Hanya menempuh kurang dari sepuluh menit perjalanan dari perumahan CitraLand Megah Batam, kami sampai di perumahan elite lainnya. Tepatnya Royal Bay. Kata Neli perumahan ini dikenal sebagai salah satu kawasan perumahan elit bagi kalangan tertentu. Perumahan Royal Bay dirancang dalam bentuk 2 lantai dengan tampilan eksterior kontemporer. Tiap unit rumahnya, memiliki Double Carport dengan kanopi, plafon setinggi 3 meter, pintu utama dan kusen setinggi 3 meter dengan sistem penguncian otomatis dan lain sebagainya.Fasilitas di tempat ini juga sangat komplit. Ada clubhouse, area yoga, gym & fitness, kolam renang, dan area bermain yang dilengkapi dengan taman bermain khusus untuk anak-anak. Jalannya juga nyaman dan mulus. Ada jalur untuk pejalan kaki dengan taman unik di sisi kiri dan kanan jalan.Sistem rumahnya juga sudah menggunakan konsep smart home yang dilengkapi dengan berbagai teknologi canggih.Tiba di depan bangunan 2 lantai dengan tipe Monat Extension tersebut, aku menyenggol l
"Udah nggak perlu cemberut gitu perkara rumah yang dibeli dua kali lipat ini. Mungkin ada alasan kenapa Pak Khalid memutuskan buat beli dengan kocek lebih.""Habisnya kesel-lah, nggak ada komunikasi, seenak udel aja dia ngabisin duit buat rumah yang seharusnya didapet setengah harga. Emang paling bisa dia, tuh hambur-hamburin duit. Nggak tahu aja gimana susahnya orang kecil nyari. Bahkan sampe ada yang gadein harga diri. Jadi, budak nafsu lelaki."Neli menghela napas, dia memutar tubuhku yang semula membelakangi di ruang tamu ini. Sementara lelaki yang menjadi penyebab kerisauanku malah asik haha-hihi sama anak-anaknya di atas. "Fyi aja, ya. Rumah ini dibeli udah berikut isi, dan yang punya sebelumnya kebetulan bestie-nya Pak Khalid sendiri. Usut-burusut katanya penghuni sebelumnya lagi ada kendala ekonomi juga. Mungkin qja Pak Khalid beli dengan harga dua kali lipat, karena niatnya ngebantu.""Tuh, kan. Dia bilang ke kamu, tapi nggak bilang ke saya. Jadi, di sini yang bininya itu si
"Udah selesai home tour-nya?" Bang Khalid bertanya setibanya aku di kamar utama. Kamar seluas 40 meter persegi yang sudah dilengkapi dengan tempat tidur king size dialasi sprei dan selimut yang sudah dipastikan berkualitas tinggi, meja rias dengan kursi yang sepertinya nyaman. Dua lemari besar yang letaknya berdampingan untuk menyimpan pakaian dan aksesoris, belum lagi satu lemari etalase untuk menyimpan tas dan sepatu-sepatu. Tak lupa TV layar datar dengan home theater, kulkas mini, sofa untuk bersantai, AC, jendela besar yang langsung menghadap ke taman. Juga kamar mandi dalam yang entah selengkap apa lagi fasilitasnya, karena aku belum sempat membersihkan diri. "Kenapa kamu siapin semua ini? Kamu pikir aku nggak akan bisa handle pekerjaan rumah tangga? Kamu lupa sebelum punya buntut dua aku ngurus Nana, suami, mertua, belum lagi kerja nyampi ngebabu di rumah sendiri." Aku duduk di sofa panjang berwarna cokelat, tepat di sebelahnya. Sementara anak-anak sedang mandi bersama Neli.
"Udah hampir seminggu, kenapa tiap bangun tidur kamu masih selalu liatin aku?" Tepat saat mataku terbuka pagi ini, kudapati tatapan yang sama setiap harinya. Dia selalu terbangun lebih dulu. Kemudian lekat menatapku."Dejavu. Aku cuma takut saat bangun kamu nggak ada di sampingku." Lelaki yang bahkan dalam kondisi bangun tidur tetap terlihat tampan itu tersenyum. Dia mengulurkan tangan membelai pipiku. "Kan, siapa tahu aku ke WC dulu, ke kamar anak-anak, atau bahkan nongkrong sambil ngopi di balkon. "Kamu tahu maksud aku, Nin." Suaranya merendah, berat dan serak di waktu yang bersamaan. Ya Tuhan, entah kapan aku akan benar-benar terbiasa bangun di sisi lelaki ini. Rasanya asing, tapi di satu sisi juga nyaman. Seperti terlindungi. "Iya tahu, tahu banget." Aku tersenyum penuh arti. "Jangan tatap aku kayak gitu, Nindi!" Dia salah tingkah saat kutatap lekat dari atas ke bawah. Harusnya cewek yang saltingan, kan? Ini, kok kebalik. "Jadi?""Jadi?" Dia malah membalikkan pertanyaan.
