Di salah satu bangku dekat kuliner pinggir pantai Pulau Penawar Rindu. Aku membawa Bang Khalid menemui seseorang. Seorang dokter muda yang sengaja datang jauh-jauh dari Singapura."Mau apa dokter Antoni ke sini, Nay?" Bang Khalid yang kebingungan langsung mengajukan pertanyaan.Kugenggam tangannya erat, lalu berujar. "Nanti juga Abang tahu. Dengerin aja, ya! Dan tolong jangan dipotong, sampe semua disampaikan dengan benar."Bang Khalid menghela napas panjang, dengan pasrah akhirnya dia mengangguk pelan. "Mari, Dok!" Setelah keadaan mulai kondusif, aku menyerahkan sisanya pada Dokter Antoni."Sebelumnya saya mau minta maaf pada Pak Khalid. Karena semua prosedur yang dilakukan sudah berdasarkan kesepakatan antara saya dan Bu Naya.""Kesepakatan? Kesepakatan apaan, Nay?" Belum apa-apa Bang Khalid sudah menyela."Bang ... tolong!" Kuremas sejenak tangannya yang tiba-tiba terkepal."Baik, bisa saya lanjutkan?"Aku mengangguk cepat."Kurang lebih enam tahun lalu, sebelum Bu Naya jatuh koma
"Nindia Putri Zaelani," gumamku saat menerima map cokelat yang diberikan Naya di malam sebelum dia menjalani prosedur pengangkatan rahim. Kualihkan pandangan dari berkas di genggaman, lalu menatapnya kemudian."Apa ini, Nay?""Ini satu-satunya jalan, Bang. Kesempatan bagi kita untuk memiliki keturunan.""Maksud kamu?" Kukernyitkan dahi tak mengerti.Naya mengambil alih map cokelat tersebut dari tanganku. Kemudian dia beranjak duduk perlahan dari posisi setengah terbaring di brankar ruang ICU. Sembari mengeluarkan isi map tersebut, ia mulai menjelaskan."Nindi adik biologisku dari Ayah." Kepalanya tertunduk menatap map di genggaman tangan. "Apa?""Setidaknya dia yang cukup bisa kupercaya untuk mengandung benih kita." Jemari Naya masih bergerak di atas di atas permukaan berkas."Sebenarnya apa maksud kamu?" Naya mengangkat kepala. Kami bersitatap."Dokter Antoni bilang, masih ada cara untuk kita punya anak dengan teknologi. Namanya surogasi atau metode kehamilan dengan ibu pengganti."
Hari kelima, Klub Sahara ternyata tutup. Malam ini aku mengikuti Nindi yang ternyata pergi menemui Roy.Memarkirkan mobil agak jauh dari lokasi mereka berada, yaitu Pos Ronda yang kebetulan tak beroperasi. Aku tak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan. Namun, saat terdengar petikan gitar. Suara samar yang mengalun merdu pun terdengar.Ku ambil gitar dan mulai memainkanLagu lama yang biasa kita nyanyikanTapi tak sepatah kata yang bisa terucapHanya ingatan yang ada di kepalaHari berganti angin tetap berhembusCuaca berubah daun-daun tetap tumbuhDan kata hatiku pun tak pernah berubahBerjalan dengan apa adanyaTanpa sadar senyumku terkembang. Suaranya sangat lepas dan seolah bebas. Di malam yang dingin dan gelap sepiBenakku melayang pada kisah kitaTerlalu sakit untuk dilupakanKenangan yang buruk bersamamuTinggallah mimpiTerlalu sesak untuk dilupakanWalau memang aku tak pernah cintaTakkan terjadi kebangsatan ini ....Aku tertegun begitu liriknya berganti. Kedua orang yang
Untuk KhalidHei, Ganteng!Aku tahu hal ini pasti mengejutkan untuk kalian, khususnya untukmu. Setelah mengembalikan semua tepat pada tempat yang seharusnya aku justru memilih pergi, tanpa pamit, tanpa salam, bahkan tanpa pelukan. Asal kamu tahu ini nggak mudah, nggak akan pernah mudah. Aku cuma takut perpisahan yang dilakukan dengan cara saling berhadapan kembali membuatku gundah, aku cuma takut menatap wajahmu saat mengucap kata pisah, membuatku menyerah dan akhirnya mengurungkan niat, lalu kembali mengaku kalah oleh perasaan yang lemah.Terima kasih, terima kasih untuk semuanya. Terima kasih karena telah mengajukan sebuah kesepakatan hingga akhirnya aku memiliki cukup pilihan masa depan. Pilihan untuk keluar dari lingkaran setan, pilihan untuk berubah, dan pilihan untuk menjadi manusia yang lebih baik setidaknya di hadapan Tuhan.Seseorang pernah mengatakan padaku, bahwa hidup nggak selalu adil untuk para pendosa. Ya, mungkin dia benar, karena sampai detik ini aku belum juga meras
