"Ngapa lu liatin gue begitu?" sungut Roy begitu kubuka pintu, setelah dua kali ketukan. Kulihat di kanan-kirinya dia mengantar Fatina dan Alid pulang dengan senyum yang sama-sama lebar dengan keadaan sudah bersih dan wangi setelah dimandikan dan didandani.Melihatnya entah kenapa membuatku teringat waktu empat tahun silam, saat diri tak cukup mampu menanggung beban, saat Alid masih berkembang dalam kandungan, dan saat waktu terasa benar-benar lamban. Dia ada, dia datang, dia menetap dalam ruang yang tak terlihat, dalam tempat yang tak bisa kuraba, tetapi nyata adanya. Selalu siap sedia menguluran tangan yang dilakukan untuk menyeka air mataku yang seringkali gugur tanpa sadar. Sulit untuk mendeskripsikan sosoknya. Namun, satu yang pasti. Sejak aku berpikir bahwa dunia begitu kejam, dialah cahaya yang datang di tengah-tengah kegelapan."Lo apain anak-anak gue?" Antara menahan tawa dan haru kuajukan pertanyaan saat melihat wajah Alid dan Fatina sama-sama seperti adonan moci yang diberi
"Udah selesai?" Bang Khalid bertanya saat aku baru selesai memasangkan jaket untuk Fatina. Dia berdiri di ambang pintu dengan Alid yang sudah rapi di sampingnya.Kupicingkan mata saat melihat sesuatu yang asing. "Kapan kamu beli jaket yang sama?" Kutatap bapak dan anak itu bergatian."Dua hari lalu, kan paketnya datang. Nggak liat emang?"Aku menggeleng pelan."Oh, iya. Kalau nggak salah hari itu kamu lagi pergi bareng Roy.""Pantesan. Ya udah kita berangkat sekarang, Roy sama Tante Lala kayaknya udah nunggu di depan."Bang Khalid mengangguk pelan, tanpa diduga dia menarik pinggangku dan merapatkan tubuhnya saat kami berjalan berdampingan ke halaman depan. Sementara anak-anak sudah berlarian lebih dulu keluar.Sampai di di ambang pintu aku baru menyadari sesuatu saat tak sengaja menatapnya barusan."Resleting, Bang!"Bang Khalid mengikuti arah pandangku, lalu menepuk dahi begitu sadar resleting celananya belum sempat dinaikan."Astagfirullah ... untung kamu sadar.""Yaiyalah. Emang a
Entah kapan tepatnya, saat pertama kali gue memilih menarik diri dari dunia, dunia yang gue pikir tak akan pernah bisa menerima. Dunia yang hanya bisa menatap gue tak lebih dari makhluk hina, karena terlahir tanpa Bapak.Ketika memasuki usia remaja, saat harusnya gue bisa menatap kehidupan dengan sudut pandang yang berbeda, bersama dengan tahapan menuju dewasa. Gue justru dicerca berbagai tanya. Tentang siapa gue sebenarnya. Tentang kenapa dan bagaimana gue awalnya? Ternyata gue terlahir dari benih hina para lelaki nista, saat Mami diperkosa. Saat masa-masa remajanya terenggut oleh para bedebah dunia. Di hari saat gue memutuskan untuk berhenti bergaul dengan teman sebaya, berhenti membiarkan diri dicaci dan dimaki hanya karena hidup yang tak pernah gue minta. Gue justru melihat Mami kembali merendahkan dirinya di hadapan tiga bandot tua berseragam pelayan negara, yang selalu datang hanya untuk mempersulit izin akan tempat usaha Mami yang baru berjalan setengah tahun. Padahal gue tah
"Dunia emang kejam bagi sebagian orang. Nggak ada yang bener-bener bisa nerima saat orang yang seharusnya melindungi justru norehin luka paling nyeri. Keadilan ada, cuma buat mereka yang percaya." Di tempat yang sama. Gue melihat wanita itu masih duduk terpaku dengan pandangan kosong ke depan. Kemeja yang dia kenakan tampak belum terkancing sempurna. Bahkan sebelum ini, gue dan Mami mendapatinya pagi tadi hanya beralaskan selembar selimut yang tak cukup mampu menutup tubuh polosnya.Dia seolah telah mati, meski raga itu dipaksa untuk berdiri."Nindi!" Gue panggil namanya.Wanita berambut panjang itu akhirnya menoleh. Menunjukkan wajah cantik yang benar-benar mengenaskan dengan beberapa lebam merah keunguan di mata dan sudut bibirnya."Saya mau pulang." Hanya itu kalimat yang terlontar, meski berbagai kata tanya ingin sekali gue ajukan."Oke, gue nggak akan maksa. Lu pasti butuh waktu untuk beradaptasi dengan semua ini. Walaupun pada akhirnya lu nggak kembali, dan utang si Indra belum
