"Udah selesai home tour-nya?" Bang Khalid bertanya setibanya aku di kamar utama. Kamar seluas 40 meter persegi yang sudah dilengkapi dengan tempat tidur king size dialasi sprei dan selimut yang sudah dipastikan berkualitas tinggi, meja rias dengan kursi yang sepertinya nyaman. Dua lemari besar yang letaknya berdampingan untuk menyimpan pakaian dan aksesoris, belum lagi satu lemari etalase untuk menyimpan tas dan sepatu-sepatu. Tak lupa TV layar datar dengan home theater, kulkas mini, sofa untuk bersantai, AC, jendela besar yang langsung menghadap ke taman. Juga kamar mandi dalam yang entah selengkap apa lagi fasilitasnya, karena aku belum sempat membersihkan diri. "Kenapa kamu siapin semua ini? Kamu pikir aku nggak akan bisa handle pekerjaan rumah tangga? Kamu lupa sebelum punya buntut dua aku ngurus Nana, suami, mertua, belum lagi kerja nyampi ngebabu di rumah sendiri." Aku duduk di sofa panjang berwarna cokelat, tepat di sebelahnya. Sementara anak-anak sedang mandi bersama Neli.
"Udah hampir seminggu, kenapa tiap bangun tidur kamu masih selalu liatin aku?" Tepat saat mataku terbuka pagi ini, kudapati tatapan yang sama setiap harinya. Dia selalu terbangun lebih dulu. Kemudian lekat menatapku."Dejavu. Aku cuma takut saat bangun kamu nggak ada di sampingku." Lelaki yang bahkan dalam kondisi bangun tidur tetap terlihat tampan itu tersenyum. Dia mengulurkan tangan membelai pipiku. "Kan, siapa tahu aku ke WC dulu, ke kamar anak-anak, atau bahkan nongkrong sambil ngopi di balkon. "Kamu tahu maksud aku, Nin." Suaranya merendah, berat dan serak di waktu yang bersamaan. Ya Tuhan, entah kapan aku akan benar-benar terbiasa bangun di sisi lelaki ini. Rasanya asing, tapi di satu sisi juga nyaman. Seperti terlindungi. "Iya tahu, tahu banget." Aku tersenyum penuh arti. "Jangan tatap aku kayak gitu, Nindi!" Dia salah tingkah saat kutatap lekat dari atas ke bawah. Harusnya cewek yang saltingan, kan? Ini, kok kebalik. "Jadi?""Jadi?" Dia malah membalikkan pertanyaan.
"Kita makan dulu, ya. Habis itu baru lanjut ke Nongsa," kata Bang Khalid tepat setelah aku dan Neli menuntun anak-anak keluar dari Zona Kids. "Makan di mana?" tanyaku dengan mata memicing curiga. "Di restoran langgananku aja, ya," tawarnya. Sudah kududa, eh kuduga. "Menunya ada apa aja emang?" Aku kembali bertanya. Sengaja guna mengulur waktu agar aku benar-benar tahu tempat makan macam apa yang akan menjadi tujuan kita. "Macem-macem jenis makanan Western. Tapi, di sana steak yang paling best seller-nya. Kamu harus coba! Sejauh ini resto itu yang paling cocok di lidah aku, Naya, sama Fatina."Aku menghela napas panjang. Bukannya antusias, jujur mood-ku langsung turun mendengarnya. Memang apa susahnya, sih diskusi dulu? Kan, nggak semua yang Naya suka aku suka juga. "Udah reservasi emangnya?""Belum, sih. Tapi, kita udah langganan di sana, jadi biasanya begitu sampe pasti langsung disiap--""Ya udah kalau gitu kita ke Solaria aja!" potongku sekaligus mengusulkan. "Tap--""Udah
Dari Mega Mall Batam Center kami lekas melanjutkan perjalanan menuju Pantai Nongsa. Jarak yang kami tempuh dari Mall ke Nongsa Beach sekitar 22 kilometer dengan rentang waktu kurang lebih 37 menitan menggunakan mobil melalui jalan Tol Batam. Selama mengenal Batam, mungkin ini adalah kali ketiga aku mengunjungi pantai yang menawarkan pemandangan yang indah dengan air laut yang jernih dan ombak yang tenang ini. Pepohonan hijau dan bunga-bunga yang bermekaran di sekitar pantai juga berhasil membangkitkan kenangan empat tahun silam saat aku mengandung Fatina tujuh bulan dan untuk pertama kalinya aku dan Bang Khalid makan di pinggiran menikmati pecel lele dengan kol goreng. Namun, momen nostalgia tersebut rasanya tak bisa benar-benar kurasakan. Sebab sebelum kami sempat menikmati fasilitas liburan yang disediakan sepertisnorkeling, diving, banana boat, jet ski, dan lain-lain. Anak perempuanku lagi-lagi rewel dan merengek ingin pulang. Padahal kulihat adiknya baru saja menginjakkan kaki