Tak ada satu pun kabar kematian yang membawa suka. Sekalipun itu orang yang pernah membuatmu murka. Aku memang sempat tak menyukai keberadaan bundanya Naya beberapa waktu terakhir. Terlebih saat kutahu bahwa dia pernah menghasut Naya bahkan memaki-maki fakta tentang Nindi yang saat itu masih terbaring koma di hadapan Papa dan Mama. Namun, meski bagaimanapun, Bunda adalah ibu kandung dari istriku.Di samping gundukan makam, aku melihat Naya terisak kencang. Kepergian Bunda yang lebih cepat dari vonis dokter tentu membuat Naya yang memang sedang tak stabil menjadi kian terpukul. Hanya sepekan, sepekan setelah kami pulang dari Pulau Penawar Rindu, beliau berpulang. Meski telah dari jauh-jauh hari kami mempersiapkan diri, tetap saja duka itu datang menghampiri.Bagaiman pun sikap Bu Siska yang kadang tak disukai orang-orang di sekitar, kehadirannya selama hampir sebelas tahun, dan fakta bahwa beliau adalah mertuaku, tetap saja masih menciptakan rasa kehilangan yang cukup besar.Wafat pag
Hanya berselang dua bulan setelah kepergian Bunda, kondisi fisik Naya semakin melemah. Meski berkian kali kupaksa, tetapi dia tetap enggan melakukan kemoterapi, hanya obat-obat yang dikonsumsi dan tak cukup memberi perubahan yang berarti. Dokter mengatakan bahwa sel kankernya sudah lebih cepat menyebar ke jaringan tubuh lain.Ucapan Naya beberapa kali membuatku tertampar, dia mengatakan bahwa banyak cara untuk ikhtiar. Tawakal dan berserah adalah salah satu jalan, bila waktu yang Tuhan tentukan hanya tersisa hitungan jam, dia seolah sudah siap untuk risiko terbesar.Jujur sebenarnya aku sempat kecewa pada Naya. Fakta bahwa Fatina adalah anak kandungku dengan Nindi membuatku sedikit enggan. Bahkan, untuk mendekapnya di saat terpuruknya seperti ini.Apakah aku kejam? Apakah layak bagiku untuk berlaku demikian? Entah kenapa, ego begitu mudah menguasai belakangan ini. Siapa korban sebenarnya di sini? Lama bergelut dengan perasaan, akhirnya aku beranjak menghampiri perempuan yang duduk be
Beberapa bulan kemudian ....Ternyata memang benar, bukan tanpa alasan syariat menyarankan bahwa poligami hanya diperuntukan untuk orang-orang yang 'mampu' Aku baru merasakannya, keadilan yang susah payah kubagi di antara kedua istri ternyata tak pernah benar-benar rata. Selalu ada celah, selalu ada lubang tidak kasat mata yang menjadi awal mula petaka.Cinta, kasih, perhatian bahkan materi yang kuberikan tak pernah cukup adil untuk dibagi berdua. Aku merasa telah gagal, gagal membimbing masing-masing dari mereka, hingga Tuhan akhirnya menghukumku dengan membuat aku kehilangan keduanya.Penjara kesepian ini benar-benar menyiksa. Berbulan-bulan aku habiskan waktu untuk merenung, ibadah, dan interopeksi diri setelah kepergian Naya.Hampir tiap hari dalam beberapa bulan terakhir, kukunjungi makamnya yang disemayamkan tepat di belakang rumah, di samping pohon Areca di mana bakal calon anak kami yang sudah lebih dulu beristirahat dengan tenang.Selalu, setiap waktu, dalam berbagai kesem
"Haus, Pa!"Di tengah perjalanan Fatin tiba-tiba mengeluh kehausan, beruntungnya saat itu kami juga melihat sebuah toko grosir lengkap yang jaraknya hanya 150 meter dari pesantren Al-Huda yang tampak dari gapura di depan tadi. Melihat Fatin yang kepanasan dan kehausan, akhirnya kuputuskan untuk singgah sebentar membeli beberapa camilan untuk di jalan sembari mempertanyakan alamat yang tertera pada si penjual."Permisi, Pak. Assalamualaikum." Lelaki berjambang yang tengah menyemproti burung di depan tokohnya itu menoleh."Ya? Ada yang bisa dibanting?" tanyanya yang membuatku sedikit mengurutkan kening.""Begini, Pak. S--""Apa mau nawarin asuransi? Maaf, ya, Mas. Saya lagi nggak butuh asuransi apalagi minyak wang--""Hus! Mas Fariz!" Seorang wanita yang bisa kutaksir berumur awal empat puluhan keluar dari dalam toko dan menginterupsi kami. "Kebiasaan, deh suka judge orang sembarangan. Maaf, ya, Mas!" Wanita berjilbab itu beralih padaku dan tersenyum kecil."Habis rapi bener, Ci. Mana