"Udah hampir seminggu, kenapa tiap bangun tidur kamu masih selalu liatin aku?" Tepat saat mataku terbuka pagi ini, kudapati tatapan yang sama setiap harinya. Dia selalu terbangun lebih dulu. Kemudian lekat menatapku."Dejavu. Aku cuma takut saat bangun kamu nggak ada di sampingku." Lelaki yang bahkan dalam kondisi bangun tidur tetap terlihat tampan itu tersenyum. Dia mengulurkan tangan membelai pipiku. "Kan, siapa tahu aku ke WC dulu, ke kamar anak-anak, atau bahkan nongkrong sambil ngopi di balkon. "Kamu tahu maksud aku, Nin." Suaranya merendah, berat dan serak di waktu yang bersamaan. Ya Tuhan, entah kapan aku akan benar-benar terbiasa bangun di sisi lelaki ini. Rasanya asing, tapi di satu sisi juga nyaman. Seperti terlindungi. "Iya tahu, tahu banget." Aku tersenyum penuh arti. "Jangan tatap aku kayak gitu, Nindi!" Dia salah tingkah saat kutatap lekat dari atas ke bawah. Harusnya cewek yang saltingan, kan? Ini, kok kebalik. "Jadi?""Jadi?" Dia malah membalikkan pertanyaan.
"Kita makan dulu, ya. Habis itu baru lanjut ke Nongsa," kata Bang Khalid tepat setelah aku dan Neli menuntun anak-anak keluar dari Zona Kids. "Makan di mana?" tanyaku dengan mata memicing curiga. "Di restoran langgananku aja, ya," tawarnya. Sudah kududa, eh kuduga. "Menunya ada apa aja emang?" Aku kembali bertanya. Sengaja guna mengulur waktu agar aku benar-benar tahu tempat makan macam apa yang akan menjadi tujuan kita. "Macem-macem jenis makanan Western. Tapi, di sana steak yang paling best seller-nya. Kamu harus coba! Sejauh ini resto itu yang paling cocok di lidah aku, Naya, sama Fatina."Aku menghela napas panjang. Bukannya antusias, jujur mood-ku langsung turun mendengarnya. Memang apa susahnya, sih diskusi dulu? Kan, nggak semua yang Naya suka aku suka juga. "Udah reservasi emangnya?""Belum, sih. Tapi, kita udah langganan di sana, jadi biasanya begitu sampe pasti langsung disiap--""Ya udah kalau gitu kita ke Solaria aja!" potongku sekaligus mengusulkan. "Tap--""Udah
Dari Mega Mall Batam Center kami lekas melanjutkan perjalanan menuju Pantai Nongsa. Jarak yang kami tempuh dari Mall ke Nongsa Beach sekitar 22 kilometer dengan rentang waktu kurang lebih 37 menitan menggunakan mobil melalui jalan Tol Batam. Selama mengenal Batam, mungkin ini adalah kali ketiga aku mengunjungi pantai yang menawarkan pemandangan yang indah dengan air laut yang jernih dan ombak yang tenang ini. Pepohonan hijau dan bunga-bunga yang bermekaran di sekitar pantai juga berhasil membangkitkan kenangan empat tahun silam saat aku mengandung Fatina tujuh bulan dan untuk pertama kalinya aku dan Bang Khalid makan di pinggiran menikmati pecel lele dengan kol goreng. Namun, momen nostalgia tersebut rasanya tak bisa benar-benar kurasakan. Sebab sebelum kami sempat menikmati fasilitas liburan yang disediakan sepertisnorkeling, diving, banana boat, jet ski, dan lain-lain. Anak perempuanku lagi-lagi rewel dan merengek ingin pulang. Padahal kulihat adiknya baru saja menginjakkan kaki
Tiba di rumah, kulihat Bang Khalid langsung memindahkan Fatina ke kamar. Sementara Neli masih menurunkan barang-barang kami dibantu sopir. Sedangkan aku menggendong Alid yang juga masih tertidur menuju sofa ruang tamu saat merasakan ponsel di dalam tas bergetar. Panggilan video dari Roy tertera di layar. Entah sudah berapa kali, lelaki itu selalu datang di waktu yang tepat ketika aku butuh hiburan. "Assalamualaikum, Bestie. Ganggu nggak, nih?" Wajah Roy memenuhi layar. "Waalaikumsallam, nggak, kok gue baru pulang.""Oh, lagi nggak sibuk berarti?" Dia bertanya lagi. "Emang kapan gue pernah bilang sibuk? Bukannya elo yang makin susah dihubungi?" Aku membalikan keadaan, tapi menjengkelkannya masih saja ada alasan untuknya menyangkal. "Mon maaf, gue cuma coba membatasi diri sama bini orang. Walaupun kita bestie kan lain kelamin. Daripada timbul fitnah entar."Aku memutar bola mata setelahnya. "Serah, deh.""Hmm ... mulai asem mukanya. Kok, gue mencium bau-bau kegalauan.""Berisik,