"Apa lu mau terus-terusan begitu?" "Mungkin bisa kalau gue kawin sama lo.""Nggak usah ngimpi, selera gue tinggi. Jangankan yang setengah jadi, yang bener-bener lakik aja gue jijik."Masih teringat jelas dalam benak gue, awal pertemuan sampai tiap kata tajam dan kadang sekotor comberan yang kerapkali kali keluar dari mulut si Nindi. Nggak ada saringan, semua yang dia katakan seolah spontan tanpa beban. Gue kenal dia luar dalam, walaupun nggak sampai sedalam si Indra sama si Khalid. Tapi, untuk tahu apa dan bagaimana kebiasaan, kesukaan, bahkan kesehariannya, gue berani diadu. Dua orang yang katanya bener-bener jantan itu bisa dengan mudah gue kangkangin.Si bangsat Indra atau bahkan Khalid sekali pun mungkin nggak akan pernah tahu. Berapa jumlah tahi lalat di tubuhnya, apa yang sering dia lakukan kalau lagi mikir panjang, luka kecil di bawah keteknya yang sering ditutupi pake acne patch atau baju berlengan. Dia nggak suka berbagai olahan makanan dengan campuran kemiri, bahkan bawang
Menempuh 9 KM perjalanan dengan waktu tempuh kurang lebih delapan belas menitan, akhirnya kami sampai di tempat wisata Ranu Klakah. Ranu Klakah Lumajang merupakan salah satu danau alami yang terbentuk dari letusan Gunung Lemongan. Danau ini merupakan danau terluas dan terbesar di antara ketiga danau yang berada di lereng gunung tersebut.Ini adalah kali kedua gue, Nindi, Mami, dan Acid mampir ke tempat wisata ini. Jujurly tempat ini sangat rekomended buat lo, lo, yang bingung cari tempat rekreasi bareng keluarga.Ranu Klakah adalah salah satu pesona alam tersembunyi yang memanjakan mata dengan panorama terbaik yang dilengkapi dengan beberapa spot wahana seru di dalamnya. Selain itu, untuk kalian yang narsis dan hobi ngoleksi feed igeh aistetik. Tempat ini juga menyediakan banyak spot foto yang mantul."Papa, mau naik itu!" Baru juga sampe, di Fatina udah nunjuk-nunjuk perahu soang warna emping."Ma-ma, boyeh?" Sementara si Bontot menarik-narik tunik yang Nindi kenakan, terus minta iz
Box aktif yang memutar lagu galau berjudul 'Rumah Singgah' dari Fabio Asher itu masih terdengar keras dari dalam rumah Roy dan Tante Lala, setelah diulang-ulang hampir dua harian.Ini adalah hari keberangkatanku, Bang Khalid, Alid dan Fatina ke Batam. Namun, sejak kemarin batang hidung Roy masih belum juga kelihatan.Di depan pintu kamarnya aku menunggu dia membukakan pintu, setelah mendengar keterangan Tante Lala kalau seharian ini Roy hanya sempat keluar untuk salat dan makan."Roy! Kalau nih pintu kagak lo buka juga, beneran gue dobrak, ya!"Hanya beberapa saat setelah aku mengancam, pintu terbuka dan wajah berantakan itu muncul dari baliknya."Ya udah, sih. Kalau mau pergi, ya pergi aja! Gosah pake basa-basi. Kita udah sempet pamitan, kan?" sungutnya begitu membuka pintu.Aku mendengkus kesal, lalu mencubit perutnya."Bulan depan umur lo udah masuk kepala tiga, masa mau gini-gini aja?""Ya, emangnya kenapa? Umur, kan cuma angka!"Kuhela napas panjang saat melihatnya bicara tanpa b
