baru saja tiba di lokasi. Dia memandang pemandangan di depannya dengan tenang, matanya menyapu kerumunan orang yang bersorak-sorai menyemangati para pembalap. Di sampingnya, Maya dan Adel berdiri dengan antusias, mengikuti setiap gerakan mobil-mobil yang berpacu di lintasan. "Wow, lihat dia! Mobilnya benar-benar melaju kencang," seru Maya, matanya berbinar penuh semangat. "Siapa orang yang di dalamnya itu? Dia begitu lihai," tanya Adel dengan nada penasaran, sambil menunjuk ke arah mobil yang mem
William hanya bisa melihat istrinya yang sedang berjongkok seperti anak kecil yang kehilangan induknya melalui CCTV yang terpasang di dalam lift dan terhubung dengan ponselnya. Sebelumnya, saat William baru selesai mengerjakan beberapa dokumen pekerjaannya. Dia mendapati banyak panggilan yang tak terjawab dari nomor dengan nama F, hanya satu huruf singkat dan itu adalah nomor ponsel Fiona. William mengabaikan teleponnya, baru saja dia menyimpan ponselnya kembali ke atas meja, seorang pembantu memberitahu bahwa Fiona terjebak di dalam lift. Sampai beberapa saat pintu lift berhasil dibuka, tetapi Fiona masih berjongkok dengan pikirannya. William mencoba mendekati Fiona dengan kursi rodanya. “Apa kau akan terus berjongkok disini?” ucap William, tetapi tidak ada respon darinya. “Ehmmm...” William berdehem cukup keras, Fiona masih saja tak bergeming. Dengan ragu-ragu, William menarik beberapa helai rambut Fiona cukup kencang lalu berpura-pura seolah-olah dia tidak melakukannya.
Setelah kejadian tadi pagi, seseorang datang ke dalam kelas Fiona dan memberitahunya untuk ke ruang guru.Dengan perasaan kesal, Fiona menuju ruang guru sesuai dengan panggilan yang diterimanya.Di ruang guru, seorang guru BK yang bernama Pak Herman sudah menunggu kedatangan Fiona."Fiona, kamu tahu mengapa kamu dipanggil ke sini?" tanya Pak Herman dengan nada tegas.Fiona mengangguk perlahan. "Iya, Pak."Pak Herman menatapnya tajam. "Jika kamu tahu, kenapa harus ada percekcokan, bahkan sampai bertengkar dan membuat tangan Juwita terluka?"Fiona terkejut mendengar apa yang baru saja dikatakan Pak Herman. “Tapi, Pak, itu bukan kesalahan saya.”“Kamu ini, masih saja membantah. Jangan mentang-mentang keluargamu orang berada sehingga bisa membantah aturan sekolah. Apalagi dengan membawa begitu banyak alat make-up seperti ini. Kamu datang ke sekolah untuk belajar atau pamer kecantikanmu? Membawa alat-alat make-up seperti itu,
Di sisi kiri area taman kampus, tiga mahasiswi berdiri memperhatikan Nessa. Tatapan mereka tajam, menilai dengan sinis. Salah satunya bahkan melipat tangan di dada sambil menyipitkan mata.Nessa melihat mereka. Tapi seperti biasa, dia tidak peduli. Dia hanya berjalan melewati mereka dengan kepala tegak.Sampai satu kalimat bernada racun terdengar jelas di telinganya.“Dari mana lagi kalau bukan hasil jual diri?”Langkah Nessa berhenti. Ia berbalik perlahan dan menatap ketiganya dengan tatapan tajam.Mulutnya sudah hampir terbuka, ingin membalas perkataannya. Namun, suara orang yang memanggilnya membuat Nessa mengurungkan niatnya.“Nessa!"Suaranya nyaring, seorang gadis berambut panjang bergelombang menghampiri Nessa sambil melambaikan tangan.Wajahnya terlihat manis, dia adalah Evelyn—sahabatnya sejak semester pertama kuliah. Nessa segera menoleh dan menyambut Evelyn dengan senyum. Evelyn meraih tangannya dan menariknya menjauh dari tiga gadis tadi tanpa menoleh sekalipun.“Jangan
