Entah setan apa yang telah merasuki Naya? Setelah menyumpahiku mati, kali ini dia ingin mencabut alat-alat yang menunjang kehidupanku di ruangan ini.Caranya yang amatir membuatku yakin bahwa sebenarnya dia ragu, ragu dengan apa yang terjadi, ragu dengan keputusan yang dia ambil sendiri.Kecemburuan telah membuatnya lupa, kecemburuan telah membuatnya menutup mata, hati, dan telinga. Bahwa sekeras apa pun usahanya untuk menyingkirkanku, tak akan pernah bisa mengubah takdir yang Maha Kuasa."Ma-u a-pa, Na-y?"Sontak tangan itu dia tarik paksa. Gemetar bukan hanya jari tapi juga sekujur tubuhnya saat ini. Secepat tangisan Naya yang akhirnya pecah, secepat itu pula Khalid tiba bersama dengan tim medis untuk memeriksa.Mungkin Naya tidak tahu, bahwa sebelum dia datang Khalid sudah lebih dulu menyadari bahwa tanpa-tanpa kesadaranku sudah terjadi. Setelah Khalid selesai membaca Surat Yasiin aku bisa menggerakan kedua jari, tapi memang belum bisa membuka mata ini.Begitu lelaki itu pergi, Nay
Seperti plester yang digunakan untuk menutup luka. Sebisa mungkin kututupi lubang-lubang kecil yang menganga di hati pasangan suami-istri Khalid-Naya. Kubunuh jarak membentang yang semula membatasi mereka. Kuikat kembali tali simpul yang semula mengendur.Lagi-lagi dan lagi, semua tak mudah, mungkin tak akan pernah mudah untuk dijalani. Berkian kali kuredam ego dalam diri, berkian kali kutekan perasaan terbakar saat mempersilakan keduanya untuk menghabiskan banyak waktu bersama dengan sang buah hati.Sampai di hari ke empat puluh ini. Semua mulai berjalan semestinya.Kekeluarga yang diimpikan masing-masing dari kami. Kehidupan poligami yang harmonis itu akhirnya benar-benar terjadi.Dari kamar di lantai atas, aku turun ke bawah menuju kamar Khalid dan Naya.Tok! Tok! Tok!Kuketuk pintu yang menjulang di hadapan."Masuk aja, Nin!" Terdengar suara Naya dari arah dalam.Setelah mendengar persetujuan, kubuka pintu perlahan, dan masuk ke dalam."Kirain lagi nggak pada pake baju," candaku.
Semua tamu sudah berkumpul di acara pengajian yang langsung dibuka ustaz setempat. Semua prosesi berjalan lancar sampai tiba di proses pemotongan rambut."Nin ...." Naya memintaku untuk menemani Khalid saat prosesi. Namun, aku memilih menarik diri dan masuk ke barisan tepat di samping Roy."Kamu aja!" Aku tersenyum simpul dan mendorongnya pelan agar lekas mendampingi lelaki itu.Pancaran kebahagiaan terlihat di matanya. Sebelum pergi Naya sempat bergumam. "Terima kasih."Aku mengangguk, dan nanar menatap mereka yang mulai memutari jamaah pengajian yang dipimpin Pak Ustaz.Entah sudah berapa kali aku mengalah dalam situasi-situasi seperti ini. Tak terhitung jari nyeri bercampur sesak yang terasa di tiap kalimat yang terucap ikhlas."Sumpah, gue muak sama semua ini," celetuk Roy tiba-tiba. Aku menoleh dan mencubit perutnya."Berisik.""Lu, tuh cewek tersinting yang pernah gue kenal."Aku terkekeh. "Gue suka panggilan itu.""Dasar sarap. Otak lu pindah ke mana, sih, Nin?""Emang kapan g
Tok! Tok! Tok!"Nay! Naya!"Aku bangkit setelah melipat sajadah saat mendengar suara gedoran pintu yang diiringi suara panik Bang Khalid terdengar memanggil.Setengah berlari, kuburu pintu dan bergegas membukanya."Ada apa, Bang?" Di balik pintu, kulihat Bang Khalid berdiri mondar-mandir dengan penampilan yang berantakan. Kausnya bahkan terbalik dengan sarung yang hanya dia ikat asal."Nindi, Nay ... kamu liat Nindi nggak?"Aku mengerutkan kening."Loh, bukannya Nindi tidur sama Abang?""Iya, tapi pas bangun tadi dia tiba-tiba ilang." Bang Khalid mengacak rambut frustrasi."Ilang gimana maksud Abang?" "Semua barangnya nggak ada di lemari, Nay. Koper-kopernya juga nggak ada!"Deg!"Ada apa ini?" Mama dan Papa yang kebetulan menginap semalam, langsung keluar dari kamar tamu begitu mendengar keributan, tak terkecuali Neli dan juga Bunda yang baru keluar dari kamar mandi."Nindi nggak ada di mana-mana, Pa. Khalid udah cari ke seluruh penjuru rumah," tutur lelaki itu."Kok, bisa? Kalian