Menempuh sekitar dua jam empat puluh menit perjalanan dari Surabaya, akhirnya kami tiba di Batam. Jantungku mulai berdegup kencang saat melihat sambutan keluarga yang menjemput di bandara."Selamat datang di rumah!" Senyuman Bang Khalid dan erat genggamannya berhasil membuat kupu-kupu di perutku berterbangan hingga mengantarkan perasaan membuncah yang berlipat-lipat kali lebih besar.Akhirnya harapan yang berkian kali karam ditelan angan, bisa benar-benar diwujudkan. Keluarga utuh yang mulanya hanya bisa kuimpikan benar-benar nyata dalam jangkauan. Mereka menyambutku pulang, seperti anak yang benar-benar diinginkan."Ayo, Nin. Mereka keluargamu!" Sebelah tangan Bang Khalid terulur mempersilakan. Anggukannya menyakinkan bahwa tempat yang kutuju sekarang benar-benar rumah terakhir di antara sekian banyak persinggahan."Sayaaang ...!" Bu Sarah lebih dulu datang memberi sambutan dengan pelukan paling hangat yang bisa dilakukan seorang ibu mertua pada menantunya. Mulai sekarang mungkin aku
"Silakan diminum dulu, Mas. Mumpung masih hangat." Mulut Khalid terbuka setengah, matanya nyaris tak berkedip saat mengitari seisi rumah mewah ini. Dia bahkan tak menanggapi seorang perempuan bercadar yang tengah hamil besar, sedang menyodorkan minum padanya.Di sebuah rak khusus dia melihat tumpukan brosur catering dan dekorasi, matanya juga tak berhenti menatap foto-foto pernikahan Roy yang terpajang di beberapa titik dalam ruangan. Saat melihatnya ternyata Khalid juga baru ingat kalau 'Berkah catering & decoration' adalah perusahaan WO yang sedang naik daun beberapa tahun belakangan. Jasanya banyak digunakan artis dan orang-orang penting, karena harga, rasa, kualitas, serta pelayanannya yang sama sekali tak mengecewakan."Kenalin, ini istri saya Ainun!" Ucapan Roy membuat Khalid kembali tersadar. Dia menatap pria yang tak percaya akan menyambutnya selayaknya tamu, setelah apa yang terjadi pada sahabat baiknya sewindu lalu.Namun, tak bisa dipungkiri. Tatapan Roy terlihat begitu taj
Roy berdiri terpaku di dekat brankar yang ditempati Nindi pasca persalinan yang perempuan itu jalani. Kedua tangannya terkepal, sementara air matanya terus mengalir memerhatikan perempuan yang berkaca-kaca menatap kedua bayi kembarnya dalam gendongan.Seolah masih lekat dalam ingatan Roy fakta demi fakta yang Nindi ungkapkan seiring dengan perutnya yang semakin membuncit"Setelah keguguran gue dan Bang Khalid pisah ranjang kurang lebih satu bulan, jadi sebelum sidang putusan cerai gue bisa dengan mudah mengidentifikasi dari mana benih yang mulai tumbuh di rahim gue berasal. Lucunya hidup ini ketika akhirnya gue sadar tengah mengandung anak dari keparat yang udah gue enyahkan. Kebetulan di hari yang sama saat tragedi itu terjadi, ternyata gue lagi ovulasi." Nindi menghela napas panjang sebelum melanjutkan. "Entah anugerah atau kutukan ketika Tuhan memberikan gue kesuburan, meski hanya dengan satu atau dua kali penetrasi ... benih-benih janin yang tak diinginkan tumbuh dengan mudah di r
Di sebuah desa kecil yang terselip di antara gemerlap hijaunya alam, anak-anak kecil berlarian di bawah langit senja, gembira dan bersemangat mengikuti tradisi yang telah diteruskan dari generasi ke generasi. Mereka melantunkan sholawat sembari menyusuri jalan berkerikil dengan langkah kecil yang penuh semangat menuju masjid terdekat.Di sela-sela ladang hijau yang melambai-lambai sejalan dengan angin, para petani yang menjadi mata pencaharian utama di desa, juga terlihat berbondong-bondong pulang dari ladang membawa hasil panen yang diangkut menggunakan kendaraan roda dua, roda empat, maupun gerobak melewati jalan utama. Peluh, lapar, serta dahaga tak lagi dirasa mengingat ada sebuah keluarga yang menunggu untuk disambung hidupnya."Mas Roy! Wes mandi langsung ke masjid ae, ya! Ditunggu karo Budhe Lala buat buka puasa bersama!"Salah satu petani yang mengangkut hasil panennya menggunakan mobil bak terbuka langsung menyenggol sang sopir untuk menghentikkan laju kendaraannya."Sek, sek!