Tiba di rumah, kulihat Bang Khalid langsung memindahkan Fatina ke kamar. Sementara Neli masih menurunkan barang-barang kami dibantu sopir. Sedangkan aku menggendong Alid yang juga masih tertidur menuju sofa ruang tamu saat merasakan ponsel di dalam tas bergetar. Panggilan video dari Roy tertera di layar. Entah sudah berapa kali, lelaki itu selalu datang di waktu yang tepat ketika aku butuh hiburan. "Assalamualaikum, Bestie. Ganggu nggak, nih?" Wajah Roy memenuhi layar. "Waalaikumsallam, nggak, kok gue baru pulang.""Oh, lagi nggak sibuk berarti?" Dia bertanya lagi. "Emang kapan gue pernah bilang sibuk? Bukannya elo yang makin susah dihubungi?" Aku membalikan keadaan, tapi menjengkelkannya masih saja ada alasan untuknya menyangkal. "Mon maaf, gue cuma coba membatasi diri sama bini orang. Walaupun kita bestie kan lain kelamin. Daripada timbul fitnah entar."Aku memutar bola mata setelahnya. "Serah, deh.""Hmm ... mulai asem mukanya. Kok, gue mencium bau-bau kegalauan.""Berisik,
Salah satu risiko berdampingan dengan lelaki yang pernah menjadi suami orang adalah dibandingkan atau disamakan. Jangan pernah mencoba kalau memang tak siap berhadapan dengan masa lalunya. Bahkan saat aku memutuskan untuk menyambut uluran tangannya untuk tinggal, pertanyaan macam itu masih terus terngiang. Di tengah lamunan aku masih sering mempertanyakan, apakah dia sudah benar-benar selesai dengan masa lalunya? Ataukah aku akan terus dibayang perempuan yang lebih dulu singgah dan menetap di hati suamiku? Saat mengemasi barang-barang Bang Khalid yang akan dibawa dinas ke Singapura nanti, aku masih saja terus memikirkan tentang perkataannya. Tentang pekerjaan yang dia bilang tidak perlu aku tahu.Entah kenapa sulit sekali mengenyahkan pikiran buruk yang mulai menggelayut. Berbagai tanya yang tak menemukan jawab tentang kehidupannya di luar rumah. Selalu, setiap kali Bang Khalid membicarakan hal yang tak sepenuhnya kumengerti, aku pasti mulai berpikir berlebihan.Ah, mungkin aku hany
"Fatin nggak mau makan nasi. Pokoknya nggak mau!" Fatina bersuara lantang sembari menolak sodoran nasi di atas piringnya. Akhirnya hal yang kukhawatirkan benar-benar terjadi, bahkan sebelum Neli pergi, bocah ini sudah mulai menunjukkan pemberontakkannya, karena merasa tak ada sang Papa yang akan membuatnya langsung diam seribu bahasa.Fatina mengamuk dan mulai rewel sebab dia tak mau makan nasi dan ingin makanan manis. Padahal anak itu sedang sakit gigi, kemarin malam aku pusing membujuknya untuk minum obat, sekarang dia malah ingin memperparah kondisinya dengan makanan tak sehat. Hari pertama puasa yang sungguh menguji kesabaran. Fatina tetap ingin makan sereal coklat dicampur susu. Dia beberapa kali menolak nasi yang sudah dicampur dengan lauk pauk kesukaannya. "Tapi kamu lagi sakit gigi, nanti kalau gak sembuh-sembuh gimana? Sakit lho, masih mau makan manis?" Aku berusaha memberi pengertian pada bocah tersebut. Fatina menggeleng dan merengek lagi. Kuhela napas panjang. Sabar, p