"Kita makan dulu, ya. Habis itu baru lanjut ke Nongsa," kata Bang Khalid tepat setelah aku dan Neli menuntun anak-anak keluar dari Zona Kids. "Makan di mana?" tanyaku dengan mata memicing curiga. "Di restoran langgananku aja, ya," tawarnya. Sudah kududa, eh kuduga. "Menunya ada apa aja emang?" Aku kembali bertanya. Sengaja guna mengulur waktu agar aku benar-benar tahu tempat makan macam apa yang akan menjadi tujuan kita. "Macem-macem jenis makanan Western. Tapi, di sana steak yang paling best seller-nya. Kamu harus coba! Sejauh ini resto itu yang paling cocok di lidah aku, Naya, sama Fatina."Aku menghela napas panjang. Bukannya antusias, jujur mood-ku langsung turun mendengarnya. Memang apa susahnya, sih diskusi dulu? Kan, nggak semua yang Naya suka aku suka juga. "Udah reservasi emangnya?""Belum, sih. Tapi, kita udah langganan di sana, jadi biasanya begitu sampe pasti langsung disiap--""Ya udah kalau gitu kita ke Solaria aja!" potongku sekaligus mengusulkan. "Tap--""Udah
Dari Mega Mall Batam Center kami lekas melanjutkan perjalanan menuju Pantai Nongsa. Jarak yang kami tempuh dari Mall ke Nongsa Beach sekitar 22 kilometer dengan rentang waktu kurang lebih 37 menitan menggunakan mobil melalui jalan Tol Batam. Selama mengenal Batam, mungkin ini adalah kali ketiga aku mengunjungi pantai yang menawarkan pemandangan yang indah dengan air laut yang jernih dan ombak yang tenang ini. Pepohonan hijau dan bunga-bunga yang bermekaran di sekitar pantai juga berhasil membangkitkan kenangan empat tahun silam saat aku mengandung Fatina tujuh bulan dan untuk pertama kalinya aku dan Bang Khalid makan di pinggiran menikmati pecel lele dengan kol goreng. Namun, momen nostalgia tersebut rasanya tak bisa benar-benar kurasakan. Sebab sebelum kami sempat menikmati fasilitas liburan yang disediakan sepertisnorkeling, diving, banana boat, jet ski, dan lain-lain. Anak perempuanku lagi-lagi rewel dan merengek ingin pulang. Padahal kulihat adiknya baru saja menginjakkan kaki
Tiba di rumah, kulihat Bang Khalid langsung memindahkan Fatina ke kamar. Sementara Neli masih menurunkan barang-barang kami dibantu sopir. Sedangkan aku menggendong Alid yang juga masih tertidur menuju sofa ruang tamu saat merasakan ponsel di dalam tas bergetar. Panggilan video dari Roy tertera di layar. Entah sudah berapa kali, lelaki itu selalu datang di waktu yang tepat ketika aku butuh hiburan. "Assalamualaikum, Bestie. Ganggu nggak, nih?" Wajah Roy memenuhi layar. "Waalaikumsallam, nggak, kok gue baru pulang.""Oh, lagi nggak sibuk berarti?" Dia bertanya lagi. "Emang kapan gue pernah bilang sibuk? Bukannya elo yang makin susah dihubungi?" Aku membalikan keadaan, tapi menjengkelkannya masih saja ada alasan untuknya menyangkal. "Mon maaf, gue cuma coba membatasi diri sama bini orang. Walaupun kita bestie kan lain kelamin. Daripada timbul fitnah entar."Aku memutar bola mata setelahnya. "Serah, deh.""Hmm ... mulai asem mukanya. Kok, gue mencium bau-bau kegalauan.""Berisik,
Salah satu risiko berdampingan dengan lelaki yang pernah menjadi suami orang adalah dibandingkan atau disamakan. Jangan pernah mencoba kalau memang tak siap berhadapan dengan masa lalunya. Bahkan saat aku memutuskan untuk menyambut uluran tangannya untuk tinggal, pertanyaan macam itu masih terus terngiang. Di tengah lamunan aku masih sering mempertanyakan, apakah dia sudah benar-benar selesai dengan masa lalunya? Ataukah aku akan terus dibayang perempuan yang lebih dulu singgah dan menetap di hati suamiku? Saat mengemasi barang-barang Bang Khalid yang akan dibawa dinas ke Singapura nanti, aku masih saja terus memikirkan tentang perkataannya. Tentang pekerjaan yang dia bilang tidak perlu aku tahu.Entah kenapa sulit sekali mengenyahkan pikiran buruk yang mulai menggelayut. Berbagai tanya yang tak menemukan jawab tentang kehidupannya di luar rumah. Selalu, setiap kali Bang Khalid membicarakan hal yang tak sepenuhnya kumengerti, aku pasti mulai berpikir berlebihan.Ah, mungkin aku hany