Hai, Nin. Sampai saat surat ini tiba, mungkin aku sudah tiada. Bukan bermaksud ingin mendahului takdirnya, tapi aku memang merasa waktuku tak lagi lama. Aku bingung harus memulainya dari mana, terkadang pulpen yang kugenggam seolah tak tahu arah goresannya. Hari ini, tepat empat tahun semenjak kepergianmu. Jujur aku menikmati sisa hidup yang bahagia bersama dengan Bang Khalid dan Fatina, keluarga kecil kami sempurna. Kesempatan menjadi seorang ibu setelah berkian tahun akhirnya bisa kurasa. Sisi paling egois dalam diri bahkan merajalela. Aku tak ingin semua berakhir begitu saja. Namun ternyata semua di luar kuasa, aku hanya manusia yang bergerak berdasarkan suratan takdir-Nya, aku tak berdaya oleh penyakit yang terus-menerus menggerogoti tubuh hingga yang tersisa hanya kulit yang melimuti tulang dalam raga. Bahkan empat tahun yang dijalani setelah kamu pergi tak pernah lagi sama, tak sesuai harapanku, atau mungkin tak berjalan semestinya.Aku mendapati dia yang berbeda. Lelaki yang
Aku masih beradaptasi, mencoba menyesuaikan diri dengan kehidupan kelas atas dalam keluarga ini. Rumah yang pernah Naya tinggali, selalu membayangi. Memberiku gambaran bahwa aku hanyalah wanita kedua yang menggantikan posisi. Dua keturunan aku beri, tetapi aku tak bisa serakah ingin menguasai segalanya. Semua kenangan mereka abadi. Terpanjang dalam bingkai persegi di seluruh penjuru rumah ini. Apa yang Roy kata saat aku pamit sebelum pergi, belakangan ini mulai menghantui. Jelas sekali, aku tak akan pernah terbiasa dengan semua ini. Apalagi saat Bang Khalid mengatakan bahwa hari ini dia akan memperkenalkanku pada keluarga besarnya yang tak pernah kutahu. Di depan cermin berkali kubenahi penampilan. Menata jilbab, riasan, serta gamis yang dikenakan. Neli mengatakan bahwa sebagian besar keluarga Bang Khalid memang berasal dari keluarga yang paham, tapi tak menutup kemungkinan adab mereka kesampingkan bila merasa kepahamannya tinggi. "Nin!" Suara berat itu terdengar tiba-tiba.Aku me
Ada dua kemungkinan ketika kita mengisi posisi yang sebelumnya ditempati orang lain. Yang pertama diperlakukan sama baiknya atau justru dibandingkan selamanya. Saat lelaki itu datang membawa harapan juga segenap perasaan yang selama ini dipendam, jujur aku tak pernah benar-benar siap untuk ikut bersamanya, meninggalkan mereka yang kusayang, meninggalkan kehidupan yang empat tahun terakhir memberiku kebebasan dari masa lalu yang tak ingin lagi dikenang. Namun, ketika memutuskan untuk tinggal, mau tak mau aku harus beradaptasi dengan lingkungan, dengan kehidupan yang sebelumnya tak pernah kubayangkan, agar bisa membangun rumah tangga impian bersama lelaki yang semula tak bisa dijangkau.Seiring berjalannya waktu, tentu aku harus siap dengan segala kemungkinan. Termasuk kemungkinan menghadapi manusia-manusia berilmu yang mengesampingkan adab hanya untuk sesuatu yang dia kata benar. Contohnya Tante Luna ini, si cantik dengan mulut jamban. Entah apa maksud ucapan yang coba dia sampaikan
Kuempaskan bokong di atas pembaringan, lalu melepas kerudung yang dikenakan. Rasanya energiku terkuras habis saat berhadapan dengan dua orang yang bahkan baru pertama kali bertemu. Bunyi notifikasi pesan terdengar, kuraih benda pipih yang beberapa saat lalu terabaikan di dalam saku, karena kesibukan sebagai ibu rumah tangga, juga anggota keluarga Prasetya yang baru. Semua pesan berasal dari orang yang sama. Roy Kimoci07.30 a.m[ Gimana kabar ponakan-ponakan ucul gue? Btw Alid betah, kan di sana? ]09. 15 a.m[ Gue nggak akan tanya gimana keadaan lu, karena gue tahu sesulit apa pun itu lu pasti bisa ngelewatinnya. ]12. 12 p.m[ Jangan kelon mulu, awas aja kalau lebaran ini gue denger kabar garis dua di postingan lu. ]Tanpa sadar senyumku melebar membaca pesan-pesan yang Roy kirimkan. Meski sebagian besar berisi sindiran. Baru seminggu sejak kepindahan. Rasanya aku sudah sangat merindukan Lumanjang. "Hei, lagi apa?" Kualihkan pandangan dari ponsel di genggaman. Menatap lelaki den