Kusandarkan tubuh pada dipan, duduk bersimpuh di bawah pembaringan, tempat di mana gadis kecil yang beberapa waktu terakhir sempat membuatku blingsatan. Beruntung sejak pulang dari rumah sakit semalam, baru siang ini gadis kecil itu mampu terlelap, itupun setelah kuberi obat.Alid sudah selesai dimandikan, lalu kuberi makan sebelum akhirnya bocah itu juga tidur siang di kamarnya. Beruntung lagi, saat tahu kakaknya sakit, dan perhatianku hampir sepenuhnya tercurahkan pada Fatina, Alid seolah mengerti perasaanku, bahkan saat kami menginap beberapa hari di rumah sakit dia nyaris tak pernah rewel atau menuntut banyak hal.Tak terasa sudah lima hari bulan ramadan berjalan, lelah dan lapar seolah melebur dengan kekhawatiran saat kudapati Fatina demam. Entah sudah berapa hari aku hanya minum air dan makan selembar roti untuk mengganjal waktu sahur dan buka. Untuk beberapa waktu ke belakang tak ada yang lebih kuprioritaskan selain anak-anak.Seolah masih lekat dalam ingatan, saat pertama kali
"Silakan diminum dulu, Mas. Mumpung masih hangat." Mulut Khalid terbuka setengah, matanya nyaris tak berkedip saat mengitari seisi rumah mewah ini. Dia bahkan tak menanggapi seorang perempuan bercadar yang tengah hamil besar, sedang menyodorkan minum padanya.Di sebuah rak khusus dia melihat tumpukan brosur catering dan dekorasi, matanya juga tak berhenti menatap foto-foto pernikahan Roy yang terpajang di beberapa titik dalam ruangan. Saat melihatnya ternyata Khalid juga baru ingat kalau 'Berkah catering & decoration' adalah perusahaan WO yang sedang naik daun beberapa tahun belakangan. Jasanya banyak digunakan artis dan orang-orang penting, karena harga, rasa, kualitas, serta pelayanannya yang sama sekali tak mengecewakan."Kenalin, ini istri saya Ainun!" Ucapan Roy membuat Khalid kembali tersadar. Dia menatap pria yang tak percaya akan menyambutnya selayaknya tamu, setelah apa yang terjadi pada sahabat baiknya sewindu lalu.Namun, tak bisa dipungkiri. Tatapan Roy terlihat begitu taj
Roy berdiri terpaku di dekat brankar yang ditempati Nindi pasca persalinan yang perempuan itu jalani. Kedua tangannya terkepal, sementara air matanya terus mengalir memerhatikan perempuan yang berkaca-kaca menatap kedua bayi kembarnya dalam gendongan.Seolah masih lekat dalam ingatan Roy fakta demi fakta yang Nindi ungkapkan seiring dengan perutnya yang semakin membuncit"Setelah keguguran gue dan Bang Khalid pisah ranjang kurang lebih satu bulan, jadi sebelum sidang putusan cerai gue bisa dengan mudah mengidentifikasi dari mana benih yang mulai tumbuh di rahim gue berasal. Lucunya hidup ini ketika akhirnya gue sadar tengah mengandung anak dari keparat yang udah gue enyahkan. Kebetulan di hari yang sama saat tragedi itu terjadi, ternyata gue lagi ovulasi." Nindi menghela napas panjang sebelum melanjutkan. "Entah anugerah atau kutukan ketika Tuhan memberikan gue kesuburan, meski hanya dengan satu atau dua kali penetrasi ... benih-benih janin yang tak diinginkan tumbuh dengan mudah di r
Di sebuah desa kecil yang terselip di antara gemerlap hijaunya alam, anak-anak kecil berlarian di bawah langit senja, gembira dan bersemangat mengikuti tradisi yang telah diteruskan dari generasi ke generasi. Mereka melantunkan sholawat sembari menyusuri jalan berkerikil dengan langkah kecil yang penuh semangat menuju masjid terdekat.Di sela-sela ladang hijau yang melambai-lambai sejalan dengan angin, para petani yang menjadi mata pencaharian utama di desa, juga terlihat berbondong-bondong pulang dari ladang membawa hasil panen yang diangkut menggunakan kendaraan roda dua, roda empat, maupun gerobak melewati jalan utama. Peluh, lapar, serta dahaga tak lagi dirasa mengingat ada sebuah keluarga yang menunggu untuk disambung hidupnya."Mas Roy! Wes mandi langsung ke masjid ae, ya! Ditunggu karo Budhe Lala buat buka puasa bersama!"Salah satu petani yang mengangkut hasil panennya menggunakan mobil bak terbuka langsung menyenggol sang sopir untuk menghentikkan laju kendaraannya."Sek, sek!