Salah satu risiko berdampingan dengan lelaki yang pernah menjadi suami orang adalah dibandingkan atau disamakan. Jangan pernah mencoba kalau memang tak siap berhadapan dengan masa lalunya. Bahkan saat aku memutuskan untuk menyambut uluran tangannya untuk tinggal, pertanyaan macam itu masih terus terngiang. Di tengah lamunan aku masih sering mempertanyakan, apakah dia sudah benar-benar selesai dengan masa lalunya? Ataukah aku akan terus dibayang perempuan yang lebih dulu singgah dan menetap di hati suamiku? Saat mengemasi barang-barang Bang Khalid yang akan dibawa dinas ke Singapura nanti, aku masih saja terus memikirkan tentang perkataannya. Tentang pekerjaan yang dia bilang tidak perlu aku tahu.Entah kenapa sulit sekali mengenyahkan pikiran buruk yang mulai menggelayut. Berbagai tanya yang tak menemukan jawab tentang kehidupannya di luar rumah. Selalu, setiap kali Bang Khalid membicarakan hal yang tak sepenuhnya kumengerti, aku pasti mulai berpikir berlebihan.Ah, mungkin aku hany
"Fatin nggak mau makan nasi. Pokoknya nggak mau!" Fatina bersuara lantang sembari menolak sodoran nasi di atas piringnya. Akhirnya hal yang kukhawatirkan benar-benar terjadi, bahkan sebelum Neli pergi, bocah ini sudah mulai menunjukkan pemberontakkannya, karena merasa tak ada sang Papa yang akan membuatnya langsung diam seribu bahasa.Fatina mengamuk dan mulai rewel sebab dia tak mau makan nasi dan ingin makanan manis. Padahal anak itu sedang sakit gigi, kemarin malam aku pusing membujuknya untuk minum obat, sekarang dia malah ingin memperparah kondisinya dengan makanan tak sehat. Hari pertama puasa yang sungguh menguji kesabaran. Fatina tetap ingin makan sereal coklat dicampur susu. Dia beberapa kali menolak nasi yang sudah dicampur dengan lauk pauk kesukaannya. "Tapi kamu lagi sakit gigi, nanti kalau gak sembuh-sembuh gimana? Sakit lho, masih mau makan manis?" Aku berusaha memberi pengertian pada bocah tersebut. Fatina menggeleng dan merengek lagi. Kuhela napas panjang. Sabar, p
Kusandarkan tubuh pada dipan, duduk bersimpuh di bawah pembaringan, tempat di mana gadis kecil yang beberapa waktu terakhir sempat membuatku blingsatan. Beruntung sejak pulang dari rumah sakit semalam, baru siang ini gadis kecil itu mampu terlelap, itupun setelah kuberi obat.Alid sudah selesai dimandikan, lalu kuberi makan sebelum akhirnya bocah itu juga tidur siang di kamarnya. Beruntung lagi, saat tahu kakaknya sakit, dan perhatianku hampir sepenuhnya tercurahkan pada Fatina, Alid seolah mengerti perasaanku, bahkan saat kami menginap beberapa hari di rumah sakit dia nyaris tak pernah rewel atau menuntut banyak hal.Tak terasa sudah lima hari bulan ramadan berjalan, lelah dan lapar seolah melebur dengan kekhawatiran saat kudapati Fatina demam. Entah sudah berapa hari aku hanya minum air dan makan selembar roti untuk mengganjal waktu sahur dan buka. Untuk beberapa waktu ke belakang tak ada yang lebih kuprioritaskan selain anak-anak.Seolah masih lekat dalam ingatan, saat pertama kali
Aku terbangun saat merasakan sebuah kecupan di kening. Saat membuka mata yang kulihat pertama kali adalah senyuman Bang Khalid."Maaf jadi kebangun."Aku mengucek mata, sejenak mengedarkan pandangan ke sekeliling kamar, ternyata Fatina masih ada di ranjangnya, sementara Alid yang semula tidur dalam dekapan sudah menghilang.Entah sudah berapa lama aku tertidur selepas tarawih tadi."Alid udah aku pindahin ke kamar," ucapnya seolah menjawab tanya yang belum sempat kulontarkan."Oh, kok pulang cepet?" Bukannya senang aku justru heran, karena sebelumnya dia mengatakan baru akan pulang lusa."Aku nggak tenang ninggalin kamu sama anak-anak sendirian. Sejak kamu bilang Fatina sakit aku sengaja nunda beberapa pertemuan, terus biarin Grace yang menyelesaikan."Aku hanya bisa mengerjapkan mata, cukup lama aku mencoba mencerna maksudnya. Mungkin karena terlalu lelah juga."Oh, gitu, ya?"Melihat respons-ku yang demikian, Bang Khalid justru terkekeh pelan."Kok, tawa?""Karena kamu menggemaskan,