Konflik rumah tangga antara Khalid dan Nindi berakhir di meja pengadilan agama. Setelah tiga bulan serangkaian proses berjalan, kedu belah pihak tetap tak menemukan titik terang. Mereka sudah sepakat berpisah. Hari ini, 15 Desember waktu setempat, sidang putusan perceraian mereka berlangsung di Pengadilan Agama Batam. Pengunjung yang menghadiri kebanyakan didominasi oleh pihak keluarga penggugat. Semua orang yang memenuhi ruang sidang seolah tak bisa memalingkan pandangan dari kedua pasangan yang duduk di depan meja hakim. Pasangan suami istri yang pernah saling memiliki itu terlihat menunjukkan ekspresi yang berlawanan.Nindi duduk dengan tenang di sisi kanan, wajahnya menunjukkan ekspresi datar yang sulit diartikan. Namun, mata bulatnya seolah memancarkan kepedihan mendalam yang dengan sempurna dia tutupi dalam kebungkaman.Sementara di sisi kiri, Khalid duduk dengan tegang, di tempatnya dia tampak gelisah, bahkan tak henti menoleh pada sosok di sebelahnya. Rahang kokoh itu mengeta
Sebuah keluarga yang terdiri dari sepasang suami-istri dan dua anak itu tengah menatap api unggun yang berkobar di depan tenda mereka. Warnanya berubah-ubah dari merah, putih, hingga oranye dengan menyebarkan kehangatan untuk orang-orang di sekelilingnya. Mereka terlihat bersuka-cita menghabiskan waktu akhir pekannya, meski hanya berkemah di belakang rumah.Suara riang sepasang anak yang hanya selisih kurang dari setahun itu memecah keheningan malam. Keduanya tampak bercanda dan berlari kecil mengelilingi api unggun. Derai tawa menggelora, kebahagiaan sederhana itu dirasakan mereka saat mengejar api kecil yang melompat-lompat dari perapian."Sayang, ya si Neli nggak ada di sini." Nindi menyenggol lengan Khalid saat keduanya tengah memerhatikan anak-anak yang asik bermain, sembari menusuki marshmallow yang siap dibakar."Bukannya lebih bagus kalau nggak ada Neli? Jadi, kita bisa bebas ngapain aja tanpa perlu denger sindirannya yang kadang bikin risi?" Khalid terkekeh sembari melingkark
Langit mendung menyelimuti kota Batam. Sebuah pemakaman yang tak biasa digelar, dihadiri oleh banyak kolega, teman-teman, bahkan sampai awak media. Mereka semua berkumpul untuk mengucapkan selamat jalan pada Vincent Benedict Tjahjono, pengusaha juga anak konglomerat yang telah berpulang akibat sebuah tragedi.Di tengah kerumunan, Khalid hadir, meski dia harus menjaga jarak dari keluarga mendiang. Dia tahu bahwa kedatangannya di sini adalah sebuah tindakan yang berani, mengingat situasi yang tengah dihadapinya. Namun, mengingat hubungannya dengan keluarga Vincent selama ini telah berjalan cukup baik, dia merasa perlu memberikan penghormatan terakhir.Mrs. Diane yang menyadari kehadiran Khalid di tengah kerumunan, mencoba menutupi kesedihan dan berniat menghampirinya dengan hati-hati agar tak disadari oleh sang suami.Begitu wanita paruh baya itu sampai di hadapan, Khalid langsung meraih tangannya."Bu, saya sangat menyesal atas apa yang terjadi," ucapnya dengan suara lirih dan Bahasa In