Konflik rumah tangga antara Khalid dan Nindi berakhir di meja pengadilan agama. Setelah tiga bulan serangkaian proses berjalan, kedu belah pihak tetap tak menemukan titik terang. Mereka sudah sepakat berpisah. Hari ini, 15 Desember waktu setempat, sidang putusan perceraian mereka berlangsung di Pengadilan Agama Batam. Pengunjung yang menghadiri kebanyakan didominasi oleh pihak keluarga penggugat. Semua orang yang memenuhi ruang sidang seolah tak bisa memalingkan pandangan dari kedua pasangan yang duduk di depan meja hakim. Pasangan suami istri yang pernah saling memiliki itu terlihat menunjukkan ekspresi yang berlawanan.Nindi duduk dengan tenang di sisi kanan, wajahnya menunjukkan ekspresi datar yang sulit diartikan. Namun, mata bulatnya seolah memancarkan kepedihan mendalam yang dengan sempurna dia tutupi dalam kebungkaman.Sementara di sisi kiri, Khalid duduk dengan tegang, di tempatnya dia tampak gelisah, bahkan tak henti menoleh pada sosok di sebelahnya. Rahang kokoh itu mengeta
Sebuah keluarga yang terdiri dari sepasang suami-istri dan dua anak itu tengah menatap api unggun yang berkobar di depan tenda mereka. Warnanya berubah-ubah dari merah, putih, hingga oranye dengan menyebarkan kehangatan untuk orang-orang di sekelilingnya. Mereka terlihat bersuka-cita menghabiskan waktu akhir pekannya, meski hanya berkemah di belakang rumah.Suara riang sepasang anak yang hanya selisih kurang dari setahun itu memecah keheningan malam. Keduanya tampak bercanda dan berlari kecil mengelilingi api unggun. Derai tawa menggelora, kebahagiaan sederhana itu dirasakan mereka saat mengejar api kecil yang melompat-lompat dari perapian."Sayang, ya si Neli nggak ada di sini." Nindi menyenggol lengan Khalid saat keduanya tengah memerhatikan anak-anak yang asik bermain, sembari menusuki marshmallow yang siap dibakar."Bukannya lebih bagus kalau nggak ada Neli? Jadi, kita bisa bebas ngapain aja tanpa perlu denger sindirannya yang kadang bikin risi?" Khalid terkekeh sembari melingkark
Langit mendung menyelimuti kota Batam. Sebuah pemakaman yang tak biasa digelar, dihadiri oleh banyak kolega, teman-teman, bahkan sampai awak media. Mereka semua berkumpul untuk mengucapkan selamat jalan pada Vincent Benedict Tjahjono, pengusaha juga anak konglomerat yang telah berpulang akibat sebuah tragedi.Di tengah kerumunan, Khalid hadir, meski dia harus menjaga jarak dari keluarga mendiang. Dia tahu bahwa kedatangannya di sini adalah sebuah tindakan yang berani, mengingat situasi yang tengah dihadapinya. Namun, mengingat hubungannya dengan keluarga Vincent selama ini telah berjalan cukup baik, dia merasa perlu memberikan penghormatan terakhir.Mrs. Diane yang menyadari kehadiran Khalid di tengah kerumunan, mencoba menutupi kesedihan dan berniat menghampirinya dengan hati-hati agar tak disadari oleh sang suami.Begitu wanita paruh baya itu sampai di hadapan, Khalid langsung meraih tangannya."Bu, saya sangat menyesal atas apa yang terjadi," ucapnya dengan suara lirih dan Bahasa In