Air menyambutnya dingin, tapi ia tidak peduli. Matanya menyorot ke dasar kolam, tapi sebelum ia bisa meraih tubuh Nessa. Tawa gadis itu pecah di dekatnya.Nessa muncul ke permukaan, tertawa terbahak-bahak. “HAH! Kena kau!”Dawson terengah, dan menyadari Nessa berenang ke sisinya sambil terkekeh. “Kolamnya dangkal, bodoh! Lihat, aku bisa berdiri!”Wajah Dawson menyatu antara lega, marah, dan malu.“Kau pura-pura tenggelam?” suaranya datar, nyaris tak percaya.“Lihat siapa yang panik!” Nessa masih tertawa, lalu menyiramkan air ke wajah Dawson.Dawson menyeka air dari wajahnya dan menatap Nessa dengan tajam. “Kau pikir ini lucu?”“Lucu sekali,” jawab Nessa santai, menjauh darinya.Dawson menyusul. “Kau pikir kau bisa main-main denganku?”“Aku cuma membalas ciuman tadi,” sahutnya, senyum lebar di wajah Nessa.Tanpa peringatan, Dawson menarik tangannya. Nessa hampir jatuh lagi, tapi Dawson menahannya. Kini mereka kembali dekat, napasnya bersinggungan.“Kau suka bermain-main ternyata, baga
Pada sore hari, Nessa baru saja pulang dari kampus. Sudah beberapa hari ia tidak mengikuti mata kuliah, membuat beberapa tugasnya tertinggal. Biasanya ia tidak terlalu peduli dengan hal semacam itu, tapi kali ini Nessa tidak ingin menyia-nyiakan waktunya. Ia ingin fokus belajar kembali. Ia tidak ingin uang pamannya yang telah membiayai sekolahnya terbuang sia-sia.Sejak kemarin, ia sudah diperbolehkan kembali ke rumahnya setelah Nick memberitahunya bahwa Dawson mengizinkannya pulang. Meski begitu, ia belum juga bertemu dengan pria itu—bahkan hingga sekarang."Ahh!" Nessa berteriak kaget ketika mendapati seseorang sedang duduk santai di dalam kamarnya, membaca buku diary miliknya."Kau?! Kenapa kau ada di sini!" tanyanya panik sambil berjalan cepat mendekat dan menyambar buku dari tangan Dawson.Dawson hanya mendengus kecil. Dengan cepat, ia menarik pergelangan tangan Nessa hingga gadis itu terduduk di atas pangkuannya."Hei! Lepaskan! Apa yang kau lakukan di sini?" serunya, mencoba me
Dawson semakin mendekat, Nessa menjerit kecil lalu berlari tergesa ke dalam kamar mandi dan mengunci pintu. Jantungnya masih berpacu cepat. Ia menyandarkan tubuhnya di balik pintu kayu, mencoba menenangkan diri dari rasa takut dan marah yang bercampur aduk.Di luar, Dawson hanya tersenyum tipis. Dia membiarkan gadis itu bersembunyi dan kembali merebahkan tubuhnya ke ranjang. Pundaknya terasa berat setelah semalaman membereskan beberapa masalah. Tak butuh waktu lama akhirnya ia kembali tertidur, napasnya perlahan menjadi teratur.Waktu berlalu. Nessa baru keluar dari kamar mandi setelah merasa aman. Ia berjalan pelan, lalu berhenti di sisi ranjang saat melihat Dawson tertidur dengan pulas, memperhatikan pria itu yang tidur tanpa beban seolah dunia ini hanya miliknya seorang.‘Tampan, tetapi menjengkelkan,’ pikir Nessa dalam hati.Dengan pelan, ia melangkah ke arah pintu dan mencoba membukanya—namun pintu itu terkunci. Nessa mengerutkan kening. Ia memutar kenopnya beberapa kali, tapi t
Nessa duduk di tepi ranjang, gaun pengantinnya belum ia lepas. Ia menatap kosong ke luar jendela, berharap ada keajaiban yang datang. Namun yang ia dapatkan hanyalah kesunyian.Pintu kamar terbuka. Dawson masuk, menatap Nessa sekilas. Tanpa mengatakan sepatah kata pun, ia membuka lemari, mengambil jaket, lalu berjalan keluar kamar."Kau mau ke mana?" tanya Nessa dengan suara pelan lalu menggigit bibirnya menyesali perkataannya.Dawson tersenyum tipis, menoleh sebentar. "Ada urusan,” lanjut berkata. “Kenapa? Apa kau sudah tidak sabar ingin aku menidurimu.” Nessa tertawa begitu keras sambil berkata, “Buang jauh-jauh pikiran kotormu itu. Sampai kapanpun, aku tidak akan sudi tidur denganmu.”“Kita lihat saja nanti,” ucap Dawson sebelum pergi. Dawson memacu mobil sport hitamnya menembus jalanan malam. Tak butuh waktu lama hingga ia tiba di depan sebuah rumah mewah yang berdiri megah di tengah pekarangan luas yang dijaga ketat. Begitu mobilnya berhenti, dua orang penjaga segera menghampir
