"Haus, Pa!"Di tengah perjalanan Fatin tiba-tiba mengeluh kehausan, beruntungnya saat itu kami juga melihat sebuah toko grosir lengkap yang jaraknya hanya 150 meter dari pesantren Al-Huda yang tampak dari gapura di depan tadi. Melihat Fatin yang kepanasan dan kehausan, akhirnya kuputuskan untuk singgah sebentar membeli beberapa camilan untuk di jalan sembari mempertanyakan alamat yang tertera pada si penjual."Permisi, Pak. Assalamualaikum." Lelaki berjambang yang tengah menyemproti burung di depan tokohnya itu menoleh."Ya? Ada yang bisa dibanting?" tanyanya yang membuatku sedikit mengurutkan kening.""Begini, Pak. S--""Apa mau nawarin asuransi? Maaf, ya, Mas. Saya lagi nggak butuh asuransi apalagi minyak wang--""Hus! Mas Fariz!" Seorang wanita yang bisa kutaksir berumur awal empat puluhan keluar dari dalam toko dan menginterupsi kami. "Kebiasaan, deh suka judge orang sembarangan. Maaf, ya, Mas!" Wanita berjilbab itu beralih padaku dan tersenyum kecil."Habis rapi bener, Ci. Mana
Umar bin Khattab pernah mengatakan, "Jika kamu benar-benar mencintai seseorang, biarkan dia pergi. Jika ia kembali, maka ia milikmu. Namun jika tidak kembali, ketahuilah maka dia bukan milikmu."Sebelum memutuskan untuk meninggalkan semua beban yang membelenggu, sejujurnya aku sempat berada di fase pergi sulit, namun bertahan sakit.Bahkan timbul keinginan untuk menjalani kehidupan pernikahan poligami seperti yang akhirnya Khalid dan Naya sepakati.Namun, sesudahnya aku berpikir lagi. Masih banyak jalan menuju Roma. Bila memang tak bisa kenapa harus dipaksa?Surga yang Tuhan janjikan untuk para wanita mulia yang bersedia didua, tak selalu didambakan semua kaum Hawa. Meskipun bukan wanita suci, tapi aku cukup tahu diri. Aku tak mau menyakiti hati wanita lain, hanya karena perasaan yang kian besar ini. Karena aku jelas berbeda jauh dengan wanita di luar sana apalagi para istri nabi. Aku tak punya cukup kemampuan untuk membagi hati, ataupun sekuat mereka yang bisa ikhlas berbagi suami.L
Kupalingkan pandangan, tak sanggup menyaksikan momen yang bahkan dalam mimpi sekalipun tak pernah kubayangkan.Sudah setahun, setahun sejak Alid mulai mengerti kehadiran seorang Papa yang dia damba sejak lama. Setahun, sejak kukatakan bahwa Roy yang selama ini mendampingi bukanlah sosok yang dia nanti.Rasa haru menyeruak, tapi di satu sisi juga terasa sesak. Kala akhirnya Alid mendapatkan jawaban dari semua pertanyaan yang dia ajukan."Tante cantik ini siapa, Pa?"Belum reda keterkejutannya, Khalid kembali dihadapkan dengan pertanyaan dari gadis kecil yang tampak kebingungan.Sesaat dia sempat tertegun, masih dengan Alid dalam pelukan dan tatapan hangat yang dilayangkan, lelaki itu akhirnya menjelaskan."Dia Mama Nindi, Sayang.""Mama?" Bocah yang kutahu pasti Fatina itu tertegun sejenak. "Mama Nindi?" Mata bulat itu tiba-tiba berbinar."Fatin punya dua Mama? Yeaaay!"***Khalid Zaelani, atau kami biasa memanggilnya Alid. Bukan tanpa alasan aku memberinya nama demikian. Penyatuan ter
"Gue hamil, Roy!" Aku keluar dari kamar mandi dan menyodorkan tespek dengan dua garis merah itu ke hadapan Roy yang tengah me-packing barang, sebulan setelah pelarian.Lelaki dengan celana compang-camping itu langsung beranjak bangkit dan menyambar benda kecil memanjang di genggaman tangan."Anj--lu ngelakuin berapa kali, sih?""Cuma sekali, habis nifas.""Langsung jadi?"Aku mengangguk pasrah."Bangsat! Tokcer juga si Khalid."Aku hanya bisa terdiam mendengarnya mengumpat. Siapa yang tahu kalau kesan perpisahan yang sebenarnya bertujuan untuk menciptakan kenangan, justru malah menumbuhkan kembali benih dalam rahim sebagai titipan yang seolah sengaja dia tinggalkan agar membuatku semakin sulit melupakan.Sebulan setelah meninggalkan Jakarta dan menyewa salah satu vila di Lembang-Bandung, hingga sempat menderita demam, mual, dan meriang selama dua pekan, kupikir hanya sakit biasa yang menyerang akibat tak cukup mampu menerima kenyataan. Ternyata hal tersebut disebabkan oleh gejala keh