Hampir sebulan berlalu, proses visum sudah Nindi jalani setelah dia berhasil memberi keterangan yang meyakinkan pada pihak penyidik. Kemungkinan akan diadakan mediasi bila Vincent berhasil sadarkan diri.Hari-hari yang Nindi lewati tak berjalan semestinya. Nasibnya tak pasti, dia seperti ada di tepi jurang yang siap dilompati bisa seseorang dengan sengaja mendorongnya dari belakang. Perempuan itu seolah sudah pasrah dengan keadaan. Untuk sekarang Nindi hanya merindukan anak-anaknya, teman-teman juga waktu kebersamaan yang tak yakin bisa kembali dia lalui."Mbak, liat, Mbak!" Neli menepuk bahu Nindi. Dari balik jendela dia melihat sebuah mobil memasuki pelataran.Seketika semangat Nindi kembali saat melihat Khalid pulang setelah hampir dua minggu suaminya nyaris tak ada kabar. Nindi tak tahu apa yang sudah lelaki itu lewati selama dua pekan terakhir ini.Nindi langsung memeluk Khalid begitu lelaki itu memasuki ruangan. Dia kesampingkan ego dan menelan bulat-bulat rasa kecewanya sendir
Perempuan dengan pakaian serampangan dan hanya kerudung yang disampirkan itu duduk di salah satu bangku ruang tunggu sebuah rumah sakit ternama di kota Batam. Satu setengah jam lalu ambulans mengantar lelaki yang terkapar tak sadar dengan luka serius di kepala. Ruangan itu dipenuhi dengan atmosfer tegang, dan perempuan berusia 31 tahun tersebut justru tenggelam dalam kecamuk pikirannya yang kacau.Beberapa kali dia meremas kedua tangan, tubuhnya gemetar. Ibu dua anak itu tertunduk dalam memerhatikan pijakkan, mencoba menenangkan diri dan perasaan yang sulit dideskripsikan.Dia berharap semua yang terjadi hanya mimpi. Mulai dari pertemuan kembali dengan sosok dari masa lalu yang membangkitkan kenangan kelam yang coba dia kubur dalam, lalu kontrak tak masuk akal yang terpaksa ditandatangani, hingga kesepakatan yang seharusnya tak pernah terjadi. Dia merasa seperti telah terjebak dalam perjanjian yang menjadi pemicu keretakan rumah tangganya dengan sang suami.Imbas dari semua yang terja
Suara hujan yang lembut mengalir di luar jendela, seperti melodi kenangan yang berputar di kepala. Di ruang tengah aku duduk sendiri, menatap benda persegi yang membawa kembali ingatan akan momen-momen tak terlupakan dalam empat tahun kebersamaan kami di Lumajang. Kusaksikan kembali tubuh kembang Alid dari mulai tengkurap, merangkak, berjalan, sampai berlari. Begitu juga dengan proses hijrahku yang dibimbing oleh orang-orang ahli yang sukarela mengajari tanpa menghakimi.Seolah masih lekat dalam ingatan saat aku dengannya berbagi tawa dan tangis dalam setiap lembar cerita. Kala itu, hidupku terasa begitu ringan, meski beban yang kupikul sangatlah berat. Kami optimis mampu mewujudkan mimpi dan harapan di tengah terpaan cobaan.Namun, kini aku duduk di sini, dengan rasa berat di dada. Hidup telah membawaku ke dalam peran yang jauh dari apa yang kumimpikan. Pernikahan yang diawali dengan cinta, kini terasa seperti penjara yang mengekangku dalam dilema. Harapan-harapan yang dulu begitu ce