Hampir sebulan berlalu, proses visum sudah Nindi jalani setelah dia berhasil memberi keterangan yang meyakinkan pada pihak penyidik. Kemungkinan akan diadakan mediasi bila Vincent berhasil sadarkan diri.Hari-hari yang Nindi lewati tak berjalan semestinya. Nasibnya tak pasti, dia seperti ada di tepi jurang yang siap dilompati bisa seseorang dengan sengaja mendorongnya dari belakang. Perempuan itu seolah sudah pasrah dengan keadaan. Untuk sekarang Nindi hanya merindukan anak-anaknya, teman-teman juga waktu kebersamaan yang tak yakin bisa kembali dia lalui."Mbak, liat, Mbak!" Neli menepuk bahu Nindi. Dari balik jendela dia melihat sebuah mobil memasuki pelataran.Seketika semangat Nindi kembali saat melihat Khalid pulang setelah hampir dua minggu suaminya nyaris tak ada kabar. Nindi tak tahu apa yang sudah lelaki itu lewati selama dua pekan terakhir ini.Nindi langsung memeluk Khalid begitu lelaki itu memasuki ruangan. Dia kesampingkan ego dan menelan bulat-bulat rasa kecewanya sendir
Perempuan dengan pakaian serampangan dan hanya kerudung yang disampirkan itu duduk di salah satu bangku ruang tunggu sebuah rumah sakit ternama di kota Batam. Satu setengah jam lalu ambulans mengantar lelaki yang terkapar tak sadar dengan luka serius di kepala. Ruangan itu dipenuhi dengan atmosfer tegang, dan perempuan berusia 31 tahun tersebut justru tenggelam dalam kecamuk pikirannya yang kacau.Beberapa kali dia meremas kedua tangan, tubuhnya gemetar. Ibu dua anak itu tertunduk dalam memerhatikan pijakkan, mencoba menenangkan diri dan perasaan yang sulit dideskripsikan.Dia berharap semua yang terjadi hanya mimpi. Mulai dari pertemuan kembali dengan sosok dari masa lalu yang membangkitkan kenangan kelam yang coba dia kubur dalam, lalu kontrak tak masuk akal yang terpaksa ditandatangani, hingga kesepakatan yang seharusnya tak pernah terjadi. Dia merasa seperti telah terjebak dalam perjanjian yang menjadi pemicu keretakan rumah tangganya dengan sang suami.Imbas dari semua yang terja
Suara hujan yang lembut mengalir di luar jendela, seperti melodi kenangan yang berputar di kepala. Di ruang tengah aku duduk sendiri, menatap benda persegi yang membawa kembali ingatan akan momen-momen tak terlupakan dalam empat tahun kebersamaan kami di Lumajang. Kusaksikan kembali tubuh kembang Alid dari mulai tengkurap, merangkak, berjalan, sampai berlari. Begitu juga dengan proses hijrahku yang dibimbing oleh orang-orang ahli yang sukarela mengajari tanpa menghakimi.Seolah masih lekat dalam ingatan saat aku dengannya berbagi tawa dan tangis dalam setiap lembar cerita. Kala itu, hidupku terasa begitu ringan, meski beban yang kupikul sangatlah berat. Kami optimis mampu mewujudkan mimpi dan harapan di tengah terpaan cobaan.Namun, kini aku duduk di sini, dengan rasa berat di dada. Hidup telah membawaku ke dalam peran yang jauh dari apa yang kumimpikan. Pernikahan yang diawali dengan cinta, kini terasa seperti penjara yang mengekangku dalam dilema. Harapan-harapan yang dulu begitu ce