Satu-satunya harapan kita kandas ketika menemui indekos yang sempat Nindi tinggali sudah ditempati orang lain. Club dan rumah Roy serta Bu Lala sudah terjual. Sementara Bu Nia dan Nana memilih bungkam.Papa dan Mama bahkan sudah mengabari bahwa tak ada nama penumpang atas nama Nindia Putri entah darat, laut, maupun udara. Lebih parahnya lagi sama sekali tak ada nomber yang bisa dihubungi. Semua seolah sudah diblokir satu arah. Tak ingin menyerah terlalu dini, aku dan Bang Khalid terus memutari Jakarta seharian. Sampai kami lupa bahwa perut sama sekali belum terisi makanan.Sore menjelang, tujuan terakhir kami adalah bank. Tempat di mana selama ini Nindi menyimpan semua uangnya. Sebagai nasabah prioritas aku yakin bank punya informasi bila tiba-tiba terjadi pemindahan saldo pada akun rekening baru yang kemungkinkan juga memuat alamat baru.Namun, tiba di depan teller, setelah kami memperkenalkan identitas diri. Pil pahit itu kembali harus ditelan, ketika teller mengatakan,"Bu Nindia
Empat tahun kemudian ....Terkadang hidup memang tak selalu berjalan seperti apa yang diharapkan. Roda selalu berputar mengelilingi tiap takdir seseorang dan menentukan ke mana arah yang akan dituju setiap insan.Kehidupan tak mungkin sama bila kita memutuskan untuk mengambil keputusan besar, selalu ada perubahan dan pengorbanan dari tiap perbuatan. Begitu juga dengan harapan dan angan yang berkian kali karam ditelan pahitnya ombak kenyataan.Sepuluh tahun aku mengenal sosok Khalid Prasetya sebagai seseorang yang hangat, perhatian, dan cenderung agak pendiam. Namun, empat tahun setelah kepergian Nindi, perubahan signifikan terjadi, dia menjadi sosok yang dingin dan nyaris tak tersentuh. Bahkan ada beberapa saat ketika waktunya benar-benar hanya dihabiskan untuk bergelut dengan berbagai macam pekerjaan, berkumpul dengan banyak komunitas bisnis atau kemasyarakatan. Aku tak bisa sepenuhnya menyalahkan, selama empat tahun ini dia sudah dihadapkan dengan berbagai macam tekanan setelah
"Sarapan buat Bunda udah selesai, Mbok?" Kuhampiri Mbok Warmi ke dapur, setelah kembali ke dalam."Sudah, Non. Ini baru mau simbok anter." Terlihat di tangan Simbok Warmi sebuah nampan berisi bubur, buah, dan gelas tinggi berisi air putih."Biar sama saya aja, Mbok." Kuambil-alih nampan di tangan Mbok Warmi, lalu lekas naik ke atas.Kudorong pintu yang setengah terbuka dengan badan. Menatap tubuh Bunda yang terbaring lemah di ranjang dengan pandangan yang jauh menatap keluar jendela kamar."Bun ...."Dia menoleh saat kupanggil, wanita paruh baya yang kini terlihat begitu renta itu tersenyum kecil.Kuletakkan nampan di atas nakas, lalu beranjak naik ke ranjang dan duduk di sisinya.Sejak Bunda dan Ayah resmi bercerai, Bunda tinggal bersama kami, di sini, di Batam. Setahun terakhir kanker yang memang sudah lama diidapnya menyentuh angka stadium empat. Kemoterapi kembali beliau jalani, dan untuk kedua kali Bunda terpaksa harus memangkas habis mahkotanya untuk menghindari kerontokan. Seb
Ternyata aku salah saat berpikir bahwa anak adalah satu-satunya sumber kebahagiaan kami. Kehadiran Fatina memang melengkapi, tapi tak sertamerta melingkupi.Sudah empat tahun sejak Nindi memutus segala komunikasi dengan kami begitu juga dengan dirinya yang menghilang bak ditelan bumi. Banyak hal yang terjadi. Kerinduan Bang Khalid pada Nindi telah membuatnya semakin menutup diri.Tak ada lagi ungkapan cinta, kasih sayang, atau kata-kata sederhana yang berhasil membuatku melambung tinggi. Seharusnya aku memang cukup tahu diri, kini hatinya telah terbagi, tak utuh milikku lagi."Nay!" Panggilan itu menyentak lamunan. Bang Khalid melambaikan tangan tepat di depan wajah."Eh, iya?" Kutatap koper kecil dari masing-masing kami, dan juga milik Neli sudah di pindahkan ke bagasi."Udah sembilan puluh persen persiapan, tapi kita belum ada tujuan. Mau ke mana jadinya?" tanya Bang Khalid untuk yang kedua kali sejak malam tadi.Aku terdiam sejenak. Menatap satu per satu orang yang ada di hadapan.