"Khalid sekeluarga udah pulang ke Batam." Seketika gerakan tanganku yang tengah menyisir rambut terhenti. "Kata Mami, kita udah bisa bawa semua barang yang ketinggalan di Jakarta sekarang."Kuletakkan sisir di atas meja rias, lalu memutar tubuh menatap lelaki di hadapan dengan nanar."Kenapa? Lu kecewa karena Khalid cuma butuh tiga bulan buat meninggalkan semua kenangan yang pernah tercipta di antara kalian?"Tanganku terkepal tanpa sadar, walau tak sepenuhnya benar, tapi ucapan Roy berhasil membuatku merasa tertampar.Sejak memutuskan untuk meninggalkan kehidupan yang pada awalnya memang tak pernah diinginkan, seharusnya aku tidak perlu menyisakan setitik pun celah harapan yang kelak akan menciptakan berbagai macam bentuk kekecewaan. Meski hanya sebentar, aku tak layak berharap bahwa suatu saat nanti dia akan kembali, kembali dengan uluran tangan dan menjanjikan kehidupan layak sebagai pasangan sampai maut memisahkan.Sudah tiga bulan, 3 x 30 hari sejak aku berjuang sendiri melewati
"Ganti aja di sini!" Aku menuntun Khalid ke kamar dan menyodorkan baju yang Roy pinjamkan.Tak ada lawan, si Roy memang patut dapat predikat orang terkejam. Bagaimana bisa meminjamkan pakaian yang biasa dia pakai ke ladang? Mana bolong di beberapa bagian."Maaf, ya. Emang bener-bener si Roy."Khalid tersenyum kecil, lalu mengangguk pelan. "Nggak apa-apa."Tanpa aba-aba dia langsung melepas pakaian beserta kaus dalam sebelum sempat aku meninggalkan kamar."Ekhmm." Aku berdeham sejenak, lalu memalingkan pandangan saat menyadari nyaris tak ada perubahan dari fisiknya meski sudah empat tahun berlalu. "Kalau gitu aku keluar du--"Namun, sebuah tangan tiba-tiba menahan sebelum aku sempat beranjak."Aku cuma mau bilang, Nin. Tentang gugatan yang kamu ajukan empat tahun lalu."Deg!"Gugatan itu nggak pernah naik ke meja sidang. Satu kali panggilan sempat kuhadiri, tapi hanya untuk naik banding. Gugatan nggak cukup kuat, hingga akhirnya pengadilan menolak. Jadi, secara resmi, kita masih sah se
"Ngapain lu bediri di situ dari tadi?" celetuk Roy yang membuatku tersadar dari lamunan."Eh, itu ... anu. Liwetnya udah mateng.""Dih, bilang, dong dari tadi. Pan gue udah laper." Sebelum sempat beranjak pergi, kutahan Roy agar tetap di posisi"Eh, bentar!" "Apaan?""Gimana?" "Gimana apanya?"Aku mendengkus, lalu menunjuk dengan dagu, lelaki yang masih sibuk membelahi kayu.Roy memutar bola mata, dan bergumam sembari berlalu."Gue males mengakui, tapi dia lulus ospek."Senyumku melebar. Kualihkan pandangan pada yang bersangkutan."Bang!"Khalid menoleh. Sejenak dia seka peluh dengan ujung kaus yang mengekspos sebagian tubuh.Astagfirullah.Kuatkan imamku, Tuhan ...."Ya?""Liwetnya udah mateng. Kita makan dulu.""Apa? Nggak kedengeran. Sini!""Ck." Aku berdecak, lalu berjalan menghampirinya."Liwetnya udah--"Aku terpana, tak bisa berkata-kata. Saat dia tiba-tiba mendaratkan kecupan di pipi, dan dengan datar langsung beranjak pergi.Apa-apaan ini?Kurang, kan harusnya sebelah lagi
"Ngapa lu liatin gue begitu?" sungut Roy begitu kubuka pintu, setelah dua kali ketukan. Kulihat di kanan-kirinya dia mengantar Fatina dan Alid pulang dengan senyum yang sama-sama lebar dengan keadaan sudah bersih dan wangi setelah dimandikan dan didandani.Melihatnya entah kenapa membuatku teringat waktu empat tahun silam, saat diri tak cukup mampu menanggung beban, saat Alid masih berkembang dalam kandungan, dan saat waktu terasa benar-benar lamban. Dia ada, dia datang, dia menetap dalam ruang yang tak terlihat, dalam tempat yang tak bisa kuraba, tetapi nyata adanya. Selalu siap sedia menguluran tangan yang dilakukan untuk menyeka air mataku yang seringkali gugur tanpa sadar. Sulit untuk mendeskripsikan sosoknya. Namun, satu yang pasti. Sejak aku berpikir bahwa dunia begitu kejam, dialah cahaya yang datang di tengah-tengah kegelapan."Lo apain anak-anak gue?" Antara menahan tawa dan haru kuajukan pertanyaan saat melihat wajah Alid dan Fatina sama-sama seperti adonan moci yang diberi