Dawson menarik tubuhnya menjauh dan segera berdiri sambil beranjak pergi dari ruangan itu tanpa berkata apapun, napasnya masih berat. Ia berjalan menuju sebuah ruangan. Tak lama kemudian, salah satu anak buahnya masuk.“Tuan, apa Anda yakin?” pria itu bertanya, suaranya terdengar ragu. Ia tak percaya bahwa tuannya ingin menikahi gadis yang baru saja di temuinya.“Apa kau tidak mendengar apa kataku Nick! Cepat, lakukan saja. Kau atur pernikahanku dengannya. Jangan sampai ada orang lain yang tahu tentang ini selain kau,” ucapnya dengan nada tegas. “Baik, Tuan.” ****Nessa duduk terdiam di atas ranjang, menggenggam erat handuk yang kembali melilit tubuhnya. Napasnya masih tak beraturan, dan jantungnya berdebar kencang.Air matanya menggenang. Ia benar-benar tak menyukai pria yang baru saja keluar dari ruangnya. “Aku harus membawa paman pergi dari sini,” gumam Nessa sambil memikirkan cara untuk melarikan diri. “Tapi, kemana mereka membawanya?” Nessa kembali bergumam. Beberapa menit b
Langkahnya semakin dekat.Tubuh Nessa menegang saat pria itu berhenti tepat di belakangnya. Ia bisa merasakan kehadirannya yang begitu mendominasi. Napasnya tercekat ketika jemari pria itu terulur, hendak menyentuh pundaknya.Tanpa berpikir panjang, Nessa meraih pot bunga kecil yang ada di dekatnya dan melemparkannya ke arah pria itu.Pria itu bereaksi dengan cepat. Ia memiringkan tubuhnya ke samping, menghindari pot bunga yang nyaris mengenainya. Pot itu jatuh ke lantai dengan suara pecahan yang tajam, menyisakan tanah yang berserakan.Nessa tidak menunggu lebih lama. Ia segera menjauh, mengambil jarak sejauh mungkin. Tubuhnya masih gemetar, tetapi tatapan matanya menunjukkan ketakutan yang begitu nyata.Pria itu tetap berdiri tegap, tidak terlihat marah atau terkejut. Bahkan, ada sedikit lengkungan di sudut bibirnya, seolah menikmati ketakutan Nessa."Apa yang ingin kau lakukan?" suara Nessa terdengar tegas namun ada ketakutan di dalamnya.Pria itu tidak segera menjawab. Matanya mem
Nessa Griselda mengerjap-ngerjapkan matanya yang baru saja terbebas dari kain hitam yang menutup wajahnya. Cahaya remang dari lampu di ruangan itu membuatnya menyipit, mencoba menyesuaikan penglihatannya dengan kondisi sekitar. Punggungnya terasa nyeri akibat lemparan kasar yang baru saja dialaminya. Di sebelahnya, seorang pria paruh baya terkulai dengan wajah sedikit berdarah di sudut bibirnya. "Tuan, maafkan saya. Saya tidak bermaksud mencuri uang Anda!" Suara pria itu gemetar, tangannya terikat, tubuhnya bergetar dengan tatapan penuh ketakutan.Nessa menoleh, menatap pria paruh baya itu—pamannya, satu-satunya keluarga yang ia miliki. Tubuh pria itu terguncang saat salah satu anak buah pria yang duduk di sofa menendangnya hingga ia tersungkur.“Ahh… Paman!” teriak Nessa.“Apa yang kalian lakukan—Emmm…” Nessa tidak dapat melanjutkan perkataannya. Salah satu anak buah pria itu segera membungkam mulutnya karena dianggap terlalu berisik.Nessa hanya bisa menangisi pamannya dengan mulu
Setelah insiden tragis yang merenggut nyawa Azalea, suasana di rumah Lauren menjadi begitu hening dan penuh duka. Aroma samar bunga melati yang dipasang di sudut ruangan memenuhi udara, membuat kesedihan semakin terasa mendalam. Lauren duduk di sofa dengan tatapan kosong, menggenggam foto Azalea di tangannya. Fiona yang duduk di sampingnya berusaha menenangkan sang ibu, tetapi hatinya sendiri dipenuhi kesedihan.William berdiri di dekat jendela, memperhatikan Fiona dan Lauren dalam keheningan. Ezra, yang masih terlalu kecil untuk memahami arti kehilangan, duduk di pangkuan Fiona dengan wajah polosnya. Sesekali ia menatap ibunya dan neneknya, seakan bertanya mengapa mereka begitu sedih.“Mama… kenapa nenek menangis?” tanya Ezra dengan suara lembut, membuat Fiona menggigit bibirnya, menahan tangis.Fiona mengusap kepala Ezra dan tersenyum lemah. “Karena nenek kehilangan seseorang yang sangat ia sayangi, sayang.”Ezra menatap Fiona dengan bingung. “Seperti saat aku kehilangan mainanku?”