SLB Kasih ZaelaniNama plang yang tertera di depan bangunan setinggi tiga lantai. Kuedarkan pandangan menatap para anak-anak berkebutuhan khusus yang dituntun keluar oleh para guru pembimbing. Mayoritas muridnya bisa kutaksir berumur antara 6-12 tahun. Umur rentan anak-anak spesial yang jelas membutuhkan perhatian khusus. Aku yakin bukan hal yang mudah membimbing anak-anak yang sering orang kata sebagai anak surga tersebut. Maka dari itu, guru, pembimbing, baby sitter, perawat, bahkan mungkin orang tua mereka adalah orang-orang pilihan Tuhan yang tak perlu dipertanyakan kelapangan hatinya. Mereka luar biasa.Melihat bangunan ini berdiri dengan nama belakangku yang tertera di plangnya. Jujur, ada rasa haru sekaligus pilu. Di sisi lain aku bahagia atas nama kemanusiaan di mana keluarga yang bahkan tak kukenal baik, bisa membantu sesama dengan membangun sekolah luar biasa yang sama sekali tak dipungut biaya. Namun, di sisi lain seolah ada beban berat yang baru saja ditangguhkan di pun
Hanya menempuh kurang dari sepuluh menit perjalanan dari perumahan CitraLand Megah Batam, kami sampai di perumahan elite lainnya. Tepatnya Royal Bay. Kata Neli perumahan ini dikenal sebagai salah satu kawasan perumahan elit bagi kalangan tertentu. Perumahan Royal Bay dirancang dalam bentuk 2 lantai dengan tampilan eksterior kontemporer. Tiap unit rumahnya, memiliki Double Carport dengan kanopi, plafon setinggi 3 meter, pintu utama dan kusen setinggi 3 meter dengan sistem penguncian otomatis dan lain sebagainya.Fasilitas di tempat ini juga sangat komplit. Ada clubhouse, area yoga, gym & fitness, kolam renang, dan area bermain yang dilengkapi dengan taman bermain khusus untuk anak-anak. Jalannya juga nyaman dan mulus. Ada jalur untuk pejalan kaki dengan taman unik di sisi kiri dan kanan jalan.Sistem rumahnya juga sudah menggunakan konsep smart home yang dilengkapi dengan berbagai teknologi canggih.Tiba di depan bangunan 2 lantai dengan tipe Monat Extension tersebut, aku menyenggol l
"Udah nggak perlu cemberut gitu perkara rumah yang dibeli dua kali lipat ini. Mungkin ada alasan kenapa Pak Khalid memutuskan buat beli dengan kocek lebih.""Habisnya kesel-lah, nggak ada komunikasi, seenak udel aja dia ngabisin duit buat rumah yang seharusnya didapet setengah harga. Emang paling bisa dia, tuh hambur-hamburin duit. Nggak tahu aja gimana susahnya orang kecil nyari. Bahkan sampe ada yang gadein harga diri. Jadi, budak nafsu lelaki."Neli menghela napas, dia memutar tubuhku yang semula membelakangi di ruang tamu ini. Sementara lelaki yang menjadi penyebab kerisauanku malah asik haha-hihi sama anak-anaknya di atas. "Fyi aja, ya. Rumah ini dibeli udah berikut isi, dan yang punya sebelumnya kebetulan bestie-nya Pak Khalid sendiri. Usut-burusut katanya penghuni sebelumnya lagi ada kendala ekonomi juga. Mungkin qja Pak Khalid beli dengan harga dua kali lipat, karena niatnya ngebantu.""Tuh, kan. Dia bilang ke kamu, tapi nggak bilang ke saya. Jadi, di sini yang bininya itu si
"Udah selesai home tour-nya?" Bang Khalid bertanya setibanya aku di kamar utama. Kamar seluas 40 meter persegi yang sudah dilengkapi dengan tempat tidur king size dialasi sprei dan selimut yang sudah dipastikan berkualitas tinggi, meja rias dengan kursi yang sepertinya nyaman. Dua lemari besar yang letaknya berdampingan untuk menyimpan pakaian dan aksesoris, belum lagi satu lemari etalase untuk menyimpan tas dan sepatu-sepatu. Tak lupa TV layar datar dengan home theater, kulkas mini, sofa untuk bersantai, AC, jendela besar yang langsung menghadap ke taman. Juga kamar mandi dalam yang entah selengkap apa lagi fasilitasnya, karena aku belum sempat membersihkan diri. "Kenapa kamu siapin semua ini? Kamu pikir aku nggak akan bisa handle pekerjaan rumah tangga? Kamu lupa sebelum punya buntut dua aku ngurus Nana, suami, mertua, belum lagi kerja nyampi ngebabu di rumah sendiri." Aku duduk di sofa panjang berwarna cokelat, tepat di sebelahnya. Sementara anak-anak sedang mandi bersama Neli.